Wednesday, July 19, 2017

7. RADEN MAS AKOE SINTEN NYONO ; MASA PANCA ROBA-4

Setelah berbincang sejenak dan memberi pengarahan seperlunya dengan para pekerja
yang lain, Raden Mas akoe Sinten Nyono kembali masuk ke kamar khususnya
soalnyadari gejala yang terasa kayaknya sebentar lagi wajahnya akan segera memerah
diserbu nyut-nyutan bola liar itu.
“Terasa lagi, mas ?” Tanya sang isteri saat jumpa suaminya dibatas kamar.
Raden Mas Akoe mengangguk sambil meringis, sang isteri yang sudah diberitahu
tentang apa yang sedang terjadi itu, balas meringis saying, meringis-meringisanlah mereka.
Sang isteri menghela napas saat pintu kamar ditutup dan dikonci dari dalam.
Kalau sudah begitu, seolah suaminya melenyap dari alam fana, tidak makan, tidak minum
tidak ada suaranya, pernah sekali sang isteri mengintip dari celah jendela, terlihat
suaminya sedang duduk bersila diatas sajadah memutar tasbih, badan dan kepalanya
mengangguk-angguk cepat, kadang memutar, apa tidak tambah pusing itu ?
terus terang, sekiranya sang isteri tidak tahu kalau suaminya sedang berguru kepada Habib,
tentunya dia khawatir, jangan-jangan sedang main “Ilmu Hitam”, namun sebelah mana
hitamnya Habib ? Beliau sih asli putih semua, bahkan ayahnya pun muridnya juga.
Demikianlah, keadaan ini berlangsung hingga hamper sebulan…
Dua hari terakhir, sang isteri gelisah karena suaminya tidak juga keluar dari kamar itu,
benar-benar tidak keluar sejak masuknya kemarin selepas zuhur, biasanya masih ada
acara keluar masuknya, ganti-gantian gitu, tapi, yang dua hari ini suaminya ‘manteng’
terus didalam sana, diintip sama seperti yang lalu-lalu, sedang duduk bersila bergoyang
kepala dan badan, hanya saja yang sekarang terlihat raut wajahnya lebih ngerenyit,
tampak lebih pusing dari sebelumnya, untung usaha dagangnya bisa jalan sendiri,
sebab ada wakilnya, ada orang kepercayaan yang bisa mengemban tugas manajerial
kalau sang juragan berhalangan.
Tidak tahan, sang isteri melapor kepada ayahnya, sekalian menceritakan apa yang terjadi
pada suaminya selama hamper sebulan terakhir.
“Kata Mas Akoe, disuruh begitu sama Habib,..” ujarnya.
Sang ayah menghela napas, sebenarnya dia terkejut, tapi bisa menyembunyikan
keterkejutannya, kenapa ? sebab, bahkan dirinya belum mengalami keadaan seperti
yang sekarang terjadi pada menantunya, pusing sih pusing, tapi masih pusing
yang lathif, belum sampai seperti yang diceritakan anaknya bahwa suaminya
sering mencucurkan airmata dan wajahnya memerah.
“Jangan diganggu, biar bapak tanyakan dulu ke Habib.” Ujarnya.
Sang anak mengangguk, lalu berangkatlah sang ayah kerumah kolega, adik ipar,
sekaligus gurunya itu, disana langsung laporan tentang apa yang sedang berlaku
pada diri menantunya, Habib hanya tersenyum saja.
“Tidak apa-apa, Haji, memang begitu…” ujarnya
“Pengaruh dzikir Cahaya itu, Bib..?”
Habib tersenyum mengangguk angguk.
“Kok saya tidak begitu ? Tanya nya.
“Bagiannya masing-masing….”Habib tertawa pelan saja.
“Maksudnya..?”
 “Ya,…bagian masing-masing itulah, peta sama, kendaraan sama, rambu sama,
tapi dapatnya memang bisa beda-beda, hak Alloh itu, terserah Yang Punya kasih jatah,
saya dikasih apa, Haji juga dikasih apa, Raden Mas Akoe dikasih apa, suka-suka DIA,
hakikatnya begitu, syariatnya tergantung mujahadah masing-masing, derajat perjuangan
tiap-tiap manusia dalam taqorrub ilalloh kan berbeda-beda.”
Pak haji menghela napas, lalu agak menunduk.
“Sudahlah, Haji, biarkan saja..menantumu tidak apa-apa, sedang menunggu ‘jebol’ he..he
kapan waktu lalu, dia janji mau cerita ke ana (Habib) kalau sudah dapat ‘rasa’nya.
