Wednesday, July 19, 2017

5. RADEN MAS AKOE SINTEN NYONO ; MASA PANCA ROBA-2

Demikianlah, akhirnya Raden Mas Akoe Sinten Nyono berjumpa dengan sang guru
yang sangat dirindu itu.
Dicari kemana-mana, sekian lama, bermacam-macam cara,..ah Habib ternyata,..
Bukan siap-siapa, begitu dekatnya, sejak awal dia tiba didaerah itu, beliau ini
sudah kelihatan, bahkan beliaulah yang syariatnya membuat sang mertua takluk
memasrahkan anak gadisnya untuk dinikahi oleh Raden Mas Akoe Sinten Nyono.
Kalau dihitung, berarti perlu waktu lima belas tahun baginya untuk menemukan
“Syeikhuna As Syarif Mursyidina Al Habib…….’dalam selimut’.
Ampun paralun Gusti pangeran.
Maka, terbukti bahwa apa yang disampaikan si mbah dulu, benar adanya.
Ada ‘konci’, ada pula ‘pintunya’, sekarang tinggal membuka ‘pintu terkonci’ ini
agar dia bias masuk kedalam ‘ruang rasa’.
Namun, sedari awal Akoe sudah punya kesadaran bahwa ini tidak akan mudah,
tidak mungkin sesederhana memutar konci pintu rumah biasa.
Akoe tidak tahu apa dan bagaimana selanjutnya, namun jelas baginya,
bahwa tugasnya dalam hal ini adalah patuh kepada sang guru.
Sebagaimana dulu telah diwejangkan si mbah, Habib tegas berkata : “Istiqomahkan
Dzikir Cahaya”. Maka inilah yang dia kerjakan sekarang, mendzikirkan ruhnya,
menempatkan sejati dirinya untuk kembali ingat kepada-Nya, sejati diri bukan yang lain.
Selang beberapa hari setelah pembaiatannya, sang mertua memanggil.
“Kata Mang Ihin, kamu biat ke Habib, ya ?” beliau langsung menembak.
Akoe nyengir, “Iya, Pak.”
“Kenapa nggak bilang sama bapak ?”
“nggak kenapa-kenapa sih pak, cuma kalau bilang kayaknya nggak bakal boleh
sama bapak, iya kan ?” Akoe meringis lagi.
Sang Mertua yang semula agak berkerut kening itu, ikut nyerengeh.
“Terus, gimana rasanya dzikir Cahaya ?” dia bertanya pelan.
“Pusing.” Jawab Akoe, bukan bohong, memang pusing terasa kepalanya
gara-gara menjalankan dzikir ini.
“He..he..Ya Alloh, menantuku mau belajar hakikat, he..he..arab gundul saja gak bisa...”
Lho ? kok si gundul dibawa-bawa lagi ? itu kan lagu lama ? harusnya sudah kadaluarsa ?
Maka walau rada kecut, Akoe balas terkekeh, sekalian ngedumel dalam hati,
“Yang penting dapat anaknya, pak..iya kan..?”
“Jadi, kamu sudah tahu dzikir Cahaya ? sang mertua bertanya ulang.
Akoe mengangguk.
“Sedang dijalankan sekarang ?”
Akoe mengangguk lagi.
“Pusing ?”
Akoe kembali mengangguk.
“Rasain, ha..ha..ha..” sang mertua terbahak, lalu ngeloyor sambil tertawa, riang banget nadanya.
Akoe mendelik sebentar, lalu ikut terkekeh, sialan…
Seminggu kemudian, Akoe menghadap Habib, sebab pening di kepalanya makin menjadi,
tidak mempan dihantam berbutir-butir obat pusing, padahal dulu kalau dia pusing,
obat itu manjur sekali, dan sekarang nggak ngefek sama sekali, malah perutnya melilit
perih gara-gara kebanyakan menelannya mungkin.
Habib tersenyum, “Tidak apa-apa” ujarnya kalem.
Akoe menghela napas, tidak apa-apa ? iya kah ? soalnya pening ini menyengat nian rasanya,
kepala seolah-olah dipencet tangan raksasa.
“Tidak apa-apa, memang begitu prosesnya, sekian lama ruh tidak berdzikir,
sekarang didzikirkan, kaget dan itulah salah satu efeknya, nanti akan datang
yang lebih asyik lagi, he..he..” Habib tertawa pelan.
Akoe manggut-manggut meringis.
“Jadi, nggak usah diobatin, bib ?”
“Zhohir takluk ke zhohir, batin takluk ke Alloh, itu obatnya, pusingmu ini
bukan urusan zhohir, nggak kena diobati dengan obat zhohir.”
“Maksudnya gimana..?”
Habib menatap lembut, “Maksudnya, jangan bertanya maksud-Nya,
teruskan saja dzikirmu, ya…!”
akoe menghela napas, lalu mengangguk takzim.
Habib pun kembali tersenyum.
Waktu terus bergerak maju, pusing itu masih manteng dalam batok kepala Akoe,
belum hendak mereda, malah tambah hari tambah nyut-nyutan.
