Thursday, July 20, 2017

KUN FAYAKUN (Dzikir Ilalang)

ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibunya Sunda. Masa kecil dilalui dengan penuh warna, antara lain pindah-pindah sekolah karena ayahnya sering berpindah tugas. Tapi, tetap bahagia. Ijazah Sekolah Dasar didapat dari SD Negeri Lawang V di kota transit Lawang – Malang. Sekolah Menengah Pertama dari SMP Negeri I Makassar (dulu Ujung Pandang), Sekolah Menengah Atas dari SMA Negeri 14 Bandung yang loka-sinya didalam lingkungan Pusat Persenjataan Infanteri (Pussenif) TNI AD itu. Lanjut ke Institut Teknologi Bandung, ambil Geofisika. Ceritanya, berhasil juga lulus dengan judisium ‘kemelut’ tahun 1995. Alhamdulillah.
Saat masih jadi mahasiswa, sempat aktif di beberapa organisasi. Rada-rada aktivis juga. ‘Sayang’ waktu itu belum musim demonstrasi keluar. Ributnya cuma didalam kampus doang. Jagoan kandang. Tapi lumayanlah. Dari segitu organisasi yang pernah diikuti, yang paling berkesan justru Resimen Mahasiswa alias Menwa yang kala itu cukup ‘dibenci’ rekan-rekan seperjuangan karena santer dituduh sebagai perpanjangan tangan militer. “Maaf kawan, yang intel justru yang teriaknya paling kencang diantara kita. Pokoknya yang paling kita sangka bukan …” katanya. Sempat jadi Komandan Kompi C di Batalyon I / ITB. Tidak sempat jadi Komandan Batalyon karena keburu diluluskan oleh dosen pembimbing yang mulai cemas melihat ‘gayanya’.
Lulus kuliah, jadi wartawan. Dengan memanggul bendera majalah Ikatan Alumni ITB, kasak-kusuklah dia menyelidiki dan menulis ‘rahasia sukses’ para alumni yang sudah jadi orang. Lumayan, para kakak jarang lupa kasih uang jajan buat adiknya. Tidak dipaksa, mereka sendiri yang kasih. Ikhlas katanya. Tawaran bergabung dengan Gatra (kala itu Tempo barusan di-breidel) terpaksa ditolak karena bersamaan dengan diterimanya dia di SDNP (Sustainable Development Networking Programme) diba-wah UNESCO. Mohon maaf untuk Pak Budiono Kartohadiprodjo (yang punya Gatra dan mantan Danyon I / ITB ketiga). Tidak lama disitu, beberapa bulan saja, kembali terdampar di sebuah grup perusahaan swasta nasional ternama. Merayap dari bawah, mulai dari Project Engineer sampai terakhir Operation Manager. Sepuluh tahun lebih, jenuh. Keluar, ceritanya mau wirausaha. Sambil itu, kembali menulis …
Ini novel pertamanya. Jaman kuliah dulu, sering menulis cerpen romantika mahasiswa mahasiswi yang banyak pusing itu. Sekalian, kalau ada pesanan, artikel-artikel provo-katif yang katanya untuk pembangkit semangat juang. Entahlah.
Sekarang dia tinggal di Karawang, dengan seorang istri dan dua putri cantik. Alamat lengkapnya, Jln. Sanggabuana No. 30A Perumahan Karang Indah – Karawang. Untuk say hello, kontak ke (0267) 405161 atau ke email cecoac@yahoo.com. Tapi lebih baik telepon saja sebab internet di Karawang sering ngadat. Nuhun …

Bab 1

May 6, 2011

BUS kota tua itu menggerung kelelahan. Terbatuk-batuk menyemburkan asap pekat ke udara Ibukota, seolah melepas bermacam deritanya. Geruntulan perdu hias pinggir trotoar tampak kering merana, melambai lemah minta pertolongan. Namun tidak ada yang peduli, karena semua yang bernyawa hari ini sedang sibuk memperpanjang jatah hidup masing-masing. Halal haram tak lagi berbatas, campur aduk serupa tumpukan sampah di seberang sana. Terik nian Jakarta Raya, panasnya merebus sukma….
Di dalam sebuah rumah sengketa, tidak jauh dari terminal bus antar kota, beberapa anak manusia sedang melakonkan nasib dari sebagian episode hidupnya. Hardi duduk di kursi kayu, sebelah kaki ditumpang ke atas meja. Pistolnya tergeletak dingin di situ, dekat sebilah belati yang menancap diam. Dari sela asap rokok, dia mengamati Syamsul yang sedang bersemangat memaki dua anggota barunya.
“Goblok! Dua hari cuma segini?!” bentak Syamsul menggelegar. Dua pemuda tanggung di hadapannya itu mengkeret diam. “Cari lagi…!”
Buk! Kaki kanan Syamsul mendarat telak di dada pemuda yang bertato macan di lengan kanannya. Dia terjengkang, tapi segera bangkit sambil meringis menahan sakit. Temannya yang beramput keriting cepak itu menolong. Walau diam, si Cepak ini kelihatan kesal kepada Syamsul. Dasarnya, dia seorang pemberani.
“Kampret! Tunggu apa kalian?!” bentakan Syamsul kembali bergema. Tangan kanannya terangkat siap menampar. Namun kedua pemuda itu lebih sigap kali ini. Mereka segera menghambur keluar tanpa sempat permisi lagi. “Hah! Dasar Amatir!” Syamsul bersungut-sungut sambil menarik ke atas celana jeansnya yang agak melorot karena menendang tadi. Sebatang rokok disulut, lalu dihisap dalam-dalam.
Hardi masih diam, asap rokoknya saja yang berhembus sambung menyam-bung macam cerobong kereta api jaman revolusi. Makin pengaplah udara di ruangan itu karena asap rokok Syamsul kini turut berpasitipasi.
“Ini, Bang,” Syamsul menaruh sekerumun uang yang belum dirapikan di atas meja, dekat kaki Hardi. “Anak baru mereka, masih goblok,” biang preman terminal itu berujar sambil menguncir rambut gondrongnya ke belakang.
“Syam, Syam…. Kapan berubahnya kau ini? Dari jaman Warman sampai seka-rang, gayamu sama saja. Bentak gampar, bentak gampar, tendang…,” Hardi geleng-geleng kepala. Berkata-kata juga dia setelah diam sekian lama.
Syamsul nyengir, “Habis anak-anak ini lagaknya aneh-aneh. Warisan Bang Warman tuh. Giliran aku ketiban pening.”
“Ah, biangnya lebih aneh lagi,” timpal Hardi, “Tapi kalau kau pening, mau kuganti? Daripada pecah kepalamu?”
“Oo, janganlah, Bang. Pecah betulan kepalaku nanti, hehe.”
Mereka pun tertawa ringan.
“Enaknya ngapain sekarang?” pancing Hardi kemudian.
“Mabuk! Hehehe,” Syamsul cengengesan.
“Siang-siang gini?”
Syamsul mengangguk sambil masih cengengesan.
“Ya sudah, mabuk sana. Ambil ini duit, ajak dua anak tadi. Kasihan, mereka yang cari modal. Anggap saja pesta menyambut anggota baru.”
Wajah Syamsul mengembang seperti kerupuk goreng. “Sekarang Bang?” dia bertanya sambil meraup uang di atas meja.
“Nggak, tahun depan.”
“Hahaha. Beres, Bang,” Syamsul pun bergegas ke luar.
Soal mabuk, Syamsul dan anak buahnya memang paling greng diantara anak buah Hardi lainnya dalam Geng Ancagar. Di manapun dan kapanpun, asal ada kesem-patannya, jadi. Kalau bisa, maunya on terus mereka.
“Kuyaaa…! Mana si Kuya? Kuyaaa…!” Syamsul berteriak-teriak memanggil salah seorang anak buahnya di luar sana, “Kampret! Kecoak! Sotong! Kuya…!!”
Hardi geleng-geleng kepala. Itulah Syamsul, salah seorang ketua wilayah Ancagar yang tidak punya bakat sunyi. Urat lehernya ngegas terus.
Entong, yang dijuluki kuya alias kura-kura, bergegas menghampiri Syamsul yang berdiri kacak pinggang di sana. Sambil lari-lari kecil, dia menarik-narik resleting celana jeans kumalnya. “Sebentar, Bang, sebentar…. Macet nih,” serunya tersendat-sendat.
“Ke mana aja kau, sompret?! Molor kalong siang begini?!” semprot Syamsul, begitu Entong tiba di hadapannya.
“Sorry, Bang, aku di WC. Tanggung…,” jawab Entong sambil masih menarik-narik resleting celananya. Sreet, berhasil juga akhirnya.
“Tanggung! Tanggung…! Biji kau pecah!” Syamsul menyepak pantat anak buahnya itu.
Entong meringis mengusap-usap bokongnya, “Ada apaan sih, Bang?”
