Wednesday, July 19, 2017

17. Raden Mas Akoe Sinten Nyono ; “Ngawulang Umat”~3.

Raden Mas Akoe mengangguk-angguk memahami apa yang dinamakan Rasaning Alloh.
“Dengungmu ini karena sudah sampai pada rasanya, maka tidak akan hilang barang sekejap pun,
sedang apapun kamu, dalam keadaan apapun kamu, tetap ada. Tasbih tunggal ini menempatkanmu
pada keadaan tidak mampu melupakan-Nya, kenapa..? sebab bukan lagi kamu yang berupaya
mengingat-Nya, melainkan Dia yang mengingatmu,..kalau Dia mengingatmu,..bagaimana
akan terlepas…? Tidak akan,..terus ber-Dengung Agung hingga akhir masamu kelak,
inilah Adzkurkum dalam taraf kesejatiannya, diingat oleh-Nya,
sekarang ini dengungmu ada kan…?”
“Iya Bib, terasa sekali…”
“Saat sakaratul maut pun, kesucian azalimu, membawamu melebur bersama ‘Rasaning Alloh’
yang dengan itu sampailah kamu kepada-Nya. Sebagaimana Firman Alloh dalam sekian
banyak ayat suci Al Qur’an, “Kembalilah kepada-Ku”, kepada-Ku kata Alloh
bukan kepada yang lain, apapun yang lain itu.
Raden Mas Alkoe menghela napas panjang.
“Kalau tidak salah dulu kita sudah penah membahas Asmaning Alloh  kan,..?”
Habib Atho’ kembali bertanya.
Raden Mas mengangguk, “Hakikat ‘adam Asmaning Alloh .”
“Nah yang ini adalah hakikatnya Hakikat ‘adam Asmaning Alloh tadi.”
“Lebih dalam ya bib,…?”
Habib mengangguk, “Martabat rasa melebihi martabat nama, martabat rasa setingkat
martabat sifat, misalkan dirimu sebagai zat, maka adakah sifatmu..?”
“Iya bib..”
“ada namamu juga kan..”
“Iya bib..”
“Nah ditinjau dari dirimu sebagai zat, dekat mana sifat dengan nama…?”
“Sifat,..”
“Itulah sifat tidak lepas dari zatnya, dimana ada zat disitulah ada sifatnya, kalau nama,…
bisa saja namamu terdengar disana, namun zatmu tidak sedang disana, tapi ini sekedar
gambaran lho…bukan keadaan yang sebenarnya bagi Dzatulloh, sebab segalanya Dia.
Semua ini hanyalah Dzat-Nya, kembali kepada-Nya, kesimpulannya,..Dia..ya hulu..ya..muaranya.”
Raden kembali mengangguk.
“Adakah hal lain yang hendak kamu tanyakan ?” Habib mulai bertanya lagi.
“Sudah habis ceritanya bib,..” jawab sang murid.
“He..he..he..” sang guru pun tertawa pelan.
“Tapi,…satu lagi deh,….terakhir,…” menyelak Raden.
Habib pun kembali tertawa, “Silahkan…”
“Apa maksudnya nanggung Dun-ya ?” Raden menatap gurunya, yakin ini hanyalah
istilah, tapi apa maknanya ? daripada penasaran……
“Wah berat ini, he..he..he.., harus dengan rasa juga, dibatas pengertian, setiap ulama…
orang yang berilmu pada hakikatnya diberi tanggungan untuk menjaga amanah dunia,
itulah mengapa mereka ditinggikan beberapa derajat dari yang lain, dengan ilmunya,…
maka ilmu atau pengetahuan itu bukanlah barang gratisan, he..he..ada pertanggung
jawabannya kelak kepada Yang Memberi, semua ilmu pada dasarnya harus bisa membawa
dunia dan seisinya ini kembali kepada-Nya, begitu gambaran sederhananya.”
“Semua ilmu ? kalau ilmu-ilmu yang lain itu…?”
“Tidak ada ilmu yang lain-lain, pada hakikatnya semua ilmu adalah satu, seolahnya saja
yang terpecah-pecah, pengetahuan apapun itu, jika dibaca dengan iman, maka akan kembali
‘satu’ kepada-Nya, sebab Dial ah Sang Maha Ilmu, Maha Berpengetahuan, semua ilmu ini
yang lurus maupun yang bengkok, milik-Nya, kata siapa milik malaikat ? kata siapa milik iblis ?
kata siapa milik kita ? bagaimana bisa dikata milik mereka, kalau bahkan mereka itu pun
milik-Nya bukan,….?”
Raden Mas tercekat,..benar !
“Tapi,..bib,..kan ada ilmu yang menyesatkan ?”
“Nah ini dia,..bukan ilmunya, pengetahuan tidak kena salah, yang salah orangnya, yang disebut
ilmu agama sekalipun, kalau salah orang, katakanlah kurang imannya,..jadinya menyesatkan juga,
baik bagi dirinya maupun bagi orang lain yang mengikutinya, Walaa tasytaruu
bi ‘abdillaahi syamanan qoliilaa bukankah telah jelas ?
Silahkan dilihat kejadiannya disekitar kita,….”
Raden Mas Akoe terpekur.

