Sunday, July 16, 2017

3. RADEN MAS AKOE SINTEN NYONO ; MASA PENCARIAN DAN PEMBAIATAN KEDUA.


Tiga tahun sudah berlalu, masa berjalan sesuai kehendak-Nya, dapat dibayangkan

Sampai saat ini pemahaman Raden Mas Akoe Sinten Nyono tentang hakikat belum

Bergeser dari sekedar yang dulu telah disampaikan oleh sang kakek.

Sang Guru yang dicari dan sangat dinanti itu belum juga kunjung menyapa.

Kalau boleh mengeluh, lelah teramat batinnya, lelah yang teramat sangat,

seolah menyusuri harapan ada namun hampa, ada, tiada,..ada entah dimana…?

Singkat cerita Raden Mas Akoe sudah mempunyai keluarga (sepertinya ga begitu

penting untuk diulas).

Ya saking bingungnya Akoe sampai-sampai terlibat juga kedalam dunia perghoiban,

awalnya ngobrol-ngobrol biasa, lalu nyambung kesitu, tidak blak-blakan tentu,

Akoe hanya berkata bahwa dia menanggung amanat mencari guru spiritual,

segitu saja, tidak lebih, sang teman menyarankan bertanya ke ghoib,

maksudnya bertanya kesosok sosok ghoib, katanya urusan cari mencari macam ini

lebih afdhol tanya ke’bangsa yang tidak kelihatan’, dijamin lebih efisien darpada

dicari secara manual dengan cara-cara manusiawi.

Namun, Akoe tidak langsung mengiyakan, masak iya sih ..?

Cuma lama-lama, setelah tidak ketemu juga, dia pun goyah, siapa tahu iya ?

Kalau memang bias, kenapa tidak ? tujuannya kan baik, sekedar hendak bertanya

dimanakah sang guru berada, bukan mau yang lain-lain…..

Maka mulailah dia terlibat, bersama beberapa orang teman,

Akoe ikut dalam acara menghadirkan sosok-sosok ghoib, lokasi-lokasi keramat pun

dia ziarahi, berharap ada petunjuk dari sana, semacam wangsit atau apalah judulnya.

Pokoknya info tentang keberadaan sang guru ‘urusan hati’ itu.

Setelah sekian banyak tempat dia sambangi, tidak dating juga infonya, malah nyebelin

sementara teman-temannya seru mengaku kalau melihat atau mendengar ini itu,

Akoe tidak kebagian apa-apa, boro-boro melihat atau mendengar, di toel pun nggak.

Daripada tidak dapat apa-apa, Akoe minta kepada teman-teman agar urusannya

ditanyakan ke para ghoib yang kabarnya hadir itu.

Jawaban yang datang jauh dari harapan, ga masuk akal sekalian tidak keterima di hati.

Entah jawaban itu beneran dari dunia ghoib atau sekedar karangan teman saja,

masak katanya sang guru bermukim di Afrika ? afrika apa dan dimana alamatnya ?

tidak disertakan ? Busyet…ini sih, afrika mbahmu ! kenapa gak sekalian saja bilang

sedang mancing ikan paus putih dikutub utara ? ah aya-aya wae….

Hingga pada suatu titik, Akoe merasa jenuh.

Jenuh yang benar-benar pol penuhnya, sesak bin padat rasanya, dia berpikir

mungkin perlu istirahat sejenak dari pencarian ini, bukan disudahi, sebab baginya

tidak mungkin disudahi, hatinya pasti akan menuntut kembali, sekedar istirahat,

soalnya telah sekian tahun dia mencari dan tidak ada petunjuk sama sekali.

Dalam masa reses ini, Akoe banyak tafakur di masid, lebih banyak dari biasanya,

merenungi diri, merenungi apa yang telah dilalui.

Sore itu ba’da ashar, Akoe duduk mendengarkan telaah fiqih yang disampaikan

salah seorang sepuh, sambil menyimak ulasan yang serupa dengan yang lalu-lalu itu,

dia berzikir, tasbih kesayangannya terputar syahdu di jemari tangan kanan,

kalimat tauhid Laa Ilaaha Ilalloh, ditekan masuk ke dalam hati.