“Apaan-apaan lagi…. Palalu peang?!” Syamsul mendelik, “Cari minum!”
Mendengar kata minum, wajah Entong langsung sumringah, lalu cekikikan sendiri tanpa sebab yang jelas. Melihat ini, Syamsul terpaksa ikut terkekeh. Bagaimana tidak? Diamnya saja wajah anak buahnya ini sudah nggak jelas modelnya. Apalagi kalau sedang sumringah?
“Mansion buat Bang Hardi. Lainnya biasa,” Syamsul memberikan uang itu.
Namun, sejenak lewat setelah menerima uang, Entong masih belum beranjak. Sepertinya dia kesulitan menghentikan cekikikannya.
“Sompret! Pergi kagak?!” Syamsul melotot bulat.
Daripada pantatnya kesepak lagi, Entong memaksa dirinya lari sambil terus cekikikan. Teman-temannya yang sedang main gaple terpingkal melihat gaya bingung Si Kuya yang terjepit antara perintah atasan dan perintah bibirnya. Tidak tahan, Syamsul pun turut terpingkal.
Akhirnya, acara mabuk itu terlaksana. Dari celah jendela, Hardi mengamati Syamsul dan anak buahnya yang sedang teler berjamaah di siang bolong. Dua pemuda tanggung tadi ada di situ, duduk dekat Syamsul. Dari wajahnya, terlihat kalau mereka bangga telah diterima jadi anggota penuh. Bukan magang lagi.
Hardi mesem melihat keakraban anak buahnya. Ditatapnya lekat dua pemuda tanggung yang mulai bergoyang diayun alkohol itu. Kira-kira seumur mereka saat dia pertama datang ke Jakarta ini, dua belas tahun lalu.
Lamat-lamat, pikirannya menerawang ke masa-masa itu.
***
Sore menjelang maghrib, matahari tengah bersiap masuk ke peraduan. Siluet jingga berpendar memenuhi langit ufuk barat, menampilkan lukisan alam yang tiada tara. Kata indah terlalu kurus untuk sanggup menggambarkannya.
Hardi menggiring empat kambingnya masuk ke kandang. Sejak menjelang tengah hari tadi dia menggembala di tanah lapang dekat bendungan. Beres kambing, dia beranjak ke sumur. Langkahnya pelan dengan kepala menunduk. Sudah beberapa hari ini dia memikirkan cara untuk menyampaikan niat itu ke ibunya. Tapi belum dapat juga. Masih buntu rasanya.
Di dapur yang bersebelahan dengan sumur, Aminah sedang tekun menanak nasi untuk nanti malam. Aisyah, adik semata wayang Hardi, juga ada di situ mengiris-iris sayuran. Hardi memandang mereka sejenak lalu menghela nafas panjang.
“Pokoknya harus malam ini,” Hardi membatin. Mumpung kapal Haji Ridwan sedang sandar di BajoE. Masalahnya, kalau sudah berlayar lagi, lama kapal itu baru sandar kembali. Paling cepat tiga bulan kemudian. Pemuda kampung ini memejamkan mata, mengumpulkan keyakinan diri.
Matahari semakin surut, nyamuk-nyamuk tambah banyak mengerubut. Sayup-sayup adzan maghrib berkumandang dari surau. Tidak tunggu waktu lagi, Hardi mengguyur badannya langsung dari air timbaan.
Usai shalat maghrib, dia beranjak ke meja makan. Sudah ada ibu dan adiknya di situ, mereka biasa makan malam selepas maghrib. Dengan lauk seadanya, mereka makan tanpa banyak bicara. Melarut dalam pikiran masing-masing.
Selesai makan malam, seperti biasa, Aisyah meminta izin kepada ibunya untuk nonton televisi di rumah kepala kampung. Teman-teman sebayanya sudah ramai menunggu di pelataran rumah.
Saat itu, televisi masih merupakan barang langka di kampung ini. Yang punya cuma tuga orang. Haji Sangkala – kepala kampung, Haji Ridwan – juragan kapal, dan Haji Baning – juragan empang. Harus kaya untuk bisa menyalakan televisi di rumah karena listrik PLN belum masuk, baru tiangnya saja yang ditancap sejak dulu. Selain harus punya genset sendiri, mesti pakai antena parabola juga. Tidak tertangkap siaran kalau cuma antena biasa. Dari mana uang untuk semua itu?
“Nggak nonton, Hardi?” tanya Aminah.
“Nggak ah, Mak. Males.”
Hardi membantu ibunya mengangkat piring kotor bekas makan ke pelataran sumur. Dia menimbakan dan mengisi penuh semua wadah air yang ada di situ, lalu berjongkok membantu ibunya membilas piring. Senyap, hanya ada derik jangkrik dan lengking tonggeret di kejauhan sana. Setelah hening cukup lama, akhirnya Hardi memberanikan diri menyampaikan niatnya itu.
“Mak, boleh aku pergi ke Jawa?” ujarnya pelan.
Aminah terhenti sejenak, menatap lekat anak laki-lakinya, lalu melanjutkan pekerjaannya.
“Boleh nggak, Mak?” Hardi mengulang kata.
“Mau apa kamu ke Jawa?” suara Aminah terdengar parau.
“Mau cari kerja, Mak. Kalau di sini terus, kerja apa? Kata Haji Ridwan, kalau mau kaya harus berani merantau,” Hardi menyampaikan alasannya dengan hati-hati. Dia tahu ibunya tidak sesehat dulu. Radang paru-paru telah menggerogotinya fisiknya pelan-pelan.
Aminah diam, terus mencuci piring-piring kotor itu.
“Kalau aku kaya, nanti Emak kukirim naik haji.”
Terdengar isak tertahan, tapi Aminah masih diam. Hanya butiran bening tampak menggantung di kedua kelopak matanya.
“Boleh ya, Mak?”
“Kakakmu juga bilang begitu, Nak. Tapi dia malah mati.”
Tumpahlah air mata perempuan ini. Mengalir turun mengikuti lekuk wajahnya yang semakin tua dimakan waktu.
Kerongkongan Hardi tiba-tiba terasa kering. Dia teringat Sofyan, kakaknya lain ayah. Ibunya menikah lagi dengan ayahnya setelah suami pertamanya meninggal karena sakit. Usia Hardi berselisih empat belas tahun dengan kakak tirinya itu. Dia baru umur sepuluh tahun saat Sofyan pergi ke Sumatera untuk bekerja di perkebunan kepala sawit.
Hardi masih ingat kakak tirinya itu berpesan, “Hardi, sekarang kamu yang jaga Emak sama Aisyah. Nanti aku bawakan oleh-oleh yang banyak kalau pulang.” Namun, Sofyan tidak pernah pulang hidup, meninggal di sana terserang malaria palcifarum yang ganas itu. Hanya jasadnya saja yang balik ke kampung.
Ayahnya juga telah meninggal, satu tahun sebelum kakak tirinya berangkat ke Sumatera. Tewas bersahaja dengan badik menancap di dada kirinya, selepas bertarung mempertahankan empangnya dari serbuan sekelompok penjarah udang.
“Tidak, Nak. Semua laki-laki Emak telah pergi. Tinggal kamu satu-satunya. Siapa nanti yang jaga adikmu kalau kamu juga pergi?” suara Aminah makin parau karena bercampur isak. “Daeng Sira…,” dia mendesah memanggil nama suaminya, Sirajuddin.
Hardi terdiam, tidak sanggup lagi melanjutkan permintaan. Bola mata terasa berkabut. Hampir-hampir tumpah tidak tertahan.
***
“Syam, Bang Hardi ada di sini?” Freddy tiba-tiba nongol di sebelah Syamsul. Kelihatannya dia sedang rusuh.
“Eh, Bang? Nggak kelihatan datangnya,” sapa Syamsul. Bau alkohol menyeruak dari nafasnya.
“Bang Hardi di sini?” Freddy bertanya lagi, mengabaikan basa-basi.
“Ada di dalam. Lagi tidur kayaknya.”
Freddy segera beranjak ke rumah itu, Syamsul mengikuti.
“Ada apa, Bang?” Syamsul gantian bertanya.
Freddy menggeleng, tidak menjawab. Begitu tiba, dia langsung mengetuk pintu kamar yang biasa dipakai oleh ketuanya untuk leha2. Ketukan pertama belum dapat jawaban. Tok, tok, tok. Ketukan kedua. “Bang Hardi…?”
Di dalam, Hardi pelan-pelan mulai tersadar dari lamunan.
Tok, tok, tok. Pintu kembali diketuk. “Bang…?”
“Masuk,” Hardi menyahut pendek.
Freddy membuka pintu, masuk. Syamsul masih mengikuti.
“Siang, Bang,” sapanya.
Hardi bangkit dari posisi tidur lalu mengangguk. “Duduklah,” ujarnya.
Kedua anak buahnya itu duduk di kursi yang ada.
