Sunday, July 16, 2017

1. RADEN MAS AKOE SINTEN NYONO belajar ngaji.


Benar, yang penting memang hatinya…,Mbah Kaspo menjawab pertanyaan sang cucu tentang “segumpal daging”. Kalau itu apik, kebawa bagus nilai perbuatannya, kalau jelek, ya kebawa jelek, walau mungkin kelihatannya bagus.

Begitulah pengarahan sang kakek, Akoe belajar membaca dan mengaji al-Qur’an, belajar bacanya di mesjid diajari ustadz subki, kalau ngajinya, dibimbing langsung oleh sang kakek.

Mbah Kaspo memberi cucunya itu kitab terjemahan al-Qur’an, Akoe senang, sebab ada bahasa indonesianya. Jadi, bisa lebih mudah dipahami, bentuknya juga bagus, kecil ringkas semodel injil, sang kakek juga memberinya buku kumpulan hadits sebagai pelengkap.

Sejak itu, sedikit demi sedikit, Mbah Kaspo mulai member wejangan-wejangan islam ke cucunya, awalnya Akoe belum menyadari, tapi lama-lama terasa juga kalau focus penyampaian kakeknya berbeda dengan yang disampaikan ustadz subki, pak ustadz banyak membahas tata cara, kalau kakeknya lebih kepada hal-hal yang bersifat batiniah, ustadz subki membahas matematika, mbah kaspo mengupas sastra. “Kok beda yam bah ?” Akoe pun bertanya, si mbahe’ tersenyum, “Tidak beda, dua-duanya ajaran islam.” Yang diajarkan ustadz, disebut syariat, yang ini namanya hakikat, tapi baru teorinya, belum jadi yang dimaksud…ehmmm apa ya ? belum hidup gitu lah. Maksudnya gimana ? he..he..ya begitulah, syariat itu lahiriyahnya islam, peraturan, tata cara, hokum, dalil, dan semua yang bersifat zhohir. Cara sholat, caranya puasa, caranya zakat, caranya haji, dan yang lain, kalau hakikat, bagian batiniyahnya, dalamannya syariat, urusan hati.

Akoe memandang kakeknya, agak terpana, urusan hati ternyata…

Tanpa mengabaikan aspek syariat, kesananya Akoe lebih tertarik urusan hati, soalnya, pertamanya juga urusan hati yang menjadi alas an baginya untuk belajar ngaji.

Kebetulan kakeknya penggemar tirakat, jarang tidur malam, maka Akoe mengejar pemahaman “urusan hati” ini hamper setiap malam, si mbah tak keberatan, malahan senang.

“Biarpun seorang hafal dalil-dalil al-Qur’an atau hadits sekalian fasih berbahasa arab, kalau hatinya kosong, ya tetap saja batil hukumnya, bohong,..si mbah berwejang.

“Kenapa mbah ?” Tanya Akoe.

“Sebab, dia tidak tahu kebenaran hakiki dari dalil-dalil itu.”

“Lho, kok ga tahu ? kan hafal ?”

“He..he…, beda sekali hafal dengan tahu itu…le..**kalau kamu hafal, belum tentu tahu, kalau kamu tahu, pasti hafal** hafal disini jangan dilihat seperti hafalan biasa, ya ? Hafal, maknanya paham atau mengerti, karena kamu mengerti, maka kamu tahu, karena kamu tahu, pastinya mengerti, seperti itu…

Bingung, nggak…?

Kayak bolak balik ya, mbah..?

Memang bolak balik, itu juga, he..he..

Kening Akoe berkerut, apa yang itu-itu juga..? Lha kalau yang nggak tahu ? yang Cuma hafal saja, gimana..? Si Mbah cekikikan lagi. “ Ya nggak bias bolak balik, macet, coba bayangkan, hafal tapi nggak tahu maknanya…, apakah itu ? Judulnya, ya nggak tahu…, tahu apa ? hafalannya ? kata-katanya ? nggak pakai hafal kata-katanya juga nggak apa-apa, tinggal baca saja, khan ada kitabnya ?

Yang lebih penting adalah paham maknanya.”

Akoe menghela napas..

“Memang nggak gampang urusan bolak balik ini, le’…

apalagi kalau sudah lewat bolak baliknya, he..he…., lenyap…”

“Lho, apanya yang lenyap ?”

“Sudah segitu dulu, susah ini, karena aslinya tidak bisa diomongkan,

bukan mbah nggak mau, nggak bisa.”

“Kenapa nggak bisa, mbah..?”

“Ya iyalah, gimana ngomongnya kalau nggak ada yang diomongin ?

Mau ngomong apa..kalau bolak balik…lenyap..? he..he

Akoe pun geleng-geleng kepala, bingung dia…

“sudah pusingnya, sekarang kita bahas bab berpasangan saja ya ?

Soalnya, yang lenyap-lenyapan susah”, si mbah kembali mesem

“Jadi, lahir dan batin mestinya jalan seiring, ya lahirnya, ya batinnya.

Ya syariatnya, ya hakikatnya, jangan dipisah-pisahkan, sebab berpasangan itu sunnatulloh.

Lahir batin, dunia akhirat, siang malam, terang gelap, laki perempuan.