Coba, nanti kita dengar sama-sama ceritanya, pengen tahu ana, mampu nggak itu
anak ‘ngocehin’ rasa, he..he…”
Si Mertua terkekeh-kekeh, cuma rada kecut nadanya.
Tidak lama kemudian, dia kembali pulang kerumahnya, disana sang ayah melarang
anaknya ‘menggoda’ suaminya yang sedang mengurung itu.
“Tunggu sampai dia keluar sendiri, jangan diketuk-ketuk.” Ujarnya.
“Tapi, pak kalau ada apa-apa gimana..?”anaknya protes, iya lah dia kan sayang
buanget sama suaminya itu, wajar kalau khawatir terjadi apa-apa terhadap kangmasnya.
“Nggak, nggak,….nggak apa-apa…!” kata sang ayah.
“Kok bisa nggak apa-apa ? kan sudah dua hari nggak makan ? kalau nanti sakit
bagaimana ?” anaknya terus menyanggah sang ayah.
“Ye…kamu ini, mulai lagi keras kepala kayak dulu, sudah..kata Habib nggak apa-apa,
kalau katanya nggak apa-apa, ya…nggak apa-apa,…hayo ngomong apa lagi..?”
sang ayah melotot saying ke putrid bungsunya.
Manyunlah sang anak, gara-gara ditegur, “Tapi ngintip boleh khaaan…?”
“Ah, terserah kamulah, asal jangan mengganggu,..” ujar sang ayah sambil berlalu.
Beliau maklum, sebab pasangan anak menantu yang ini memang paling akur,
diantara pasangan anak menantu yang lain, kadang-kadang mereka kepergok
masih bertingkah seperti zaman pacarannya dulu, yang rada-rada nyebelin itu,
padahal sudah punya tiga power ranger dan satu Barbie.
Maka setelah sang ayah berlalu, ia pun bergegas mengintip lagi kondisi suaminya,
yang dua hari terakhir ini ‘salah kamar’, siapa tahu sedang gimana gitu..
sedang tergeletak pingsan atau apa, namun ternyata baik-baik saja, maksudnya masih
sama seperti tadi, wajah suami tampak meringis-meringis hebat sambil mengangguk
angguk dalam, lalu muter kencang sebentar, sebelum kembali angguk-anggukan.
Dicelah-celah jendela, si pengintip pun geleng-geleng kepala.

Dibatas kata-kata, apa yang sedang terjadi pada diri Raden mas Akoe dua hari
terakhir ini memang diluar kendalinya, dengan kata lain dia kehilangan kendali
atas dirinya sendiri, pusing luar biasa, seolah-olah kepala akan rengkah,
tapi dia tidak bisa menyudahi dzikirnya.
Raden Mas Akoe tidak mampu menyuruh dirinya untuk sekedar berhenti sebentar,
adanya, terus berdzikir, terus digenjot, terasanya ada kekuatan lain yang mengambil
alih kendali dirinya, bahkan untuk sekedar bergeser sedikit dari posisi duduknya saja
dia tidak mampu, seakan dipantek disitu dan dicecar oleh dzikir Cahaya.
Dia sidah tdak sadar waktu, sekarang siang atau malam, tidak lapar, tidak haus,
pun tak ingin kebelakang, secara ‘penglihatan dalam’, terlihat banyak bentuk cahaya
disitu, ada yang menggumpal, melarik, atau menghampar seperti tikar,
bermacam warna, tapi didominasi ungu dan hijau, bahkan ada sebentuk cahaya ungu
yang seakan memancar dari keningnya ke depan, segelombang-segelombang.
Dari arah depan, menyambar balik cahaya yang entah apa warnanya, timbale balik,
saling menyambar ditengah ‘alunan ruh’ yang sedang berdzikir….
Waktu terus bergerak maju, sekarang sudah tengah malam, sang isteri terlihat gelisah,
duduk gulung gusah dikursi tamu, menanti suamunya tak kunjung keluar,
terakhir diintip masih sama keadaannya, angguk-anggukan dan muter-muter kencang,
ayahnya menemani disitu, tadi bareng anak-anak juga, tapi kemudian satu persatu
mereka beranjak tidur.
“Sudahlah,…tidak apa-apa,..tenang saja..” ujar sang ayah
Sang anak tidak menjawab, hanya mengangguk-angguk pelan.
“Ayo istirahat sana,..nanti malah kamu yang jadi sakit..”