“Ada apa?”
Freddy menghela nafas panjang, “Begini, Bang, kayaknya kita ada masalah sama Mister Ho.”
“Ho?” Hardi menatap Freddy.
Freddy mengangguk cepat.
“Kau keluar dulu, Syam. Ini urusannya Freddy,” ujar Hardi.
Syamsul mengangguk, beranjak ke luar sambil menutup pintu.
Hardi meraih gelas di atas meja, mengisikan Mansion ke situ, lantas diberikan kepada Freddy. Sisa yang di botol, dipegang untuknya sendiri.
“Makasih, Bang.”
Hardi mengangguk, “Gimana?”
“Begini, Bang. Kita sudah keluarkan elektronik bodong yang tertahan di Priok itu. Sudah juga kita kirim ke gudang di Cikupa seperti perintah Abang. Anak-anak Kaliber yang kawal,” Freddy berhenti sejenak meneguk minuman.
Hardi menunggu kelanjutannya.
“Sampai di situ urusan aman-aman saja. Duit aparat sudah kukasihkan semua ke Pak Daniel. Bagus kerja dia, semua aparat tutup mata mulai Priok sampai Cikupa.”
Hardi sedikit lega. Tadinya dia menyangka ada urusan dengan aparat.
“Terus, kenapa?”
“Besoknya, berarti kemarin…, aku balik ke Cikupa sama Johan mau menagih bayaran,” Freddy memandang Hardi. “Begitu perintah Abang, kan?”
“He-eh,” Hardi mengangguk.
“Itulah,” memukulkan kepalan tangannya ke paha, “Waktu sampai di sana, kita nggak boleh masuk.”
“Nggak boleh masuk, gimana?” wajah Hardi mengerut.
“Gudangnya dijaga si Abner sama kawan-kawannya. Kita bilang mau ketemu Ho, dia marah. Katanya mereka sekarang yang pegang jago di situ.”
“Abner siapa?”
“Abner hitam itu, yang dulu datang ke Abang minta-minta jatah daerah Pasar Baru,” sahut Freddy, lalu meneguk lagi minumannya.
Hardi mengingat-ingat, “Yang kupingnya hilang sebelah?”
Freddy mengangguk.
“Hah! Sialan…!” Hardi mulai mendidih, garis wajahnya mengeras. “Anak kemarin sore…,” desisnya, “Kau yakin bilang urusan kita mau nagih bayaran, bukan mau pegang jago?”
“Sudah, Bang. Si Somplak itu ngomong, katanya nggak pakai bayar-bayaran. Ho nggak mau bayar. Pokoknya nggak ada urusan sama kita.”
“Brengsek!” Hardi menggebrak meja.
“Nggak tahan aku, kesal kali nonton lagunya. Kukipas sekalian dia. Teman-temannya datang, jadilah. Sepuluhan lawan dua. Aku kesabet golok, Johan yang runyam. Untung kita masih bisa kabur.”
Freddy memperlihatkan luka memanjang di punggungnya. Parah walau tidak sangat. “Aku nggak apa-apa, Johan yang gawat,” ujarnya.
“Di mana dia sekarang?”
“Kubawa ke Cipto. Parah sekali, tapi nafasnya masih ada sepotong-sepotong. Cuma kata dokter, kalau misalnya selamat, tetap saja kupingnya bakalan budek sama matanya buta satu.”
“Hah?!” darah Hardi makin panas mendesir.
“Tiga Kaliber kutaruh sana. Jaga-jaga,” lanjut Freddy.
Hening menyergap. Hawa ruangan terasa semakin panas.
“Jadi, kita belum dapat itu duit dari Ho?” Hardi minta ketegasan.
Freddy menggeleng, “Makanya aku lapor ke Abang.”
Hardi mengontak Ho lewat HP. Veronica. Dicoba lagi, gagal lagi. Sampai tiga kali. “Bangkek! Ke mana Jepang bangkek ini!” makinya sambil membuka menu sms. Kosong. Tidak ada pesan secuil pun dari Ho.
Hening kembali menyergap.
Hardi diam, mencoba merangkai serpihan fakta. Mengingat kembali prosesnya dari awal, sejak negosiasi dengan Ho sekitar tiga bulanan lalu. Tahap demi tahap disimak, siapa tahu ada kesalahan di pihaknya.
Freddy juga diam menatap lantai. Memainkan gelasnya yang telah kosong.
“Menurutmu, siapa yang main api ini?” Hardi bertanya akhirnya.
“Ho!” Freddy menyahut mantap, tanpa berpikir lagi.
“Kau siap?”
“Kapan pun itu, Bang!”
“Ayo!” Hardi beranjak ke luar ruangan, Freddy mengikutinya.
Mereka melintasi kerumunan anak buah Syamsul yang mendadak hening melihat wajah Hardi seperti bongkahan es balok. Dingin dan keras. Mereka paham kalau bos besarnya itu sedang marah.
“Siapa namamu?” Hardi bertanya ke anak baru tadi.
“Somad, Bang.”
“Panggilkan Bang Syamsul. Cepat!”
Pemuda itu mengangguk, segera melaksanakan perintah.
Hardi menunggu, duduk diam di atas tumpukan papan. Freddy juga diam, berdiri disampingnya. Mulut Sang Kobra mengatup rapat, matanya tajam menatap kerumunan buah Syamsul yang bagai terhipnotis. Tidak ada seorang pun yang berani bicara.
Dari arah sana, Syamsul dan Somad bergegas menghampiri.
“Ada ada, Bang?” tanya Syamsul, nafasnya sedikit terengah dan masih berbau alkohol menyengat.
“Syam, kita punya urusan. Kau dan anak buahmu bersiap-siaplah. Tetap sadar, jangan mabuk dulu! Tunggu perintahku. Mengerti?”
“Siap, Bang,” Syamsul mengangguk, sambil melihat Freddy yang memberi isyarat ‘mengiris leher’. Pahamlah biang preman terminal ini kalau seseorang yang bakal mati.
“Ada pertanyaan?” Hardi menatap Syamsul.
Syamsul menggeleng, “Jelas.”
“Oke, aku pergi.”
Hardi bergegas menuju mobilnya yang diparkir tidak jauh dari situ.
“Biar aku yang bawa,” ujar Freddy.
Hardi menyerahkan kunci kontak LandRover Defender hitam itu kepada orang keduanya ini. “Ke rumahku dulu,” pintanya.
Freddy mengangguk.
***
LandRover menggerung gagah, melaju sedang. Freddy menunggu Hardi memulai pembicaraan. Namun tunggu ditunggu, ketuanya itu tidak juga membuka suara. Freddy pun terpaksa diam seribu bahasa.
Traffic light menyala merah, LandRover berhenti menunggu giliran. Seorang pengamen remaja menghampiri mereka, lantas menyanyi diiringi petikan gitar kumal penuh tempelan stiker murahan. Hardi mengambil uang di locker dashboard. Saat menoleh, ternyata pengamen itu sudah menjauh dengan wajah takut-takut. Biang preman itu memanggilnya lagi. Uang dua puluh ribuan berpindah tangan.
“Terima kasih, Bang,” si remaja bersuka cita menerima uang. Mengangguk dalam-dalam sebelum beranjak pergi.
“Dia kenal aku atau kau?” tanya Hardi.
“Ini termasuk wilayahku, tapi aku yakin semua anak jalanan sini pasti kenal Abang. Paling tidak mobilnya,” jawab Freddy, “Itu salah satu pentol koreknya. Dari tadi kayaknya dia pengen disapa sama Abang.”
Hardi melihat ke arah yang ditunjuk Freddy. Tampak di sana seorang pemuda tanggung pendek kekar berdiri di samping Polantas yang sedang duduk dalam posnya. Hardi membalas anggukan pemuda itu dengan lambaian kecil. Tadinya mau dia panggil untuk sekedar dikasih uang jajan, tapi lampu keburu hijau. Langsung ribut klakson bersautan. Memaksa mobil di depannya masing-masing agar segera jalan. Seolah paham betul mereka kalau waktu adalah uang.
“Berani juga anak tadi dekat-dekat polisi, ya?”
“Bapaknya polisi. Mati ditembak perampok bank yang kabur naik RX-King, pas depan pos itu. Anak buahnya si Tumpak,” Freddy menjelaskan.
Hardi manggut-manggut. Tumpak Manalu adalah ketua salah satu kelompok preman di Jakarta. Spesialisasinya merampok bank atau nasabah bank yang barusan mengambil uang. Dia teman dekatnya Togar, salah seorang ketua kelompok preman dibawah Hardi yang juga ahli soal rampok-merampok.
LandRover terus melaju. Lewat Haji Batong, tembus Fatmawati. Belok kiri, lurus, masuk ke Radio Dalam. Jana, tukang kebun rumah Hardi, membukakan pintu pagar. LandRover menyelinap masuk ke rumah yang tidak terlalu besar namun asri ini. Hasil kerajinan tangan Mang Jana.