Lalu dia pun sadar sepenuhnya dalam rasa pusing ini memang bukan sekadar
sakit kepala biasa yang disebabkan beban pikiran atau efek dari penyakit lain.
Seperti kata Habib, “Pusingmu ini bukan urusan zhohir.”
Unik juga, pusing yap using, tapi otaknya tetap bias berpungsi normal.
Maksudnya dia tidak terganggu oleh kepusingan itu, bekerja jalan terus,
pusing juga jalan terus, jalan sendiri-sendiri, seperti punya jalur masing-masing,
tidak lantas jadi untel-untelan.
Lama-lama Akoe jadi terbiasa dengan keadaan yang lazimnya tidak biasa ini.
Habis, gimana ? sedang apapun dia, nyut-nyutan tetap ada, ya sudah, dibetot sekalian
Dzikir itu dengan tekanan dalam, nyut..nyut..nyut..denyut kepalanya pun deras
mengencang, Akoe terkekeh sendirian, sambil meringis-ringis, rasanya leng-lengan
seperti mabuk kepayang.
Hanya saja, ternyata Akoe yang termuda diantara para murid senior Habib yang biasa
kumpul dirumah beliau.
Sekilas, dia seperti anak bawang dikelilingi bawang Bombay.
Soalnya, yang lain terhitung seangkatan mertua atau dibawahnya satu strip,
rata-rata telah menyentuh ‘usia Nabi’, mertua sendiri sudah tembus tujuh puluh.
Namun, beda mungkin aromanya si anak bawang, entah mengapa, Habib demen banget
memanggil Akoe, kangen terus kayaknya beliau sama murid bungsu ini,
hampir setiap hari bakda zuhur datang orang suruhan untuk memanggil Akoe
menghadap kesana, mesti cepetan pula, pakai di huya hayu, padahal disana
nantinya nggak ngapa-ngapain, ngobrol ringan saja, sambil memijati kaki beliau.
Sampai-sampai, mertua kesayangan pun tidak percaya, katanya mulai dia kenal
Habib sejak zaman sinyo belanda, boleh dikata beliau sangat jarang panggil-panggil orang.
Gayanya, ya cuek saja begitu, model senyap bin hening.
Katanya lagi, dulu Tuan Residen Belanda pun bingung menghadapi beliau yang kabarnya
sejak zaman itu sudah di tokoh kan di daerah ini.
Beliau dikenal sebagai jawara, datuknya ‘jawara putih’, maklum kala itu yang bukan
jawara, berarti bukan selebriti, terserah mau jawara biasa atau kiai jawara,
pokoknya mesti jagoan, dan Habib adalah jagoannya jagoan.
Hitam putih, takluk semua, masih ada saksi-saksi hidup yang membenarkan kisah ini,
kisah-kisah beliau yang bernuansa ‘percaya gak percaya’, terus terang susah dicerna
akal sehat, tapi ada saksinya dan mereka berani bersumpah atas kebenarannya,
termasuk sang mertua itu sendiri.
“masak nggak ngapa-ngapain ? bagi-bagi ilmu ya ?” desak sang mertua.
“Nggak pak, cuma ngobrol sambil mijitin, sudah..” jawab Akoe.
Namun sang mertua tetap belum percaya, hingga memaksa ikut disaat panggilan
selanjutnya,  tentu saja Akoe tidak keberatan, beliau ini kan mertua, suheng seperguruan,
sekaligus kakak ipar sang guru.
Sesampainya disana, Habib tersenyum. “Ada apa, Haji..?” sapanya.
“nggak ada apa-apa bib.” Sahut mertua, “Cuma ane pengen tau, ini mantu ngapain aja
kalau bakda zuhur..?
“Disini, ngobrol sama ana, cerita jawa,..he..he…”
Sang mertua manggut-manggut, Akoe mesem-mesem.
Lalu mereka pun terlibat obrolan ringan, sambil Akoe memijati kaki sang guru
seperti biasa, tidak ada bincang-bincang ilmu.
Habib yang iseng buka tembang lawas itu duluan, jadilah kedua sepuh kompak tertawa.
“Bib, tentang pelintas barzakh, apa maksudnya..?” Akoe nekat bertanya, dia tahu
Habib telah berpesan agar jangan tanya lain-lain dulu, kecuali menyangkut
perjalanan ruhaniahnya, tentang apa-apa yang dirasakan selama menjalani dzikir,
misalnya pusing itu, tapi urusan ‘nembus barzakh’ mengganjal juga.
Dari dulu itu, sejak jaman si mbahe, barangkali sekarang dapat dispensasi,
sekalian mengalihkan obrolan yang seperti menjemukan itu.
“Kenapa ?”
:Dulu si mbah pernah bilang begitu, pelintas barzakh, trus habib juga bilang begitu,
sesaat sebelum saya berbaiat, apa maksudnya ? melintasi alam barzakh ?
yang alam penantian setelah mati itu kah ?”
Habib tersenyum, sang mertua terlihat agak meringis.
“Haji, menantu antum ini bahaya, he..he..”
