Tuesday, May 17, 2016

Jin di Sidang Kabinet

“Kamu Jin dimemonon lengeng, kamu setan sontoloyo”, Markesot memaki Saimon dengan wajah tertawa sendiri, “Kamu sok tahu, sok terpelajar, sok menyebut-nyebut Pancawara, Sadwara, Saptawara, Padewan, Padangon…tapi setahu-tahu kalian masih lebih tahu manusia yang paling tidak tahu, karena kalian bukan manusia”
“Tapi Tuhan menyaksikan dan para Malaikat mencatat dengan saksama”, jawab Saimon, “bahwa kaum saya lebih apresiatif atas dunia manusia, sementara ummat manusia bersikap negatif kepada saya, hampir selalu merendahkan, menghina, mengutuk. Kalau kami sesekali mencoba bertamu dalam rangka silaturahmi dan bebrayan sesama makhluk Tuhan, Kiai-Kiai manusia selalu datang dengan pikiran kejam, kemudian selalu mengusir kami dan mengutuk-ngutuk kami”
“Apakah saya pernah berlaku seperti itu kepada kalian?”, Markesot bertanya, “Saya selalu bersikap santun kepada Jin”
“Anak-anak buahmu yang sok hebat. Juga umumnya para orang pinter di antara kalian”
“Mereka bermaksud menolong sesama manusia”
“Menolong dari apa?”
“Dari gangguan kalian”
“Kami bertamu baik-baik, bermaksud silaturahmi sebagaimana anjuran Tuhan, tapi kalian manusia yang tidak siap bersilaturahmi, karena kalian bisanya melihat benda-benda, uang, materi, sehingga merasakan kehadiran kami sebagai gangguan. Padahal kami niat bergaul baik-baik sesama hamba Allah, asalkan tidak saling merugikan”
Rupanya Saimon serius memprotes manusia.
***
“Tapi kalian suka bikin manusia pingsan-pingsan, kesurupan, kangslupan, teriak-teriak seperti orang gila”
“Bukan kami yang bikin gila. Kalian manusia yang memang sudah gila. Menyembah materialisme. Tidak berlatih batin. Tidak punya pembiasaan software yang dari Allah. Kalian merasa sudah sangat meningkat tinggi dalam menjalankan Agama, padahal praktiknya kalian sangat menyembah berhala”
“Manusia tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk berhubungan dengan hal-hal yang tidak bisa disentuh oleh panca indera mereka”
“Panca indera?”, Saimon tertawa terpingkal-pingkal, “benar-benar kalian ini penyembah berhala, terlalu kagum kepada yang kasat mata, padahal materialisme sudah berabad-abad yang lalu kami tinggalkan”
“Tapi kan kalian tetap makmum manusia”
“Tidak ada masalah. Muhammad adalah Nabi kami juga. Semua Nabi dan Rasul manusia juga junjungan kami semua. Kami tidak mengunggul-unggulkan harga diri Kaum Jin. Kami sumeleh. Kali ikhlas. Kami rela bermakmum di belakang Rasulullah, karena Allah memang menskenario demikian. Kami tidak melawan kehendak Tuhan, meskipun banyak juga di antara kami yang durhaka kepada Tuhan dan meremehkan para Nabi dan Rasul manusia”
“Tapi jangan lupa sebenarnya banyak juga di antara kalian yang memasuki jiwa manusia dengan maksud untuk mengganggu, unjuk kekuatan, atau mempermainkan”
“Pasti ada yang demikian”, jawab Saimon, “Tapi jumlah Jin kacau seperti itu sangat sedikit, tidak seperti jumlah manusia durhaka yang sangat banyak dan semakin banyak”
***
Markesot menarik tangan Saimon, membawanya duduk di sampingnya di bawah pohon.
“Jin yang baik tidak memamerkan dan menjelentreh-jelentrehkan kebaikannya”, kata Markesot perlahan.
“Ini bukan pameran kebaikan”, jawab Saimon.
“Kebaikan yang dipamerkan”
“Ini diskusi ilmiah”
“Gayamu. Jin kok omong ilmiah-ilmiah”
“Memang daya intelektual Jin dibikin Tuhan kalah dibanding kecendekiawanan manusia. Tetapi justru karena keterbatasan kadar kecerdasan itu yang membuat kaum saya bekerja lebih keras. Sebaliknya manusia, justru karena merasa unggul intelektual, maka mereka cenderung menjadi malas. Akhirnya, maaf-maaf, kalau pencapaiannya kalah dibanding rekannya para Jin”
“Jadi kamu mau diskusi ilmiah sama saya?”
“Bukan di situ empasisnya. Yang pasti kita memerlukan pembabaran data dan fakta apa adanya”
“Data apa dan fakta apa?”
“Sekarang coba bayangkan kalau mayoritas Jin itu nakal dan usil seperti yang sesekali ngangslupi jiwa manusia. Kalau cukup banyak teman-temanku yang seperti itu, kenapa tanggung-tanggung?”
“Maksudmu?”
“Kenapa kami tidak memasuki jiwa Presiden manusia ketika memimpin Sidang Kabinet? Kenapa kami tidak merasuki jiwa Menteri-Menteri dan sebanyak mungkin Pejabat Negara kalian, kemudian kami bikin mulut mereka meneriakkan sendiri jumlah korupsi mereka, niat-niat jahat mereka, sindikasi dan konspirasi mereka? Kenapa tidak kami perbudak jiwa-jiwa para Taipan, para aktivis, para tokoh politik, untuk mempercepat kekacauan kehidupan Negara kalian?”
***
Markesot tersenyum. “Sebenarnya kan kamu tahu bahwa saya pinginnya seperti itu. Maka saya mengambil jarak dari kehidupan manusia sampai ke tepian hutan ini”
Saimon menjawab. “Tapi kami mempertahankan toleransi dan otonomi. Kami tidak mau sejauh itu mencampuri urusan manusia. Bagaimanapun Tuhan menanamkan cinta di dalam jiwa kaum Jin, termasuk kasih sayang kepada ummat manusia. Kami tidak tega”
“Kamu tahu saya menyepi ke sini justru untuk menghitung-hitung kemungkinan membuka peluang seperti itu. Itulah sebabnya kamu datang menemui saya di sini, kan?”, kata Markesot.
“Nggak sih”, jawab Simon, “saya ke sini iseng-iseng saja”
“Bangsat kamu. Saya sangat sedih dan tertekan, kamu iseng”
“Apa yang menekan kamu dan membuatmu sedih”
“Ah, pakai tanya lagi”
“Saya sering mengikuti pembicaraanmu di Patangpuluhan. Kamu sangat sering mengajarkan kepada teman-temanmu bahwa jiwa dan iman manusia lebih besar dan lebih kuat dibanding segala tekanan dan penderitaan”
“Itu kan strategi psikologis di antara sesama manusia untuk saling menguatkan satu sama lain”
“Kamu bilang keadaan dunia tidak boleh menekan jiwa kalian, keadaan Negara tidak boleh menjajah hati kalian….”
Markesot memotong, “Kalian kaum Jin jangan terlalu jauh memasuki wilayah diskusi dengan manusia, karena perspektif dan komprehensi pemahaman kalian tidak mungkin menyamai manusia, karena bagaimanapun kalian tetap bukan manusia”
Saimon juga memotong, “Mindset seperti itu yang membuat diskusi kehidupan manusia jadi selalu mandul…”.

sumber: https://caknun.com

Menjawab Fitnah, Menerima Sunody Abdurrahman

Lebaran hari kedua, rumah Mat Piti ramai didatangi orang. Mereka bukan hanya hendak berlebaran dan bermaaf-maafan, tapi juga meminta kejelasan soal yang mereka sebut sebagai “isu nasional” di kampung: benarkah Romlah dan Cak Dlahom akan dinikahkan, dan kenapa Cak Dlahom menginap di rumah Mat Piti?
Romlah memang kembang kampung. Kecantikan dan kesalehannya tak ada yang menandingi. Perempuan itu juga nyaris tak pernah dekat dengan laki-laki. Beberapa orang termasuk Pak Lurah pernah mencoba melamarnya, tapi Romlah menolak. Ketika masih jadi imam masjid, Dullah pun pernah menggunakan pengaruhnua untuk melamar Romlah. Tapi Romlah tak menerima lamarannya. Beberapa lamaran lain juga ditampik Romlah.
Sebagai orang tua, Mat Piti tentu harus menelan rasa rak enak hati pada orang-orang yang melamar. Romlah memang anak gadisnya, anak semata wayang yang sangat disayangnya, tapi dia tak bisa memaksa Romlah untuk menerima atau menolak laki-laki yang akan jadi imam dan pendamping hidupnya.
Risikonya: Romlah dan kesendiriannya jadi perbincangan orang-orang kampung. Apalagi usia Romlah sudah tak muda, sudah menginjak 29 tahun. Dia dianggap perawan tua. Dituding sebagai gadis yang terlalu pemilih. Perempuan yang tak tahu diuntung.
Mat Piti sudah lama mendengar desas-desus semacam itu tapi dia tak bisa berbuat banyak. Adapun Romlah hanya sering menangis. Tak ada yang tahu dia sering menangis. Dia mengadukan seluruh kepedihan hidupnya hanya kepada Zat Pemelihara, hampir setiap malam, di setiap ujung malam.
Problemnya: di bulan Puasa yang sudah lewat, Mat Piti telanjur mengumumkan Romlah akan menikah di bulan Syawal. Dan kabar itu yang menjadi gosip orang-orang diseluruh kampung. Mereka menebak-nebak calon suami Romlah. Dan Cak Dlahom adalah orang yang paling sering disebut sebagai laki-laki yang akan menjadi suami Romlah.
Urusan pribadi orang lain, oleh orang-orang kampung, rupanya telah diubah seolah-olah adalah urusan banyak orang, urusan mereka. Padahal entah apa kepentingan mereka dengan pernikahan Romlah dengan siapa pun yang akan jadi suaminya.
Maka di hari kedua Lebaran, berdatanganlah orang-orang ke rumah Mat Piti. Gelombang pertama tamu yang datang adalah Pak RT bersama Dullah. Lalu Pak Lurah, disusul rombongan ibu-ibu pengajian, dan warga lainnya.
Mereka datang sejak pagi. Sebagian dari mereka lalu duduk-duduk di teras rumah yang sejak Lebaran pertama sudah digelar tikar dan karpet. Sebagian hanya berdiri di halaman rumah, memperhatikan Kliwon dan Legi, dua burung perkutut milik Mat Piti.
Mat Piti tak segera menemui mereka. Begitu juga Romlah. Bapak dan anak itu hanya duduk-duduk di lincak di dapur bersama Cak Dlahom. Kemarin, Mat Piti tak mengizinkan Cak Dlahom pulang ke gubuknya di dekat kandang kambing milik Pak Lurah, dan meminta tinggal di rumahnya. Hanya sementara untuk masa Lebaran, dan Cak Dlahom entah kenapa bersedia.
Baru setelah menghabiskan kopi dan kretek, Mat Piti lalu mengajak Cak Dlahom menemui kerumunan orang-orang di depan rumahnya.
“Assamualaikum… Pak Mat, Cak Dlahom.”
Pak Lurah mengucapkan salam ketika melihat Mat Piti yang diikuti Cak Dlahom menemui mereka. Mat Piti membalas salam itu sambil tersenyum. Cak Dlahom tak tersenyum.
“Begini, Pak Mat, kami minta maaf telah lancang datang ke mari. Sampeyan tentu mengerti, orang-orang ini tak bisa dicegah.”
Pak RT mengawali pembicaraan ketika Mat Piti dan Cak Dlahom sudah duduk di tikar. Mat Piti tetap tersenyum.
“Demi ketenteraman, Pak Mat. Biar ndak ada fitnah,” Dullah menyahut.
Mat Piti tetap tersenyum, masih belum menjawab. Sejauh ini dia memang sudah mendengar banyak fitnah tentang anaknya dan Cak Dlahom. Entah siapa yang menyebarkan, fitnah itu kemudian menyebar di seluruh kampung. Menjadi gosip.
“Bapak-bapak, ibu-ibu, terima kasih atas niat baik sampeyan semua. Tapi biar Cak Dlahom yang menggantikan saya untuk menjawab. Silakan, Cak Dlahom.” Suara Mat Piti terdengar tenang. Dia menatap hampir satu per satu orang-orang yang datang.
“Apa katamu, Dul? Biar ndak ada fitnah?”
“Iya, Cak. Apalagi sampeyan menginap di sini, padahal sampeyan bukan muhrim. Sebelumnya sampeyan juga sering berdua-duaan dengan Romlah.”
“Apa yang kamu dengar, Dul?”
“Ya sampeyan sering berdua-duan sama Romlah. Itu kan ndak boleh, Cak. Sampeyan tahu itu.”
“Dul, kamu dan orang-orang di sini hanya bersangka-sangka.”
“Kami tidak bersangka-sangka, Cak. Beberapa dari kami melihat sendiri sampeyan dan Romlah sering berduan di tengah malam. Itu bukan fitnah loh.”
“Terus kalian semua menganggap aku dan Romlah melakukan hal-hal yang buruk?”
“Ya gimana ya, Cak… Bukan muhrim berdua-duan, apalagi yang dilakukan?”
Cak Dlahom tak menjawab tudingan Dullah. Dia hanya menatap tajam Dullah yang segera tertunduk. Sorot mata Cak Dlahom rupanya telah menguliti Dullah.
Semua yang hadir di rumah Mat Piti terdiam. Mereka sebetulnya juga tak yakin dengan gosip yang beredar, tapi arus umum menyebabkan mereka ikut-ikutan. Mat Piti memperhatikan Cak Dlahom yang mulai menyalakan kreteknya. Romlah akhirnya keluar. Duduk di sebelah Mat Piti.
Usai mengisap kreteknya dalam-dalam, Cak Dlahom mulai menjelaskan duduk perkara yang sebenaranya. Dia menceritakan bahwa Romlah adalah anak kandungnya. Dia menitipkan Romlah pada Mat Piti dan membiarkan Mat Piti mengangkatnya sebagai anak, karena ibu Romlah meninggal saat melahirkan Romlah.
“Saat itu aku berat, Dul, tapi aku melihat Mat Piti dan almarhumah istrinya tak punya anak. Mereka bersungguh-sungguh menginginkan Romlah, dan aku tak kuasa menolak permintaan orang sebaik Mat Piti.”
Orang-orang semakin terdiam mendengarkan cerita Cak Dlahom. Romlah sudah sesenggukan di bahu Mat Piti. Pagi itu dia baru tahu, Cak Dlahom adalah bapak kandungnya.
“Tapi kenapa sampeyan sering berdua-duaan dengan Romlah?”
“Karena aku kangen pada anakku yang bertahu-tahun tak pernah aku sentuh, Dul. Tak pernah aku sayang-sayang.”
Tangis Romlah semakin pecah. Pak Lurah dan Pak RT manggut-manggut. Kliwon dan Legi bersahut-sahutan.
“Ya Allah, Cak, maafkan kami. Kami telah menfitnah sampeyan, Romlah dan Pak Mat.”
“Iya, Cak, saya juga minta maaf.”
“Sepurane, Cak.”
“Apa yang harus kami lakukan, Cak, untuk menebus kesalahan dan fitnah yang telanjur kami sebarkan.”
Suara Dullah paling kencang. Cak Dlahom melemparkan bantal yang kebetulan ada di sampingnya kepada Dullah, lalu meminta Dullah mengeluarkan semua kapuk yang ada di dalamnya. Dullah melakukannya.
Berhamburan seluruh kapuk dari bantal. Orang-orang menutup hidung, karena kuatir menghirup ampas kapuk. Dullah melakukannya dengan lekas, tapi setelah seluruh isi kapuk dikeluarkan dari bantal, Cak Dlahom memintanya memasukkan kembali, tanpa sisa.
“Waduh, Cak, ya ndak bisa, Cak. Saya ndak mampu.”
“Kenapa tak mampu, Dul?”
“Karena banyak kapuk yang sudah beterbangan, Cak, dan saya ndak bisa menjangkaunya.”
“Begitulah fitnah bekerja, Dul. Ia beterbangan ke mana-mana, dan tak akan ada yang bisa mengembalikan sesuatu yang sudah beterbangan itu seperti sediakala. Ia akan hinggap di mana saja, dan kamu tak akan sanggup menjangkau daya rusaknya.”
“Maafkan saya, Cak…”
“Aku sudah memaafkanmu, Dul, jauh sebelum mulutmu mengucapkan permintaan maaf. Beruntung kamu karena aku mau menjelaskan duduk persoalannya. Bayangkanlah orang-orang yang telah menjadi korban fitnah tapi mereka tak punya kesempatan dan kekuatan untuk menjelaskannya, maka fitnah terhadap mereka akan terus berkembang. Merusak pikiran kalian dan akan terus membunuh orang yang kalian fitnah.”
“Ampuni saya…”
“Sebaiknya sekarang engkau diam, Dul, karena hal itu akan lebih baik untukmu.”
Suasana semakin hening. Romlah yang terus menangis mendekar ke Cak Dlahom. Dia memeluk laki-laki yang selama ini selalu dicap sebagai orang sinting, dan mencium tangannya. Suaranya memecah keheningan suasana pagi itu.
“Bapak… maafkan Romlah.”
“Aku yang minta maaf padamu, Nduk. Aku orang tua yang tak berdaya…”
“Bapak…”
Orang-orang mulai ikut terisak. Mereka telah salah menilai Romlah dan Cak Dlahom. Suasana berubah haru.
Mat Piti yang sejak tadi hanya tertunduk mulai berdiri. Romlah mengikutinya. Dari dalam rumah mereka menyuguhkan aneka penganan.
“Bapak-bapak, ibu-ibu, seludur semua, sambil menunggu Romlah menyiapkan teh hangat, silakan menikmati penganan apa adanya.”
“Tapi Romlah benar akan menikah, Pak Mat?”
Seseorang berusaha mencairkan suasana.
“Iya, betul. Bulan Syawal ini, Romlah, anak saya, anak Cak Dlahom, akan menikah.”
“Wah siapa laki-laki beruntung itu, Pak Mat?”
“Namanya Nody. Sunody Abdurrahman anak kiai kampung. Orang Rambipuji, tetangga desa kita. Sama dengan Romlah, dia perjaka yang belum pernah bersentuhan dengan perempuan yang bukan muhrim”
“Subhanallah. Alhamdulillah…”
Lebaran hari kedua, di rumah Mat Piti, menjadi suka cita. Orang-orang yang hadir, sekali lagi saling bermaaf-maafan. Cak Dlahom duduk bersandar ke tembok. Matanya menerawang. Dia mungkin sedang membayangkan Nody, calon mantunya.