“Ada tamu, Mang?” tanya Hardi.
“Nggak ada, Den. Cuma tukang ledeng lihat meteran.”
Hardi mengangguk-angguk, masuk ke dalam rumah. Freddy mengikuti.
“Mbok,” Hardi memanggil Mbok Ipah, pembantunya yang lain.
Seorang perempuan lewat paruh baya menghampiri, “Iya, Den?”
“Buatkan aku mie goreng tauco yang kayak biasa, ya.”
Ipah mengangguk.
“Kau mau, Fred?”
“Nggak. Aku kopi kental saja, Mbok,” pinta Freddy.
Ipah mengangguk lagi, bergegas kembali ke dapur untuk menyiapkan pesanan tuan dan temannya itu.
Hardi lanjut masuk ke kamarnya.
“Hemmh…,” Freddy menghempaskan tubuhnya ke sofa, lalu meringis. Lupa dia kalau punya luka yang masih basah di punggung. Remote TV diraih, dipencet-pencet cari saluran. Tidak ada yang cocok, tapi terus saja dipencet-pencet. Sedang suntuk otaknya. Setelah bosan, barulah remote ditaruh lagi di atas meja setelah menekan tombol off.
Tidak lama berselang, Hardi muncul dari kamarnya. Bersetelan kemeja biru tua dipadu celana panjang hitam. Kumis dan cambang sudah dirapikan. Tampak lebih muda dia dengan penampilan seperti itu.
Melihat itu, Freddy berdecak menggoda.
Hardi nyengir. “Ayo makan,” ajaknya.
Freddy menggeleng.
“Sebentar ya,” Hardi menuju meja makan. Mie goreng tauco yang disiapkan Mbok Ipah dilahapnya agak pelan-pelan.
Freddy meraih remote TV lagi. Begitu menyala, langsung Srimulat. Anak buah utama Hardi Kobra itu menyimak aksi kerumunan manusia lucu layar televisi. Saat bibirnya sudah mulai menyerigai hendak tertawa, Hardi menghampiri. “Ayo,” katanya.
“Yah…! Cepat kali makannya, Bang?” Freddy agak kecewa karena harus meninggalkan Asmuni dan kawan-kawan yang mulai menggelitik syaraf. Apa boleh buat, dia bangkit beranjak mengikuti ketua.
“Mang, aku pergi lagi. Hati-hati di rumah.”
Jana mengangguk.
“Hati-hati sama siapa, Bang?” Freddy nyerengeh sambil menstart mesin.
“Pastinya sama anak buahmu.”
“Hehehe,” ajudan setia itu terkekeh.
Jana membuka pagar. LandRover menderung. Perlahan keluar, lalu meluncur kembali ke jalan raya.
“Ke mana kita?” Freddy membuka pembicaraan, mumpung bisa.
“Bank.”
“Yang di Pondok Indah?”
“He-em.”
Cuma segitu obrolannya, lantas hening lagi dalam mobil ini. Lama-lama Freddy tidak tahan, dia menghidupkan radio. Cari-cari siaran, tidak ada yang cocok. Kasak-kusuk tangannya mencari kaset di consul mobil itu. Begitu terpegang, langsung disetel tanpa melihat-lihat. Mengalunlah desah Julio Iglesias dengan To All the Girls I Loved Before-nya.
Freddy mendelik. Dia sudah akan mencabut lagi kaset itu saat Hardi berkata, “Biarkan, Fred. Enak lagu ini.”
“Cailaah, Bang. Lagu jaman Bung Karno abege didengerin,” ajudan setia itu protes.
Hardi cuek saja. Malah merebahkan sandaran kursi dan mulai mengatupkan mata. Menikmati tembang lawas ini.
“Mending keroncong sekalian,” sungut Freddy.
Hardi tetap cuek.
Karena protesnya sama sekali tidak mendapat tanggapan, Freddy pun pasrah gendang telinga dangdutnya direcokin lagu-lagu antik itu. Bolak balik dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Hardi menikmati suara bariton Julio Iglesias yang memang lembut mendayu itu. Pantaslah tiga ribu perempuan rela ditiduri Don Juan ini. Dia pernah membaca kisahnya di majalah. Terbawa suasana, pikiran Hardi kembali menerawang. Perlahan-lahan kenangannya di markas Syamsul yang terputus karena kedatangan Freddy tadi muncul lagi. Wajah Emak hadir….
***
“Nak, masih ingin kau ke Jawa?” tanya Aminah.
Hardi tertegun, dua minggu lalu ibunya ini tegas melarang keinginan itu. Dia menatap, Aminah balas menatap buah hati dengan sentuhan yang sulit diceritakan. Hardi merasa seolah tulangnya luluh tak bertenaga.
“Kalau Emak melarang, aku nggak akan pergi,” jawabnya pelan.
Aminah mendekap erat anak laki-lakinya itu. “Pergilah Nak, jika itu maumu. Emak merestui.”
Hardi pun menangis. Tiba-tiba dia tidak ingin lagi pergi meninggalkan ibu dan adiknya, “Tidak Mak, aku tidak akan pergi.”
Emak terus mendekapnya. Menangis berdua dalam keharuan.
“Pergilah, Nak. Raih hidupmu di sana.”
Jiwa Hardi seolah terlepas dari raganya, melayang-layang. Dia semakin erat memeluk ibunya. Seakan tak rela melepaskannya lagi….
***
“Bang,” Freddy menggugah Hardi, lantas tertegun melihat bening di kelopak mata ketuanya. Tumpah sedikit. Sekian tahun bersama, belum pernah Freddy melihat Hardi seperti itu. Ada apa? Jangan-jangan gara-gara lagu-lagu antik tadi?
“Makanya, Bang. Lagu gitu nggak layak didengerin,” ujarnya sok tahu.
Hardi cepat-cepat menguasai diri. “Aku ingat Johan,” ujarnya mengalihkan pembicaraan. “Sudah sampai?” sambungnya, menyambar tissu dan segera membuka pintu mobil sambil menyusut setitik air mata yang ada.
“Johan memang setia,” Freddy bergumam, teringat karibnya yang sekarat di rumah sakit. “Bagusnya kita kepret si Somplak itu, sekalian kecoak-kecoaknya.”
Hardi mengangguk, “Pasti. Kalau sampai terbukti sebentar lagi ini, kita injak mereka. Jejalkan ke lubang WC sama kecoak-kecoaknya. Pantasnya mereka memang di situ.”
“Siap Bang! Siang malam!” sambut Freddy.
Mereka berjalan menuju bank di sebelah sana. Petugas Satpam membukakan pintu, mempersilahkan mereka masuk dengan ramah. Hardi membalas hormatnya dengan anggukan kecil. Di sini, dia dikenal sebagai salah seorang prime customer, nasabah dengan nilai simpanan besar. Kalau mau, para prime customer bisa meminta pelayanan secara khusus.
Hardi langsung menuju meja customer service. Freddy duduk di kursi tunggu, baca-baca majalah.
“Selamat sore, Pak Hardi. Kemana saja, nih? Lama nian nggak ke sini,” sapa Susan, gadis customer service itu. “Gimana bisnisnya? Lancar?”
“Selamat sore juga, Susan. Bisnis lancar. Cuma, kenapa setiap kali jumpa kelihatannya kamu makin cantik saja, ya?” Hardi balas tersenyum.
Susan tersipu, lesung pipitnya tampil jelas.
“Belum tutup, kan?”
“Tergantung keperluannya, Pak,” Susan menyibak rambutnya yang hitam lurus sebahu. Sekalian memainkan tatapan matanya nan menggoda. “Bapak mau Susan bantuin apa, sih?” jemari lentik gadis itu mengusap lembut punggung tangan Hardi diatas meja, seolah tanpa disengaja.
Giliran Hardi yang tersipu. Gadis ini memang biasa berlaku manja jika berjumpa dengannya di sini. Atasannya pernah meminta maaf atas itu, kuatir Hardi tidak berkenan. Prime Customer itu meringis saja. Siapa yang keberatan? “Kecuali kalau Susan sudah punya suami,” ujarnya. Lantas mereka berdua tertawa-tawa. Susan yang jadi terdakwanya cemberut. Namun, cemberut pun tetap cantik karena memang aslinya cantik.
“Susan, tolong cek rekening saya dong.”
“Oke, Bos. Sebentar ya,” Susan menekan beberapa tombol keyboard pada komputernya. “Aduh, tambah besar saldonya,” dia berbisik sambil menatap manja. Tubuh mungilnya digoyang-goyang pelan. Ciri kalau sensasi gairah mulai merasuk.
Hardi menahan diri, “Masuk berapa seminggu terakhir?”
“Emm, banyak nih,” Susan membacakan setidaknya sembilan tranfer masuk. Tapi tidak ada satupun dari Soho Harakawa, alias Mister Ho.