Walaa tasytaruu bi ‘abdillaahi syamanan qoliilaa, innamaa ‘indalloohi huwa khoyrul
lakum inkuntum ta’lamuun.
Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan
Alloh dengan harga yang murah, sesungguhnya apa yang ada disisi Alloh itulah yang lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. An Nahl :95)

“Setiap percikan ilmu, turun dengan harganya, dengan perjanjiannya, jangan sombong
menerimanya, merasa itu miliknya, semata-mata itu hasil kerja kerasnya, lalu merasa berhak
mempergunakan sekehendaknya, ingat ada perjanjiannya, ada bentuk pertanggung
jawabannya kelak, Alaysalloohu bi ahkamil haakimiin bukankah Alloh
Hakim yang seadil-adilnya ? tidak luput sebiji dzarrah pun….”
Raden Mas mengangkat wajah memandang gurunya.
Habib tersenyum, “Jangan khawatir dan jangan bersedih hati, hanya diminta mengembalikan
semua akuan diri kepada-Nya, itu saja,…he…he…..”
Raden mengangguk-angguk tegang.
“Ayo senyum lagi, he..he..he.. dikasih ilmu sama Alloh kok malah pucat.”
Habib mencandai muridnya, menenangkannya.
Maka Raden pun mesem sambil garuk-garuk kepala.
Sejenak Habib membawa muridnya ‘turun gunung’, ngobrol ringan dulu,
memberi kesempatan bagi Raden menenangkan diri, usai tesengat ayat akhir surat At Tin tadi,
tertawalah beliau mendengar kisah muridnya yang dikerjain Mang Ihin saat menuju tempat
Ajengan Sanusi, “Macam-macam saja Ihin, gimana kalau orang jadi celaka ?”
Ujarnya disela tawa.
“Nanti itu diminta pertanggung jawabannya nggak bib….?”
“He..he..he..” mereka pun tertawa-tawa lagi pelan saja.
Setelah dirasa cukup, Habib pun kembali mengajak muridnya ‘naik-naik kepuncak gunung’
balik ke level perbincangan kelas berat tadi.
“Anakku, tampaknya telah tiba saatnya bagi saya untuk melepaskanmu, syariatnya tugas saya
Sebagai pe,bombing ruhaniahmu telah dicukupkan, kamu sudah punya taraf keimanan
Haqqul Yaqin kepada-Nya, setiap pembimbing ruhaniah hanya ditugaskan mengantar
manusia sampai gerbang makrifat pertama, selanjutnya,…Dia langsung yang akan
membimbing menuju-Nya.”
Raden Mas Akoe tercekat, “Maksudnya gimana bib,…?”
“Syariatnya tugas saya sudah selesai, lanjutkan perjalananmu atas bimbingan-Nya, Dial ah
Sang Maha Mursyid, Dial ah Sang Maha Pembimbing, nanti amu akan paham sendiri, bagaimananya.
Jangan dipertanyakan sekarang, sungguh ini tidak bisa dijelaskan, bahkan dengan isyarat,…
Aqrobu ilayhi min hablil wariid itu, bukankah telah kamu rasakan
dengan sebenar-benarnya…?”
Raden Mas mengangguk mantap, demikian kebenaran adanya.
“Nah itulah Dia….”
Wa laqod kholaqnal insaana wa na’lamu maa yuwaswisu bihii nafsuh,
wa nahnu aqrobu ilayhi min hablil wariid, dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat lehernya. (QS. Qoof :16)
Hening sejenak.
“Hadits Nabi, Awwalu diini makrifatulloh, awal beragama adalah mengenal Alloh,
secara hakikat demikianlah, dibatas akal pun bisa dipahami, tanpa mengenal-Nya, lantas
menyembah apa ? namun ini dalam tataran hakikat, janganlah kamu memaksakan pengertian
ini kepada mereka yang tidak membutuhkannya, sebab zholim hukumnya, tapi jangan juga
ditutupi dari mereka yang benar-benar membutuhkannya, sama zholim juga.
Biarlah Alloh yang menentukan siapa diantara hamba-Nya yang berwaris ‘arif
dan yang ‘abid’, siapa yang ahli makrifat, siapa yang ahli ibadah,
kedua golongan ini adalah hamba-Nya, pada tingkatan masing-masing.”
Raden Mas Akoe kembali mengangguk.
“Makrifatulloh itu sendiri berlapis-lapis, bertingkat-tingkat, tapi jangan dibayangkan macam
lapisan-lapisan yang berderet ya ? misalnya kamu melihat satu titik cahaya dari sini,
maka benar jika dikatakan bahwa kamu telah makrifat kepada titik cahaya itu dari posisimu,
lalu anggaplah kamu berjalan mendekat kearah titik cahaya itu, pada setiap kedekatan
yang baru, ada tingkatan makrifat lagi bukan..? yang lebih dekat disbanding sebelumnya..”
Raden Mas melongo.
Habib tersenyum, “Seperti itulah gambarannya, ingat ini sekedar gambaran,
hingga pada suatu taraf jarakmu dengan titik cahaya tadi telah sedemikian dekatnya,
lalu…tiba-tiba kamu telah tiada, tenggelam bersama lautan…”Beliau menatap syahdu
muridnya, “Bisakah ini dipahami..?”
Raden menghela napas, “Bisa  bib, jelas sekali.”
Bismillaahi wa min bismillaaah, laa ilaha illallooh..…” desah Habib.
“Apakah kamu hafal surat At-Taubah ayat dua puluh ?”
“Yang gimana pertamanya bib,…?”
Habib pun melantunkan bagian awal ayat itu, lalu Raden menyambungnya, Alhamdulillah,
Alloh telah memudahkan baginya untuk menghafal ayat-ayat suci Al Qur’an,
berikut terjemahannya, walau tidak sampai taraf hafidz.