Oleh : Rusdi Mathari
Sumber :http://mojok.co

Membakar Surga Menyiram Neraka

Menjelang sahur, semakin banyak orang yang berkerumun di depan pagar tembok masjid kampung. Orang tua, anak-anak, laki-laki dan perempuan jadi satu. Mereka menyaksikan Cak Dlahom yang  terlihat berlari bolak-balik di jalan kecil di depan masjid. Dia melakukannya sejak habis tarawih, dan orang-orang kampung tak percaya Cak Dlahom akan berlari selama itu.
Keringat mengucur deras di sekujur tubuh Cak Dlahom. Mengalir dari rambutnya. Menetes ke hidung dan pipinya. Napasnya terdengar ngos-ngosan. Dia tak peduli menjadi tontonan orang-orang dan terus berlari. Dua tangannya juga bergantian memegang obor bambu.  Dari mulutnya terdengar, “Celaka…Celaka…”
Ketika waktu sahur digantikan subuh, dan orang-orang mulai salat di masjid, Cak Dlahom tak berhenti berlari dengan obornya. Ketika jamaah selesai salat dan mulai terdengar berzikir, dia malah mengencangkan suaranya. “Celaka… Celaka…”  Suaranya itu seolah sengaja diarahkan ke masjid dan memang setiap kali sampai di depan pagar masjid, Cak Dlahom menoleh ke masjid sambil berseru “celaka” itu.
Mat Piti yang sejak malam sudah tahu dan melihat tingkah Cak Dlahom akhirnya tidak tahan juga. Turun dari masjid dia menghampiri Cak Dlahom dan mengajaknya pulang. Cak Dlahom, tumben nurut. Mungkin karena dia juga kecapekan. Dan di sepanjang jalan menuju rumahnya, Mat Piti mencoba bertanya pada Cak Dlahom.
“Ada apa lagi, Cak? Kok setiap hari kayaknya ada masalah?”
“Orang-orang di masjid itu celaka, Mat…”
“Mereka beribadah lho, Cak. Bukan mencari celaka…”
“Mereka celaka, Mat.”
“Salat dan beribadah kok celaka. Gimana sih, Cak?”
“Tidak ada perbuatan baik yang diancam neraka kecuali salat, Mat.”
“Iya,  Cak, salatnya orang-orang yang lalai.”
“Nah, pinter kamu.”
“Tapi kita kan ndak tahu, apakah mereka lalai atau tidak, Cak?”
“Siapa sih yang memelihara Sarkum, anaknya almarhum Bunali?”
“Kan ada ibunya, Cak?”
“Istrinya Bunali kerja apa, Mat?”
“Pembantu di rumah Pak Lurah, Cak…”
“Sarkum tidak melanjutkan sekolah, karena ibunya hanya pembantu. Dia juga terjerat utang, dan kamu ndak tahu kan, Mat?”
“Dia kan dapat upah dari Pak Lurah, Cak?”
“Mereka hidup kekurangan, Mat. Dan para tetangganya hanya sibuk beribadah di masjid.”
“Beribadah kan wajib, Cak?”
“Oh tentu saja, tapi ketika beribadah, salat itu, apa sebetulnya yang kamu harapkan, Mat?”
“Ya surganya Allah, Cak, dan berlindung dari neraka-Nya.”
“Terus setelah kamu mendapat surga, kamu akan apakan anak Bunali dan istrinya?”
“Setiap orang kan bawa takdirnya masing-masing, Cak?”
“Itulah masalahmu, Mat…”
“Masalah gimana sih, Cak? Kan wajar, Cak?”
“Wajar menurutmu, Mat.”
“Lah terus?”
“Karena kamu beribadah, salat, puasa, berzakat dan berhaji, lalu apa kamu merasa berhak atas surga?”
“Seharusnya begitu, Cak…”
“Mat, surga dan neraka itu makhluk. Tak pantas kamu harapkan.”
“Maksudnya, Cak?”
“Derajat surga dan neraka itu, tidak lebih mulia dan lebih teruk darimu.”
“Ya gimana ya, Cak…”
“Andai pun engkau berhak terhadap surga atau malah berhak atas neraka, tempatmu di sana tidak akan berkurang atau bertambah oleh apapun, termasuk oleh ibadahmu.”
“Jadi saya ndak perlu beribadah gitu? Ndak perlu salat dan sebagainya?”
“Jangan dirikan salat kalau kamu tak tahu siapa yang kamu sembah. Kalau kamu melakukannya juga, kamu seperti memanah burung tapi tanpa melepas anak panah dari busurnya. Sia-sia karena yang dipuja hanya wujud khayalmu.”
“Iya, Cak… Iya.”
“Salatmu dan sebagainya itu urusanmu dengan Allah. Tapi Sarkum yang yatim, dan ibunya yang kere, mestinya adalah urusan kita semua.”
“Dua-duanya mesti jalan, Cak?”
“Lalu kenapa Sarkum tidak bisa sekolah dan kelaparan, dan ibunya yang janda terlilit utang?”
“Jadi apa yang harus saya lakukan, Cak?”
“Orang-orang itu baru punya harta dan kekayaan saja sudah enggan bersedekah. Bagaimana kalau mereka kere dan melarat?”
“Ya, ya, saya paham, Cak. Biar saya dan Romlah yang mengurus Sarkum dan ibunya.”
“Baguslah, Mat…”
“Saya  mengerti sekarang, sampeyan lari-lari bawa obor, maksudnya ingin membakar surga yang diharapkan oleh orang-orang yang beribadah itu kan, Cak?”
“Kamu mulai pintar, Mat…”
“Terus yang kemarin, sampeyan bawa ember ke masjid mau menyiram neraka? Gitu?”
“Kamu sudah mengerti…”
“Nah itu yang jadi masalah, Cak.”
“Masalah gimana, Mat?”
“Air seember kemarin sampeyan apakan?”
“Aku siramkan ke lantai masjid…”
“Ya itu masalahnya, Cak. Pak Lurah kemarin jatuh terpeleset di masjid gara-gara air yang sampeyan siramkan.”

(diinspirasi dari Kitab Suluk Linglung dan kisah-kisah tentang Rabiah al Adawiyah)

Oleh : Rusdi Mathari
Suber :http://mojok.co

Cak Dlahom dan Romlah Memandang Bulan yang Mengapung di Telaga

Romlah sedang dirundung masalah. Anak perawan itu merasa, bapaknya mulai ikut-ikutan orang-orang di kampung dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama hampir setiap hari: kapan nikah?
Romlah tahu, usianya memang tidak muda. Sudah 29 tahun, tapi orang-orang itu termasuk Mat Piti bapaknya mestinya juga tahu, urusan jodoh, seperti halnya soal kelahiran, kematian dan rezeki adalah otoritas dari menciptakannya. Bukan kemauannya. Lagi pula, perempuan seperti dirinya juga ingin menikah dan punya anak.
Maka sehabis tarawih dia mendatangi rumah Cak Dlahom. Ini kunjungan yang tidak biasa untuk tak menyebut sebagai pertemuan non-syariah, karena tak ada yang tahu, dan tidak ada muhrim lain, tapi Romlah tak peduli. Dia menyerahkan semua urusan hanya kepada yang membuat peraturan, karena dia berniat baik.
Ketika tiba di depan pintu rumah Cak Dlahom yang selalu terbuka karena memang tidak ada daun pintunya, dia segera mengucapkan salam. Pelan. Suaranya malah terdengar seperti kode “Ssttt..”
Cak Dlahom yang kebetulan sedang leyeh-leyeh di lincak sambil tertawa sendiri, kaget. Di depannya kini ada Romlah. Dia segera membetulkan sarungnya.
“Romlah?”
“Iya, Cak. Saya Romlah…”
“Romlah…”
Suara Cak Dlahom menjadi berbeda. Terdengar seperti bukan suara yang biasanya. Wajahnya juga terlihat lebih terang meski tetap butek. Kedatangan Romlah (apalagi sendirian), tampaknya telah mengubah detak jantung dan kerja otak Cak Dlahom. Setidaknya untuk malam itu.
“Duduk, Romlah, duduk…”
“Iya, Cak.”
“Ada apa malam-malam kamu datang ke sini? Apa bapakmu tahu?”
“Bapak tidak tahu, Cak…”
“Baguslah. Kadang-kadang bapakmu tak harus selalu tahu.”
“Saya ke sini mau tanya soal jodoh…”
“Jodoh? Kenapa tanya ke aku?”
“Anu, Cak, barangkali sampeyan bisa mencarikan jalan keluar.”
“Jalan keluar yang bagaimana?”
“Usia saya sudah 29 tahun, Cak, tapi belum ada satu pun laki-laki yang melamar saya.”
“Romlah, usiamu masih muda. Masih punya banyak kesempatan.”
“Bapak selalu bertanya kapan saya menikah, Cak…”
“Bapakmu itu kayak ndak pernah muda saja.”
“Pikiran saya kalut, Cak. Tidur tak nyenyak. Malu, sungkan ketemu ibu-ibu di pengajian…”
Mendengar Romlah mengeluh seperti itu, Cak Dlahom ingin gila beneran. Dia tak berani memandang ke arah anak Mat Piti itu. Romlah pun hanya menunduk. Dari kandang kambing milik Pak Lurah, terdengar suara mengembik.
“Saya tahu dari Bapak, sampeyan orang  tulus. Tak pernah neko-neko dan berprasangka. Kata Bapak, doa dari orang-orang seperti sampeyan yang cepat diijabah.”
Aku gila. Kamu salah orang.”
“Kata Bapak, sampeyan tidak gila.”
“Kamu sama dengan bapakmu.”
“Namanya juga anaknya, Cak.”
“Baiklah, Romlah, aku kira tidak enak kita berlama-lama berdua di sini.”
“Cak Dlahom mengusir saya?”
“Oh, ndak. Justru aku mau mengajakmu ke telaga.”
“Telaga di dekat kuburan itu, Cak?”
“Iya. Malam purnama seperti ini, bulan terlihat terang mengapung di telaga.”
“Beneran, Cak? Saya belum pernah melihatnya…”
“Iya bener, makanya aku ajak kamu ke sana.”
“Iya, Cak…”
“Tapi sebelumnya, bolehkah aku minta tolong?”
“Minta tolong apa, Cak?”
“Tolong ambilkan di dapur, air segelas dan garam segenggam.”
“Baiklah, Cak…”
Romlah masuk ke dalam rumah Cak Dlahom. Menuju dapur yang keadaannya berantakan. Kembali ke Cak Dlahom, tangan kanannya sudah memegang segelas air dan tangan kirinya menggenggam garam.
“Mau diapakan garam dan air ini, Cak?”
“Sini, kemarikan gelas itu…”
“Terus?”
“Masukkan jari telunjukmu ke genggaman tangan kirimu, lalu celupkan ke air ini.”
“Sudah, Cak.”
“Aduk hingga rata, jangan sampai ada garam yang tersisa di jarimu.”
“Sudah, Cak.
“Sekarang minum air ini.”
Cak Dlahom menyodorkan kembali gelas yang dipegang, Romlah mengambilnya lalu meminum airnya.
“Bagaimana rasanya, Romlah?”
“Asin, Cak.”
“Genggam terus garam di tangan kirimu itu. Sekarang kita ke telaga.”
Dua manusia itu runtang-runtung berjalan menuju telaga. Melewati pinggiran kali dan sawah. Bulan sedang bersinar terang. Sesekali, karena hampir terpeleset, Romlah memegang baju Cak Dlahom sambil bersuara “Cak…”
Di saat-saat seperti itulah, Cak Dlahom kadang menyesal menerima saja disebut orang gila. Dia ingin menuntun tangan Romlah tapi tak berani. Sekuat tenaga dia menyadarkan diri bahwa dia adalah orang gila, dan orang gila tentu tak boleh memegang tangan perempuan.
Setelah menembus perkuburan yang penuh pohon-pohon besar, tibalah mereka di tepi telaga. Mereka duduk-duduk di pematang. Bulan benar terlihat mengapung di telaga. Warnanya gading. Dada Cak Dlahom dan Romlah terlihat naik-turun. Napasnya ngos-ngosan. Mereka  bukan menahan hasrat tapi karena capek berjalan dan kehausan.
“Haus, Romlah?”
“Iya, Cak…”
“Sayang tadi kita tak bawa air dari rumah, tapi air di telaga ini juga bisa diminum. Kamu mau?”
“Iya, Cak, mau.”
“Sebelum minum, tolong lemparkan garam di tanganmu ke telaga.”
“Semuanya, Cak?”
“Iya, semua. Lalu basuh tanganmu hingga bersih. Jangan ada garam yang tersisa.”
Romlah melempar garam di tangannya ke telaga dan segera mencuci tangannya. Cak Dlahom melihat bulan yang berenang di pinggir telaga digantikan wajah Romlah.
“Romlah, ambil dengan tanganmu air itu. Minumlah…”
Romlah agak ragu, tapi dia ingat bapaknya pernah bilang ke orang, agar mengikuti saja yang dikatakan Cak Dlahom. Dia merapatkan dua tangannya, lalu mengambil air di telaga dan meminumnya.
“Bagaimana rasanya, Romlah?”
“Segar, Cak. Segar. Tidak ada asin.”
“Padahal kamu tadi melempar garam segenggam ke telaga?”
“Iya, segenggam…”
Romlah kembali duduk di pematang di samping Cak Dlahom. Cak Dlahom kini berani memegang tangan Romlah.
“Masalah dan persoalan manusia, Romlah, pada hakikatnya sama: hanya sekepalan tangan. Persis seperti garam yang tadi kamu genggam. Hidup bisa menjadi ringan atau berat, tergantung kepada manusia menempatkan hatinya. Menjadi hanya sebatas air di gelas, atau seluas air di telaga.”
“Cak…”
“Ada apa, Romlah?”
“Jangan terlalu keras memegang tanganku, Cak…”
Di bibir telaga, disaksikan bulan yang terang, malam itu Romlah tidak ingat lagi dengan urusan jodohnya. Cak Dlahom apalagi. Hati manusia memang hanya sekepalan tangannya.