Sang mertua ikut tertawa pelan, Akoe nyerengeh saja,
Syukurlah, kelihatannya dapat dispensasi nih.
“Gimana menjelaskannya, ya..?” gumam Habib
“Hal ini mudah kalau kamu sudah dapat ilmunya, tidak usah dijelaskan,
kamu akan paham sendiri, coba waktu itu kakek antum kasih penjelasan
apa mengenai pelintas barzakh..?”
“Nggak ada, bib, wktu saya mau tanya si mbah duluan bilang, simpan dulu
pertanyaanmu, ini bukan bagiannya tanya jawab, begitu…”
Habib tertawa, “Boleh juga kakek antum, dia yang buka,..terus suruh yang lain
menjawab,..lempar batu sembunyi tangan, he..he..”
“Cuma bagaimana menjelaskannya..? Habib bergumam.
“Ya, sedikit saja bib, biar nggak terlalu penasaran..”
Habib manggut-manggut, “Tapi tolong dipahami bahwa untuk sekarang,
yang sesungguhnya belum bisa dijelaskan kepadamu, sebab urusan lintas melintas
ini, telah melampaui batas kata-kata, kecuali dengan ‘rasa’nya ;
maa yakhruju bina syai’an illa isyaroh wal I’tibar, bahwa apa yang keluar dari buah bibir
yang masih bisa diucapkan, hanyalah isyarat dan iktibar, gimana,..mau..?”
 Akoe mengangguk
Habib menghela napas, lalu terdiam sejenak.
“Baiklah, perhatikan..,kamu ini, sejatinya kamu, aslinya kamu…,
terkurung dalam batasan-batasan semu, keberadaan hijab-hijab atau batasan-batasan
itu adalah kehendak-Nya juga, itulah ‘barzakh’, kalau mau dalilnya, lihat ayat Cahaya
an Nuur 35, tugasmu, tugas kita semua, adalah menembus tabir kesemuan tadi
agar bisa menggapai kesempurnaan, al Insanul Kamil.
Tugas ini hanya dikenakan kepada manusia yang dikabarkan sebagai ciptaan yang
paling mulia. Manusia, yang sesungguhnya datang dari kemuliaan, diminta oleh-Nya
untuk kembali kepada martabat kesempurnaannya. Dalam Qur’an, menembus barzakh
diisyaratkan lewat kisah Nabiyulloh Khidir Faya bin Malkan melubangi perahu”
Akoe terbengong bengong.
“Bingung ya..?”
“Iya nih bib, rasanya belum jelas…”
“He..he..salah, bukan rasanya yang belum jelas, tapi memang belum ada ‘rasa’nya
Padamu, belum jadi ilmu, ‘rasa’ itu selalu jelas dan selalu jujur, lain dengan akal.
Yang barusan bermain tadi akalmu, bukan ‘rasa’mu, tapi tidak apa-apa bingung,
Nabi Musa AS pun bingung awalnya, he..he..”
Akoe meringis.
“Kalau dikejar pakai akal, nanti perahunya Nabi Khidir jadi seperti getek,
disebut perahu sih, bukan kapal pesiar he..he..trus lautnya terbayang seperti
samudera Hindia, batas pertemuan air laut dan air tawarnya sekedar muara
sungai di lautan,…wah melenyot filmnya, jelek…..he…he…he…”
terpaksa Akoe ikut terkekeh pelan.
“Jadi, harusnya gimana bib..?”
“Harusnya, ya seperti bagaimana ‘rasa’mu nanti,….nanti, kalau sekarang belum jadi”
“Inna lillahi wa innaa ilayhi rooji’uun, bolak balik DIA, wal awwalu wal akhiru,
tiada berbatas “
“Gambarannya dong, bib…sedikit aja..”
“Tidak akan pernah bisa digambarkan, Laysa kamislihi syai’un, tidak serupa dengan apapun,
bagaimana menggambarkan yang tidak serupa dengan sesuatu apapun ? Dan, tidak
akan bisa dipilah-pilah, Qul huwallohu ahad, katakanlah Alloh Tunggal, bukan banyak,
bukan pula sedikit, gambaran sedikit, tidak ada,..gambaran banyak pun tidak ada,….
adanya,…DIA se ahad nya, habis perkara.”
Akoe meingis, “Iya bib, masih main akal barusan.” Mengaku dia.
Habib pun tersenyum.
Azan ashar berkumandang syahdu, perbincangan ini disudahi, mereka menunaikan
sholat ashar berjama’ah, usai itu tiba-tiba Akoe menangis tanpa sebab,
tidak kuasa dia menahan air mata yang tumpah sendiri dalam sungkemnya
kepada sang guru.
Habib menepuk-nepuk pundak muridnya, “Bahkan, tangismu ini, Dia juga “
ujarnya lembut, sang mertua mengangguk angguk, maka air mata Akoe pun
semakin tumpah meruah,…..

BERSAMBUNG
sumber diambil dari : http://nasehatabah.blogspot.co.id
Ila Ruhi Mas Andi Bombang..Al-Fatiha....

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...