Hardi terdiam, yakinlah dia sekarang kalau Ho memang mempermainkannya. Wajah pemuda ini sedikit menegang menahan amarah.
“Pak Hardi? Kok jadi seram begitu?”
“Eh, nggak… nggak apa-apa,” Hardi agak gelagapan, “Tolong ambilkan dua puluh lima juta, ya.”
Susan mengangguk. Mengambil slip pengambilan tunai, mengisi formulir itu, lalu meminta tanda tangan Hardi. “Sebentar ya, Pak,” ujarnya tersenyum, sebelum beranjak ke meja teller.
Hardi balas tersenyum.
Di sana, terlihat gadis itu berbicara dengan seorang teller. Selanjutnya, mereka menyiapkan uang yang diminta. Dan tidak lama berselang, gadis cantik itu sudah melangkah kembali ke mejanya sambil membawa amplop coklat.
“Ini, Pak.”
Hardi memangguk, memasukkan amplop uang itu ke dalam tasnya tanpa menghitungnya lagi.
“Sudah…,” dia bergumam, “Sekarang apa lagi, ya?”
“Yaah, masak segitu saja?” Susan merajuk manja, menyambar peluang yang dibuka oleh pemuda tampan di hadapannya.
Hardi menatap gadis di depannya, saling memandang. Tanpa bisa dibendung, getar-getar halus merasuki saraf kelelakian Sang Kobra. Begitu halnya dengan gadis di hadapannya. Sesaat, hening syahdu menyergap di situ.
“Susan maunya apa?” tercetus juga akhirnya.
Gadis itu tersenyum manis, sambil menggoyang-goyangkan tubuh mungilnya. Belahan dada ukuran sedang namun padatnya ikut bergoyang pelan. Hardi menelan ludah. Getar-getar itu semakin kencang menggedor saraf.
“Mau apa, Sayang?” bisiknya lagi, hampir tak terdengar.
Susan masih belum menjawab. Tubuh mungilnya tetap bergoyang pelan, bibir bawahnya digigit-gigit lembut dengan mata lekat menantang.
Digempur seperti itu, Hardi blingsatan panas dingin. “Aahhh, gadis ini tahu betul cara melelehkan aku,” desahnya dalam hati. Karena sudah susah ditahan maka dia pun kembali berbisik, “Kayak yang di Puncak dulu?”
Senyum Susan mengembang manis. Mengangguklah dia.
“Oo, itu to maunya? Ayo. Siapa takut?” Hardi balas menggoda. “Nanti aku hubungi, ya. Sekarang aku masih ada urusan,” lanjut bisik sang arjuna.
“Ya, Mas,” Susan mengangguk sayup, mengusap lembut sekali lagi punggung tangan Hardi yang masih di atas mejanya.
Hardi tersenyum-senyum dikulum. Sesaat akan beranjak, ada yang menyapa. “Pak Hardi? Apa kabar?” seorang lelaki empat puluh lima tahunan ujug-ujug nongol di situ. Berdiri di samping mereka.
Susan terkejut melihat kemunculan atasannya. Jadi agak salah tingkah. Hardi sigap mengendalikan diri.
“Eh, Pak Wisnu…. Baik-baik saja, Pak. Kabar Bapak sendiri gimana?”
“Monoton, Pak. Beginilah nasib karyawan, hahaha,” Wisnu tertawa pelan. “Ada yang bisa kami bantu, Pak Hardi?” lanjutnya sambil melirik Susan.
“Sudah kok, Pak. Cuma lihat saldo saja.”
“Oo,” Wisnu mengangguk-angguk.
Selanjutnya, mereka berbincang basa basi sejenak. Pada saat yang tepat, Hardi melihat arlojinya. Pura-pura dikejar waktu.
“Sebenarnya masih pengen ngobrol nih, Pak Wisnu. Cuma, maaf, saya sedang buru-buru. Mesti pamit duluan kayaknya,” Hardi menuntaskan basa basi agar tidak terlalu panjang.
“Silahkan, silahkan, Pak Hardi. Terima kasih telah bersedia menjadi nasabah kami,” Wisnu juga menutup basa basinya.
“Sama-sama Pak. Susan, terima kasih, ya.”
Hardi menjabat tangan Wisnu dan Susan lalu beranjak pergi. Lewat perasaan, dia tahu Susan sedang memandanginya. Hardi menghela nafas panjang. Sepenuh pelosok hati telah dia telusuri mencari benih cinta untuk gadis cantik itu. Tidak ada. Memang melampaui batas suka, tapi tidak sampai menembus cinta. Rasanya seperti membentur dinding karang.
***
“Gimana, Bang?” Freddy bertanya di mobil.
Hardi menggeleng. Wajahnya mulai mengeras lagi.
“Jadi, apa selanjutnya kecoak-kecoak itu?”
“Injak! Masukkan ke lubang WC!” desis Sang Kobra.
“Siap!” Freddy menyahut puas.
LandRover terus melaju….
Penuh ternyata parkiran RS Cipto Mangunkusumo. Freddy bersuit memanggil juru parkir yang sedang makan mie ayam di bawah pohon. Begitu melihat Freddy, dia segera menaruh mangkoknya lalu berlari cepat menghampiri mereka.
“Penuh, Bang, ke sini saja…!” teriaknya, mengarahkan LandRover ke lahan parkir khusus dokter.
Melihat itu, seorang satpam beranjak mendekat dengan lagak garang. Freddy santai saja memarkirkan LandRover di antara mobil-mobil dokter.
“Nggak apa-apa parkir di sini?” tanya Hardi.
“Haa?” Freddy mendelik sedetik, lalu ngakak mendengar itu. “Bang Hardi ini memang terlalu merendahkan diri. Abang lebih terkenal di sini daripada direktur rumah sakitnya. Hahaha,” katanya, sambil terus tertawa.
Dia turun dari mobil, langsung memapak satpam itu. Melihat Freddy, kenal tampaknya, petugas satpam yang awalnya melotot harimau benggala ini langsung ganti casing jadi kucing angora. Freddy mengatakan sesuatu kepadanya. Satpam itu menoleh ke arah Hardi, lantas menghormat ala militer. Hardi membalas itu dengan anggukan kecil.
“Kau ngomong apa ke satpam tadi?” dia bertanya, sambil jalan menyusuri koridor rumah sakit.
“Kubilang, sudah berapa lama lu di sini kagak kenal Bang Hardi?”
“Ah, sialan,” Hardi meringis.
Freddy balas nyengir. “Lewat sini, Bang,” ujarnya, membelok ke kanan.
Hardi mengikuti.
Sejujurnya, Hardi tidak suka rumah sakit. Baunya yang khas menusuk hidung itu selalu mengingatkannya pada kenangan pahit saat ayahnya dibawa ke Rumah Sakit Tenria Waru di Kota Watampone dengan badik masih menancap di dada. Hardi juga kurang suka melihat wajah-wajah putus asa yang bertebaran di situ. Pokoknya, kalau bukan karena alasan kuat, dia enggan menginjak lantai rumah sakit.
“Permisi, Pak, permisi…,” seorang bruder melintas tergesa-gesa mendorong brankar pasien. Susternya memegangi botol infus. Di atas kereta dorong itu tergeletak sesosok tubuh lelaki mengerang-erang berlumuran darah. Kelihatannya korban kecelakaan. Seorang perempuan berlari-lari mengikuti sambil menggendong balita. Dia menangis, balitanya meraung.
Hardi menghela nafas, teringat bagaimana dirinya terseret pontang panting digandengan tangan ibunya yang berlari menangis mengikuti brankar ayahnya. Tidak banyak beda dengan pemandangan yang barusan lewat. Hardi menatap punggung para perawat yang sedang berupaya menyelamatkan nyawa korban. Tangisan perempuan itu menyayat hati, ditingkahi raungan balitanya yang makin menjadi.
Sesampainya di UGD, Freddy langsung menuju tempat pasien yang tubuhnya ditancapi beragam selang malang melintang. Hardi mengikutinya. Seorang anggota Kaliber sigap menyambut. “Sore, Bang,” sapanya. Hardi dan Freddy mengangguk, membalas sapaan.
“Gimana, Mat?” tanya Freddy.
“Belum sadar, Bang,” jawab Mamat.
“Mana Agus sama Wawan?”
“Lagi ke luar. Nebus obat sekalian cari makan.”
Hardi mengamati kondisi Johan. Parah sekali. Walau marah, Hardi tetap bisa mengendalikan diri. Hanya sorot matanya saja yang jelas mengisyaratkan itu. Seorang dokter muda menghampiri. Setelah saling memperkenalkan diri, mereka berbincang mengenai kondisi Johan. Hardi serius menyimak penjelasan dokter ini, sesekali dia mengangguk-angguk sambil menarik nafas panjang.