Pelan-pelan kenangannya melanglang buana menyambangi kakeknya.

“Mbah, piye iki ? mana gurunya ?” setengah iseng batinnya bertanya,

Lalu,..”Jangan Tanya mbah, Tanya sama Yang Punya,” seketika sebentuk jawaban

terasa menghujam hatinya, Akoe terperanjat, luar biasa, nyata sekali rasanya itu.

“Mbah,..mbah…”dia berusaha mengontak kembali, namun tidak ada jawaban.

Dicoba beberapa kali lagi,tetap tidak terhubung..duh…(pulsanya habis kali…)

Sejenk, Akoe menenangkan diri, setelah lebih tenang, dia mengingat-ingat

pesan si mbah barusan, “Tanya sama Yang Punya ? Apa maksudnya ?”

Akoe merenung, lalu “Alloh” ujarnya tersadar, seiring air mata yang tiba-tiba

terasa mengumpul dikelopak, “Alloh….,” dia mendesah lagi, tulah dia menurutnya.

Itulah yang dimaksud oleh sang kakek, bertanya langsung kepada Alloh, bukabukankah

Dia Sang Maha Pemilik ? Dia yang punya segalanya ?

Maka Akoe pun ‘bertanya’ kepada-Nya, namun setelah sekian banyak tanya terkirim

saat itu, tida datang jawaban dari-Nya.

Maksudnya, tidak ada jawaban menghunjam hati seperti “SMS” si mbah tadi,

Akoe menghela napas panjang, “Ya Alloh, mengapa ? belum pantaskah diriku ?

Terlalu  tebalkah dosaku ? rintihnya dalam hati, lalu diapun terus bertanya…

Lanjut maghrib sampai isya, ba’da isya sang mertua menghampiri menantu kesayangannya

“Mas Akoe, tolong pintu, ya ? bapak mau langsung ke rumah Habib Atho’,

“Iya, pak” jawab sang menantu, paham maksudnya.

Tidak selang lama, tampak sebagian sepuh pergi ke rumah Habib Atho’, bareng skalian.

Memang rutin begitu setiap malam senin, dulu Akoe juga sudah bertanya perihal ini,

ke Mang Asep, katanya disana beliau-beliau mengaji lagi, semacam pengajian khusus sepuh.

Bayangan Akoe, pasti kajian fiqih juga untuk tingkatan professor,

ternyata kesimpulannya ga kena.

Maka Akoe pun manteng di pelataran Mesjid, memutar tasbih, rasanya lagi pengen dzikir,

sedang ingin lebih dari biasanya, lagian tanggung, nanti baliknya menjelang mertua

pulang dari pengajian sepuh.

Biasanya sekitar pukul sebelas malam, maka Akoe yang sedang resah ini lanjut

melantunkan La Ilaha Illalloh didalam hati, sambil terus mengirim Tanya

kepada Yang Punya, siapa tahu datang jawaban dari-Nya.

Namun hingga akhirnya dia pulang, yang diharap itu tak kunjung jua menjelang.

Pagi ba’da sholat subuh, Akoe berbincang dengan mertua di ruang tamu, obrolan pagi

yang ngalor ngidul itu, ditemani kopi panas, lalu dia iseng bertanya, “Pak kalau dirumah

Habib Atho’, ngaji apa sih ?”

“Wah susah itu,” jawab mertua sambil menggeleng-geleng pelan.

“Susah gimana ?”

“Yaaa, susah saja ilmunya Habib Atho’, bapak juga nggak sanggup.”

“Gimana itu, pak ?” kejar Akoe penasaran.

“Alaaah, kamu nggak bakal bisa,” sanggah mertua kesayangan ini.

Akoe meringis, “Bisa nggak bisa, kan mesti tahu dulu, pak. Gimana bisa tahu susah

apa nggak susah, kalau nggak tahu ?”

