Wednesday, July 19, 2017

15. Raden Mas Akoe Sinten Nyono ; “Ngawulang Umat”~1.

Beberapa minggu setelah pertemuan dirumah Pak Haji ‘abidin’ Mukhyar, Raden Mas
Akoe kembali mendapat pengalaman spiritual “Hebring”.
Saat itu malam belum begitu larut, dia sedang duduk sendirian di beranda depan,
mulanya sih ditemani sang isteri, tapi kemudian isteri tercinta undur diri, mau bobo
duluan katanya, cape mungkin karena tadi siang menghadiri syukuran wisuda anak
tetangga, yang saat ini ada bergelar A.Md , Ahli Madya,..bukan ABRI masuk Desa.

Saat Raden Mas Akoe sedang melarut bersama dzikir Cahaya, yang dengan itu
berarti bareng juga dengan dzikir Qolbi dan Kullu Jasad, tiba-tiba tak terbatas tasbih
yang menggema dari segala maujud itu lenyap,…ya lenyap seketika berganti jadi
hanya satu, ‘bunyinya’ sama namun tunggal.
Dipendengaran hati Raden muncul semacam dengungan panjang tak terputus,
kalau diambil hakikat rasanya, maka dengung ini berbunyi, “Alloooooh….”
Dan bukan hanya itu, di penglihatan hati pun demikian, segala maujud itu kini
bermakna tunggal, Alloh, …tidak ada tanah, tidak ada pohon, tidak ada derik jangkrik,
tidak ada semuanya, yang ada hanyalah DIA, meliputi segalanya,
Qul huwalloohu ahad, katakanlah Alloh itu Tunggal.
Tentu Raden tersentak karena ini, sampai-sampai pegangan kursi kayu jati
yang didudukinya copot gara-gara terhentak keras oleh dorongan tangannya.
Dua-duanya lepas, kiri dan kanan, bukan cuma itu kursinya pun gemerutuk
karena yang mendudukinya gemetar, untung sendirian dia mala mini, tidak ada orang
lain yang melihat gempa lokal itu, dan juga tidak berlangsung lama,
karena Raden bisa segera mengendalikan diri.
Usai melantunkan do’a khusus, getaran pun mereda, namun dengungnya tetap ada,
yang didengar, yang dilihat dan yang dirasa, tetaplah tunggal, bukan berarti
pohonnya lenyap, derik jangkriknya senyap pun yang lainnya tidak kelihatan
atau terdengar, bukan begitu,..secara harfiah, secara lahiriah,..mereka tetap ada.
Makna keberadaannya yang ‘tiada’, adanya Alloh Yang Maha Tunggal.
Demikian yang masih bisa disampaikan sebatas kata-kata, yang sebenarnya tidaklah
bisa digambarkan utuh, bahasa manusia tidak akan sanggup melukiskannya,
ini melampaui batas semesta, sesaat tadi semesta raya tidaklah lebih dari sebutir
debu dalam penglihatan rasa yang diizinkan oleh-Nya untuk Raden Mas Akoe.
Alloh memaparkan pandangan mata hati ini sedemikia rupa, sesuai firman-Nya :
Maa kadzabal fu’aadu maa ro’aa (QS. An Najm :11) Hatinya tidak
mendustakan apa yang telah dilihatnya.
Namun dimanakah kini tasbih tak terhingga ? maka jlep….seketika setelah Raden
bertanya dalam hati, serasa dirinya dibawa turun dari ‘suatu ketinggian’, turun satu
tingkat, dan disini kembali bergaung tasbih tak terhingga itu, riuh rendah sebagaimana
biasanya, “Alloh,…Alloh,..Aloh…” dimana-mana, maka Raden pun tersenyum pasrah.