Alladziina  aamanuu  wa  haajaruu  wa  jaahaduu  fii  sabiilillaahi  bi-amwaalihim
wa  anfusihim    a’zhomu  darojatan  ‘indalloohi,  wa  ulaa’ika  humul  faa’izuun.
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Alloh dengan harta benda
dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya disisi Alloh, dan itulah orang-orang
yang mendapat kemenangan. (QS. At-Taubah : 20)

“Nah diayat tadi Alloh telah menjelaskan hubungan antara iman, hijrah dan jihad,
sebelum hijrah dan jihad yang harus ada imannya dulu, jika iman sudah terbentuk,
secara alamiah seseorang akan berpindah atau berhijrah.
Hanya banyak yang memaknai hijrah ini secara lahiriah saja, berpindah dari satu tempat
ke tempat yang lain, macam pindahan rumah saja.” Ujar Habib.
Raden menyimak, sekalianpikirannya terbang ke Al Hikam kitab karangan Syekh Ibnu Atho’illah,
disana ada bagian yang membahas soal hijrah.
Habib tersenyum, “Apa kata Syekh Atho’illah tentang ini ?”
Raden kaget sekejap, lalu meringis, sudah maklum atas ‘kesaktian’ gurunya, sudah sering
kejadian tebak tepat macam ini sebelumnya.
“Apa kata beliau ?” Habib bertanya lagi.
“Ehmm…Jangan berhijrah dari satu keadaan ke keadaan lain, sebab kelakuan itu seperti
Keledai penggilingan.” Jawab Raden, lanjut nyengir.
“He..he..he….mestinya gimana ?”
Berhijrahlah dari suatu keadaan ke yang bukan keadaan.”
“Nah itu baru aslinya, kamu paham yang dimaksud beliau dengan ungkapan
yang bukan keadaan tadi ?”
Raden mengangguk.
“Apa…?”
“Apa lagi ? Adakah yang lainnya..?”
Maka Habib pun kembali terkekeh, sang murid ikutan….
“Hijrah selalu bersama jaahaduu fii sabiilillaah nya, tidak ada makna hijrah tanpa
jihad kecuali dengan fii sabiilillaah- nya, kalau tanpa fii sabiilillaah, namanya
bukan jihad, itu sekedar kerusuhan duniawi saja, perang rebutan harta, tahta atau wanita,
tidak lebih.” Lanjut sang guru.
Raden menyimak.
“Jadi nyatalah bahwa aamanuu, haajaruu, dan jaahaduu fii sabiilillaah,
adalah satu kesatuan syarat, iman, hijrah dan jihad tidak terpisahkan.
Selanjutnya akan ada pengorbanan dengan harta benda atau bahkan diri pelaksananya,
tidak mudah, bukan…? Kata siapa beribadah itu gampang ?” habib tersenyum.
Raden meringis garuk-garuk kepala.
“Tapi jangan khawatir, sebab Alloh akan melimpahkan ikhlas kepada para pejuang-Nya,
mereka yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan-Nya, dijamin ikhlas oleh-Nya,
walau katakanlah harta bendanya habis, atau mati syahid sekalipun, ikhlas ini bukan hal
sembarangan, bukan cerita ikhlas-ikhlasan, manusia tidak akan bisa ikhlas tanpa diberi haknya,
ikhlas adalah hak Alloh, bukan hak makhluk, janganlah kamu berkata ikhlas,
jangan kamu berkata sabar, dan jangan kamu berkata iman, tanpa makrifatullooh.
Batil ! demikian diwejangkan oleh Sulthon Awliya Syekh muhyiddin Abdul Qodir Jaylani.”
tutur Habib lebih lanjut.
 Raden menghela napas, menunduk, lalu mengangguk-angguk.
“Siapa tahu….” Ujar Habib, “Siapa tahu garis hidupmu mirip-mirip saya…”
Raden mengangkat wajah memandang gurunya.
“Tua tua begini, saya kan putra mahkota he..he..he…”Sang guru terkekeh.