“Begitulah, Pak Hardi. Kondisi Pak Johan ini parah luar dalam. Terus terang kami kagum, fisiknya sungguh kuat. Masa kritisnya kira-kira dua minggu kalau tidak berlanjut koma. Namun kalau pun selamat, bisa dipastikan dia tuli karena kedua gendang telinganya pecah. Selain itu, dia juga kehilangan penglihatan kiri sebab bola matanya sobek dan tidak mungkin diperbaiki. Kami telah mengangkat bola mata itu. Kuatir terjadi infeksi ke otak.”
Hardi memandang kepala Johan yang terbalut perban, rongga mata kirinya celung. Dia menggeram keras dalam hati. Matanya menyipit, bibirnya mengatup rapat hingga otot pipinya terlihat menonjol.
“Saya ingin tanya, Pak Hardi, Menurut keterangan, Pak Johan ini kecelakaan. Tapi kami bingung, luka-luka seperti ini bisa dipastikan bukan akibat kecelakaan. Ini penganiayaan. Ceritanya gimana sih, Pak?” dokter muda itu memandang Hardi sambil membetulkan letak kacamatanya. Antusias menunggu penjelasan.
Hardi diam, menatap tajam. Pancaran dingin sorot matanya membuat sang dokter terkesiap. Tiba-tiba dia teringat nama yang sering didengarnya sebagai biang preman, “Bukankah namanya Hardi? Hardi Kobra?” Dia melirik Freddy, Mamat dan Johan yang sedang sekarat, lalu segera sadar siapa lawan bicaranya. “Waduh, pastilah ini Hardi Kobra itu. Nggak salah lagi…,” ucap batinnya lagi. Suasana pun mendadak hening. Kelihatan sekali dokter muda ini salah tingkah.
Hardi bisa membaca situasi, cepat-cepat menetralisir suasana. “Begini saja, Dokter. Tolong diupayakan kesembuhan untuk saudara saya ini. Berapapun biayanya nggak masalah. Saya akan menyediakannya,” ujarnya tenang.
Dokter itu mengangguk. “Tentu, Pak, tentu. Kami akan berupaya semaksimal mungkin. Tapi, mohon maaf, saya mesti memeriksa pasien yang lain,” kilahnya.
“Silahkan, Dokter. Terima kasih.”
Mereka berjabat tangan. Dokter muda itu pun berlalu melanjutkan tugasnya.
Hardi kembali memandangi Johan tanpa banyak kata-kata. Sesekali terdengar helaan nafasnya. Sampai akhirnya Hardi mencukupkan keberadaannya di situ. “Fred, tolong urus Johan baik-baik. Hubungi aku kalau ada apa-apa. Aku mesti pikirkan rencana kita untuk si Ho.”
“Baik, Bang.”
Kemudian mereka ke luar dari UGD, menuju pelataran parkir.
“Kau juga cepatlah sembuh. Kita butuh dukunganmu,” Hardi berpesan kepada Freddy saat telah disamping kendaraan.
“Beres, Bang,” Freddy mengangguk, mengembalikan kunci mobil.
“Ini untuk ngurusin Johan, kalau kurang nanti ambil lagi,” Hardi menyerahkan sebagian besar uang yang tadi diambilnya dari bank, “Aku balik dulu.”
Freddy mengangguk lagi.
LandRover Defender hitam beranjak meninggalkan RS Cipto Mangunkusumo. Satpam tadi dengan sukarela memandu mobil perang ini masuk kembali ke jalan raya. Melepas tamunya dengan hormat militer sepenuh rasa. Senang bisa tahu Hardi Kobra, yang selama ini kencang terdengar namanya saja. Seperti puting beliung.
***
Hari mulai beranjak gelap, sebagian lampu merkuri jalan raya telah menyala. Sang Kobra masih setia menyusuri ibukota sambil menyusun rencana untuk Ho yang telah mengkhianati kepercayaannya. Tidak terasa, alarm Rolex telah berdentang pukul sepuluh malam. Hardi menggiring LandRover ke arah Harmoni, menuju diskotik StarMoon di kawasan itu.
Anak-anak berandalan yang nongkrong di pelataran depan diskotik itu segera menyingkir, memberi jalan untuk LandRover hitam yang akan masuk parkiran. Mereka kenal pemiliknya. Openg, salah seorang pentol korek anak-anak muda itu, bergegas datang menghampiri Hardi.
“Malam Bang,” sapanya.
Hardi mengangguk, “Apa kabar kalian?”
“Baik, Bang.”
Hardi turun dari mobil perangnya. “Nih, kasih minum gerombolan pengacau keamananmu,” dia memberi uang kepada Openg.
“Oho! Makasih, Bang,” Openg menyambut gembira.
Hardi menepuk pundak pemuda itu, kemudian berjalan masuk ke diskotik. Dentum house music yang dipandu DJ berambut jabrik langsung menggedor jantung, seakan merengkah gendang telinga. Kerlap-kerlip lampu spot light menyempurnakan semarak suasana. Para penikmatnya asyik bergoyang. Di tempat duduk remang-remang seputar arena, pengunjung lain pun sibuk mengumbar nafsu dengan pasangan masing-masing.
Hardi tidak peduli. Langsung menuju bar di pojok sebelah sana.
“Malam, Bang. Biasa, nih?” sapa Rudi, bertender di situ.
Hardi mengangguk, menarik sebuah bangku tinggi kemudian duduk. Beberapa pemuda kekar yang ada di situ mengangguk kepadanya. Hardi membalas walau tidak kenal mereka. Pemuda-pemuda itu menggeser duduknya, memberi ruang yang cukup untuk Sang Kobra.
Dengan cekatan, Rudi meramu minuman kesukaan Hardi. Mansion, Vodka dan Kratingdaeng disatukan, dikocok keras. Minuman campuran berbuih kekuningan itu dituang ke gelas besar lalu diserahkan ke Hardi.
“Makasih,” ujar Hardi, langsung menenggak dua teguk minumannya.
“Lama juga Abang nggak ke sini, ya? Sibuk banget, apa?” tanya Rudi.
“Lumayan,” Hardi mengangguk, “Sebenarnya aku ada perlu denganmu.”
“Bereslah itu, Bang. Mau yang gimana, sih? Perawan, janda, muda, agak tua, amatir, profesional, SMA, mahasiswi, hitam, putih, belang, gemuk, atau kurus? Kombinasi juga ada, hahaha.”
“Ah, kampret kau,” Hardi ikut tertawa, “Tolong panggilkan Rina.”
Rudi mengangguk, memanggilkan Rina lewat interkom.
“Ada apa sih, Bang?” dia bertanya, agak penasaran.
“Nanti aku jelaskan,” jawab Hardi.
“Oke,” Rudi mengangguk. “Bentar ya, Bang,” dia beranjak melayani seorang lelaki dandi lewat paruh baya diapit dua perempuan muda genit, yang pantas jadi anak bungsunya. Hardi menyerigai. “Dasar bandot tua,” gumamnya pelan. Pemuda kekar di sebelahnya tertawa.
“Eh, ada Bang Hardi,” seru Rina kekanakan, memeluk lengan Sang Kobra dan langsung menyandarkan kepalanya di situ. Seperti adik ke abangnya.
“Hei, hei, hei…, awas suamimu marah,” Hardi mesem. Belum berubah juga kelakuan istri Faisal ini jika jumpa dengannya, sejak masih gadis dulu.
Hardi kenal baik dengan Faisal, suami Rina, yang juga bekerja di diskotik ini sebagai teknisi elektrikal. Sama-sama perantauan dari Sulawesi Selatan. Hardi dari Bone, Faisal dari Soppeng. Hardi yang memberi uang kepadanya untuk bisa menikah dengan Rina, tanpa sepengetahuan mempelai perempuannya tentu.
“Sudah berapa keponakanku?” tanya Hardi.
“Masih satu yang dulu,” Rina menyahut manja.
“Masih satu…? Apa susah bikinnya?”
Rina meringis manis, “Tau tuh, Kak Ical. Takut nggak kebeli susu, katanya.”
“Ah, macam mana pula Faisal. Bilang aku yang suruh bikin banyak. Biar nanti Om-nya yang belikan susu. Atau, jangan-jangan susumu yang bermasalah, Rin?” Hardi cengengesan.
“Enak aja,” Rina membantah manja, “Kak Ical bawaannya nunjuk terus tuh. Uring-uringan kalau nggak diturutin.” Makin erat dia memeluk lengan Hardi.
Hardi tertawa, “Mana suamimu? Biar aku tegur langsung.”
“Nggak ada. Lagi ke Batam lihat lampu model baru. Kata bos, lampu disko yang ini mau diganti.”
Hardi manggut-manggut, “Nanti kalau dia pulang, bilangin pesanku tadi, ya. Serius. Pokoknya kalau aku ke sini lagi, keponakanku harus sudah nambah. Masak bugis takut sama susu? Hehe.”