“Allohu Akbar” desahnya syahdu, dimanakah wahai tasbih qolbu ? jlep…turun lagi
satu tingkat, disitu qolbunya berdenyut nyata, melantunkan asma-Nya, air mata pun
merembes tanpa diminta, lalu dia memohon kembali ke semula, sret…, seketika
semuanya kembali manunggal, maka air mata yang menitik itu dipersilahkan bertasbih
mengagungkan-Nya, melebur bersama Cahaya, waktu tidaklah lagi ada, maksudnya
tidak terasa, sungguh tidak terasa, ketika demikian, tidak ada memandang tidak pula
dipandang,..pun tiada pandang memandang, siapa memandang siapa..?
yang ada hanyalah DIA, Cahaya dan hanya Cahaya, maka,….saat mertua menyapa
kala subuh menjelang, serasa Raden ‘terjun bebas’ dari suatu ‘ketinggian tak terkira’
hingga mentok ke martabat manusiawinya, juuus…slep ! kaget sekejap, lalu tersenyum.
Soalnya ternyata pada martabat ini, dengung tunggal itu hilang, walau lainnya telah
kembali normal, senormal yang mungkin  disangka kebanyakan orang, yang pada
segalanya ini seolah tiada tapak Sang Dia…….
“Lagi apa kamu ?” Tanya sang mertua, seperti biasa beliau telah berseragam lengkap
hendak subuhan, “Diluar semalaman…?”
“Iya, pak “ jawab sang menantu sambil nyengir sedikit.
“Ngapain ?”
“Meresapi Keagungan-Nya…”
Sang mertua memandang menantunya, lalu mengangguk-angguk pelan,
“Mau subuhan di mesjid ?” beliau lanjut bertanya.
Raden mengangguk.
“Ayo, bapak tunggu.”
Sang menantu pun segera bersiap diri, sebentar kemudian mereka telah berjalan
bersama menuju mesjid, seiring adzan mengalun…..
saat mereka kembali ba’da subuh, Raden bertanya
“Pak tahu nggak rasanya Keagungan Alloh..?”
“Alloh ya Maha Agung, apa yang kamu tanyakan..?”
“Rasanya…..”
Sang merua pun tersentak, dia memandang lekat menantu disebelahnya.
“Kenapa,..kamu tahu rasanya…?”
“Justru saya mau Tanya ke bapak..” Raden mengoper kembali bolanya.
Sang mertua pun terdiam agak lama,
“Kan kamu tahu kalau rasa itu tidak bisa diucapkan ? susah ini….”
Raden Mas Akoe manggut-manggut, berarti….tapi Wa ilalloohi turja’ul umuur
Kepada Alloh lah dikembalikan segala urusan (QS. Ali Imron : 109),
Maka sang menantu mengalihkan obrolan ke topik lain, bla…bla…akhirnya
nyambung  ke kisah masa lalu Habib Atho’
“Usia Habib yang sebenarnya berapa sih pak ?”
“Nggak ada yang tahu,..habib sendiri tidak mau kasih tahu, yang jelas sepuh banget
beliau itu, saat pertama jumpa dulu, zaman para sinyo dan noni belanda masih
berkeliaran disini, kira-kira Habib ada empat puluhan, bapak sendiri waktu itu
sekitar enam belasan tujuh belas tahunlah…”
“Lho bapak sekarang ini berapa umurnya ?”
Sang mertua menyebutkan usianya yang telah menjelang delapan puluh tahun itu,
kira-kita tujuh puluh delapan tahunan, terpaksa kira-kira karena beliau tidak tahu
persis tanggal dan tahun kelahirannya, katanya orang zaman dulu males nyatet beginian,
kalau bikinnya sih rajin, walau zaman susah, tapi tidak rajin mencatatnya,
soalnya anak-anak itu dibutuhkan mendesak untuk penerus perjuangan bangsa,
urusan administrasi mah gampang, nanti saja diberesin kalau sudah merdeka…
Raden mesem, sekilas teringat mbah kaspo, kayaknya beliau berdua rajin bikin,
namanya juga pejuang, tapi ternyata yang jadi cuma satu, memang sepenuhnya
hak Alloh, bikin membikin itu hanya ceritanya saja, keputusan mutlak berada
di tangan-Nya.
