Monday, July 17, 2017

Sang Guru Sejati (1)

Fatchurrachman Soehari
Sumber:http://www.kompasiana.com


Fatchurrachman Soehari
Fatchurrachman, lahir di Purwokerto 16 Februari 1950, aktif menulis terutama tentang spiritual dan humanisme setelah pensiun tahun 2006, setelah aktif selama 36 tahun di RRI. Selain menulis di blog pribadinya
http://fatchurrachman.blogspot.com
dan blog berbahasa Banyumasan
http://blangkon.kecut.blog.plasa.com
, aktif berceramah tentang spiritualisme, humanisme dan kesetaraan. Tinggal di desa Purwosari, Kecamatan Baturaden, Banyumas.


*******************************************************************


Sang Guru Sejati tak pernah pergi meninggalkan diriku. Aku mencintainya karena aku tahu dia mencintaiku. Maka, apa yang diperintahkannya, selalu aku kerjakan dengan seluruh kemampuan yang ada.



” Temuilah Adam, dan belajarlah kepadanya,” kata Guru Sejatiku.



” Baik, Guru,” sahutku. Kujabat tangannya dan kucium tangan itu.



Sebenarnya agak bingung juga, mengapa Guru Sejatiku memerintahkan aku belajar pada Adam. Tetapi aku yakin, pasti ada sesuatu yang sangat penting dan berguna untuk aku, sehingga dia memerintahkan aku menemui Adam dan belajar kepadanya. Dia – Adam – adalah manusia pertama yang diciptakan Allah. Tidak ada seorang pun di atas bumi ini yang mengingkari kenyataan itu. Barangkali, Darwin, adalah sebuah pengecualian, karena dia berkeyakinan bahwa nenek moyang manusia adalah kera. Tetapi biarlah dia – Darwin – itu puas dengan teorinya.



” Guru,” kataku, ” di mana aku harus bertemu dengan Adam.”



” Ah, kamu,” sahut Guru Sejatiku sambil tersenyum. ” Mengapa pertanyaan bodoh itu selalu kamu ucapkan, Nak ?”



Aku tersipu malu dengan sentilannya yang penuh kasih sayang itu. Guru Sejatiku tidak pernah marah. Walaupun dia menegurku seperti itu, sesungguhnya dia itu amat menyayangiku, agar aku tidak berputar-putar di satu tempat memikirkan sesuatu yang sebenarnya tidak begitu penting. Dia – Guru Sejatiku – memang begitu. Tatapan matanya sejuk. Suaranya lembut mengalir dari mata air yang tak pernah kering. Bening dan segar. Kadang-kadang memang debit airnya naik, tetapi tetap saja air itu jernih. Tidak ada kotoran di dalamnya. Bahkan tidak jarang aku menyauk air itu untuk aku minum karena segar dan dinginnya menguatkan badanku.



Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat ”Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.” (QS 2:30), ayat yang selalu mengingatkan aku pada Adam. Manusia pertama yang diciptakan sendiri oleh Allah dengan tanganNya sendiri.



Ketika aku bertemu dengan Adam, kutanyakan kepadanya, bagaimana rasanya menjadi manusia pertama.



Adam terkekeh. ” Bagaimana aku dapat menceritakannya kepadamu sesuatu yang belum pernah kamu rasakan ?”, sahut Adam. ” Keadaanku waktu itu sangat sulit diungkapkan dengan kata-kata.”



” Kenapa ?”



” Karena memang tidak ada kata-kata yang mampu mewakili gambaran yang aku alami ketika itu. Aku hanya dapat menceritakan kepadamu, keadaanku ketika itu amat jauh berbeda dengan keadaan di dunia ini.”



” Apakah kamu berada di sorga ?”



Adam terkekeh. ” Entahlah.”



” Koq begitu ?”



” Ya, mana mungkin aku mengatakan sesuatu melalui sebuah nama mahluk. Aku ini mahluk dan sorga pun mahluk. Artinya, semua mahluk ada karena diciptakan oleh Allah. Nah, maka aku pun sebenarnya tidak tahu apa nama tempat itu, seandainya Tuhan tidak menyatakan tinggallah kamu di surga ini, dan makanlah makanan-makannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang zalim (QS 2:35). Jadi, jika tempat itu disebut sorga oleh Allah, maka aku pun hanya dapat menirukannya, karena aku tidak mengerti sesuatu sebelum Tuhan mengajarkannya kepadaku.”



” Bagaimana keadaannya ?”



” Sudah aku bilang, keadaan itu sangat sulit diungkapkan dengan kata-kata. Kamu tidak akan mengerti sebelum kamu mengalami.”



” Mengalami sorga ?”



Adam terkekeh. Aku mendesaknya berulang-ulang agar dia menceritakan pengalamannya ketika belum terusir dari sorga. Tetaapi dia tidak menceritakannya.