Jangan diributkan, wong begitu maunya Alloh, kanjeng Nabi Muhammad pun jelas-jelas

Mengajarkan syariat dan hakikat, dua-duanya…, tapi, banyak yang belum menyadari ini.

Disangka kanjeng Nabi hanya mengajarkan syariat saja, dipikirnya, islam itu hanya bentuk lahiriyah semata, padahal islam itu luar dalam, ada yang tersurat dan juga tersirat.”(Ilmu Hakikat hanya

diajarkan kepada Kholifatur Rosyidin secara langsung. Red)

Akoe manggut-manggut, terus terang belum paham.

“Dasarnya, ya iman…, iman yang sebenar-benarnya iman, yang lahir dan batin, tidak kena kalau

pakai iman-imanan, iman kata-kata, iman dalil-dalilan, iman akal-akalan.”

Si mbah berujar pelan. “Sebab, iman itu bukan kerjaan mulut, bukan juga kerjaan akal,

iman adalah sesuatu yang benar adanya dan dapat dirasakan dalam ‘sejatining hati’

setiap mukmin, hanya mereka yang mukmin, yang bias memahami hakikat keimanan,

yang belum mukmin, nggak tembus…, tahu nya sekedar iman taklid, paling banter iman dalil,

tidak sampai iman yang hakiki,” lanjut si mbah.

“Apa taklid-taklidan itu itu mbah..?”

“Iman taklid itu, kalau kamu percayanya kepada Gusti Alloh Cuma ikut-ikutan saja,

Ikut-ikutan orang, walau katakanlah orang yang diikuti itu ‘paham agama’.

“ooo, melu-melu kebo yo mbah…?”

“Iya, he..he..he…”

Akoe mengangguk-angguk, belum termasuk iman yang benar ternyata kalau hanya

‘ikut-ikutan kerbau’ saja,..iya juga sih

“Kalau iman dalil, tahu nggak..?” Tanya si mbah.

Akoe menggeleng.

“Iman dalil lebih baik dari yang kebo tadi, tapi tetap belum benar,

iman dalil itu, kalau kamu percaya kepada Gusti Alloh sebatas dalil-dalilnya saja,

ceritanya kamu baca al-Qur’an atau Hadits terus percaya dalil-dalilnya saja, tapi segitu saja.

“ooo masih salah juga…?”

“Ya iya lah…”

“Tapi,  khan memang begitu…,mbah ? Percaya dalilnya dulu, terus dicari…..”

“Nah itu sing bener, he..he..he…masak percaya Gusti Alloh Cuma sampai dalilnya ?

Ya belum benarlah, harus sampai ketemu ‘rasa’ nya, kalau misalnya kue, dalil itu resepnya

Rumusnya bikin kue, bukan kuenya hayo…Kalau resepnya yang dimakan…,

pasti nggak enak,…he..he…(wah gemuyu ae si mbah iki)

Kalau mau kuenya, ya dibikin dulu menurut resp tadi, kalau sudah matang,

baru dimakan,.dapat deh ‘rasa’ nya.

Nah terserah yang me’rasa’kan, enak apa nggak kue itu, yang tidak me’rasa’kan,…

ya dilarang komentar (seperti sekarang yang menghujat kaum sufi .red) karena tidak tahu,

gimana mau tahu, kalau belum me’rasa’kan hayo…? Ngarang aja kali, he…he…

Akoe ikut nyerengeh gemuyu, dirasa rasa, benar juga sih “kue” ini.

“Begitu, le’…iman itu harus sampai seperti yang diibaratkan kue tadi,

namanya iman hakiki lho..bukan iman kitabi…, kalau iman baca buku, ya sama saja

dengan iman dalil tadi, apalagi, kalau cuma katanya orang….,

wah, nggak kepake tuh, dijamin ora payu disana….

“Iman tauhid yang hakiki itu, kalau kamu punya ‘rasa bersama’ dengan Gusti Alloh,

bukan diaku-aku, dan bukan juga artinya jadi Gusti Alloh, ..awas  lho..ya..

tapi, ini benar-benar ‘rasa bersama’ dengan-Nya,…ehm..termasuk yang tidak bisa

diomongin ini, harus dirasakan, kalau belu merasakan, nggak bakal tahu…

biar dihamparkan sampai kepojok dunia juga nggak bakalan tahu.

“Man lam yadzud lam yadri” yang tidak merasakan, tidak tahu.

Akoe terdiam, lalu menguap.

Si mbah tersenyum, “sudah cukup malam ini, kalau kebanyakan jadi kekenyangan

terus bawaannya ngantuk, iya khan..?”

Akoe yang barusan jelas-jelas angop itu membantah,

“Nggak  ah, siapa yang ngantuk..? perasaan, aku masih mau makan kue.”

“Sudah tutup toko kuenya, he…he..ayo tidur sana.”

Akoe nyengir, “Tapi, nanti aku diajarin supaya bisa merasakan rasanya kue tadi ya  mbah..?

“Lha ini kan sedang..? Pelajaran TK nya.”

“Wooo, masak  TK ?”

“he..he..TK juga belum lulus.”

Akoe garuk-garuk kepala, sudah lumayan aneh-aneh kayak gitu,

ternyata belum lulus TK.

Bersambung

Sumber di ambil dari :https://thoriqohalfisbuqi.wordpress.com/
Ila ruhi Mas Andi Bombang....Al-Fatiha...

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...