sumber :http://mojok.co

Belajar Ikhlas dari Berak dan Kencing

Entah sebab lain atau karena Cak Dlahom sering menyebut nama Romlah, Mat Piti mengutus anak gadisnya itu untuk mengantarkan buka puasa ke rumah Cak Dlahom. Romlah membawa rantang-rantang berisi bubur kacang ijo, nasi, rawon lengkap dengan telur asin dan krupuk udang, selain teh manis hangat yang dimasukkan dalam botol plastik. Mat Piti dan istrinya tahu, rawon adalah menu kesukaan Cak Dlahom.
“Terima kasih Romlah. Salamku untuk bapakmu. Tolong sampaikan: Kalau bersedekah harus ikhlas.”
Romlah tak berani menatap Cak Dlahom, kecuali hanya mengiyakan. Dan di rumahnya, dia menyampaikan pesan Cak Dlahom kepada bapaknya. Mat Piti keheranan. Dia merasa membagi buka puasa dengan ikhlas, tapi Cak Dlahom malah mengajurkan dia harus ikhlas.
Keheranannya terbawa sampai selesai tarawih. Dia karena itu mendatangi rumah Cak Dlahom: ingin bertanya maksud Cak Dlahom menganjurkannya ikhlas.  Dia tak mau rasa penasarannya terbawa hingga sahur apalagi sampai subuh.
Tiba di rumah Cak Dlahom, yang punya rumah terlihat sedang menyantap rawon. Bersila mantap di lincak menghadap ke barat. Mulutnya menyeruput kuwah berwarna hitam langsung dari bibir piring. Sruuut….
“Assalamualaikum…”
“Alaikumsalam. Eh, Mat… Enak betul rawonmu ini.”
“Istri saya yang masak, Cak.”
“Ibunya Romlah sejak muda memang pintar masak Mat. Kamu pintar milih istri.”
“Iya, Cak, saya tahu, tapi saya mau tanya, maksud sampeyan bilang saya harus ikhlas itu apa ya?”
“Tadi kamu ngasih apa aja ya, Mat?”
“Bubur kacang ijo. Rawon serantang lengkap dengan nasi, telur asin, krupuk udang, sambal tauge. Ada teh hangat juga.”
“Wuih… Inget banget kamu, Mat.”
“Saya melihat sendiri ibunya Romlah memasukkannya ke rantang, Cak, jadi saya ingat.”
“Terima kasih ya, Mat. Seminggu lalu kalau tak salah, kamu juga ngasih aku… Apa ya?”
“Oh yang itu, beras dua kilo Cak. Dua minggu sebelumnya, saya ngasih sampeyan sarung. Sebulan yang lalu, saya ngasih sampeyan peci.”
“Iya, ya… Tapi kamu pasti ikhlas kan, Mat?”
“Ya ikhlaslah, Cak. Masak ndak? Maka itu saya mau tanya, maksud sampeyan soal ikhlas itu gimana?”
“Ikhlas kok ditanya, Mat.”
“Saya hanya ingin tahu…”
“Lah menurutmu, ikhlas itu apa?”
“Berbuat atau melakukan sesuatu karena Allah, dengan Allah, hanya untuk Allah, Cak.”
“Iya betul, tapi ‘Karena Allah, dengan Allah, dan hanya untuk Allah’ itu apa?”
“Ya semua hanya untuk Allah, Cak.”
“Semua untuk Allah itu apa?
“Ya kalau begini terus, sampeyan saja deh yang ngasih tahu: ikhlas itu apa?”
“Sebelum ke sini, kamu kencing dulu ndak, Mat?”
“Loh sampeyan kok malah nanya soal kencing sih, Cak?”
“Kan kita sama, Mat, cuma nanya.”
“Iya tapi apa hubungannya kencing dengan ikhlas, Cak?”
“Aku tanya, kamu nanya. Kamu jawab saja. Kalau ndak mau, ya ndak apa-apa juga.”
“Sebelum ke rumah sampeyan, saya tidak kencing. Sudah? Itu saja?”
“Kalau hari ini, kamu kencing dan berak berapa kali Mat?”
“Sehari ini saya belum berak, Cak. Kencing mungkin tiga atau empat kali Cak.”
“Kemarin?”
“Berak sekali. Kencing…? Ya… Kira-kira samalah Cak dengan hari ini, tiga atau empat kali…”
“Seminggu yang lalu?
“Ya ndak ingat, Cak…”
“Sebulan yang lalu? Setahun yang lalu? Sejak mulai kamu lahir, kamu ingat, berapa kali kamu berak dan kencing?”
“Sampeyan juga ndak ingat toh, Cak?”
“Seperti itulah ikhlas.”
“Maksudnya, Cak?”
“Amal perbuatanmu yang tidak pernah diingat-ingat.”
“Kencing dan berak itu amal toh, Cak?”
“Menurutmu apa?”
“Kan saya yang tanya, kenapa ditanya?”
“Kencing dan berak itu amalmu, Mat. Kamu mengeluarkan sesuatu dari badanmu dengan tidak menahan-nahannya dan segera melupakannya. Tidak mengingat-ingat bau, warna, dan bentuknya seperti apa. Kamu menganggap kencing dan berak tidak penting, meskipun mengeluarkan sesuatu yang sangat penting bagi lambung atau ginjalmu. Buat peredaran darahmu. Untuk kesehatanmu.”
“Jadi kalau masih ingat berarti ndak ikhlas, Cak?”
“Hanya Allah yang tahu.”
“Astagfirullah… Maafkan saya, Cak.”
“Kenapa minta maaf ke aku, Mat?”
“Saya mau pamit dulu….”
“Kok buru-buru?”
“Sudah kebelet, Cak…”
Mat Piti tidak menunggu jawaban Cak Dlahom. Dia segera bergegas pulang. Berjalan tergesa-gesa sambil menjinjing sebagian ujung bawah sarungnya. Terdengar suara brat, bret, bret…
Cak Dlahom sempat menoleh, tapi selanjutnya tak peduli. Dia meneruskan menyelesaikan makan rawonnya. Terus menuangkan teh hangat dan menyeruputnya, lalu kebat-kebut dengan kreteknya

oleh : Rusdi Mathari
sumber :http://mojok.co

Artikel Mat Piti Mencari Allah

Penasaran dengan penjelasan Cak Dlahom soal syahadat, keesokan harinya, sehabis tarawih, Mat Piti segera ke rumah Cak Dlahom. Dia ingin Cak Dlahom menjelaskan lebih jauh maksud “menyaksikan” yang diterangkannya kemarin malam. Tapi Cak Dlahom tidak ada di rumahnya.
Setelah mencari ke sana ke mari, Mat Piti menemukan Cak Dlahom duduk di pinggir kali di dekat kuburan kampung. Dia terlihat serius memperhatikan air kali yang penuh ikan kecil-kecil. Tangan kanannya memegang galah bambu kecil yang diujungnya diikat senar agak panjang, dan di ujung senar itu diikat bonggol jagung.
“Ada apa, Mat, kok wajahmu seperti habis disiram air?”
“Soal syahadat itu, Cak. Apa maksudnya ‘menyaksikan’?”
“Kenapa kamu ingin tahu?”
“Ya karena saya mau menyaksikan dan melihat Allah, Cak.”
“Mencari Allah kok malah datang ke aku.”
“Saya kan hanya mau bertanya, Cak?”
“Tanyalah pada imam masjid itu, Mat.”
“Imam masjid itu kan teman sampeyan juga, Cak?”
“Dia lebih pantas ditanya. Aku ini orang sinting. Tidak patut ditanya apa pun, apalagi soal ilmu.”
“Tapi saya mau tanya ke sampeyan saja, Cak.”
“Kenapa ke aku?”
“Karena saya ndak menganggap sampeyan sinting.”
“Tidak bisa, Mat. Aku sinting.”
“Ndak, Cak. Sampeyan ndak sinting.”
“Apa yang mau kamu tanya pada orang sinting sepertiku?”
“Apa betul Allah tampak?”
“Allah sendiri yang bilang, Mat. Bukan aku.”
“Kalau begitu, saya mau ketemu Allah.”
“Untuk apa?”
“Saya ingin tahu saja, Cak, kayak apa Allah itu.”
“Mat, kamu kira Allah itu artis? Kamu kira, Allah kayak ustadz-ustadz di televisi itu?”
“Ya ndak begitu juga, Cak. Saya hanya ingin tahu, Allah itu seperti apa dan dimana.”
“Mat, Allah itu tak perlu kamu cari.”
“Maksudnya, Cak?”
“Iya, untuk apa kamu bingung-bingung mau mencari Allah?”
“Sampeyan yang membuat saya bingung, Cak.”
“Salahmu sendiri. Kenapa mau mendengarkan aku?”
“Sampeyan kok gitu sih, Cak?”
“Gitu gimana? Aku tak pernah minta kamu mendengarkan aku. Percaya ke aku.”
“Saya hanya mau bertanya dan mendengar, Cak.”
“Kamu pernah melihat ikan-ikan di kali ini, kan?”
“Ya pernah, Cak.”
“Suatu hari ikan-ikan itu melompat keluar kali dan bertanya, dimana air? Dimana air?“
“Bertanya ke sampeyan, Cak?”
“Ini cerita, Mat.”
“Oh, saya kira ikan-ikan itu bertanya ke sampean. Terus, Cak…”
“Kamu ini banyak tanya banyak komentar, Mat.”
“Ya namanya juga ingin tahu. Ingin belajar. Ingin berilmu, ya harus tanya dan berkomentar.”
“Musa gagal berguru kepada Khaidir karena dia banyak tanya, Mat.”
“Saya kan bukan Nabi Musa, Cak. Sampeyan kan juga bukan Nabi Khaidir.”
“Hehehe… Mulai pinter kamu, Mat.”
“Jadi terus gimana, Cak?”
“Ikan-ikan itu tidak tahu bahwa selama ini mereka sudah berada di air. Setiap saat.”
“Kok lucu sih ikan-ikan itu. Ada di air, malah mencari dimana air.”
“Sama lucunya dengan kamu, Mat.”
“Kok saya lagi sih, Cak?”
“Karena kamu selalu bertanya dan ingin mencari Allah, padahal Allah meliputimu setiap saat. Lebih dari denyut nadi yang paling halus yang pernah kamu dengar atau kamu rasakan.”
“Wah iya, Cak. Terima kasih, saya diberitahu…”
“Persoalannya, bagaimana kamu akan mengenali Allah sementara salatmu baru sebatas gerakan lahiriah. Sedekahmu masih kau tulis di pembukuan laba-rugi kehidupanmu. Ilmumu kau gunakan mencuri atau membunuh saudaramu. Kamu merasa pintar sementara bodoh saja tak punya…”
“Ya Allah… Astagfirullah…Astaghfirullah… Betapa bodohnya saya, Cak…”
“Yang bilang kamu pintar itu siapa, Mat? Kamu itu hanya merasa pintar dan merasa bodoh. Padahal dua-duanya pun kamu tak punya.  Sudah… sudah… Kamu pulang saja, Mat. Aku mau memancing ikan.”
“Dengan bonggol jagung, Cak?”
“Ada yang salah, Mat?”
“Di mana-mana, mancing ikan pakai kail dan umpan, Cak.”
“Itu kan anggapanmu, Mat. Anggapan umum, anggapan banyak orang.”
“Kalau sudah dapat, ikannya buat apa, Cak?“
“Akan aku kasih ke Romlah, anakmu.”
“Ya Allah, Cak, Cak. Romlah lagi, Romlah lagi…”
Mat Piti akhirnya pulang  meninggalkan Cak Dlahom. Dia merasa setengah puas, tapi juga setengah menggerutu karena Cak Dlahom kembali menyebut-nyebut nama anaknya, Romlah. Nyamuk-nyamuk di pinggir kali mengikuti Mat Piti menjauh dari kali. Cak Dlahom kembali sendiri di pinggir kali.
Ikan-ikan tak pernah dipancingnya. Dia hanya cekikikan sambil terus memanggil nama Romlah.
“Romlah, ya Romlah…”