“Jadi umur Habib Atho’ sekarang ini lebih dari seratus tahun dong pak..?”
“Iya bapak yakin sekali itu.”
“Tapi kok…kayaknya…..”
Sang mertua gantian mesem, “Kenapa,…awet muda ya…?”
Raden mengangguk sambil nyengir, memang ini yang hendak ditanyakan,
cuma nggak sama mertua, soalnya kalau dilihat sekarang, kayaknya Habib dan
sang mertua sepantaran.
“Itulah hemat menuanya beliau, pelan mengeriputnya, jadi nya kesusul sama kita-kita,
lihat Mang Ihin, boros sekali kan ?”
raden mengangguk masih nyengir.
“Padahal enam puluh juga belum dia, waktu Habib awal-awal tiba disini, Ihin masih
diayun-ayun pake kemben yang digantungkan dipohon nangka dibelakang rumah
Habib oleh emaknya, masih suka ngompol, kalau nangis, ngejeritnya nggak kira-kira,
sekarang kelihatannya mudaan bapak, iya nggak..?”
“Iya pak.” Jawab menantunya, memang iya sih.
“Nah itulah.”sang mertua rada mekar juga disanjung menantu kesayangan.
“Kayaknya sakit Habib belakangan ini sakit sepuh ya pak..?”
“Kelihatannya begitu, dari dulu Habib jarang sakit, paling cuma masuk angin
atau flu-flu ringan, nggak pernah aneh-aneh, belakangan ini saja agak lamaan,
tapi kata dokter juga cuma demam biasa.”
Raden Mas Akoe manggut-manggut.
Maka siangnya sekitar pukul setengah sepuluh, dia bertandang lagi kerumah Habib,
setiap dua hari sekali, semenjak beliau sakit, Raden memang selalu menjenguk gurunya.
Yang kali ini kalau memungkinkan, hendak sekaliaan mutholaah atas apa yang dia
alami tadi malam.
Ternyata Habib masih sakit, terlihat banyak penjenguk disitu, tertahan diluar karena
dilarang semuanya masuk kamar oleh mang ihin, demi kesehatan Habib,
cukup diwakili saja, para penjenguk yang kebanyakan murid itu tentu maklum adanya.
Semua tahu kalau mang ihin adalah ‘kuncen’ disini, sejak balita dia sudah bercokol
disini karena ibunya salah seorang tukang masak keluarga Habib.
“Masuk….” Ujar ihin kepada Raden Mas Akoe.
“Saya boleh mang ?” Tanya Raden, soalnya tidak sedikit murid tua-tua yang ditahan
mang ihin, kalau keamanatan tugas penjagaan seperti ini, mang ihin memang layaknya PM,
tegas, tidak pandang bulu, bulu tua bulu muda, dibabat sama rata.
Ihin mengangguk, “Habib pesan begitu subuh tadi.”
Raden manggut-manggut, lalu bergegas masuk, daripada izinnya keburu dianulir
oleh sang PM, mungkin saja itu, namanya juga Mang Ihin tea.
“Assalamu’alaykum.” Sapanya kepada sang guru.
“Wa’alaykum salam.” Sahut Habib pelan.
Usai mencium tangan sang guru dan merapikan selimutnya, Raden duduk di kursi
samping tempat tidur Habib, terlihat beliau tersenyum…
“Pergilah ketempat Ajengan Sanusi, bicarakan dengannya, apa yang mau kamu
bicarakan, sampaikan salam saya buatnya.” Ujar sang guru.
“Baik, Bib.” Jawab Raden takzim.
Usai beruluk salam, Raden segera keluar kamar, langsung mencari Mang Ihin
untuk bertanya alamat Ajengan Sanusi.
“Untuk apa..?” Tanya ihin.
“Saya diminta Habib untuk ketemu beliau.”
Mang Ihin mengangguk-angguk, dia mengambil selembar kertas lalu menggambarkan
peta alamat Ajengan Sanusi.