“Bapak duluan saja, saya masih pengen disini,…”
Si Bapak menggeleng-geleng pelan, sebenarnya rada gelisah juga sih,
tapi Habib sudah menjamin tidak apa-apa, masak tidak percaya ?
bukankah kolega, adik ipar, sekaligus guru hakikatnya itu tidak pernah berkata bohong ?
dulu zaman Belanda, saking jujurnya sampai-sampai Residen pun bingung,
dan makin bingung juragan londo itu karena tidak tahu mesti diapakan inlander ini.
Habib bilang hanya mau dikurung sehari atas ‘kesalahannya’, dan benar-benar sehari
karena besoknya sang jawara putih sudah terlihat jalan-jalan lagi diluaran,
tanpa ada yang tahu siapa yang mengeluarkannya dari penjara yang dijaga ekstra ketat,
ditangkap kembali ? he..he..he.. tidak ada yang kuat, mental semua yang akan menangkap
senapan macet kalau diarahkan kepadanya, wallohu a’lam, tapi ada saksinya kisah ini
termasuk dirinya sendiri.
“Ya, sudah okelah kalau begitu (kaya iklan aja) bapak duluan ya,..” sambil berlalu.
Tinggalah kini sang isteri sendirian bergulung resah diruang tamu, namun menjelang
pukul tiga dini hari, dia pun tak kuat menahan kantuk, setelah mengintip sekali lagi,
diapun beranjak tidur di kamar si bungsu.
Seiring kejadian diluar, dimensi dalam, Raden Mas Akoe sedang termangu takjub,
berangsur cahaya-cahaya melenyap, kecuali yang menyambar-nyambar wajah,
yang satu ini malah semakin nyata, lalu nuansa cahaya berganti dengan nuansa bintik-bintik
memenuhi ruangan, semua yang terlihat bintik-bintik adanya, seperti gambar dilayar TV
yang kurang pas sinyalnya.
Kemudian keriuhan itu semakin menjadi, terus menebal, kini wujud-wujud benda
didalam kamar itu, yang tadinya masih bisa terlihat walau samar-samar,
sekarang benar-benar lenyap, seperti kerumunan lebah yang melingkup suatu benda,
tidak kelihatan lagi bendanya, hanya ‘lebah’.
Pusing kepala itu,..wuuh..sudah tidak bisa dikata-katakan lagi, airmata mengucur deras,
batok kepala seakan berdenyut kembang kempis, rasanya seperti akan mati saat itu.
Sang maut seakan telah berdiri dihadapannya, maka dalam kepasrahannya yang murni,
dia berucap dalam hati, “Alloh, jika sekarang waktuku, ambillah,..ambillah aku,
selagi ingat kepada-Mu….”
Lalu, plash..!semua bintik itu lenyap seketika, sekejap berganti dengan cahaya yang sama
dengan yang menyambar-nyambar wajahnya, hanya itu yang ada, tidak terlihat wujud lain.
Cahaya dan hanya Cahaya ini, luas tiada bertepi, dinding kamar, lemari, tempat tidur,
sajadah, dan lainnya tidak tampak, Raden Mas Akoe bahkan melihat dirinya pun tiada,
melebur bersama Cahaya.
Sekejap, hanya sekejap, lalu…byar..Cahaya tiada tara ini pun lenyap bersama dengan
‘bobol’nya batok kepala sang jaka.
“Alloh !” Raden Mas Akoe tersentak sadar, cepat-cepat dia meraba ubun-ubun, namun
tidak apa-apa ternyata, masih utuh kepalanya, hanya dari situ dia merasa ada segumpal
hawa panas yang mencelat keluar, lalu berganti masuk aliran hawa sejuk lewat ‘lubang’
yang sama, seperti kucuran air pegunungan yang mericik mengisi tempayan.
Seiring kucuran itu, Raden Mas akoe merasa tubuhnya lemas, tapi nyaman seperti
terbang diawang-awang. “Alloh…” dia kembali mendesah syahdu, meresapi sejuk
yang merasuk kedalam jiwa.
Dzikir Cahaya terus melantun bersama ruhnya, sampai kemudian dia menyadari
kalau pusing yang telah menetap lebih dari dua tahun itu hilang, ringan sekarang kepalanya.
Sambil meresapi siraman hawa sejuk yang belum menyudah ini, Raden Mas Akoe
pun menangis, menitik bening dalam kepasrahan, syukur terpanjat tinggi kehadirat-Nya,
atas semua yang telah terjadi, sedang terjadi, pun yang akan.
“Alloh, sujudku kepada-Mu..”desahnya syahdu, lalu lahir dan batinnya pun bersujud,
Seiring alunan dzikir Cahaya, terus dalam posisi tunduk hingga siraman itu
dicukupkan oleh-Nya.