Oleh : Rusdi Mathari
sumber : http://mojok.co/

Membaca Syahadat, Menyaksikan Romlah

Selepas salat ashar di masjid, Mat Piti memutuskan membaca syahadat. Terpengaruh ocehan Cak Dlahom, Mat Piti pun mau masuk Islam. Maka disaksikan jemaah masjid yang kebingungan, dia bersalaman dengan imam masjid, yang menurut gosip orang-orang di kampung, dulu adalah teman seperguruan Cak Dlahom di pesantren. Nasib membedakan keduanya. Cak Dlahom luntang-lantung dan dianggap kurang waras, temannya jadi imam masjid dan dihormati orang-orang kampung.
Tangan mereka bersalaman erat. Lalu dengan dibimbing imam masjid itu, Mat Piti membaca syahadat: “Asyhaduallah ilaha illallah, wa asyahdu anna Muhammadur Rasullullah.”
Jemaah menyambutnya dengan mengucapkan “Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaha illallah, wallahu akbar” hingga tiga kali. Mat Piti terisak. Dia kemudian dipeluk dan memeluk imam masjid. Satu per satu, jemaah menyalaminya,  tapi tidak ada Cak Dlahom di antara mereka.
Mat Piti mendapati Cak Dlahom, saat bersiap pulang dari masjid. Cak Dlahom hanya berdiri membisu di depan pintu masuk masjid dengan tatapan yang seperti sengaja menuggu Mat Piti. Cak Dlahom memang menunggu Mat Piti, mengundangnya makan di rumahnya usai salat maghrib. Mat Piti menyanggupi, dan usai maghrib dia mendatangi rumah Cak Dlahom yang  berdekatan dengan kandang kambing milik pak lurah.
Cak Dlahom berseri-seri menyambut Mat Piti. Dia segera membuka koran yang menutup nasi kebuli dengan lauk kambing goreng, dan dua gelas es kelapa muda bergula Jawa.  Dia mendapat makanan itu dari pak lurah, yang  hari itu mengadakan buka bersama di pendopo kelurahan.
Keduanya makan dengan lahap. Rumah Cak Dlahom yang (biasanya) beraroma tahi kambing, terasa penuh suka cita. Selesai makan, mereka duduk di lincak bambu sambil terus menikmati es kelapa muda.
“Alhamdulillah, Cak. Saya sekarang sudah jadi Islam.”
“Yakin, Mat, kamu sudah Islam?”
“Loh sampeyan ini gimana, Cak? Sampeyan sendiri yang bilang, saya harus baca syahadat untuk disebut orang Islam?”
“Betul, tapi kamu tahu syahadat itu apa?”
“Ya, syarat masuk Islam.”
“Syahadat itu menyaksikan, Mat.”
“Lah apa lagi ini, Cak?”
“Coba kamu ingat-ingat lagi, kalimat syahadat yang kamu baca tadi…”
“Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah…”
“Lalu kapan kamu menyaksikan Allah?”
“Ya ndak bisalah, Cak.”
“Kenapa ndak bisa Mat?”
“Allah kan tidak terlihat…?”
“Kata siapa? Allah bilang di Al-Quran: ‘Dialah yang awal dan yang akhir, yang tampak dan yang tak tampak, dan Dia yang mengetahui segala sesuatu.’ Jadi Allah itu tampak, Mat.”
“Tampak itu, mungkin maksudnya, alam semesta ini termasuk kita sebagai perwujudan-Nya, Cak. Bukan Allah kelihatan, seperti saya melihat sampeyan?”
“Itu kan penafsiranmu Mat. Redaksi Allah jelas: ‘…Dia yang tampak dan tidak tampak…’”
“Kalau menurut sampeyan, Cak?”
“Mat, cepat banget kamu menghabiskan es kelapamu.”
“Loh apa hubungannya dengan pertanyaan saya, Cak?”
“Buka puasa itu mestinya sedikit-sedikit, Mat. Perlahan-lahan. Jangan kekenyangan. Kalau kekenyangan, kamu akan kepayahan. Tidak bisa bergerak. Malas tarawih. Berbahaya bagi kesehatanmu.”
“Iya, sih. Perut penuh banget ini, Cak. Tapi sampeyan belum jawab pertanyaan saya…”
“Seperti kamu menghabiskan buka puasa, sebaiknya kalau mau tahu sesuatu urusan agama, juga pelan-pelan. Sedikit-sedikit. Kalau sekaligus langsung banyak, akan berbahaya bagi dirimu. Kalau kekenyangan mungkin masih ndak apa-apa, Mat, tapi kalau terus kamu gila? Kamu akan merasa pintar, merasa lebih tahu dari yang lain.”
“Tunggu, tunggu, Cak… Sampeyan sendiri apa sudah pernah menyaksikan, Cak?”
“Sering, Mat.”
“Menyaksikan, melihat Allah?”
“Aku melihat ciptaan-Nya.”
“Ya Allah, Cak, Cak…  Kalau cuma begitu saya juga sering, Cak…”
“Seperti halnya aku menyaksikan Romlah lebih sering daripada kamubapaknya.”
“Siapa, Cak…?”
“Romlah. Anakmu, Mat.”
Kalimat terakhir diucapkan Cak Dlahom sambil tersenyum penuh arti. Mata Mat Piti melotot sendiri. Dia setengah tidak percaya, Cak Dlahom yang dianggap kurang waras oleh orang-orang kampung, ternyata juga memperhatikan Romlah, anaknya yang terkenal cantik.
Dia membatin: Cak Dlahum memang jancuk. Katanya sinting, tapi masih perhatian pada perempuan, dan perempuan itu adalah Romlah, anak gadis semata wayangnya.
Memperhatikan Mat Piti, Cak Dlahom ngikik. Dia tahu Mat Piti penasaran dan karena itu dia menepuk pundak Mat Piti. “Kamu misuhi aku ya Mat? Hahaha…”
Mat Piti kaget. Dia bingung karena Cak Dlahom tahu yang dipikirkannya. Sambil menghabiskan sisa es kelapanya, Mat Piti pamit pulang. Dia meninggalkan rumah Cak Dlahom, dan baru merasakan, tahi kambing dari kandang di dekat rumah Cak Dlahom benar-benar menebarkan aroma yang khas.
(diinspirasi oleh cerita yang disampaikan Syekh Maulana Hizboel Wathan Ibrahim)

oleh: Rusdi Mathari
sumber :http://mojok.co

Sama Tuhan kok Karaoke-an...

Sebenarnya tulisan saya kali ini bukan koq eksklusif buat yg beragama Islam thok lho yes, tapi insya Allah juga akan bermanfaat bagi yg lain.. Emang sih, saya dapatnya wangsit nulis ini pas sholat jum’at kemarin..
Tapi tulisan ini bukan koq melulu masalah sholat, malah lebih menyoroti cara kita ‘berkomunikasi’ dengan Tuhan, Berarti bisa juga kalian terapkan dalam do’a..lagian kan Tuhan kan milik kita bersama.. Selain itu, dalam tulisan ini akan membahas juga cara berkomunikasi sesama anggota keluarga koq.. So this is not just ISLAM only lho yes.. Hehe
Bener, Banyak kejanggalan yg saya alami pas Sholat Jum’at kemarin ini.. lha gimana ngga janggal, Biasanya saya dateng itu pasti wis kebaaak orang di dalam masjid. Kmarin Itu padahal udah jam 13.00 lho.. Pas dzuhur.. Tapi koq isih sepi, sehingga saya bisa duduk depan, beberapa barisan di depan mimbar..
Bahkan ngga sengaja juga ketemu temen saya mas Arief Artadi yg duduk di shaf depan saya.. Eh, iya, nanti bisa juga ditanyakan ke mas arief artadi, apakah beliau juga merasakan seperti apa yg saya rasakan?? Atau jangan2 hanya saya yg mudah ‘tersinggung’.. Hiiiksss…
Lanjut.. Sebenarnya, sejak dari rumah saya wis niat, klo pas kotbah jum’at mau duduk mojok di belakang.. sambil nulis, ngrampungke tulisan buat artikel tayang di kajiedan Sbab sore sebelumnya, udah ada ibunya penggemar kajiedan yg ketemu saya dan bilang klo anaknya protes,”ma.. Koq om onny dah lama ngga nulis lagi….
”Ooo.. Telooo kon diiiik… Lha situ moco thok.. Saya ini ngetik jeee…. Hihi.. Makanya sering coment doong, biar saya tau klo ente baca… Bisa dapet kaos lagi… Hahhahahaa ngga ding.. Emang sudah sebulanan saya ngga posting tulisan di kajiedan Saya lagi asyik membaca dan melihat-lihat media sosial, serta deg2an.. Akan seperti apakah republik kita oktober nanti…..
Kembali ke masjid… Lha gimana ngga ngelu, klo jum’atan di Perth itu kotbahe kwi biasane wis mesthi boso enggris, trus selingannya klo ada ayat, itupun boso arab dan diterjemahke ke boso enggris juga.. Kan ngelu aku.. Lha Toefl-nya masih klas kambing jee…
Malah Kadang2, klo yg Kotbah pas sodara kita yg jubahnya hitam, trus kulit beliaunya juga item.. Wis, pastiii cuntheeel.. Dijamin kotbahnya full boso arab.. Eh, tapi mbuh arab mbuh boso afrika ding, sing jelas 100% ra mudheng saya..pasti gagal paham saya..
Makanya ya itu tadi, saya dah niat mojok, nulis artikel.. Wong saya tuh klo nulis artikel buat ya cuman nulis di memo BB koq.. Jadi ra ketoro, Paling dipikir oleh jemaah samping saya lagi BBm-an kali.. Hehe
Nah, Pas selesai tahiyatul masjid, koq khotibnya juga pas naik mimbar.. Alhamdulillaaah jubahnya ngga item… Yaah, minimal tinggal ngelu krungu boso enggris, batin hatiku.. Sambil siap2 mengeluarkan BB ku.. Trus buka memo.. Cari file artikelku..
Tapi Masyaaa Allah, lha ini koq sejak kothib ngomong pertama kali sampai sesaat, koq aku jadi bisa nangkep yaa omongan boso enggris nya?? Aneeeh.. Bingung aku, 90% omongannya bisa saya tangkap dengan baik… Padahal saya yakin seyakin2nya toefl saya pasti tidak meningkat, dan masih tetep ‘kelas kambing’.. “Ono opo maneh iki”,batinku..
Yg jelas ada 2 hal yang bisa saya tangkap dan sangat berkesan di hati, hingga saya pengin segera nulis..
Tentang: “KOMUNIKASI Dengan TUHAN” Beliau mengingatkan jemaah, “apakah kalian paham arti Bacaan sholat?? apakah kalian paham mengapa Bacaan sujud itu emang musti diucapkan pada saat kita bersujud?? Paham ngga’ kalian makna dari Allahuma bait baini..??
”Belum selesai bingung saya, sang khotib sudah kirim sindiran berikutnya, “Dan karena sejak dahulu hingga sekarang tidak pernah ada aturan pembaharuan bacaan sholat, maka Jangan sampai ada malaikat yg senyam-senyum ngliat kalian sholat seperti menghapalkan lagu Koraoke..”. Wiiiiih.. Langsung ‘Mak Jleeg’ hati saya..
Lha gimana ngga ketampar saya? Bukankah Bacaan sholat yg saya pakai sampai saat ini, adalah bacaan yang saya peroleh saat saya diwajibkan oleh Almarhum pak Solichin guru agama kelas 1 SMA kami untuk maju dan hafalkan di depan kelas…??
“Masya Allaaaah, lha itu kan udah kejadian 30 tahun yang lalu.. dan berarti pula selama 30 tahun belakangan ini saya sholat hanya melantunkan hafalan yg artinyapun sudah ‘capet-capet’ saya mengingatnya… Jan hanya seperti layaknya berkaraoke.. Hanya hafal ucapannya, tanpa tau persis makna dan jiwanya”, batinku.. langsung lemes saya, pucet, trus mbrambangi..
“Astagfirullah.. Ya Allah maafkan hambamu, yg selama ini telah sombong, terlalu bangga dan meyakini pasti telah melaksanakan perintahmu sholat 5 waktu.. Tapi ternyata hanya sekedar melafalkan bacaan yg tidak saya pahami dan resapi artinya ya Allah”, sedih bener saya saat itu….
Belum pernah saya terpukul dan sesedih jum’at kemarin, padahal hanya karena mendengar dan memaknai kotbah yg disampaikan khotib lho.. Lha padahal yg ceramah bukan orang kita.. dan sudah seribu kali lebih sholat jum’at dengan kotbah bahasa indonesia saya lalui, Koq yaa baru kemarin terpukulnya, kotbahnya pakai boso enggris pisan….
Lha koq Belum habis sakitnya rasa terpukul saya, sang khotib menambahkan lagi ‘pukulan-pukulan’ tambahan, “sholat itu adalah salah satu cara kita berkomunikasi dengan Allah..”, sampai sini sih saya belum terpukul.. Lalu sang kotib melanjutkan kalimatnya,”jika kita ibaratkan sholat adalah komunikasi via telephone.. Siapa yg kita telephone? Allah bukan?? Naah, kira2 Allah bisa membedakan ngga? Mana2 orang yg bicara rapi, penuh makna serta tau persis apa yg disampaikan.. dibandingkan dengan orang yg asal ngomong tanpa menjiwai dan bahkan tidak tau arti yg dia sampaikan??”, tambah lemes aku…
Dan masih kata sang kotib lagi,”udah ngga menjiwai, ngga tau artinya, malah kadang2 ngga konsentrasi pikirannya melayang kemana2″ Waduuh, semakin pupus harapan saya untuk hanya sekedar dapat nilai ‘C’ atas ibadah sholat saya selama 30th terakhir ini.. Waaaah, Mules akuuu…
Kotbah jum’at kemarin semakin meyakinkan saya untuk harus segera meninjau ulang bacaan sholat dan juga Do’a2 lainnya, trus mencoba memaknai artinya, dan juga harus menjiwai..serta musti mulai konsentrasi..
Lha wong paling sering itu saya malah dapat ide untuk pekerjaan atau nulis malah ditengah2 sholat jee.. Waah, itu pasti godaan setan karena saya ngga konsentrasi.. Aseeem, selama ini malah tak anggep dapat wangsit karena sholat jeee… Aseeeeem-aseeeeem tenan setan ituu.
Dan akhirnya, hari itu juga saya langsung bereksperimen mencari solusi untuk bisa konsentrasi dalam sholat atau berdo’a.. Lha ternyata, Rupanya, dengan seksama memperhatikan kata-perkata lafal bacaan sholat atau do’a kita, Akan menambah konsentrasi kita dalam sholat ataupun berdo’a. Cobadeh.. Nanti pasti kalian rasakan….
Dan sekarang, tinggal tugas utama, mencoba menata ulang bacaan sholat, mencari artinya, dan berusaha menjiwainya pada saat telephone dengan Tuhan..!!
Kalimat penutup sang kothib juga perlu kita waspadai, cukup menampar sih,”Aneh, kalian sendiri yg berniat telephone menghubungi TUHAN, begitu udah nyambung malah nyanyi lagu karaoke, tanpa penghayatan lagi.. Apa ngga buang2 waktu??”. Hadhuuuuh… ‘Wal ashr’.. Maateeeeek akuuuu….
Tentang: “KOMUNIKASI dengan KELUARGA” “Saat ini orang2 berbondong2 bersaing untuk membeli perangkat komunikasi yg canggih.. Baik HP, ipad maupun personal computer.. Tau apa kata mereka ketika ditanya untuk apa beli?? Pasti jawabnya sama: ‘untuk membuka wawasan serta memudahkan komunikasi’… Selalu itu jawabannya..”, demikian sang kothib membuka kotbah keduanya….
“Membuka wawasan, saya setuju.. Menambah pengetahuan umat sehingga tidak ketinggalan jaman.. Saya sepakat”, lanjut sang khotib.. “Tapi masalah memudahkan komunikasi, perlu kalian tinjau ulang dan perhatikan..”, weh apalagi nih tonjokan dari sang kothib??
Dengan lantang beliau berseru, “Saat kita di luar kota, saat berjauhan dengan keluarga.. Handphone terbukti handal memudahkan kita dalam berkomunikasi dengan anggota keluarga kita… Tapi apakah kalian sadari?? Apa fungsi HP pada saat anggota keluarga berkumpul..??? Yang ada hanya Mempersulit komunikasi keluarga.. Berkumpul satu meja, tapi masing2 sibuk dengan HPnya sendiri-sendiri.. Sehingga tidak ada komunikasi di meja keluarga itu..
”Wadhuuuuuuh… Trus gimana dooong??? 
 
sumber :http://www.kajiedan.com/

Monday, May 16, 2016

Presiden Malioboro


Syukur kepada Tuhan yang memperkenankan saya berjumpa dengan Umbu Landu Paranggi. Satu-satunya orang yang pernah digelari sebagai Presiden Malioboro oleh media massa, kalangan intelektual, aktivis kebudayaan 42 tahun yang lalu. Di zaman ketika orang masih mengerti bagaimana menghormati keindahan. Di kurun waktu tatkala manusia masih punya perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung kebaikan dan masih percaya kepada kebenaran.