Lumayan jauh disebuah kampong perbatasan, tidak ada nomornya,
tidak ada telponnya, adanya cuma cirri-ciri, untung Raden tahu wajah Ajengan Sanusi,
sempat sekali berjumpa beliau disini, sekali itu saja, tapi hafal,..penampilannya
yang tenang dan berwibawa membuatnya mudah diingat, beliau sangat jarang
tampak disini, kata mang ihin kalau mutholaah, Ajengan Sanusi selalu menjelang
tengah malam, sendirian dan tidak pakai callingan dulu, tahu-tahu nongol saja,
untung mang ihin paham siapa beliau, jadinya segan juga.
Beres itu langsung cabut, kebetulan datangnya tadi naik vespa, jadi tidak usah balik
dulu kerumah, namun busyet….lain peta lain fakta, aslinya jauh ‘lebih indah’
dibanding gambarnya mang ihin, payah juga mamang satu ini, petanya tidak pakai
skala, yang garis pendek,..tahu-tahu jauh, giliran disangka jauh, nyatanya Cuma
sejengkal, jembatan yang dia sebut-sebut sebagai patokan itu, ternyata hanya jembatan
bambu yang mesti dilintasi pelan-pelan, vespanya dituntun, tidak bisa dinaiki,
meleng sedikit, plung…seperti melintasi ‘titian serambut dibelah tujuh’saja.
Tadi mang ihin promosi jembatannya mantap berbunga-bunga, jadilah Raden
membayangkan serupa Jembatan Merah di Surabaya sana, tahunya cuma model pring
mana bambunya sudah pada tua, melenyot rengkah-rengkah….
Tapi berhasil juga dilintasi, Alhamdulillah berarti ni sudah masuk kampungnya
Ajengan Sanusi, sungai tadi adalah perbatasannya dengan kampung tetangga,
selanjutnya tinggal tanya-tanya ke warga disini.
Adzan zuhur sayup-sayup berkumandang, Raden mencari arah datangnya
‘panggilan Alloh’ itu, dapat..sebuah surau kecil tepi persawahan, maka dia ikut
berjamaah disitu, masbuk ketinggalan dua raka’at karena tadi ambil wudhu dulu,
sebagaimana lazim, tidak banyak pesertanya, hanya berlima saja, termasuk sang imam.
Usai dia menuntaskan sholatnya, tinggal berdua disitu, Raden dan sang imam
yang sesaat masih tafakur ditempatnya, tiga peserta lain telah kembali bertebaran
di muka bumi, sebagaimana perintah Alloh setelah menunaikan kewajiban, lalu kagetlah
Raden saat tahu bahwa sang imam ternyata Ajengan Sanusi sendiri.
“Assalamu’alaykum” cepat-cepat dia menyapa.
“Wa’alaykum salam” sahut sang ajengan.
Karena tangannya sudah keburu dipegang Raden, maka beliau membiarkan mantan
makmum ini menciumnya, soalnya Ajengan Sanusi bukan penggemar gaya tarik cepat,
ada sebagian orang kalau salaman suka bikin kaget, tangannya buru-buru ditarik
pulang begitu nempel sedikit, kadang-kadang bahkan belum sempat nyenggol
sudah dibetot, macam khawatir ketularan bakteri mematikan saja, entah aliran apa itu,
tapi terserahlah….
“Benarkah abah Ajengan Sanusi..?” Tanya Raden usai bersalaman.
Sang Ajengan tersenyum ramah, lalu mengangguk kecil.
Raden Mas akoe balas tersenyum, “Saya Raden, murid Habib Atho’”
Ajengan Sanusi tersenyum, “Ada keperluan apa, anaking ?”
“Saya diminta Habib kesini, bertemu dengan abah ada hal yang hendak saya mutholaahkan
dengan abah.”
Ajengan Sanusi manggut-manggut, lalu mengajak Raden kerumahnya yang ternyata
rumah semi permanen persis disebelah surau ini.