Raden Mas Akoe mengusap wajahnya, menghela napas panjang, lalu menafakuri apa
yang barusan dialami, Cahaya-cahaya itu, bintik-bintik, panas yang pergi, dan sejuk
yang mengganti, “Alloh, segalanya Engkau…”batinnya mendesah.
Sesaat lewat, dia kembali terkesima menyadari ada sebentuk denyutan lain dalam
dirinya kini, bukan pusing, yang itu sudah lewat, ringan terasa kepalanya sekarang,
yang baru ini lain, denyutnya lain, lembut nan syahdu, tidak seperti pusing,
yang awal datang langsung menyerang, apakah ini ?
raden Mas Akoe pun menyusur dirinya dengan ‘rasa’, mencari sumber denyutan,
dapat, ternyata datang dari dada kiri bagian bawah, secara jasmaniyah,
disitu letaknya hati…..
“Allohu Akbar, …Allohu Akbar,…”sayup-sayup terdengar suara adzan.
Raden Mas Akoe melihat jam dinding di kamar itu, “Eh, adzan apa setengah lima ?
gumamnya dalam hati, dia sangka itu adzan ashar, sebab tadi masuknya kan ba’da zuhur,
Raden Mas Akoe bangkit, menyibak tirai jendela, lalu terkejut, “Kok gelap ? subuh ?
wah iya kayaknya, berarti lama juga aku disini, kebablasan…”
Dia meringis sendiri, perasaannya sih sebentar saja semua ini, paling sejam dua jam lah.
Lalu dia bergegas keluar kamar, begitu nongol langsung kepentok istrinya yang juga baru
sampai didepan pintu kamar ini, Raden Mas Akoe segera meringis lagi,
isterinya manyun model mengundang, sang suami pun terkekeh sayang.
“Maaf, kebablasan nih, he..he..he..sudah subuh ya..?” katanya tanpa dosa.
“Sudah subuh, sudah subuh…”isterinya menggerundl dan tampaknya akan berlanjut,
untung sang mertua cepat tiba dilokasi, sudah berseragam lengkap,
mau subuhan di mesjid..
“Ee, sudah bangun kamu ?” beliau bertanya ke menantu bengalnya.
“Sudah, he..he..” Akoe kembali terkekeh.
Sang mertua manggut-manggut sambil agak melotot, “Ayo ke mesjid..” ajaknya.
“Iya pak sebentar” Akoe bergegas menuju kamarnya, ganti baju lalu mengejar langkah
mertuanya yang sudah agak jauh di depan sana.
Sang isteri geleng-geleng kepala, tadi sebelum kabur, sang suami sempat kirim
kedip-kedipan yang entah apa maksudnya, lalu sang isteri ini pun tersenyum sendiri.
Alhamdulillah, suaminya tidak apa-apa, normal juga rada-rada nyebelinnya.
Sepanjang perjalan ke mesjid, sang mertua melirik-lirik menantunya yang senyum-senyum
terus itu, tentu Akoe merasa kalau dirinya sedang dapat perhatian lebih dari mertua.
“Ada apa sih pak ?” dia bertanya sambil nyerengeh
“Nanti, pulang dari mesjid…”
“Ooo, he..he..he..”Raden Mas Akoe tertawa pelan, maklum dia, paling juga mau
ditanya ngapain aja dikamar, gampanglah itu, bukan ujian arab gundul ini….
Sepulang dari mesjid, sang mertua melirik-lirik menantunya lagi, lebih intensif sekarang
Disbanding berangkatnya tadi, iseng-iseng, Akoe pun kembali bertanya ada apa.
“Nanti di rumah “ jawab mertua, “Buka semuanya, biar puas” lanjutnya.
Mendengar itu, Akoe tertawa lepas.
“Kenapa ?” sang mertua menatap dari samping.
“Nggak pak, memang nggak enak kalau nggak puas, he..he..he…”
Sang mertua terdiam sekejap, “Ah, kamu ini diajak ngomong kemana, ngelantur kemana”
“Ha..ha..ha…” Akoe tertawa lagi.
Lalu pelan-pelan sang mertua pun ikut tertawa, kayaknya sudah nyambung nih,
sama versi walau beda tahun keluaran, jadi sama-sama tidak ngelantur kemana-mana lagi.
Selanjutnya diruang tamu, Akoe terhenyak dengar kabar bahwa dirinya hamper tiga hari
penuh berada dalam kamar itu.