Kemudian sebagai “jebolan Universitas Malioboro”, hampir setengah abad saya lalui jalan sesat, dan kini saya terjebak di kurungan peradaban di mana manusia mengimani kehebatan, bertengkar memperebutkan kekuasaan, mentuhankan harta benda, bersimpuh kepada kemenangan, serta memompa-mompa diri untuk mencapai suatu keadaan yang mereka sangka keunggulan.
Secara teknis saya mengenal Umbu sebagai pemegang rubrik puisi dan sastra di Mingguan “Pelopor Yogya” yang berkantor di ujung utara Jl Malioboro Yogyakarta. Bersama ratusan teman-teman yang belajar nulis puisi dan karya sastra, kami bergabung dalam “Persada Studi Klub”. Puluhan tahun kemudian saya menyadari bahwa saya tidak berbakat menjadi penyair, dan ternyata yang saya pelajari dari Umbu bukanlah penulisan puisi, melainkan “Kehidupan Puisi” – demikian menurut idiom Umbu sendiri.
Antara Tugu hingga Kraton, terdapat empat (4) jalan. Pertama, Margoutomo. Terusannya, sesudah rel KA, bernama Malioboro. Jalan lanjutannya adalah Margomulyo. Kemudian dari Kantor Pos hingga Kraton adalah Jalan Pangurakan. Sekarang jalan itu bernama Jl. Mangkubumi dan Jl. Jendral Ahmad Yani: wacananya, filosofinya, kesadaran sejarahnya, sudah mengalami perubahan dan penyempitan, dari falsafah karakter manusia ke catatan romantisme sejarah. Hari ini bahkan Malioboro adalah pariwisata, kapitalisme dan hedonism pop.

Wali Pengembara

Ketika berdiri, kepemimpinan kesultanan Yogya meyakini bahwa setiap manusia sebaiknya memastikan dirinya menempuh “jalan utama”. Tafsir atas “jalan utama” sangat banyak. Bisa pengutamaan akal dan budi, bukan menomersatukan pencapaian kekuasaan, kesejahteraan ekonomi atau eksistensialisme “ngelmu katon” alias kemasyhuran yang pop dan industrial. Bisa juga jalan utama adalah “berbadan sehat, berbudi tinggi, berpengetahuan luas, berpikiran bebas”, atau apapun yang intinya memaksimalkan peran kemanusiaan untuk fungsi “rahmat bagi seluruh alam semesta”.
Untuk menguji diri dalam pilihan jalan utama, maka “Malio-boro”. “Malio” artinya “jadilah Wali”, mengelola posisi kekhalifahan, menjadi wakil Tuhan untuk memperindah dunia, “mamayu hayuning bawana”. Malioboro artinya jadilah Wali yang mengembara (“boro”): mengeksplorasi potensi-potensi kemanusiaan, penjelajahan intelektual, eksperimentasi kreatif, berkelana di langit ruhani. Nanti akan tiba di jalan kemuliaan (Margo-mulyo). Dalam idiom Islam, yang diperoleh bukan hanya ilham (inspirasi) dari Tuhan, tapi juga fadhilah (kelebihan), ma’unah (keistimewaan) dan karomah (kemuliaan).
Di ujung jalan Margomulyo, orang menapaki Pangurakan. Jiwanya sudah “urakan” (ingat Perkemahan Kaum Urakan-nya Rendra di awal 1970an?): sudah berani mentalak kepentingan dunia dari hatinya, “ya dunya ghurri ghoiri, laqat thalaqtuka tsalatsatan”: wahai dunia, rayulah yang selain aku saja, sebab kamu sudah kutalak-tiga. Bahkan “diri sendiri” sudah ditalak, karena “diri sejati” adalah kesediaannya untuk berbagi, kerelaannya untuk menomersatukan orang banyak. Parameter manusia bukanlah “siapa dia”, melainkan “seberapa pengabdiannya kepada sesama”.
Memilih Presiden 2014 sangat mudah: pandangi wajahnya dan pelajari perilaku hidupnya, apakah penempuh jalan Margoutomo, Malioboro dan Margomulyo. Raja-raja sejati nenek moyang kita mengakhiri hidupnya dengan merohanikan diri, menjadi Begawan, Pandita, Panembahan. Raja yang sibuk mengatur agar penguasa berikutnya adalah sanak familinya, tidak punya kwalitas memasuki jiwa Pangurakan, karena memang tidak pernah memilih jalan utama, mewali-pengembara sehinga lolos masuk jalan mulia.

Kekasih Umbu

Ah, tetapi itu terlalu muluk. Untuk Presiden Malioboro ini saya kembali saja ke sesuatu yang kecil dan sepele.
Menjelang tengah malam, di tahun 1973, Umbu datang ke kamar kost saya dan mengajak pergi. Sebagaimana biasa saya langsung tancap, berjalan cepat mengejar langkah Umbu yang panjang-panjang. Hampir tiap malam kami jalan kaki menempuh sekitar 15 sd 20 km di jalanan Yogya. Sebulan dua bulan sekali kami mengukur jarak Yogya ke Magelang, ke Klaten, ke Wates, ke Parangtritis, dengan jalan kaki. Atau duduk saja di trotoar sesudah toko-toko tutup hingga pagi para pelajar berangkat sekolah.
Umbu mengajak saya “mlaku”, bukan “mlaku-mlaku”. “Jalan”, bukan “jalan-jalan”. Ada beda sangat besar antara “ngepit” dengan “pit-pitan”, antara naik sepeda dengan bareng-bareng bersepeda gembira. Sangat beda antara bekerja dengan hiburan, antara berjuang dengan iseng-iseng, antara makan beneran dengan mencicipi, antara jalan kaki sunggugan dengan jalan-jalan. Kalau pakai konsep waktu: yang satu menghayati, lainnya melompat. Yang satu mendalami, lainnya menerobos. Yang satu merenungi, lainnya memenggal.
Harian lokal Yogya pernah memuat foto sangat besar almarhum Prof. Dr. Umar Kayam di halaman depan sedang naik sepeda, menempuh jarak 150 meter dari Bulaksumur B-12 ke kantornya di E-12. Pak Bon kantor menyongsong juragannya, menyodorkan koran itu dan nyeletuk: “Bapak ampuh tenan. Baru mulai kemarin naik sepeda ke kantor sudah keluar di koran. Kok saya sudah 30 tahun lebih naik sepeda 30-an km tiap hari pulang pergi dari Gunung Kidul ke kantor, kok ndak masuk koran ya Pak..”  Maklumlah Pak Bon tidak mengerti apa-apa tentang jurnalisme. Sambil jalan kaki dengan Umbu saya tersenyum-senyum sendiri kalau ingat protesnya Pak Bon.
Malam itu Umbu menerobos Keraton Yogya bagian tengah dari arah barat, menempuh sekitar 3 km, Umbu mengajak berhenti di warung kecil seberang THR. Duduk. Pesan teh nasgithel, berjam-jam tidak bicara sepatah katapun, ah-uh-ah-uh sendiri-sendiri, hingga pukul empat fajar hari. Beberapa kali dengan dua jari Umbu mengambil batangan rokok di kedalaman sakunya tanpa menoleh ke saya — jangankan mengeluarkan bungkusnya dan menawarkan agar saya juga menikmatinya.
Ketika jam empat tiba, Umbu bergumam lirih, “Coba lihat keluar, Em….”. Saya bertanya, “Lihat apa, Mas?”, dia menjawab, “Perhatikan nanti ada Bis Malam dari Malang masuk Yogya….”. Saya melompat keluar, berdiri, berjaga-jaga di tepi jalan. Sebab saya mengerti, “Bus” nya tidak penting, tapi “kota Malang” itu sakral baginya. Ia berkait erat dengan kekasih hatinya.
Umbu sedang sangat jatuh cinta kepada seorang pelukis mahasiswi ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) asal Malang, gadis hitam manis, kurus, bergigi gingsul. Umbu mengambil saya sebagai tenaga outsourcing gratisan untuk mengerjakan program-program cintanya. Job description saya mengamati rumah tempat ia kost, posisi kamarnya, arah pintunya, route kegiatannya, dan yang terpenting meneliti apakah si gadis pernah memakai rok. Sebab rata-rata pelukis wanita berpakaian lelaki. Kalau sempat melihatnya pakai rok, harus didata apakah maksi, midi ataukah mini. Ketika pada suatu malam Minggu saya diperintahkan untuk bertamu ke rumah gadis itu sebagai “Duta Cinta”, jauh malam sesudahnya saya diinterogasi: “Apakah dia nemuin Emha pakai rok? Bagaimana bentuk kakinya?”
Ketika mendadak Bis Malam “AA” meluncur dari arah selatan, saya kaget. Langsung saya teriak dan berlari memberitahu Umbu. Tapi dia tidak menunjukkan perilaku seperti lelaki yang jatuh cinta dan rela berjam-jam menunggu kekasihnya tiba. Di dalam warung Umbu tetap menundukkan wajah, mengisap rokok, tidak bereaksi kepada teriakan saya. Justru ketika suara bis menderu, wajahnya makin menunduk.
Semula saya pikir si kekasih akan turun di depan THR karena kencan dengan Umbu. Ternyata kemudian saya ketahui bahwa si kekasih bukan sedang naik bis dari Malang ke Yogya. Umbu hanya menikmati nuansa bahwa jalur Malang-Yogya itu paralel dengan jalur cinta yang sedang dialaminya. Ia cukup mendengar suara bus itu lewat, cukup baginya untuk menghadirkan kekhusyukan cintanya. Begitu bus sudah lewat, Umbu mengajak saya pulang, dia ke ujung Malioboro utara, saya balik ke barat Keraton.
Beberapa hari kemudian Umbu memerintahkan agar saya beli tiket bus malam Yogya-Malang pp. Saya mengantarkannya sampai bus berangkat. Dia melaju. Subuh tiba di Malang, Umbu turun sebelum Tugu masuk pusat kota Malang. Jalan kaki masuk ke wilayah timur. Melintasi Jl Diponegoro, di situ rumah sang kekasih. Berjalan cepat, menundukan wajah, tidak sesekonpun berani menoleh ke rumah si gadis pujaan. Kemudian berputar balik ke jalan besar, mencegat bis menuju Surabaya, terus ke Yogya. Sorenya sudah datang lagi ke tempat kost saya: duduk, ah-uh-ah-uh, mengambil batang demi batang rokok dari sakunya dengan jepitan dua jari-jarinya. Tak ada kata tak ada huruf hingga pagi.

“Kehidupan Puisi”

Beberapa tahun kemudian Umbu pindah tinggal di Bali. Demikian juga si kekasih rohaninya, diperistri oleh seorang tokoh di Bali, kelak Tuhan memanggilnya ketika bermain surfing di pantai, sebagaimana Umbu sepanjang hidupnya “surfing” di atas gelombang demi gelombang, tanpa pernah mungkin bertempat tinggal di atas gemuruh lautan.
Siapapun pasti menyebut percintaan Umbu itu “platonik”, pengkhayal, hidup tidak di dunia nyata. Dunia yang gegap gempita ini memang tidak nyata bagi Umbu. Maka ia tidak pernah memburu wanita itu untuk disentuh dan diperistrikannya. Sampai hari ini Umbu mengayomi anak-anak muda belajar menulis puisi, tapi Umbu sendiri menjauhi eksistensi sebagai penyair. Di tahun 1973 puluhan puisinya akan dimuat oleh Majalah “Horizon” elite media sastra di era 1970an: Umbu diam-diam masuk ke percetakan di mana majalah itu dicetak, mencuri puisi-puisinya sendiri, dan menyembunyikannya sampai hari ini. Umbu sangat curiga kepada kemasyhuran dan popularitas.
Sejak 50 tahun silam meninggalkan harta kekayaan dan kekuasaannya sebagai “Pangeran” di Sumba. Di pinggiran Denpasar ia menempati rumah tepi hutan karena ia menghormati  temannya yang membikinkan rumah itu. Umbu tiap saat berjalan kaki menjauh dari segala sesuatu yang semua orang di muka bumi mengejarnya. Ia menyebut seluruh keputusannya itu dengan idiom “kehidupan puisi”. Saya mengenalinya sebagai “zuhud”: berpuasa dari kemewahan dan gegap gempita dunia. Ia meninggalkan harta, kekuasaan, wanita, kemasyhuran dan menyimpan uang dalam bungkusan plastik dipendam di tanah.
Saya bukan siapa-siapa di dunia, tetapi kapan ada yang tanya siapa Guru saya, baru nama Umbu yang pernah saya sebut. Puluhan tahun saya berkeliling berjumpa dengan jutaan orang. Rata-rata mereka adalah orang memperlakukan saya sebagai keranjang sampah untuk mengeluhkan dunia, membuang kesedihan dan frustrasi, menumpahkan kebingungan dan rasa tertekan oleh keadaan-keadaan dunia yang menindas mereka. Kecuali Umbu: ia bahagia dan khusyu dalam kesunyian dan “ketiadaan”nya.
Di mana-mana sajapun orang riuh rendah mengejar dunia, tetapi di mana-manapun saja orang ribut curhat tentang dunia. Ke manapun saya pergi, ke delapan penjuru angin, dari bawah sampai atas, pada segmen dan level sosial yang manapun, yang terutama saya dengar dan disampaikan kepada saya adalah keluhan-keluhan tentang dunia: kemiskinan, kesulitan mencari nafkah, susahnya dapat kerjaan, seretnya usaha.
Terkadang saya balik tanya, dengan terminologi Agama: “Lha kamu hidup ini mencari dunia atau akhirat?”. Kalau ia menjawab “mencari dunia”, saya tuding “salahmu sendiri dunia kok dijadikan tujuan”. Kalau jawabannya “mencari akhirat”, saya katakan “kalau kamu mencari akhirat kenapa mengeluhkan dunia”. Kan sudah jelas sejak dahulu kala bahwa “urip ming mampir ngombe”, hidup hanya mampir minum. Namanya juga mampir, singgah sejenak, bukan bertempat tinggal. Sudah jelas dunia hanya tempat persinggahan sementara di tengah perjalanan, kok disangka kampung halaman.
Sayangnya Tuhan menyatakan – dan mungkin memang sengaja menskenario demikian — “kebanyakan manusia tidak mau berpikir”, atau minimal “banyak di antara manusia yang tidak menggunakan akal”. Karena kemalasan mengolah logika dan sistem ratio, orang menyangka “dunia” dan “akhirat” itu dua hal yang berpolarisasi, berjarak dan bahkan bertentangan. Orang ketakutan menyikapi dunia kritis karena mengira kalau mencari akhirat maka tak mendapatkan dunia. Orang mengira kalau tidak habis-habisan kejar uang maka ia tidak memperoleh uang.
Mengejar uang adalah pekerjaan dunia, pekerjaan paling rendah. Bekerja keras adalah pekerjaan akhirat, di mana dunia adalah salah satu tahap persinggahannya untuk diolah. Orang yang fokusnya bekerja keras memperoleh lebih banyak uang dibanding orang yang fokusnya adalah mengejar uang. Orang yang yang mencari dunia, mungkin mendapatkan dunia, mungkin tidak. Orang yang mengerjakan akhirat, ia pasti dapat akhirat dan pasti memperoleh dunia.
Begitu kumuh dan joroknya situasi ummat manusia berebut dunia. Dan begitu indah dan bercahayanya “kehidupan puisi” Umbu. Suatu hari saya mohon izin untuk membuktikan bahwa keindahan sesungguhnya adalah puncak kebenaran dan kebaikan. Peradaban manusia sampai hari ini menjalankan salah sangka yang luar biasa terhadap keindahan.

sumber :https://caknun.com
images :http://umbulanduparanggi.blogspot.co.id

Kelas Sufi Bolot

Sebaiknya jangan ada yang berpikiran bahwa Mr. Bolot ini tokoh fiksi, figur khayalan, atau pelakon karangan sebagaimana dalam drama atau novel.