“Ah, kamu ini. Ilmunya Habib Atho’ itu sepertinya gampang, tapi susah,

beneran susahnya, bapak sudah coba dari dulu, sampai sekarang nggak bisa bisa.”

“oo, kayak apa itu, pak ?” Akoe terus mengejar, soalnya makin penasaran.

Kok bias mertuanya yang hafidz, hafal al-Qur’an, dan jago kitab gundul berkata susah ?

Susah yang seperti apa ini ?

“Gimana, yaa ? intinya, ilmu Habib Atho’ itu adalah kita nggak boleh lupa

kepada Alloh sekejap pun, harus ingat Alloh terus, langgeng ingatannya,

dalam keadaan apapun, seperti bunyi ‘ngeeeengg..’ yang nggak terputus,

kalau dibunyikan, tapi nggak ada bunyinya begitu lho, sekedar ibarat.”

Hah ?! Akoe tersentak kaget, kaget sekali, tapi dia masih punya sadar diri untuk tidak

memperlihatkan keterkejutannya yang menyengat ini.

Sambil terus mendengarkan penjelasan mertua tentang ilmunya Habib Atho’

sekuat tenaga dua menenangkan diri, tampaknya berhasil, sang mertua tidak

menyadari keterpanaan menantunya.

Padahal, tubuh Akoe nyata bergetar pelan, keringat dingin terasa merembes

disekitar tengkuk, dan napasnya pun ngos-ngosan seolah usai lari pagi.

“Seperti itulah, ilmunya Habib Atho’ itu ilmu tua, tauhid murni,

untuk itu orang harus dibai’at dulu, harus disumpah dulu atas nama Alloh,

nggak boleh sembarangan, sebab jelas ini bukan ilmu sembarangan,

dan bukan untuk sembarangan orang.

Hanya pewarisnya yang sanggup menembus, yang bukan, mungkin sekedar sampai

kulitnya saja, kulitnya pun sudah ampun-ampunan itu, kalau bias sampai segitu,

sudah terhitung bagus.” Ujar sang mertua pelan.

Akoe mengangguk-angguk diam, terus mengendalikan diri, susah nian rasanya

membuka mulut, seolhah-olah bibirnya direkat lem keras.

Untungnya muncul si Wulan yang sudah cantik sehabis dimandikan dan didandani

kuncir dua oleh mamanya, biasanya mau dioper ke kakeknya untuk diajak

jalan-jalan pagi keliling kampong.

Maka tanpa ‘babibu’ lagi, sang kakek segera menyambar cucunya yang sudah siap. Jalan-jalan pagi bareng cucu, memang salah satu kegiatan rutin yang disukai mertua,

apalagi sang cucu ini kan geulis pisan, seperti mamanya, layak dipamerkan kepada

mereka yang dijumpainya di jalan, atau diadu dengan cucu teman-temannya,

cucu para kakek yang lain, biasa..aduan nyanyi, aduan jogged,..atau sekadar dijajarkan

untuk dinilai cakep cantiknya,…mungkin orang memang sukanya begitu

kalau sudah menjadi kakek-kakek.

“Kenapa, mas ?” isteri Akoe membuyarkan lamunan suaminya.

“Hem,…!” Akoe menoleh.

“Mas ini lho, kenapa ? kok dari tadi senyum-senyum sendiri sambil keringatan ?”

“oo,…anu.., kamu cantik kalau masih pakai daster, he..he…”

“Ah, gombal…,” sahut sang isteri, seraya beranjak masuk.

Akoe tahu, mantan pacarnya itu tersipu sambil berlalu, soalnya garis senyum di ujung

bibir sang putri jelas terlihat.

Sendirian lagi sekarang, Akoe pun merenung…..

“Habib Atho’ ?,  benarkah ? Habib Atho’ yang senyap itu ? masak sih ?

Tapi, tadi bapak jelas-jelas bilang, ilmunya Habib Atho’ adalah ilmu ingat,

masak beliau bohong ? memangnya, ilmu apa yang kucari selama ini ? itu, kan ?

Maka Akoe pun mendesah, “Alloh….,” sambil merembes air mata.