“Lha, Abang sendiri belum punya?” Rina balas menyerang.
“Oo, beda kasus dong. Aku kan belum ketemu pabriknya? Kalau bahan baku sih sudah siap. Hahaha,” Hardi sigap membela diri.
Rina mencubit mesra lengan Hardi. Kelihatan sekali bahwa dia menikmati kegiatan bergelayutan di situ.
“Rin, ada kamar kosong, nggak?” Hardi bertanya kemudian.
“Ada, tinggal satu, VIP 2. Abang mau?”
Hardi mengangguk.
“Tapi ceweknya habis, tinggal aku,” Rina meringis manis.
“Nggak, ah. Kamu kan sudah ada yang punya. Udah blong remnya, bahaya. Barusan Rudi nawarin yang masih ciiit. Hayo?” canda Hardi.
“Hehehe,” Rudi terkekeh di sebelah sana.
“Yee, biar blong juga jagoan nanjak lho. Kak Ical aja banyaknya kewalahan,” Rina membalas canda itu.
Mereka bertiga pun tertawa lepas.
“Ya udah. Aku siapin dulu kamarnya ya, Bang,” ujar Rina kemudian.
Hardi mengangguk. Rina bergegas balik ke area kerjanya, karaoke room. Dia penerima tamu di situ.
Hardi meneguk minumannya. Di lantai disko, sepasang muda-mudi bergoyang kelewat panas untuk usianya. Pakaian si gadis tersingkap, atau mungkin memang sengaja disingkap hingga buah dada mungilnya yang terbungkus bra lembayung itu mencuat. Menantang birahi. Jemari pasangannya sibuk menyusuri lekuk-lekuk tubuh si gadis. Nafas mereka terengah-engah menahan gejolak. Pengunjung bersorak sorai menonton adegan berani itu. Pasangan ini sama sekali tidak peduli. Sedang kesetanan tampaknya.
“Sudah siap tuh, Bang,” ujar Rudi, sambil meletakkan gagang interkom.
Hardi mengangguk, membayar minumannya. “Temui aku di sana, ya?”
Rudi balas mengangguk.
Hardi beranjak ke karaoke room yang letaknya di area belakang diskotik ini. Rina mengantarnya masuk ke satu-satunya kamar tersisa tadi. Dia menawarkan escort girl untuk menemani Hardi, yang disangkanya hendak berkaraoke ria.
“Nanti saja, Rin. Aku nunggu Rudi dulu,” ujar Hardi.
Rina mengangguk. Kemudian beranjak ke luar sambil tersenyum. Sekalian menutupkan pintu kamar nyanyi-nyanyi VIP 2 ini.
Sepeninggal Rina, Hardi terpekur dalam ruangan yang dipenuhi cahaya violet itu. Dia sedang memantapkan hati untuk melibatkan Rudi dalam rencananya. Memang ada sedikit keraguan tapi ditepisnya dulu. Supaya jelas, dia hendak menanyakannya langsung kepada yang bersangkutan.
Tidak lama, Rudi hadir membawa segelas besar minuman kesukaan Hardi seperti yang tadi dan sekaleng bir ringan untuk dirinya sendiri.
“Gratis, Bang,” ujarnya.
Hardi tersenyum, “Makasih.”
Sang Kobra meneguk minumannya. Rudi membuka kaleng bir dan meneguk isinya. Suasana hening sejenak. Hardi memandangi karpet lantai sambil berpikir, Rudi diam menunggu pembicaraan.
“Rud, apa aku bisa mempercayaimu?” Hardi membuka tanya.
“Abang yang menilai itu.”
Hardi manggut-manggut, hening lagi. Rudi memainkan kaleng birnya.
“Taruhannya penjara,” Hardi menatap pemuda bartender di sebelahnya, “Tapi kalau kau konsisten tutup mulut, kujamin aman.”
Rudi terkesiap, tengkuknya langsung dingin. Sesaat dia terdiam.
“Oke,” ujarnya kemudian, “Ada apa, Bang?”
Hardi masih menatap Rudi, lalu mengangguk-angguk.
“Aku mencari seseorang…,” Hardi menggambarkan ciri-ciri Ho, “Dia senang minum dan mabuk-mabukan di bar, tapi nggak punya bar tetap. Semua bar terkenal di Jakarta ini didatanginya bergantian.”
Rudi mengerutkan kening, “Kalau dugaanku benar, kayaknya orang itu sering ke sini. Terakhir sekitar tiga atau empat hari lalu.”
“Oya? Sendirian datangnya?”
“Dulu iya, sekali-sekali bareng temannya. Tapi belakangan ini selalu ditemani dua orang gede item. Yang satu kupingnya cuma satu.”
“Nah! Itu dia. Dia yang kucari!” Hardi senang karena Rudi tahu persis orang yang akan diciduknya.
Rudi juga kelihatan senang, “Ada ceritanya juga, Bang….”
“Tentang kunyuk itu?”
Rudi mengangguk, “Kalau minta cewek nggak cukup satu-dua, minimal empat. Rina kewalahan. Soalnya cewek-cewek sini pada nggak mau nemenin. Habis, katanya suka mukul. Rina juga pernah ditempelang tuh. Nggak terlalu keras sih, cuma nangisnya lama. Nggak terima istrinya digituin, Faisal ngamuk. Ngelabrak, berkelahi dia sama dua pengawalnya itu. Jontorlah. Badan kecil gitu ngelawan dua orang gede. Item lagi,” sambung Rudi bersemangat.
Kepancing kesal juga Hardi mendengar ini, “Kapan kejadiannya?”
“Emm, tiga mingguan lalulah.”
“Kenapa Faisal nggak ngomong ke aku?”
“Tadinya Rina nyuruh gitu, tapi kata Faisal ini urusan pribadi. Jadi dia nggak mau bilang sama Abang.”
Hardi manggut-manggut, “Terus, kalau kunyuk itu datang lagi, Rina gimana?”
“Kabur, masuk ruangan Pak Bagus. Nggak mau keluar sampai orang itu pergi. Katanya ke Pak Bagus, kalau gara-gara itu dia dipecat, silakan saja,” Rudi nyengir. “Mau kupanggilkan Rina, Bang?”
“Jangan, jangan! Orang lain nggak boleh tahu. Ini antara kau dan aku saja,” tegas Hardi, “Kita balik ke persoalan awal….”
Hardi meneguk minuman, menyulut rokok. Rudi juga meminum birnya, tapi tidak merokok.
“Baiklah, Rud, bagus kau tahu pasti orang yang kucari. Aku yakin sekarang dia masih di Jakarta, kapan-kapan pasti ke sini lagi. Waktu dia datang lagi nanti, bisa nggak kau kontak aku? Itu saja. Gimana?”
Rudi mengangguk, “Beres, Bang, kalau cuma itu sih.”
“Jangan gegabah, urusan ini mungkin panjang. Pokoknya kau jangan pernah cerita ke orang lain. Nggak boleh ada yang tahu. Kita berdua saja. Paham?”
Rudi mengangguk.
“Waktu kau ngontak aku, kodenya Vodka habis,” sambung Hardi.
“Vodka habis…,” Rudi bergumam mengangguk-angguk.
“Mungkin saja polisi bakal tanya-tanya. Tapi seperti kubilang tadi, selama kau konsisten tutup mulut, kujamin aman,” tegas Hardi.
Rudi terkesiap, “Pakai polisi segala, Bang? Memangnya dia siapa?”
“Anggap saja orang Jepang mati….,” desis Sang Kobra.
Rudi terdiam, dingin merayapi tengkuknya lagi. Dia tahu Hardi tidak sedang main-main.
Hardi menatap tajam Rudi, “Katakan sekarang kalau kau nggak sanggup.”
Rudi mengangkat wajahnya, balas memandang Hardi. “Bereslah, Bang. Nggak soal itu,” ujarnya mantap.
“Yakin?” Hardi minta ketegasan.
“Yakin. Apapun buat Abang.”
Hardi menghembus napas lega. “Ini untuk ganti pulsamu,” dia memberi uang yang lebih dari cukup kepada pemuda bartender ini.
Rudi tidak berani menolak, “Makasih, Bang. Kapan mulai?”
“Nanti kuberitahu. Calling langsung, jangan sms. Masih punya nomerku?”
Rudi mengangguk.
Hening kembali menyergap, lama juga.
“Ada yang lain, Bang?” Rudi membelah senyap.
Hardi menggeleng, “Itu saja.”
“Kalau gitu, aku balik ke tempatku dulu.”
Hardi mengangguk, “Makasih, Rud. Vodka habis, dan jangan bicara ke siapa pun. Jangan pernah!”
“Beres, Bang,” Rudi mengangguk takzim, beranjak ke luar setelah bersalaman erat dengan Sang Kobra.