” Bukannya aku tidak kau menceritakan,” katanya, ” tetapi memang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Bagaimana mungkin diungkapkan dengan kata-kata, sedang dia tidak berada di wilayah kata-kata. Ia berada di wilayah yang tidak tersentuh kata-kata. Ia hanya dapat dirasakan. Bukan untuk diceritakan.”



Akhirnya aku tidak memaksanya lagi. Sebenarnya aku ingin dia menceritakannya supaya aku dapat membandingkan dengan apa yang selalu aku dengar tentang keadaan Adam sebelum Tuhan mengusirnya dari sorga.



” Kamu kelihatan kecewa, Nak ?” tanya Guru Sejatiku.



” Bagaimana tidak kecewa Guru, Adam tidak mau bercerita padaku pengalaman hidupnya sebelum dia terusir dari sorga.”



” Jangan bodoh, Nak,” ujar Guru Sejatiku.



Aku tersentak. Lagi-lagi aku masih terjebak oleh pertanyaan bodoh yang selalu melingkar-lingkar di kepalaku.



” Pertanyaan bodoh seperti itu, hanya akan membuat kamu kecewa, Nak,” sambung Guru Sejatiku. ” Apa perlunya kamu bertanya tentang sorga ? Apa tidak ada yang lebih penting dari sorga ?”



Aku tidak menyahut. Guru Sejatiku pasti memaklumi, telah terlalu lama aku dijejali oleh doktrin tentang sorga, neraka, pahala, siksaan yang akan didapat oleh setiap manusia kelak di akhirat. Dari sejak kecil, dari mulut orangtuaku, kekekku, nenekku, guruku, para kyai, para ustad, para pemimpin agama, selalu dicekokkan doktrin tentang sorga yang hanya akan diperoleh oleh orang-orang yang baik saja. Bahkan ada yang menjejali doktrin bahwa sorga hanyalah milik penganut agama tertentu saja. Ketika doktrin itu semakin kuat tertanam di dalam diriku, maka yang muncul adalah pertanyaan-pertanyaan bodoh. Seakan-akan sorga adalah segala-galanya. Bahkan ada orang yang berani menyalahkan Adam, dengan ujaran, ”coba kalau dulu Adam dan Hawa tidak tergoda oleh rayuan Iblis, pasti kita tidak akan tinggal di dunia yang penuh fitnah ini”.



Celakanya, doktrin tentang sorga itu dihembuskan terus menerus sepanjang waktu, oleh manusia yang sama-sama belum tahu. Ada seorang penceramah agama bercerita tentang sorga lengkap dengan segala pernak-perniknya yang mengesankan seolah-olah dia pernah berada di sana. Atau bercerita tentang neraka dengan segala siksaan yang menyedihkan, seakan-akan dia pernah merasakan siksaan itu.



Entahlah. Tetapi, Adam tidak mengatakan seperti itu. Padahal, dialah manusia yang pernah berada di sana, sebelum akhirnya Tuhan mengirimnya ke dunia karena kebodohan Adam sendiri.



” Karena kebodohanmu sendiri ?” tanyaku.



Adam mengangguk. ” Tuhan sudah menganugerahkan segalanya untuk aku,” katanya.” Tuhan hanya melarang aku satu hal, jangan dekati pohon ini yang akan menyebabkan kamu termasuk orang-orang zalim. Tetapi aku dan isteriku tidak mengindahkan larangan Tuhan. Aku lebih suka mendengarkan kata-kata Iblis, sehingga akhirnya aku harus tinggal di dunia.”



” Kamu pasti sedih karena kehilangan sorga itu,” kataku.



” O tidak,” sahutnya cepat.



” Tidak ?”



” Ya. Aku tidak sedih kehilangan sorga. Aku sedih karena aku harus terpisah dengan Tuhan.”



Aku tersentak. Di mata Adam, sorga itu tidak ada harganya.



” Begitu aku berbuat kesalahan karena melanggar peraturan Tuhan, Dia mengusirku untuk turun ke dunia. Aku sedih, karena itu berarti aku harus berpisah dengan Dia. Padahal Dialah yang telah menciptakan aku, Dia pula yang telah mengaruniakan kasih sayang, Dia pula yang menghidupkan aku, Dia yang memberiku rejeki, Dia yang menganugerahkan segala sesuatu untukku. Dan jangan lupa, Dia pula yang telah memuliakan aku di atas para malaikat.”



Aku melongo.



” Ketika aku masih bersama Tuhan, Dia memberitahu aku ”Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu, lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud”. (QS 7:11). Bukankah itu kehormatan yang luarbiasa. Malaikat menghormatiku ketika aku masih bersama-sama dengan Tuhan.”



” Kenapa bisa begitu ?”



Adam tersenyum memandangku. Aku sungguh tidak sabar ingin mendengarkan jawaban Adam, mengapa Tuhan memerintahkan Malaikat supaya bersujud kepadanya.*****


Bersambung : sang guru sejati 2


No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...