Saya berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa semoga Ia mendatangkan makhluk jenis Bolot ini ke rumahmu. Ikut mendidik anak-anakmu. Sesering mungkin. Syukur tinggal di rumahmu. Alhamdulillah kalau ndungsel-ndungsel dan menguntitmu ke mana saja. Ya Tuhan kabulkanlah harapanku. Apabila ada yang tidak setuju dan menolak doaku, saya tingkatkan permohonan saya kepada Tuhan agar mendatangkan kepada tokoh lain yang lebih kumuh, lebih gila dan liar dibanding Bolot.
Terus terang yang paling urgen bagi ummat manusia zaman sekarang ini adalah membongkar kembali konstruksi pikiran dan pola pandangnya terhadap kehidupan.
Supaya besok tidak kaget, ketika saatnya tiba.
***
Sesudah Bolot pergi membawa sangu patungan Tonjé dan Kasdu, dua teman Markesot ini berpikir apakah gelandangan perlente ini nanti akan balik lagi ke Patangpuluhan sebagaimana dulu ketika bertamu kepada Markesot?
Ternyata iya. Kasdu langsung bilang, “Markesot tidak ada. Sejak kamu datang tadi Markesot juga tidak ada. Kan kalau saya tanya kenapa kamu balik lagi ke sini, alasanmu pasti karena masih kangen kepada Markesot, to?”
Karena sudah pakai celana dan kaos dan berpenampilan normal, Bolot menjawab lebih gagah dibanding ketika pertama datang tadi.
“Apa bedanya ada Markesot atau tidak?”, katanya, “Apakah untuk bertemu Markesot harus ada Markesot?”, dan berkepanjangan, “Hidup ini arahnya cuma satu, yakni bertemu dengan Tuhan. Tapi apakah untuk berjumpa dengan Tuhan maka Tuhan harus ada di depan kita, tampak di pandangan mata kita, duduk di sini ngopi bersama?”
Benar-benar berkepanjangan.
“Apakah untuk naik haji harus naik kapal atau pesawat ke Mekah? Orang gila keturunan siapa yang mengharuskan saya beli tiket ke Arab? Sedangkan celana dan kaos saja belum tentu ganti tiga tahun sekali. Siapa bilang untuk berthawaf saya harus berada di Masjidil Haram dan mengelilingi Ka`bah dengan kaki jasad saya? Siapa tahu Pemilik Ka`bah terharu melihat gelandangan seperti saya lantas suatu saat membawa Ka’bah ke saya untuk saya thawafi? Atau bagaimana kalau ternyata sebelum saya berthawaf malahan Ka`bah itu sendiri yang duluan menthawafi saya?”
Tonjé dan Kasdu berpandangan satu sama lain dengan tersenyum dan penuh kesabaran.
“Hajar Aswadnya ikut sekalian bersama Ka`bah mendatangi kamu apa nggak?”, Kasdu menyela.
“Itu hak asasi dia”, jawab Bolot, seolah-olah ia seorang Sufi agung campur cendekiawan modern, “Kan Tuhan menyatakan bahwa kalau saya mendatanginya selangkah, Ia menghampiri saya sedepa. Kalau saya setengah meloncat kepada-Nya sedepa, Ia merapat ke saya sepenggalah. Hajar Aswad mungkin sudah dibisiki oleh beberapa Malaikat tentang sialnya hidup saya. Orang dari negeri jauh secara ruang maupun waktu. Jauh dari Kanjeng Nabi. Tempatnya sangat di seberang, waktu kelahiran saya juga sangat terlambat dibanding masa hidupnya Kanjeng Nabi. Bukankah karena itu maka rasa sayangnya Kanjeng Nabi kepada saya berlipat-lipat dibanding kepada para sahabat yang hidup bareng beliau waktu itu di Mekah atau Madinah? Lha saya kan di Blitar…”
***
Tonjé menyela, “Kamu ini sedang senang atau sedih? Sedang merayakan keadaanmu atau meratapi?”
“Apa bedanya perayaan dan ratapan untuk orang seperti saya. Kesenangan tidak mau mendatangi saya, maka kesedihan pun saya usir dari hidup saya. Kalau kesedihan mau tinggal bersama saya, harus nikah dulu dengan kesenangan di dalam diri saya. Kalau tidak, saya tolak kedua-duanya. Jangan main-main dengan Pendekar dari Blitar”
“Memangnya kenapa kalau main-main dengan Pendekar dari Blitar?”, Kasdu bertanya.
“Ya ndak apa-apa. Pokoknya jangan gitu aja. Tidak pakai sebab atau karena atau maka. Hidup cuma sekali kenapa direpotkan oleh sebab dan karena dan maka. Tiap hari, tiap minggu, bulan, tahun, tiap siang dan malam saya berjalan, berjalan, berjalaaan, menthawafi dunia. Orang-orang itu cuma mengelilingi Ka`bah tujuh kali saja bangga dan merasa berprestasi. Kalau diukur dengan pencapaian orang menthawafi sorga, berapa ratus ribu kali saya sudah menthawafinya”
“Tapi kan bukan Ka`bah”, celetuk Tonjé, “yang kamu lakukan selama ini kan berjalan ke mana-mana di jalanan, alasannya karena tidak punya tempat tinggal. Sedangkan orang berthawaf kan beribadah”
“Jadi melangkahkan kaki dan menggerakkan badan siang malam ini bukan ibadah? Apa namanya kalau bukan ibadah? Tuhan kasih kaki, saya pakai untuk berjalan. Tuhan kasih saya badan, saya gerakkan. Bukan ibadah bagaimana? Kalian pikir saya berjalan kaki ada tujuannya selain mensyukuri bahwa saya punya kaki dan badan? Kalian pikir saya melangkahkan kaki untuk mengejar uang, harta, cita-cita, karier, pangkat, jabatan, kemasyhuran, atau apa saja yang menghina kaki dan badan? Saya berjalan karena Tuhan menciptakan saya berkaki, maka Tuhan senang hatinya kalau saya berjalan. Saya berjalan di dunia, tapi tidak menuju dunia. Saya berjalan di atas bumi, tapi tidak untuk memiliki bumi. Saya berjalan menyusuri alam semesta, tanpa pernah saya punya pikiran untuk menguasainya, apalagi menaklukkannya. Saya berjalan karena hidup adalah terus berjalan sampai saatnya nanti saya tidak lagi bisa berjalan”
***
“Yaaa tapi bumi dan alam semesta kan tidak sama dengan Ka`bah”, Tonjé menyela lagi, “Beda dong orang berjalan menyusuri jalanan seperti kamu dengan orang mengelilingi Ka`bah”
“Memang beda”, jawab Bolot, “tapi tidak berbeda. Sudah sangat jelas bahwa itu berbeda. Yang satu halaman dalam Masjidil Haram dengan Ka’bah di tengahnya. Yang saya jalani ini ya mana saja yang mungkin saya melangkahkan kaki. Tapi kalau kalian memakai alasan bahwa Ka`bah itu rumah Tuhan, memang sebelah mana dari jagat raya ini yang bukan rumah Tuhan. Memang ada bedanya rumah Tuhan yang ini dengan rumah Tuhan yang itu. Tidak sama rumah Tuhan yang di sana dengan rumah Tuhan yang di sini. Tapi kan semua rumah Tuhan. Bahwa Tuhan menyebut Ka`bah sebagai rumah-Nya, itu kan strategi geografis untuk mempersatukan ummat manusia yang mencintai-Nya. Tetapi kenyataan hakikinya ‘semua’ dan ‘setiap’ adalah rumah Tuhan. Bahkan Tuhan juga berumah di dalam dada saya..”
“Sejak kapan Tuhan berumah?”, Kasdu menggoda.
“Tuhan menyebut Ka`bah sebagai rumah-Nya itu kan cara untuk menyesuaikan diri dengan batas pengetahuan dan ilmu yang Ia sendiri tentukan bagi manusia. Bahasa jelasnya, adaptasi terhadap kedunguan manusia, meskipun Tuhan sendiri yang mentakdirkan manusia itu dungu, berilmu hanya sangat sedikit”
“Termasuk kamu?”
“Pasti lah. Karena saya sangat tahu betapa dungu dan tak berartinya saya, maka saya tidak sudi menghiasi hidup saya dengan keindahan dunia. Saya terima celana dan kaos dari Sampeyan tadi bukan karena saya memerlukannya, tapi sebagai kewajiban menjalankan sopan santun kepada sesama manusia. Aslinya saya pengin-nya telanjang bulat seratus persen. Cuma saya kasihan kepada orang-orang sekitar yang melihat saya. Saya tidak tega kepada anak-anak kecil dan siapa saja yang nanti pasti menyangka saya orang gila, sehingga merendahkan dan memain-mainkan saya. Saya suka dianggap gila, saya merasa nikmat untuk dimain-mainkan. Tetapi saya kerepotan berdoa kepada Tuhan agar mengampuni mereka”
“He”, Kasdu memotong, “Kamu kok tidak jadi Dosen saja to? Kok malah nggelandang seperti ini. Padahal rasa-rasanya kamu layak bikin Kelas Sufi lho. Atau apa saja lah. Yang penting hidupmu berguna”
“Lho siapa manusia di dunia ini yang menginginkan ada manusia berguna? Yang mereka maui adalah orang yang memberikan keuntungan kepada mereka, terutama keuntungan dunia, uang, harta, jabatan, akses dan yang sejenis itu. Yang dimaksud guna atau manfaat sekarang ini adalah keuntungan dunia. Sangat memalukan. Jadi saya tidak mau terlibat sedikit pun. Nol. Total”.

Hujan Deras Tidak Basah Kuyup

Apakah aku menganjurkan agak anak cucuku dan para jm untuk menjauh dari hutan belantara yang berisi semakin banyak ketidakberadaban manusia? Mengajak mereka untuk menghindar, untuk pergi dengan sikap sok suci, atau bahkan meninggalkannya? Atau sekurang-kurangnya menjaga diri agar steril dari lingkungan ketidakberadaban itu?

Sama sekali tidak.
Bahkan tidak juga mengajak untuk mengutuk dan membenci. Apalagi secara emosional dan terburu nafsu merancang suatu bangunan negara atau pemerintahan baru yang disangka akan lebih baik dari yang dilawan.
Mungkin menganjurkan untuk melawan dengan perhitungan yang benar-benar  terukur. Atau kalau sangat kecil kemungkinan untuk melawan, sekurang-kurangnya menjaga diri sendiri semampu-mampunya untuk tidak menjadi bagian dari ketidakberadaban itu. Tetapi anak cucuku dan para jm bertanya bagaimana mungkin kita diguyur hujan dangat deras tanpa menjadi basah kuyup?
Bagaimana mungkin menghindari budaya pencurian di kantor? Bagaimana mungkin aku mengelak dari domino korupsi struktural yang sudah berlangsung seperti aliran darah yang mengalir dan menjadi tulang punggung kehidupan di kantor? Yang budaya vertikal horisontal antar petugas-petugasnya, atasan dan bawahannya, sudah hampir tidak mungkin menghentikan sistem pencurian bersama? Yang bahkan aturan dan undang-undangnya disusun berdasarkan kepentingan untuk memudahkan permalingan bersama itu?
Anak cucuku dan para jm menyatakan bahwa ia akan terpental jika tidak bergabung di dalam kultur sistemik permalingan itu. Ia tidak akan bisa berkembang. Atau bahkan dimutasi, dipindahkan ke daerah-daerah terjal, atau kalau kadar perlawanannya meningkat, ia akan dipecat, meskipun prosedur teknis dan performanya tidak terlihat sebagai pemecatan.
***
Anak cucuku dan para jm bertanya ke mana aku akan pergi selain di bawah hujan deras itu? Wilayah mana yang bisa aku tinggali dan pekerjaan apa yang bisa kujalani yang berada di luar area hujan deras itu?
Negara berubah menjadi pasar rimba penghancur semua yang lemah. Ideologi menjadi topeng, agama berpusat pada kemunafikan, kemanusiaan diputus talinya dari belakang dan ke depan. Kesucian rakyat dilacuri sampai benar-benar menjadi pelacur.
Peradaban yang pilarnya adalah Ksatria diambil alih oleh Raksasa. Jalan menjadi tujuan. Tuhan dijadikan faktor produksi dan promosi. Kitab Suci dibuka dicari ayat-ayat yang diletakkan pada tempat yang tidak seharusnya, karena gunanya firman Tuhan adalah untuk meneguhkan pengambilan keuntungan harta benda dunia.
Pengurus negara yang berkewajiban melindungi dan menyejahterakan rakyat yang mengamanatinya berlaku sebaliknya: menyusun sistem manajemen pemiskinan. Pemerintah yang diperintah oleh rakyatnya untuk mengelola tanah airnya, melakukan penggadaian dan penjualan besar-besar tanah dan air, isi daratan dan muatan lautannya. Penguasa yang digenggami kekuasaan malah dikuasai oleh penguasa lain dan menandatangani surat-surat penguasaan oleh penguasa lain itu atas harta benda rakyatnya.
Peradaban yang penghuni mayoritasnya adalah pengemis dan minoritasnya perampok. Setiap warga mayoritas belajar di sekolah demi agar bisa mendaftar ikut merampok, kemudian jika gagal mereka menadahkan tangan semoga memperoleh sedikit atau banyak cipratan dari hasil-hasil rampokan.
Anak cucuku dan para jm bertanya ke mana kami akan pergi? Sampai berapa lama kami mampu bertahan tak ikut merampok, dan hingga kapan kami dengan keluarga-keluarga kami bertahan lapar demi tidak menjadi pengemis? Hujan deras di mana-mana dan semakin deras. Desa-desa menjadi kota, dan kota-kota menjadi hutan belantara.
***
Pemimpin besar kami, kata engkau anak cucuku dan para jm, menyebutkan bahwa hidup ini diciptakan Tuhan dengan ummat manusia menjadi wakil kepengurusan-Nya agar kita semua saling mengamankan, saling memperjanjikan dan mengundang-undangkan suatu tatanan dan aturan untuk menjamin keamanan satu sama lain.
Keamanan nyawa, keamanan martabat dan keamanan harta.
Kami tidak sanggup menjaga titipan harta kekayaan Tuhan ini dari cengkeraman dan penguasaan golongan-golongan makhluk yang menyelenggarakan program pengambilalihan kekayaan Tuhan itu dari kami. Bertahap-tahap selama ratusan tahun titipan-titipan Tuhan itu lepas dari tangan kami, dan Tuhan tidak menghalangi semua itu terjadi.
Kekayaan titipan Tuhan semakin kikis dan di ambang sirna. Dan demi supaya masih bisa bertahan hidup, sebagian besar dari kami merelakan musnahnya martabat kemanusiaannya. Kami hidup di tengah rakyat, masyarakat dan ummat yang sudah mengikhlaskan ambruknya martabat, asalkan nyawa tidak hilang dan masih sekedarnya memperoleh sisa harta yang semakin kikis.
Penjajahan demi penjajahan, dengan bentuk dan formula yang terus diperkembangkan dan dimatangkan, sampai tahap di mana kebanyakan manusia tidak lagi mengetahui bahwa mereka sedang dijajah. Tidak hanya penjajahan yang samar dan tak kasat mata, sedangkan penjajahan yang terang benderang berwujud penjajahan pun sudah tidak dipahami sebagai penjajahan.
Anak cucuku dan para jm bertanya ke mana kami akan pergi? Ke manapun kami melangkah, tak bisa lolos dari guyuran air hujan yang deras dan semakin deras.
Anak cucuku dan para jm menagih kalimatku “sederas-deras air hujan, sela-sela kosong di antara titik-titik hujan masih lebih luas dibanding jumlah volume seluruh air guyuran hujan”.
Anak cucuku dan para jm mempertanyakan mana mungkin berjalan di bawah derasnya hujan, bisa tidak basah kuyup?
Dari cn kepada anak-cucu dan jm
8 Maret 2016


sumber : https://caknun.com/ 

Be a ‘Qouman Akhor’