Maka sang murid pun tersenyum….
Jamak diketahui oleh sebagian muridnya, bahwa habib adalah seorang pangeran,
bahkan bukan sembarang pangeran karena beliau berkedudukan putra mahkota, bakal pewaris
tahta sebuah kerajaan yang kini masuk wilayah Kalimantan Barat, saat mudanya beliau
menanggalkan hak singgasananya itu atas nama ‘hijrah’.
Melintasi daratan, melanglang lautan, hingga tertambat di desa ini, yang entah sebelah mana
kerajaannya, tidak pernah disandang, namun para murid seniornya tahu kalau beliau bergelar
‘Gusti’ yang sama dengan ‘Raden’ kalau di kerajaan jawa.
Ada surat keterangan asli silsilahnya, yang dibuat oleh penguasa kerajaan saat itu,
kabarnya sekian puluh tahun dicari-cari keberadaan putra mahkota yang ‘hilang’ ini,
sebelum akhirnya ‘kapanggih’ di desa ini, tidak sengaja ketemunya, soalnya Habib tidak mau
ngontak kesana, cuek saja, Raden tahu kisah ini dari sang mertua, sekalian sang mertua
memperlihatkan kopi surat silsilah itu….
Masjid-masjid mulai ‘bangun’ menjelang subuh, Habib menatap syahdu muridnya,
“Mari, kamu harus berbai’at Talqin.” ujarnya.
“Bai’at apa itu bib..?”
“Bai’at penutup, dengan itu maka saya melepaskanmu atas nama-Nya,
Ibarat sumpah wisudawan “ Habib tersenyum
Raden manggut-manggut paham.
Lalu bai’at talqin pun dilaksanakan, tiga gemuruh Guntur mengiringi bai’at ini, diawal, ditengah
dan diujungnya, kebetulan atau bukan, demikian adanya.
Usai itu Habib menyerahkan bungkusan yang sedari awal ada disebelahnya.
“Ini untukmu, bukalah..” ujarnya.
Raden menerima dan membukanya, ternyata sepotong pakaian dan sehelai sarung,
jelas bukan baru karena tampak sudah agak lusuh namun bersih, kelihatannya perkakas tua.
“Dulu, baju dan sarung itu menemani perjalanan ruhani saya, usianya jelas lebih tua dari usiamu, terimalah sebagai tanda ijazah…..sekalian ini….” Habib menyerahkan sebuah buku kecil
bersampul coklat, “Ini adalah petunjuk tata cara bai’at, kelak jika ada manusia yang butuh
kebenaran datang kepadamu, bai’at saja, jangan takut dan jangan ragu, kalau ada yang
meragukanmu, ajak dia bersumpah dibawah Qur’an, apa yang kamu pegang ini adalah
kebenaran, nash nya (Sanad- nya) jelas hingga ke Rosululloh Muhammad SAW,
melalui Syekh………, bukan ilmu tanpa dasar.”
Raden menghela napas lalu mengangguk-angguk takzim.
“Jangan sengaja dicari, yang ada hak akan datang dengan sendirinya, kamu tidak perlu
memberi  tahu orang-orang tentang ini, pasang pengumuman atau semacamnya,
jangan,…. zholim itu. Ini tataran hakikat, melampaui syariat, bagian ilmu mu ini menembus
batas peribadatan, bagianmu adalah jalan kesempurnaan, jalan menuju Al-Insanul Kamil,
bukan bahasan pahala, dosa, surga, dan neraka. Maka memang bukan untuk semua,
hanya bagi mereka yang diberi hak oleh-Nya,…paham…?”
“Iya, bib..”
“Jangan tinggalkan syariat, melampaui batas syariat bukan bermakna meninggalkannya,
kerjakan syariat dengan hakikatnya, islam adalah utuh meliputi lahir dan batin.
Udkhuluu fis silmi kaaffah, jangan setengah-setengah, kafah yang sesungguhnya
bukan sekedar mengenai hukum zohir  dan tata caranya saja.”
Raden kembali mengangguk-angguk.