Wah kacau petanya mang ihin, mushola dan sawahnya ini tidak digambarkan,
cuma jembatan pring tadi saja yang gencar disebut, untung ketemu, memang sudah
ada yang ngatur sih.
Dirumah Ajengan Sanusi, Raden dan murid senior Habib ini pun mulai berdiskusi ilmu,
nyaman berbincang denga beliau yang sudah sampai ilmunya ini, saat mereka membahas
dzikir Qolbi dan kejadian-kejadianya, nyambung semua, apa yang dikata Raden,
dibenarkan haqul yaqin oleh Ajengan Sanusi, ketika di Kullu Jasadin pun demikian…
Wa yusabbihuur ro’d bi hamdih, kan..?” ujar beliau.
Raden tersenyum cerah, “Betul bah, benar sekali…”
Apa yang diucap Ajengan Sanusi itu adalah firman Alloh, tercantum dalam surat
Ar-Ro’d ayat 13,  Dan guruh pun bertasbih memuji-Nya..” Maha Benar, Raden telah
haqul yaqin atas ayat suci ini, sebab pada setiap guruh yang menggemuruh di penghujung
musim hujan ini, nyata-nyata dia mendengar hakikat tasbihnya.
Tasbih guruh itu hanya bisa tersadap oleh pendengaran hati, tidak kena kalau sekedar
pasang gendang telinga biasa, disampaikan ini atas nama-Nya, demi kebenaran,
tidak ada dusta disini.
Perbincangan ‘guruh’ ini tersela sejenak oleh kemunculan Nyonya Sanusi membawa
ubi goreng dan kopi, Raden cepat-cepat bangkit lalu menyalami cium tangan kepada
isteri Ajengan Sanusi, usai beliau menaruh hidangan itu diatas meja.
Sudah sepuh juga tentu, diatas enam puluh tahunan, tapi sisa-sisa kecantikan
masih tertera diwajah tua nan ramah ini.
Usai itu, diskusi dilanjutkan beberapa saatm Ajengan Sanusi masih berkisah tentang
tasbih dimana-mana yang luar biasa ini, segalanya adalah lautan tasbih, riuh saling
menyahut, Raden mengimbangi karena mereka sama-sama tahu ‘rasa’nya.
Lalu pelan-pelan Raden mengajak beliau nanjak ke tingkatan selanjutnya, pelan-pelan
juga Ajengan Sanusi mulai banyak termangu, Raden melihat gaya ini, tapi belum sadar,
disangkanya sang Ajengan sekadar terpesona karena tahu ‘ada teman’ dalam memahami
Keagungan Alloh, asyik memang kalau punya teman, soalnya terus terang tidak banyak
yang paham ‘rasa’nya ini, mau cerita…nggak nyambung,..salah-salah malah dianggap
ngibul, masih bagus kalau cuma segitu, lha kalau dibilang kafir, kan sedih,….
Tapi peringatannya memang sudah diberi, ‘Man lam yadzud lam yadri,
yang tidak merasakan, tidak tahu.
“Jadi apa sebenarnya dengungan ini bah ?” Tanya Raden wajahnya terlihat antusias,
sebab dia kesini memang hendak diskusi tingkatan ini, Maqom Qolbu dan Kullu Jasadin
sudah pernah dijelaskan oleh Habib dulu.
“Dengungan…?” Ajengan Sanusi bergumam.
“Iya, dengungan yang tidak putus ini, nyata kan bah..?”
Raden nyengir, disangkanya Ajengan Sanusi sekadar belum paham yang dia maksud
‘dengungkan’, soalnya ini memang istilah Raden,..belum sempat dapat ‘penjelasan
resmi’ dari Habib dan Ajengan Sanusi.
“Dengung apa..?” Ajengan Sanusi kembali bergumam pelan.
Raden tersentak, dengung apa ? bukankah demikian jelasnya ? maka dia memandang
‘tidak percaya’ ke Ajengan sepuh itu, bercanda kali abah…..