Siangnya sekitar jam sepuluh, Akoe melesat ke rumah Habib Atho’ tanpa

sepengetahuan mertua, dia disana jumpa Mang Ihin, yang biasa mengiringi Habib.

“Ada apa ?” dia bertanya.

“Habib ada, Mang ?” Akoe balik bertanya.

“Ada,..ada apa ?” Mang Ihin bertanya lagi.

“Saya perlu jumpa dengan beliau.”

“oo, tunggu sebentar disini, mamang tanyakan dulu ke Habib, ya ?”

Akoe mengangguk, duduk menunggu, tidak lama, Mang Ihin muncul

“Ayo,” ajaknya, Akoe mengangguk lalu mengikutinya masuk kedalam rumah

yang terhitung luas ini, setahun berada dikota ini, baru sekarang dia berkunjung

ke rumah Habib, padahal mertuanya adalah kakak kandung isteri Habib.

“Ini kamarnya Habib, kamu ketuk aja sendiri, ya..?”

“Makasih mang,”

Akoe menenangkan diri sejenak, “Bismillah…,” ucapnya dalam hati,

lalu pintu kamar itu dia ketuk pelan, “Assalamu ‘alaykum,..”

“Wa’alaykum salam,” terdengar sahutan dari dalam, “Masuk..”

Akoe pun masuk, terlihat Habib duduk bersila diatas sajadah, tersenyum ke arah nya,

Akoe balas tersenyum, lalu cepat-cepat sungkem.

“he..he…ada apa, menantu haji ?” beliau bertanya.

Akoe meringis dipanggil menantu haji oleh beliau.

“Ada apa ?” Habib berujar lagi.

“Begini, bib,..emm.., apakah habib mengajarkan ilmu untuk bisa ingat terus kepada Alloh .”

“he..he…siapa yang bilang ?”

“Bapak,” jawab Akoe singkat, lalu menceritakan perbincangannya tadi dengan mertua.

“Begitulah, bib,..apakah ini benar ? Tanya Akoe, sambil menatap penuh harap.

Habib tersenyum, “memangnya kenapa ?” beliau balik bertanya.

“Soalnya begini, bib…”Akoe pun menceritakan kisah amanat kakeknya,

sampai ke kisah pencarian guru yang telah lama dilakukan.

Habib tersenyum, “Pelintas Barzakh” gumamnya pelan.

Akoe terkesiap, pelintas barzakh ? bukankah dulu si mbah pernah mengucap ini,

maka dia menatap habib dengan tatapan bulat bundar.

“Kenapa ? beliau bertanya.

“emm,..mbah menitipkan ‘sasmita’ kepada saya, saya diminta membuka itu

kepada siapa yang saya yakini kena dengan patokannya. ..mohon izin…”

maka Akoe pun membuka ‘sasmita’ itu kepada habib, ‘sasmita’ adalah semacam

pertanyaan sandi, yang harus dijawab dengan sandi pula.

Rangkaian puitisasi berbahasa arab pun meluncur dari mulut Akoe bak air mengalir

dari sumbernya, seraya berbalas dengan habib yang rupanya beliau pun tahu.

Akoe pun terkapar ‘ditembak’ habib, bagaimana tidak, jawaban beliau sama persis

dengan yang diberitahukan kakeknya, tepat sampai ke urutan kata-katanya.

‘Sasmita’ ini memang bukan sekadar sepatah kata, melainkan seuntai kalimat

yang harus dijawab dengan kalimat pula.

Lalu tangisnya pun tak tertahankan, diatas silaan kaki beliau. Akoe mencucurkan air mata,

Habib Atho’ ternyata, bukan siapa-siapa, habib yang senyap itu, sering mengirim senyum

Kepadanya, dia kira hanya sekadar senyum, namun kini…,rasa

namun kini…,rasanya bukan,

pastilah itu sebagian tanda, namun Akoe belum mampu menangkapnya,

barulah kini tiba saatnya.

“Sudah,..sudah..” habib menepuk-nepuk pelan pundak tamunya.