Yaa ayyuhal ladziina aamanuud khuluu fis silmi kaffah wa laaa tattabi’uu
Khuthuwaatisy syaythoon innahuu akum ‘aduwwum mubiin.
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhannya,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan, sesungguhnya setan itu musuh
yang nyata bagimu. (QS. Al Baqoroh :208)

“Ooo iya, satu lagi…hampir kelupaan…” Habib tersenyum.
“dengungmu itu adalah Sirr as Sirr, Rahasia dari Rahasia, suatu martabat dzikir
sangat rahasia, hanya Alloh dan rasa sejati diri hamba-Nya yang terlibat disana.
hamba-Nya yang diberi karunia atas ini oleh-Nya.
Rasa sejati diri adalah ruhnya ruh, inti sejati diri manusia, bahkan Jibril AS tidak berhak
menembus tabir ini.”
Raden lanjut mengangguk-angguk.
Diriwayatkan ketika Nabi Muhammad SAW bersama malaikat Jibril AS mi’roj,
Jibril tidak diizinkan naik melebihi langit ke tujuh, ia berkata :
“Sampai di batas ini saja aku menemanimu, wahai Muhammad, jika bergerak selangkah lagi
aku akan hangus.” Kemudian Nabi melanjutkan perjalanannya seorang diri.
Demikianlah,…..hingga kemudian Raden mohon diri, usai mereka menunaikan sholat subuh
berjama’ah di ruangan itu, saat melangkahkan kaki meninggalkan rumah Habib,
segumpal guruh bergemuruh syahdu, lalu satu lagi menggema saat tibanya dia di rumah.
Wa yusabbihuur Ro’du bi hamdihi  demikian nyata,
mengiringi  dengung  Unaning ning anung nan suci ini…

Tiga bulan berselang, Habib berpulang ke Rahmatulloh, tidak sakit menerus,
beliau sembuh selepas malam itu, hingga tiga harian menjelang ajalnya.
Di penghujung waktu Habib kembali sakit serupa lalu, diiringi khusyuk melantunkan Asma-Nya,
“Alloh,….Alloh,…Alloh….” Beliau pun wafat dengan tenang,
Senyum terlihat pada garis bibirnya. Selamat jalan Syaikhuna…….


GURU SEJATI         SANG KYAI         CAHAYA SEJATI          WALI PAIDI 

diambil dari http://nasehatabah.blogspot.co.id
Ila Ruhi Mas Andi Bombang..Al-Fatiha....

1 comment:

anna widodo said...

Salam
Raden , perkenalkan saya Teguh dari Surabaya . Awal saya tahu tulisan Raden dari Istri saya. Bagi kami tulisan Raden sangat mengena sekali. Kalau boleh dan diijinkan , bolehkah saya bersilaturhmi ke Raden ?
Ini nomor telp dan wa saya 082225210646.
Maturnuwun
Salam

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...