Hardi merenung sepeninggal Rudi. Dia sadar betul bahwa persoalan ini bisa jadi runyam kalau Rudi sampai bocor, apalagi ke polisi. Runyam bagi dirinya, terlebih buat Rudi. Tapi Hardi percaya Rudi bisa memegang amanat sebab mereka sudah lama kenal, bukan baru kemarin sore.
Pintu diketuk. Rina masuk bersama tiga gadis cantik. “Udahan jadi gaynya, Bang?” istri Faisal itu meringis manis.
“Ah, sialan,” Hardi tertawa kecil, “Ada apa ini rame-rame? Mau ngeroyok aku?”
Rina tertawa renyah, berjalan menuju Hardi, duduk manja di sebelahnya dan langsung memeluk lengan pemuda ini seperti biasa. “Bang, mereka bagus lho. Kayak BMW seri terakhir,” ujarnya berpromosi.
“Hahaha,” Hardi ngakak, “Kamu ini, Rin, orang kok disamain mobil. Emang samanya apa?”
“Kan, sama-sama bisa dinaikin?” Rina mengerling nakal.
Hardi lanjut terbahak. Ada-ada saja ibu keponakannya yang baru satu ini.
“Mau ya, Bang. Butuh uang sekolah katanya,” Rina lanjut merayu.
“Memangnya masih sekolah, gitu?”
“He-em, SMA semua. Suwer….”
Sekilas Hardi memandang ketiga gadis itu. Terlihat memang masih ABG, dandanannya saja yang ditua-tuakan. Sebersit iba merasuk ke dada biang preman ini. Apapun alasan sebenarnya bagi gadis-gadis itu berada di sini, tetap saja Hardi merasa kasihan. “Ya sudah kalau gitu,” ujarnya kemudian. Luluh.
“Benar nih, Bang? Suka yang mana?” Rina senang.
“Aah, Rina, Rina…,” Hardi melotot sayang, “Sekarang kamu suruh aku pilih-pilih pula. Memangnya aku cowok apaan?” biang preman itu mencubit pelan pipi istri sahabatnya, “Sudah, bawa sini semuanya.”
“Wow, tiga-satu nih? Hihi,” Rina balas mengecup pipi kanan Hardi, kemudian bangkit menghampiri tiga gadis belia yang masih berdiri di dekat pintu. Ceritanya kasih briefing singkat sebelum perang.
Sesaat lewat, mengiring langkah mentornya, ketiga gadis menghampiri Sang Kobra. Memperkenalkan diri, lantas duduk manis di sisi kanan dan kiri biang preman ini. Semerbak parfum menerpa hidung putra Aminah itu.
“Selamat senang-senang, Bang. Dadaah,” Rina melenggang ke luar sambil mesam-mesem. Sekalian menutupkan pintu.
“Ah, macam-macam saja kamu, Rin…,” rutuk Hardi dalam hati, kemudian beralih memandangi tiga anak gadis orang yang sudah siap tempur di kanan-kirinya. “Oke, gadis-gadis mungil yang cantik. Kalian mau nyanyi, kan? Nah, menyanyilah. Kalau lapar, pengen makan atau minum, pesan saja langsung. Ya? Abang mau tidur dulu dan nggak mau diganggu,” ujar Hardi tegas. Dia mengenakkan posisi duduknya, mengangkat kedua kaki ke atas meja, menyilangkan tangan dada, dan menutup mata. Bersiap tidur….
Mendengar ucapan Hardi barusan dan gelagatnya, tiga serangkai bunga sedap malam yang ranum ini termangu sejenak, berlanjut saling menatap sambil senyum-senyum menahan tawa.
“Tapi, kata Mbak Rina tadi, apa aja yang dimauin Abang ini mesti kita turutin lho. Soalnya jagoan,” bisik salah seorang kepada lainnya.
“Terus, kita ngapain dong?” yang lain balas berbisik.
“Yaa, nyanyi saja. Jangan diganggu. Habis, gimana?”
Hardi yang sayup-sayup masih bisa mendengar diskusi cantik bisik-bisik itu tersenyum dalam hati. Sejurus kemudian dia tidak ingat apa-apa lagi.
Bablas, pulas….
***
Entah berapa lama dia bertidur, hingga Rina membangunkannya.
“Bang…. Kok malah tidur, sih?” Rina mengguncang pelan tubuh Hardi yang terkulai gagah menyandar di sofa. Ngorok, walau tidak kencang.
Hardi membuka mata. Yang pertama terlihat, Rina cemberut menatapnya. Kemudian terlihat juga sederet senyum lucu dari ketiga abege itu. “Hemh…,” Sang Kobra bergerak bangkit, “Sudah habis waktunya, Rin?” lanjut bertanya dengan gaya tanpa dosa.
“Abang kok malah tidur?” Rina lanjut protes, tanpa menghiraukan pertanyaan Hardi tadi.
“Lho, kenapa? Peraturannya sekarang nggak boleh, ya?” canda Hardi.
Rina diam, wajahnya masih cemberut.
Hardi tertawa, “Kamu tahu nggak sih, Rin, kamu tambah cantik kalau sedang manyun begini. Pantas Faisal bawaannya nunjuk terus. Hehe.”
“Ah, Abang ini,” Rinda mendesah manja. Cemberutnya mulai mencair.
“Katamu tadi Faisal bawaannya nunjuk terus, kan?”
Rina memukul pelan lengan Hardi, lalu bergelayut mesra di situ seperti biasa. Ketiga gadis itu terpesona melihat adegan ini. Entah apa yang ada dibenak mereka.
“Sudah habis waktunya?” tanya Hardi.
Rina mengangguk.
“Sini gadis-gadis mungil yang nakal,” panggil Hardi.
Mereka maju mendekat, lantas Hardi membagi tip. Wajah ketiganya langsung sumringah, mungkin karena lembaran kertas itu berlipat lebih besar nilainya dari yang biasa mereka terima. “Makasih, Bang,” ucap mereka hampir berbarengan.
Hardi mengangguk, Rina tersenyum.
“Bang, aku pengen dicium dong…,” tiba-tiba gadis yang paling cantik dan kelihatan paling muda berkata dengan takut-takut.
Rina jelas tampak terkejut. Dia memandang Hardi, kuatir pemuda ini marah. Tapi tidak ternyata karena yang dikuatirkan itu malah tersenyum. “Sini,” tangannya melambai santai.
Rina lega geleng-geleng kepala. Gadis yang cukup nekat itu mendekat, Hardi mengecup keningnya. “Jangan kelewat nakal, ya?” bisiknya perlahan.
Si gadis mengangguk, tersenyum manis. Hardi pun lanjut mesem.
“Apa? Kalian juga mau?”
Dua gadis yang lain spontan mengangguk. Maka, Hardi pun mengecup mereka dan memberi pesan sama. Rina kembali geleng-geleng kepala. “Sekarang pulanglah, sudah kemalaman. Hati-hati di jalan,” ujar Sang Kobra.
“Iya Bang, makasih,” ujar mereka, kompak. “Daah Abang….”
Hardi balas melambai kecil.
Selepas itu, dia memandang Rina. “Lah, kenapa pula yang ini? Kok bengong? Mau juga, ya?” candanya.
Rina tersenyum kecut sambil mempermainkan jari-jari tangan Hardi. Jauh di lubuk hatinya, diam-diam Rina memang punya cinta untuk pemuda ini.
“Nih, lebihnya tolong belikan susu paling hebat untuk keponakanku,” Hardi menaruh semua uang yang ada dari dalam sakunya ke nampan yang dipegang Rina. Sisa ambilan bank kemarin siang.
Istri Faisal itu terperangah. Banyak sekali? Dia meletakkan nampan di meja, memeluk Hardi dan langsung mencium bibirnya. Hardi membiarkan saja tetapi tidak bereaksi membalas.
“Rina…,” dia menyadarkan ibu keponakannya ini. Rambut istri sahabatnya yang ikal sebahu itu dibelainya sayang. Seperti sayangnya kakak ke adik.
Pelan-pelan Rina melepas dekapan. “Makasih, Bang,” dia berucap, menyusut rembesan air mata.
Hardi tersenyum, lalu menggelitik pinggang gadis itu untuk membangkitkan lagi keceriaannya. Rina bergelinjang kegelian, Hardi terus menggelitik sampai istri temannya ini ampun-ampunan. Mereka ke luar ruangan sambil masih bersisa tawa, hingga tidak ada yang curiga.
“Oke, Cantik. Aku duluan, ya.”
Rina mengangguk. “Bang, makasiiih banget,” bisiknya lagi.
Mereka kembali saling tersenyum. Setelah menyentil ujung hidung istri Faisal yang bangir semampai, Hardi berjalan tegap memapak LandRovernya.
Kuda besi itu pun menggerung pulang.





sumber diambil dari:https://hardikobranovel.wordpress.com/
ila Ruhi MAs Andi Bombang..al-fatiha...

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...