Saimon yang menggoda-goda terus membuat Markesot agak terbakar. Rasanya memang perlu segera membuat semacam goncangan di dunia manusia. Markesot jadi ingin mempercepat perjalanannya untuk menemukan Kiai Sudrun. Tapi ia masih toleran pada kunjungan Saimon. Tidak bisa memotong prosesnya begitu saja.
Yang dimaksud guncangan oleh Markesot kalau bahasa anak remaja sekarang ya Revolusi. Suatu jenis perubahan yang menyeluruh, melibatkan hampir semua faktor di dalam Negara, Kerajaan atau apapun beserta rakyatnya, lengkap dengan pengubahan susunan kekuasaannya, tata nilai sistemnya.
Menjebol, merobohkan, menghancurkan, memusnahkan yang lama dan menggantinya dengan yang baru. Seolah-olah memulai kehidupan dari nol kembali. Tidak hanya soft reset, tapi hard reset. Bahkan mengganti seluruh perangkat dalam CPU-nya, memperbaharui OS-nya, sifat-sifat dasar mekanismenya, sampai semua aplikasinya. Semuanya.
Ibarat Kiamat Kecil. Tuhan membatalkan makhluk yang lama yang gagal sejarah, menggantikannya dengan “qoumun akhor”. Manusia-manusianya boleh tetap yang kemarin, tetapi ia bukan yang kemarin, karena mereka bangun dengan kesadaran baru, tekad baru, aspirasi dan cita-cita yang baru.
Namanya maupun sejumlah perangkat dan aturannya boleh tersisa yang lama asalkan dengan prinsip baru. Perubahan dari akarnya. Perubahan substansial setotal-totalnya. Bahkan setiap orang merelakan sangat banyak hal harus diubah di dalam diri mereka masing-masing, demi perubahan bersama yang mendasar dan sungguh-sungguh.
Dan Markesot merasa sanggup merintis dan melakukan itu semua. Dengan semacam Ilmu Sihir berskala kosmis, dihembuskan dengan semacam “shoihatan wahidatan”, suatu teriakan agung, menghentak dan menggelegar, sejauh skala yang diperlukan, melalui aktivasi jaringan dan tekan tombol “on” sebagaimana yang dinanti-nantikan.
***
Jangan bernafsu dulu. Pelan-pelan pahami. Itu Markesot merasa sanggup. Tidak sama dengan Markesot benar-benar sanggup. Kalau ada orang Jawa, pahami bahwa Markesot sedang “rumongso biso”, selidiki dulu dengan saksama apa ada dimensi “biso rumongso”, yang membuat pernyataan itu objektif faktual pada dirinya sendiri.
Salah satu kemungkinan terbesarnya adalah Markesot sekadar berbesar kepala sehingga “merasa bisa”, tanpa “bisa merasa”. Siapa saja yang menemukan itu jangan pula terkejut, kalau memang sudah mengenal siapa dan bagaimana kebiasaan hidup Markesot.
Walhasil, Markesot itu disimplifikasi saja. Mungkin dari tengah proses perjalanannya ada hal-hal tertentu yang menarik untuk dipelajari, bagi siapapun yang tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menghikmahi peristiwa-peristiwa dan makna-makna dalam kehidupan. Tetapi kalau upaya penghikmahan itu terlalu merepotkan, dan bisa memerosokkan ke alam takhayul, lebih afdhal kalau Markesot disederhanakan saja.
Misalnya, seluruh perilaku dan perjalanan Markesot ini sebenarnya tidak lebih tidak kurang merupakan peristiwa keputus-asaan. Gitu saja lebih memudahkan. Markesot usil dan ge-er memikirkan hal-hal besar yang di luar jangkauannya. Akibatnya kepalanya pecah sendiri. Ambil kesimpulan seperti itu, kemudian pastikan untuk jangan sampai ada persentuhan lagi dengan Markesot.
Halangi jangan sampai dia terlibat di dalam proses berpikirmu. Pagari jangan sampai ia memasuki mimpimu. Bikin tembok setebal-tebalnya jangan sampai kata Markesot terdaftar dalam peta ingatanmu. Sebab kalau ada persentuhan sedikit saja, tiba-tiba kau dengar keras sekali ia melontarkan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam diri, padahal tidak pernah kau ungkapkan kepada Markesot.
***
“Siapa bilang kepala saya pecah?”, suara Markesot nanti mengiang-ngiang di kepalamu, “Saya justru sangat menikmati ini semua”
Lho, kok menikmati?
“Karena banyak sekali lucu-lucunya”
“Lucu bagaimana. Negara mau ambruk gini kok dibilang lucu”
“Salahnya kamu hidup di sini, sehingga tidak merasakan apa yang lucu. Semestinya kau patuhi fatwa dalam teks lagu kebangsaanmu: Di sanalah aku berdiri. Di sana. Kok kamu di sini”
“Tapi Cak Sot kan juga berdiri di sini”
“Tubuhku di sini, tapi hatiku di sana”
“Jadi Sampeyan tidak mencintai Negara kita? Jadi Indonesia tidak ada di hati Cak Sot?”
“Badanku di Indonesia, hatiku di Negeri Nusantara Khatulistiwa”
“Gitu-gitu itu nambah ruwet, Cak Sot”
“Lho, yang ini memang pernah Negara, tapi akhir-akhir ini semakin bukan Negara. Maka untuk sementara saya berdiri di sana: di Negeri Nusantara Khatulistiwa”
“Ah, itu cuma istilah atau retorika saja, Cak Sot”
“Kok retorika bagaimana. Negara ya tidak sama dong dengan Negeri. Hurufnya saja beda. Apalagi definisinya. Terlebih lagi maknanya”
“Beda gimana?”
“Negeri lebih luas dari Negara. Negeri itu dimensinya lebih luas: kultural, kemanusiaan, spiritual. Di dalam Negeri kami belajar dan mempelajari Negara, karena yang sekarang mengaku Negara, semakin kehilangan logika dan legalitas dan tanggung jawab untuk disebut Negara”
“Wah njlimet itu, Cak Sot”
“Saatnya nanti akan tiba kalian yang secara resmi disebut warga-warga Negara, menyadari bahwa kalian sedang hidup di wilayah Gagal Negara”
***
Mudah-mudahan jelas sekarang kenapa jangan bersentuhan sedikit pun dengan Markesot, meskipun sekadar dalam mimpi. Kecuali kalian punya ketahanan untuk disiksa oleh igauan dan omelan orang gila.
“Kenapa para warga Negara tidak menggunakan kedaulatannya sampai sejauh ini?”
“Yang berdaulat kan Negara, Cak Sot”
“Lho gimana. Kalimat pusaka kalian sejak kemerdekaan dulu kan Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan setiap orang yang menghuni Negara. Kedaulatan berpikir. Kedaulatan mengambil keputusan. Kedaulatan untuk ya atau untuk tidak”
“Kan Negara ada tatanannya, ada aturan dan sistemnya, Cak Sot. Kedaulatan rakyat diwakilkan pada orang-orang yang terpilih. Kan mustahil kalau 350 juta rakyat harus kumpul jadi satu melakukan sidang-sidang”
“Baiklah. Kalau begitu untuk sementara biarlah para aktivis Negeri mencoba menggunakan kedaulatannya untuk berikhtiar menolong recovery Negara. Atau membiarkan Negara tetap bukan Negara. Atau memaksa-maksakan pikiran untuk meyakini bahwa yang bukan Negara ini adalah juga Negara. Atau silakan juga kalau maunya tetap menikmati hidup mandiri di wilayah konteks Negeri sebagaimana selama ini”.

sumber : https://caknun.com/

Kisah Gunung Sourabaya di Samudera Atlantik

Afif Farhan - detikTravel - Senin, 16/05/2016 19:30 WIB
South Georgia & South Sandwich Islands - Jauh di Samudera Atlantik ada pulau kecil namanya Bristol. Di sinilah, Gunung Sourabaya baru saja meletus. Yang jadi pertanyaan, mengapa nama gunungnya mirip seperti nama kota di Jawa Timur?

Dalam situs resmi NASA, earthobservatory.nasa.gov yang ditengok detikTravel, Senin (16/5/2016) Gunung Sourabaya baru saja meletus pada rentang waktu akhir bulan April dan awal bulan Mei 2016 tepatnya tanggal 24 April dan 1 Mei. Gunung itu pun tercatat, meletus kembali setalah 60 tahun.

Gunung Sourabaya mengeluarkan asap yang membumbung tinggi dan terlihat jelas melalui satelit. Tidak ada seorang pun yang mengetahui letusan Gunung Sourabaya, sebab lokasinya sangat terpencil di Samudera Atlantik dan dekat dengan Antartika atau Kutub Selatan. Ditambah, tidak ada seorang pun yang tinggal di sana.


Letusan Gunung Sourabaya dilihat melalui satelit NASA (earthobservatory.nasa.gov)

Sejarah South Georgia & South Sandwich Islands, Tempat Gunung Sourabaya

Yang bikin penasaran, tentu saja nama gunung tersebut. Nama gunungnya Sourabaya, yang mirip seperti nama Surabaya, ibukota Provinsi Jawa Timur di Indonesia. Apakah ada hubungan atau sejarah terkait kedua tempat itu? detikTravel pun melakukan berbagai penelusuran.

Gunung Sourabaya ini lokasinya di Pulau Bristol, yang masuk dalam wilayah South Georgia & South Sandwich Islands. Dalam situs resmi South Georgia & South Sandwich Islands (www.gov.gs), wilayah tersebut masih merupakan bagian dari British Overseas Territory, alias kekuasannya Kerajaan Inggris. Total luasnya mencapai 3.755 km persegi dengan setengah wilayahnya tertutup es.

Jika dilihat dari Google Maps, South Georgia & South Sandwich Islands merupakan kepulauan yang terpisah. South Georgia ukurannya lebih besar, sedangkan South Sandwich Islands hanya berupa pulau-pulau kecil. Untuk Pulau Bristol (tempatnya Gunung Sourabaya), adanya di bagian paling selatan South Sandwich Islands yang mana lebih dekat ke Kutub Selatan.


Yang berwarna merah adalah Pulau Bristol di South Sandwich Islands dan atasnya adalah South Georgia, sebelah kiri adalah benua Amerika Latin (Google Maps)

Negara terdekat dari South Georgia & South Sandwich Islands ternyata adalah Argentina. Itu pun, jaraknya sekitar 2.776 kilometer sebelah tenggara Buenos Aires, ibukota negara Argentina. Hanya kapal laut saja, satu-satunya tranpsortasi yang dapat menuju ke South Georgia & South Sandwich Islands.

Sejarah mencatat, penemu South Georgia & South Sandwich Islands pertama kali adalah Antoine de la Roche pada tahun 1675. Dia merupakan seorang pelaut asal London, Inggris yang menghabiskan waktu selama 14 hari berlabuh di sana saat berlayar untuk tujuan berdagang. Begitu kembali ke negaranya, dia pun melaporkan kepada pemerintah Inggris terkait kepulauan besar yang dia singgahi di Samudera Atlantik itu.


Lanskap alam di South Georgia & South Sandwich Islands (www.gov.gs)

Setelah itu, giliran penjelajah James Cook berlayar mengarungi Samudera Atlantik hingga sampai di South Georgia & South Sandwich Islands pada tahun 1775. Kemudian di tahun 1908, pemerintah Inggris mematenkan kepulauan tersebut sebagai wilayah kekuasannya, meski pada mulanya sempat menjadi sengketa dan dipermasalahkan oleh pemerintah Argentina.

Hingga kini, hanya beberapa peneliti saja yang menetap di South Georgia & South Sandwich Islands. Kebanyakan adalah para peneliti satwa, untuk meneliti penguin, anjing laut, aneka jenis burung dan paus.

Sejarah Gunung Sourabaya

Gunung Sourabaya merupakan tipe stratovolcano, sekaligus titik tertinggi di Pulau Bristol dengan ketinggian 1.100 mdpl. NASA menyebut, gunung ini adalah gunung berapi yang tak pernah diteliliti manusia!

Lantas, bagaimana sejarahnya gunung ini dinamakan Sourabaya? R. K. Headland, seorang peneliti dari University of Cambridge pernah menerbitkan buku 'Chronological List of Antarctic Expeditions and Related Historical Events' di tahun 1989. Buku yang menjelaskan tentang sejarah penemuan Kutub Selatan dan pulau-pulau kecil di seklilingnya, termasuk Pulau Bristol.

Dalam bukunya tertulis, pada tanggal 31 Desmber 1935, dilaporkan terjadi erupsi dan letusan gunung di South Sandwich Islands oleh kapal-kapal laut kepunyaan Christian Salvesen, salah satunya pemburu paus SS Sourabaya yang berjenis kapal uap.


Sebelah kanan adalah SS Sourabaya (Ansgar Theodor Larsen/Vestfold Fylkesmuseum Digitalt)

Diketahui, dua kapal tersebut milik Inggris yang berlayar ke Kutub Selatan demi mencari paus. Asal tahu saja, sejak tahun 1904 negara-negara di dunia berlomba-lomba untuk berburu paus di kawasan kutub. Sepanjang abad ke-20, South Georgia & South Sandwich Islands adalah 'surga' untuk beburu paus hingga akhirnya di tahun 1960, pemerintah Inggris menghentikan perburuan paus di sana.

Dari informasi pada situs wrecksite.eu, SS Sourabaya dibuat pada tahun 1915. Awalnya merupakan kapal kargo Carmarthenshire SS, namun kemudian berubah nama menjadi SS Sourabaya di tahun 1929 dan berganti fungsi juga sebagai kapal pemburu paus.


Paus di South Georgia & South Sandwich Islands (www.gov.gs)

Masalahnya, tidak dijelaskan dengan detil mengapa akhirnya menggunakan pemakaian nama Sourabaya. Dari penelusuran situs wrecksite.eu dan referensi situs-situs lain di internet, tidak ada yang mengkaitkan kapal SS Sourabaya dengan Kota Surabaya atau Indonesia. Apakah ada bahan-bahan kapalnya yang diambil dari Surabaya? Ini yang masih jadi misteri!

Yang pasti setelah kapal SS Sourabaya melaporkan ada gunung yang meletus di Pulau Bristol, pemerintah Inggris langsung menamakan gunung yang meletus itu dengan nama Gunung Sourabaya. Setelah itu, Gunung Sourabaya pernah kembali meletus di tahun 1956 dan terakhir di tahun 2016 ini. Pada tahun 1956, yang melihat gunung ini meletus adalah para peneliti dari Argentina yang sedang berada di Pulau Thule, tetangganya Pulau Bristol.