“Masak sih ?“ gumamnya sambil geleng-geleng.
Sang isteri dan ayahnya yang duduk disitu pun kaget, ternyata si pelaku tidak sadar waktu
dia kira sekedar zuhur ketemu subuh.  *< Mengenai kebablasan tidak beribadah beberapa
saat, Wallohu a’lam bi showab, no coment deh >*
Hening sejenak setelah itu.
“Apa yang terjadi didalam sana ?” sang mertua memecah senyap.
Raden Mas Akoe mengangkat wajah, memandang mertuanya, dan akan menjawab,
namun tidak bisa, Akoe tidak mampu menyusun kata-kata untuk menjelaskan rasa
yang dia alami, dicari-cari tidak ketemu kosakatanya.
“Gimana ? Apa yang terjadi ?” si mertua mengerutkan kening.
“Saya nggak tahu gimana ngomongnya pak, beneran ini, susah sekali menggambarkan itu,
kayaknya sih memang nggak mungkin “ Akoe menggumam.
Kerut di kening sang mertua pun merapat, apa maksud menantunya ?
“Masak nggak mau nyeritain mas ? sang isteri menuntut.
“Bukan nggak mau, nggak bisa,…beneran,..nggak bisa diceritain ini kayaknya”
Ujar sang suami sambil geleng-geleng kepala pelan.
Sang mertua menghela napas, lalu mengangguk-angguk, teringat ucapan Habib
kemarin dulu saat dia kesana melaporkan menantunya yang ‘terjebak’ didalam kamar.
“Kamu nggak bisa menceritakan ‘rasa’nya ?” beliau bertanya.
Raden Mas Akoe yang sesaat itu sedang menunduk, langsung mengangkat wajah,
“Iya pak, itulah saya nggak mampu bilang ‘rasa’nya, paling…pokoknya sangat-sangat
luar biasa, sudah begitu saja.”
Sang mertua kembali menghela napas, “Kalau begitu, apa yang masih bisa kamu
katakan, coba ceritakan, bapak pengen dengar .”
raden Mas Akoe terpekur sebentar, lalu mulai bertutur…
“Saya melihat cahaya-cahaya, bermacam cahaya, seperti….seperti apa ya ?
pokoknya, cahaya-cahaya gitu lah, lalu datang bintik-bintik rapat dan halus seperti
berjuta-juta lebah, semua yang kelihatan jadi bintik-bintik, cahaya-cahayanya hilang,
tinggal satu yang menyambar-nyambar, sudah gitu blasss…! Lenyap bintik-bintiknya
tinggal Cahaya yang satu tadi, tapi tidak menyambar-nyambar lagi,
adanya seperti hamparan tidak ada ujungnya, semua hamparan Cahaya itu,
terus kepala rasanya seperti jebol,…”sampai disini Akoe tidak mampu berkata-kata
lagi, serasa ada yang mengunci lidahnya, maka diamlah dia…
gara-gara takjub dengar jebol-jebolan tadi, tanpa sadar sang isteri lompat mendekat
suaminya, lalu dengan sigap memeriksa bagian yang diberitakan jebol itu dengan
ekspresi cemas sungguhan.
Raden Mas Akoe yang tidak menyangka akan dapat perlakuan mesra didepan mertua
langsung tertawa, sang mertua juga, sang isteri yang sesaat seperti melayang itupun
tersadar, cepat-cepat balik posisi duduk semula dengan wajah merona.
“Kirain beneran jebol…” ucapnya malu-malu meong.
“Ha..ha..ha..” ayah dan suaminya lanjut terbahak.
Ditunggu sebentar, tidak kunjung mereda, “Sudah ah…”
Si isteri ngeloyor pergi sambil mengulum senyum, sialnya sepasang pria kesayangan
beda tahun keluaran itu malah makin menjadi terbahak….

Agak siangan, sekitar pukul Sembilan setelah beres urusan usaha dagang,
Raden Mas Akoe hendak muthola’ah ke gurunya, sang mertua yang sejak pagi
mengawasi terus itu mendekat, “Mau kemana ?” beliau bertanya.
“Ke Habib “ jawab si menantu.
“Bapak ikut…..”
Raden Mas akoe menatap mertuanya, “Cuma ke Habib kok pak.”
“Iya bapak ikut, hayo…” ujarnya maksa.
Ya sudah, menantu dan mertua itupun berangkat bareng.


BERSAMBUNG
http://nasehatabah.blogspot.co.id

Ila Ruhi Mas Andi Bombang..Al-Fatiha....




No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...