Tapi, Akoe lanjut menangis, rasanya, belum hendak berhenti, hingga akhirnya

berhenti sendiri beberapa saat kemudian.

Dia mengangkat wajah, terlihat habib tersenyum, Akoe balas senyum itu dengan

semua tulus yang tersedia, sambil menyusut sisa mutiara air matanya..

“Nah, sekarang bagaimana ? Tanya habib.

“Mohon saya bisa diterima menjadi murid habib.”

Habib mengangguk angguk, “Tentu kamu sudah tahu bahwa perlu dibaiat untuk ini kan ?”

“Iya, bib,..saya siap disumpah atas nama-Nya.”

“Bagus,” Habib kembali manggut-manggut. “Mang Ihin…” ujar beliau pelan.

Akoe bengong, kalau maksudnya memanggil mang ihin, pelan sekali,

apa bisa kedengaran disana ?

“Labaik, bib…”terdengar sahutan nyaring dari arah luar.

Wuh, sampai ternyata, kok bisa ? tapi Akoe tidak hendak tanya-tanya, segan rasanya.

Sebentar kemudia mang ihin muncul, “Na’am bib, ada apa ?”

“Mang tolong siapkan disiapkan pembaiatan “ pinta habib kalem.

Mang ihin tidak langsung menjawab, seperti agak bingung, lalu menatap Akoe

dengan kening berkerut.

“Tolong disiapkan,” pinta habib lagi.

“Na’am bib, sekarang..?”

Habib mengangguk, mang ihin juga ikut mengangguk, lalu beranjak keluar kamar.

Dibatas pintu, dia melirik Akoe, kepalang tanggung, Akoe pun balas meringis,

soalnya mang ihin main lirik-lirikan terus, habib terkekeh pelan, entah untuk apa.

Sambil menunggu penyiapan yang dilakukan ihin, tidak ada perbincangan diantara mereka

habib senyap, memutar pelan tasbihnya penuh perasaan, Akoe pun ikutan, tasbihnya

terputar syahdu dijemari tangan kanan.

Dengan mata terpejam, habib kembali tersenyum, entah kepada siapa atau karena apa.

Beberapa saat kemudian mang ihin masuk mebawa tungku bara kecil, lalu keluar lagi

Sebentar, kembalinya membawa al-Qur’an dan sebuah kitab kecil bersampul coklat

sekalian dengan sekotak buhur. “Kholas, bib..” ujarnya.

“Syukron,..antum disini, jadi saksi” pinta habib, sambil memejamkan mata.

Mang ihin mengangguk, habib membuka matanya, menghela napas, lalu meminta

Akoe maju mendekat.

“Raden Mas Akoe Sinten Nyono,..kamu siap ? beliau bertanya kepada calon muridnya.

“Na’am, siap bib.”

Habib mengangguk angguk, “Tafadhol,..ayo mang..”

Mang ihin mengangguk, lalu bergeser kebelakang Akoe, dengan posisi berlutut,

dia memegangi al-Qur’an diatas kepala sang calon murid.

“A’uudzubillahi minasy syaithoonir rojiim, bismillaahir rohmaanir rohiim.

anakku, antum ikuti semua kata-kata ana, ya..” pinta habib.

“Iya bib”

Habib meraih tangan kanan Akoe, jempolnya dipegang dengan agak ditekan

seperti waktu ijab Kabul nikah.

“Astaghfirullooh, innahu kaana ghoffaaroo….., ucap habib memulai sumpah suci itu.

Raden Mas Akoe pun mengikuti.

Maka, prosesi pembaiatan inipun dilaksanakan…

Jiwa Akoe bergetar saat mengikuti ucapan sumpah suci yang dipandu habib,

bagaimana tidak, ..dia bersumpah atas nama-Nya, dibawah kitab suci-Nya,

dari kalimat-kalimat yang dia ucapkan, Akoe sadar bahwa ini adalah sumpah

langsung kepada-Nya, habib bertindak hanya syariatnya saja, sejatinya, bukan

perantara dirinya dengan Tuhan. Ini, “Siaran Langsung”.