Sedikit cerita SS Sourabaya, kapal ini tenggelam akibat dihajar torpedo oleh kapal selam Jerman U-436 pada masa Perang Dunia II di tanggal 27 Oktober 1942. Kala itu, SS Sourabaya sedang berlayar dari New York ke Liverpool. Hanya 77 yang selamat dari total 158 awak kapalnya.

South Georgia & South Sandwich Islands pun menerima kunjungan turis, dengan syarat satu-satunya cara berkunjung pakai kapal pesiar atau yacht. Selain itu, kunjungan ke sana harus mendapat izin dari International Association of Antarctica Tour Operators (IAATO) dengan mendaftar terlebih dulu di situsnya.


Kepulauan South Georgia & South Sandwich Islands hanya dihuni satwa seperti penguin (www.gov.gs)

Tidak terdapat hotel, restoran atau akomodasi lain di South Georgia & South Sandwich Islands. Turis diizinkan untuk menapakan kaki di pulau-pulaunya, hanya saja dilarang untuk bermalam. Kalau mau bermalam, harus dengan izin yang berbeda.

Di South Georgia & South Sandwich Islands, turis dapat melihat jejeran gunung es, satwa-satwa liar seperti penguin dan paus-paus yang sering menampakan diri di permukaan air. Termasuk, barangkali tertarik melihat Gunung Sourabaya dengan mata kepala sendiri.


Kapal pesiar, satu-satunya cara pergi mengunjungi South Georgia & South Sandwich Islands (www.gov.gs)

sumber :http://travel.detik.com/

Amerika Memiliki Hutang 57 ribu Ton Emas Kepada Indonesia

"The Green Hilton Memorial Agreement" di Geneva pada 14 November 1963




Inilah perjanjian yang paling menggemparkan dunia. Inilah perjanjian yang menyebabkan terbunuhnya Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy (JFK) 22 November 1963. Inilah perjanjian yang kemudian menjadi pemicu dijatuhkannya Bung Karno dari kursi kepresidenan oleh jaringan CIA yang menggunakan ambisi Soeharto. Dan inilah perjanjian yang hingga kini tetap menjadi misteri terbesar dalam sejarah ummat manusia.





Perjanjian "The Green Hilton Memorial Agreement" di Geneva (Swiss) pada 14 November 1963





Dan, inilah perjanjian yang sering membuat sibuk setiap siapapun yang menjadi Presiden RI. Dan, inilah perjanjian yang membuat sebagian orang tergila-gila menebar uang untuk mendapatkan secuil dari harta ini yang kemudian dikenal sebagai "salah satu" harta Amanah Rakyat dan Bangsa Indonesia. Inilah perjanjian yang oleh masyarakat dunia sebagai Harta Abadi Ummat Manusia. Inilah kemudian yang menjadi sasaran kerja tim rahasia Soeharto menyiksa Soebandrio dkk agar buka

mulut. Inilah perjanjian yang membuat Megawati ketika menjadi Presiden RI menagih janji ke Swiss tetapi tidak bisa juga. Padahal Megawati sudah menyampaikan bahwa ia adalah Presiden RI dan ia adalah Putri Bung Karno. Tetapi tetap tidak bisa. Inilah kemudian membuat SBY kemudian membentuk tim rahasia untuk melacak harta ini yang kemudian juga tetap mandul. Semua pihak repot dibuat oleh perjnajian ini.





Perjanjian itu bernama "Green Hilton Memorial Agreement Geneva". Akta termahal di dunia ini diteken oleh John F Kennedy selaku Presiden AS, Ir Soekarno selaku Presiden RI dan William Vouker yang mewakili Swiss. Perjanjian segitiga ini dilakukan di Hotel Hilton Geneva pada 14 November 1963 sebagai kelanjutan dari MOU yang dilakukan tahun 1961. Intinya adalah, Pemerintahan AS mengakui keberadaan

emas batangan senilai lebih dari 57 ribu ton emas murni yang terdiri dari 17 paket emas dan pihak Indonesia menerima batangan emas itu menjadi kolateral bagi dunia keuangan AS yang operasionalisasinya dilakukan oleh Pemerintahan Swiss melalui United Bank of Switzerland (UBS).





Pada dokumen lain yang tidak dipublikasi disebutkan, atas penggunaan kolateral tersebut AS harus membayar fee sebesar 2,5% setahun kepada Indonesia. Hanya saja, ketakutan akan muncul pemimpinan yang korup di Indonesia, maka pembayaran fee tersebut tidak bersifat terbuka. Artinya hak kewenangan pencairan fee

tersebut tidak berada pada Presiden RI siapa pun, tetapi ada pada sistem perbankkan yang sudah dibuat sedemikian rupa, sehingga pencairannya bukan hal mudah, termasuk bagi Presiden AS sendiri.





Account khusus ini dibuat untuk menampung aset tersebut yang hingga kini tidak ada yang tahu keberadaannya kecuali John F Kennedy dan Soekarno sendiri. Sayangnya sebelum Soekarno mangkat, ia belum sempat memberikan mandat pencairannya kepada siapa pun di tanah air. Malah jika ada yang mengaku bahwa dialah yang dipercaya Bung Karno untuk mencairkan harta, maka dijamin orang tersebut bohong, kecuali ada tanda-tanda khusus berupa dokumen penting yang tidak tahu siapa yang menyimpan hingga kini.





Menurut sebuah sumber di Vatikan, ketika Presiden AS menyampaikan niat tersebut kepada

Vatikan, Paus sempat bertanya apakah Indonesia telah menyetujuinya.





Kabarnya, AS hanya memanfaatkan fakta MOU antara negara G-20 di Inggris dimana Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ikut menanda tangani suatu kesepakatan untuk memberikan otoritas kepada keuangan dunia IMF dan World Bank untuk mencari sumber pendanaan alternatif. Konon kabarnya, Vatikan berpesan agar Indonesia diberi bantuan. Mungkin bantuan IMF sebesar USD 2,7 milyar dalam fasilitas SDR (Special Drawing Rights) kepada Indonesia pertengahan tahun lalu merupakan realisasi dari kesepakatan ini, sehingga ada isyu yang berkembang bahwa bantuan tersebut tidak perlu dikembalikan.





Oleh Bank Indonesia memang bantuan IMF sebesar itu dipergunakan untuk memperkuat

cadangan devisa negara. Kalau benar itu, maka betapa nistanya rakyat Indonesia. Kalau benar itu terjadi betapa bodohnya Pemerintahan kita dalam masalah ini. Kalau ini benar terjadi betapa tak berdayanya bangsa ini, hanya kebagian USD 2,7 milyar. Padahal harta tersebut berharga ribuan trilyun dollar Amerika.





Aset itu bukan aset gratis peninggalan sejarah, aset tersebut merupakan hasil kerja keras nenek moyang kita di era masa keemasan kerajaan di Indonesia.





Asal Mula Perjanjian "Green Hilton Memorial Agreement"



Setelah masa perang dunia berakhir, negara-negara timur dan barat yang terlibat perang mulai membangun kembali infrastrukturnya. Akan tetapi, dampak yang telah diberikan oleh perang tersebut bukan secara materi saja tetapi juga secara psikologis

luar biasa besarnya. Pergolakan sosial dan keagamaan terjadi dimana-mana. Orang-orang ketakutan perang ini akan terjadi lagi. Pemerintah negara-negara barat yang banyak terlibat pada perang dunia berusaha menenangkan rakyatnya, dengan mengatakan bahwa rakyat akan segera memasuki era industri dan teknologi yang lebih baik. Para bankir Yahudi mengetahui bahwa negara-negara timur di Asia masih banyak menyimpan cadangan emas. Emas tersebut akan di jadikan sebagai kolateral untuk mencetak uang yang lebih banyak yang akan digunakan untuk mengembangkan industri serta menguasai teknologi. Karena teknologi Informasi sedang menanti di zaman akan datang.





Sesepuh Mason yang bekerja di Federal Reserve (Bank Sentral di Amerika) bersama bankir-bankir dari Bank of International Settlements / BIS (Pusat

Bank Sentral dari seluruh Bank Sentral di Dunia) mengunjungi Indonesia. Melalui pertemuan dengan Presiden Soekarno, mereka mengatakan bahwa atas nama kemanusiaan dan pencegahan terjadinya kembali perang dunia yang baru saja terjadi dan menghancurkan semua negara yang terlibat, setiap negara harus mencapai kesepakatan untuk mendayagunakan kolateral Emas yang dimiliki oleh setiap negara untuk program-program kemanusiaan. Dan semua negara menyetujui hal tersebut, termasuk Indonesia. Akhirnya terjadilah kesepakatan bahwa emas-emas milik negara-negara timur (Asia) akan diserahkan kepada Federal Reserve untuk dikelola dalam program-program kemanusiaan. Sebagai pertukarannya, negara-negara Asia tersebut menerima Obligasi dan Sertifikat Emas sebagai tanda kepemilikan. Beberapa negara yang terlibat diantaranya Indonesia, Cina dan Philippina. Pada masa itu, pengaruh Soekarno sebagai pemimpin dunia timur sangat besar, hingga Amerika

merasa khawatir ketika Soekarno begitu dekat dengan Moskow dan Beijing yang notabene adalah musuh Amerika.





Namun beberapa tahun kemudian, Soekarno mulai menyadari bahwa kesepakatan antara negara-negara timur dengan barat (Bankir-Bankir Yahudi dan lembaga keuangan dunia) tidak di jalankan sebagaimana mestinya. Soekarno mencium persekongkolan busuk yang dilakukan para Bankir Yahudi tersebut yang merupakan bagian dari Freemasonry.





Tidak ada program-program kemanusiaan yang dijalankan mengunakan kolateral tersebut. Soekarno protes keras dan segera menyadari negara-negara timur telah di tipu oleh Bankir International.





Akhirnya Pada tahun 1963, Soekarno membatalkan perjanjian dengan para Bankir Yahudi

tersebut dan mengalihkan hak kelola emas-emas tersebut kepada Presiden Amerika Serikat John F.Kennedy (JFK). Ketika itu Amerika sedang terjerat utang besar-besaran setelah terlibat dalam perang dunia. Presiden JFK menginginkan negara mencetak uang tanpa utang.





Karena kekuasaan dan tanggung jawab Federal Reserve bukan pada pemerintah Amerika melainkan di kuasai oleh swasta yang notabene nya bankir Yahudi. Jadi apabila pemerintah Amerika ingin mencetak uang, maka pemerintah harus meminjam kepada para bankir yahudi tersebut dengan bunga yang tinggi sebagai kolateral. Pemerintah Amerika kemudian melobi Presiden Soekarno agar emas-emas yang tadinya dijadikan kolateral oleh bankir Yahudi di alihkan ke Amerika. Presiden Kennedy bersedia meyakinkan Soekarno untuk membayar bunga 2,5% per tahun dari nilai emas yang digunakan dan mulai berlaku 2 tahun setelah perjanjian ditandatangani. Setelah dilakukan MOU sebagai tanda persetujuan, maka dibentuklah Green Hilton Memorial Agreement di Jenewa (Swiss) yang ditandatangani Soekarno dan John F.Kennedy. Melalui perjanjian itu pemerintah Amerika mengakui Emas batangan milik bangsa Indonesia sebesar lebih dari 57.000 ton dalam kemasan 17 Paket emas.





Melalui perjanjian ini Soekarno sebagai pemegang mandat terpercaya akan melakukan reposisi terhadap kolateral emas tersebut, kemudian digunakan ke dalam sistem perbankan untuk menciptakan Fractional Reserve Banking terhadap dolar Amerika. Perjanjian ini difasilitasi oleh Threepartheid Gold Commision dan melalui perjanjian ini pula kekuasaan terhadap emas tersebut berpindah tangan ke pemerintah Amerika. Dari kesepakatan tersebut, dikeluarkanlah Executive Order bernomor 11110, di tandatangani oleh Presiden JFK yang memberi kuasa penuh kepada Departemen Keuangan untuk mengambil alih hak menerbitkan mata uang dari Federal Reserve. Apa yang pernah di lakukan oleh Franklin, Lincoln, dan beberapa presiden lainnya, agar Amerika terlepas dari belenggu sistem kredit bankir Yahudi juga diterapkan oleh presiden JFK. salah satu kuasa yang diberikan kepada Departemen keuangan adalah menerbitkan sertifikat uang perak atas koin perak sehingga pemerintah bisa menerbitkan dolar tanpa utang lagi kepada Bank Sentral (Federal Reserve)





Tidak lama berselang setelah penandatanganan Green Hilton Memorial Agreement tersebut, presiden Kennedy di tembak mati oleh Lee Harvey Oswald. Setelah kematian Kennedy, tangan-tangan gelap bankir Yahudi memindahkan kolateral emas tersebut ke International Collateral Combined Accounts for Global Debt Facility di bawah pengawasan OITC (The Office of International Treasury Control) yang semuanya dikuasai oleh bankir Yahudi. Perjanjian itu juga tidak pernah efektif, hingga saat Soekarno ditumbangkan oleh gerakan Orde baru yang didalangi oleh CIA yang kemudian mengangkat Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Sampai pada saat Soekarno jatuh sakit dan tidak lagi mengurus aset-aset tersebut hingga meninggal dunia. Satu-satunya warisan yang ditinggalkan, yang berkaitan dengan Green Hilton Memorial Agreement tersebut adalah sebuah buku bersandi yang menyembunyikan ratusan akun dan sub-akun yang digunakan untuk menyimpan emas, yang terproteksi oleh sistem rahasia di Federal Reserve bernama The Black screen. Buku itu disebut Buku Maklumat atau The Book of codes. Buku tersebut banyak di buru oleh kalangan Lembaga Keuangan Dunia, Para sesepuh Mason, para petinggi politik Amerika dan Inteligen serta yang lainnya. Keberadaan buku tersebut mengancam eksistensi Lembaga keuangan barat yang berjaya selama ini.





Sampai hari ini, tidak satu rupiah pun dari bunga dan nilai pokok aset tersebut dibayarkan pada rakyat Indonesia melalui pemerintah, sesuai perjanjian yang disepakati antara JFK dan Presiden Soekarno melalui Green Hilton Agreement.





Padahal mereka telah menggunakan emas milik Indonesia sebagai kolateral dalam mencetak setiap dollar.



Hal yang sama terjadi pada bangsa China dan Philipina. Karena itulah pada awal tahun 2000-an China mulai menggugat di pengadilan Distrik New York. Gugatan yang bernilai triliunan dollar Amerika Serikat ini telah mengguncang lembaga-lembaga keuangan di Amerika dan Eropa. Namun gugatan tersebut sudah lebih dari satu dasawarsa dan belum menunjukkan hasilnya. Memang gugatan tersebut tidaklah mudah, dibutuhkan kesabaran yang tinggi, karena bukan saja berhadapan dengan negara besar seperti Amerika, tetapi juga berhadapan dengan kepentingan Yahudi bahkan kabarnya ada kepentingan dengan Vatikan. Akankah Pemerintah Indonesia mengikuti langkah pemerintah Cina yang menggugat atas hak-hak emas rakyat Indonesia yang bernilai Ribuan Trilyun Dollar… (bisa untuk membayar utang Indonesia dan membuat negri ini makmur dan sejahtera)?



sumber : lintasgaul.blogspot.com

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...