“Dengung seperti apa nak.?” Beliau bertanya lagi.
Kening Raden semakin berkerut, “Dengung…yang ini bah,..yang begini nyata ini..
apa abah tidak merasakannya ?” dia balik bertanya.
Ajengan Sanusi menghela napas, “Apakah ngeeeng..begitu ?”
“Kalau katakanlah dibunyikan,.. iya,..tapi aslinya tidak ada bunyi ngeeng itu,
ehmm…seperti tasbih guruh tadi bah,..tapi yang ini meliput segalanya, lautan tasbih
digulung jadi satu,.. bahkan diri saya,..tida ada saya,..tidak ada abah,..
tidak ada makna segalanya,..kecuali DIA, tunggal,..seakan berdengung tanpa putus.”
Raden pun jadi bingung menjelaskannya, kalau saat membahas tasbih Guntur,
nyaman, dua-duanya paham,..punya ‘rasa’nya, tanpa kata-kata pun,
hanya dengan saling menatap atau bertutur simbolis, mereka sama-sama mampu
menangkap pesan tersirat didalamnya, yang ini macet tampaknya…
Hening menyergap, Ajengan Sanusi menatap Raden Mas Akoe dengan matanya
yang telah keabua-abuan tua, seolah terselip diantara keriput kelopaknya,
lalu sepasang mata sepuh itu berkejap-kejap pelan, terlihat jelas bening air mata
berkumpul disitu, “Anakku, sudah berapa lamakah kamu dibimbing Habib..?”
Beliau bertanya pelan, hampir tidak terdengar desahannya.
Raden Mas Akoe menjawab pertanyaan itu apa adanya.
Ajengan Sanusi terpana, “Subhanalloh, alangkah cepatnya,..Qod aflaha man
dzakkaahaa, beruntung kamu anakku, Aloh telah melimpahkan karunia-Nya
kepadamu secepat ini, abah lebih dari tiga puluh lima tahun bermujahadah,
belum diberi hak mukasyafah sepeti yang nyata diberitakan kepadamu,
bagi abah Maa indakum yanfadu wa maa indalloohi baqqi, apa yang ada
disisimu akan lenyap, dan apa yang ada disisi Alloh adalah kekal, masih berupa
dalil, bagimu sudah menjadi ilmu.”
Raden Mas Akoe pun terpekur syahdu….
Lalu tanpa sungkan Ajengan Sanusi memeluk yuniornya dengan bercucuran air mata,
Raden Mas balas memeluk, sama bercucuran air mata juga sampai-sampai
Nyonya Sanusi sempat bingung saat mengintip kelakuan suami dan tamu mudanya.
Masalahnya sudah sekian puluh tahun suami tersayang tidak pernah nangis seperti itu,
adanya tersenyum terus…..
Saat ‘bermesraan’, Ajengan Sanusi berbisik kepada Raden Mas, “Anaking, anjeun
tos tiasa ngawulang umat, abah nitipkeun dunya.”
Terus terang Raden Mas akoe tercekat, bagaimana tidak ? bisikan Ajengan sanusi tadi,
kalau dibahasa Indonesia kan, berbunyi “Anakku, kamu sudah bisa membimbing umat,
abah menitipkan dunia.”
Demikianlah hingga kemudian adzan ashar berkumandang dari surau sebelah,
Ajengan Sanusi pun kesana,..tanpa sungkan lagi beliau meminta Raden Mas Akoe
bersedia mengimami.
Tiga peserta lain yang itu-itu juga, sama dengan saat zuhur tadi sempat heran
melihat abah meminta orang asing memimpin, tapi mereka tidak keberatan
karena bahkan abah pun tidak keberatan, pasti mengandung sesuatu orang asing ini,
begitulah kira-kira bunyi dalam benak mereka.

Bersambung …..

 diambil dari http://nasehatabah.blogspot.co.id

Ila Ruhi Mas Andi Bombang..Al-Fatiha....

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...