“Demikian aku bersumpah kepada-Mu.” Ucap habib

“Demikian aku bersumpah kepada-Mu…” Akoe mengikuti

“Laknat-Mu langsung kepadaku, jika aku melanggar sumpah ini” ucap habib lagi.

“Laknat-Mu langsung kepadaku, jika aku melanggar sumpah ini…..”

Seerrr, darahnya mendesir saat mengucap kalimat ‘mengerikan’ itu, sekiranya terselip

niat main-main, siapa yang tidak ngeri ? orang atheis sekalipun pasti jerih

dilubuk batinnya, walau lahiriyahnya mampu berakting tidak.

“Alhamdulillah.” Ucap habib.

“Alhamdulillah….”sahut Akoe, sambil memejamkan mata.

Lalu habib menutup baiat ini dengan seuntai do’a yang terdengar asing di telinga Akoe,

selama ini,dia belum pernah mendengarnya, penekanan berulang pada kata ‘Ya Alloh,

Ya Rohman, Ya Rohim ’ dalam bait-bait do’a ini, benar-benar menggetarkan hati.

Usai itu, habib member waktu sejenak kepada Akoe untuk mengendalikan dirinya,

Akoe menundukkan kepala, menghela napas berkali-kali untuk meredakan gejolak jiwa

yang  serasa habis dikucek tangan raksasa ini.

“Bagaimana,..sudah tenang..?” Tanya beliau sesaat kemudian.

“Belum, bib..sebentar..” jawab Akoe sambil masih ngos-ngosan.

Habib mesem, lalu memperpanjang jatah penenangan, sampai benar-benar terlihat tenang.

“Sudah mang,..terima kasih, tolong diberesin ini.“ pinta habib ke mang ihin.

Mang ihin lalu mengemasi perkakas pembaiatan itu.

“Terima kasih mang.” Ucap Akoe saat mang ihin hendak beranjak.

“Sama-sama” balasnya, mengirim senyum, bukan lirikan maut lagi.

Sepeninggal mang ihin, dalam keadaan kamar tertutup rapat, habib berwejang,

“Raden Mas Akoe Sinten Nyono, sekarang antum adalah manusia yang berbaiat

kepada Alloh, antum telah menyatakan sumpah kepada-Nya, siap untuk menempuh

perjalanan ruhaniah menuju sifat kesempurnaan, al-Insanul Kamil, sungguh bukan

perjuangan yang mudah, tapi tidak lanta berarti mustahil.

Buktinya, ada,..untuk itu, antum akan menerima tiga rahasia semesta yang sangat

Terlarang dibuka kepada siapapun yang belum berbaiat, berlaku untuk siapapun

yang belum bersumpah kepada-Nya, siapapun adalah siapapun, tanpa pandang kecuali,

apakah antum siap…mengemban ini ….?

“Siap bib,: jawab Akoe mantap, memang mantap rasa hatinya.

Habib tersenyum, “Baiklah, mendekatlah kemari…”

Akoe mendekat, habib meminta terus mendekat sampai ‘ketemu dengkul’.

sama persis seperti saat waktu si mbah dulu.

Diawali ucapan, “Alloh,…….(rahasia nih ye…) beliau membisikkan ketiga rahasia

itu ketelinga kanan Akoe, sekali jalan saja, tidak ada siaran ulangan, tapi jelas bagi Akoe.

Apa yang dibukakan oleh habib barusan terekam olehnya, walau susunan kalimatnya

berbahasa puitis, bersimbol-simbol, rada-rada abstrak.

Akoe memang tidak langsung paham makna simbolis yang ada, tapi dia merekamnyadengan baik dalam benak, aneh juga terasa gampang baginya menghafal kalimat puisi itu,

sekali dengar langsung nempel, hafalnya lho..bukan mengertinya..

ini dulu, pahamnya nanti dikejar sambil jalan.

Sumber di ambil dari :https://thoriqohalfisbuqi.wordpress.com/
Ila ruhi Mas Andi Bombang....Al-Fatiha...



No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...