Wednesday, July 19, 2017

13. Raden Mas Akoe Sinten Nyono ; “Ayat-ayat kauniyah”~2.

Raden Mas akoe mesam-mesem saja, soalnya tidak ada yang tahu kalau sejati dirinya
sedang melarut, pandang-memandang syahdu dengan maujud teman-temannya itu…
“Iya kan Mas raden..?” Tanya Sulaiman agak merah wajahnya.
“Hm…” Raden tersadar dari kesyahduannya.
“Urusan ini gimana ?” Sulaiman mengulang pertanyaannya.
Raden Mas Akoe tersenyum, “Urusan apa ?”
“Ini urusan haji Fikri…”sulaiman agak melotot.
“Oo, he..he..he…kalau aku nggak ada urusan, urus masing-masing saja,
wong nanti ‘balik kampung juga manggul karungnya sendiri-sendiri’.
Jep..langsung hening suasana, semua pasang mata memandang murid Habib Atho’
ini, apa maksudnya karung-karungan tadi ? segala balik kampung pula…
Sadar kalau dirinya jadi pusat perhatian, Raden Mas Akoe malah nyerengeh,
tidak ngomong, meringis doang, lama juga ‘setan lewat’ ini, sampai kemudian
Pak Mukhyar memecah, “Mana terusannya ?”
Dan tertawalah semua entah mengapa, mungkin memang harusnya begitu.
“Oke, sekarang jelaskan.” Pinta Pak Mukhyar
“Apa yang harus dijelaskan ?” Raden kembali tertawa.
“Eee jangan ketawa lagi, kita minta penjelasannya.” Pak Mukhyar mendelik.
Maka tertawa lagi lah mereka, maklum bukan tentara, mana komandan Aji Bugel
berhalangan pula, namun usai terkekeh babak kedua ini, Raden Mas Akoe
menjelaskan apa yang dia maksud tadi, soalnya dipaksa terus….
“Pergi haji bagi yang mampu itu jelas-jelas perintah agama, tidak ada yang perlu
di perdebatkan  di bagian ini.” ujarnya memulai.
Tampak Sulaiman sudah akan menyerang balik, tapi ditahan Pak Mukhyar.
“Sabar..Man, orang sabar..subur” celetuk Amir
Raden Mas Akoe mesem saja, “Gimana ? teruskan nggak ?”
“Lanjut..” sambar Pak Mukhyar.
Raden manggut-manggut, “Cuma harus bareng ilmunya…”
“Ilmu apa…?” kejar Pak Mukhyar.
“Ya ilmunya pergi haji dong, masak ilmu sulap..?” Raden meringis.
“Eee… malah main-main..serius ini, ilmu apa ?” Pak Mukhyar melotot.
“Kalem pak haji..masak haji nggak tenang bawaannya ? nanti jadi gossip baru lho,”
Raden merespons positif sambil terus nyengir.
“Ha..ha..ha..” Chacha tertawa sendirian.
“Apa kamu ketawa..?” Pak Mukhyar balik melotot ke bujang lapuk.
“Apaan..? Cabe kegigit…” ujar chacha berpura-pura kepedesan.
Yang lain jadi cengengesan, tapi Raden cepat-cepat melanjutkan ‘ilmunya’,
Sebab Haji Mukhyar dikenal temperamental, maklum pensiunan.
“Pergi haji itu jelas wajib bagi mereka yang mampu.”
Raden berujar pelan, “Persoalannya banyak yang meninjau aspek kemampuan ini
sekedar luaran saja, punya duit, badan sehat dan sejenisnya, padahal….
ya itu tadi…harus juga mampu ilmunya.”
“Ilmunya…ilmunya.., maksudnya apa..? manasik ? kejar Pak Mukhyar.
“Ya di satu sisi, itu termasuk ilmu luar, bagian tata cara, penting ini…tapi yang sisi dalam
jangan ditinggalin dong, berangkatnya mesti sejodoh, luar dalam, kalau cuma luarnya..
nanti seperti ondel-ondel, he..he..he…jangan marah ya..kang.
masak haji sukanya marah-marah…” Raden meringis lagi.
Terpaksa Pak Mukhyar tidak bisa marah, malah ikutan meringis.
“Oke, terus gimana ?” Pak Mukhyar minta tambahan info, terus terang dia memang
belum jelas yang dimaksud ‘ilmu dalam’ oleh juragan gas itu.
“Sholat ada rukunnya kan…?” Raden memancing.
Mukhyar dan yang lain mengangguk.
“Berurutan nggak..?”
“Apanya..?”
“Rukun Sholat itu ?”
“Ooo..iya dong, nggak sah kalau tidak berurutan.”
Raden Mas Akoe tersenyum, “Nah Islam juga ada rukunnya, kan..?”

Terdiam lagi semuanya, tampak agak mikir, kemudian hampir serempak mereka
mengangguk meng iya kan, muter-muter juga sih Raden ini, bilang saja langsung
Rukun Islam,…. gitu kan beres..jelas…
 “Terus gimana tuh ?” Raden Mas Akoe memancing lagi.
“Gimana apanya, Mas..?” Tanya chacha.
“Rukun Islam tadi,…mesti berurutan nggak…?”
Hening lagi, berurutan gimana maksudnya ? Rukun Islam ya memang berurutan ;
Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat, Haji…tapi apa maksudnya..?
“Gimana ?” Raden kembali bertanya.
“Semua orang Islam juga tahu kalau Rukun Islam berurutan, terus apa
pertanyaannya nih ?” Pak Mukhyar balik nanya.
“He..he..berarti mesti dilaksanakan sesuai urutannya, ya ?
Kan tadi katanya Rukun Sholat mesti begitu ? salah kalau takbirotul ihrom
dan mengucap salam bertukar tempat, iya kan…?”
Pak Mukhyar terkesiap, Amir tercekat, yang lain pun sama, kecuali chacha,
sebab dia sedang sibuk mengaduk saus acar untuk martabak.
“Sebentar Mas Raden..maksudnya urutan Rukun Islam itu bermakna berurutan ?”
Pak Mukhyar bertanya, setelah sesaat hening.
Raden mengangguk, “Pada pelaksanaannya, demikian…Zakat Fitrah adanya
di ujung masa bulan Romadhon, tidak disebut Zakat Fitrah yang dilunasi sebulan
sebelum bulan Romadhon misalnya, betul tidak (pengucapan gaya AA Gym)....?”
Mengangguk-angguk semuanya.
“Nah secara hakikat, yang lain juga mestinya begitu, kalau mau loncat-loncat
silakan…, tapi tanggung sendiri resikonya, itulah pergi haji tanpa bekal yang benar
empat lainnya, ya runyam…judulnya boleh ‘Haji’,..kelakuan…? tentu tidak semua
begitu, yang mabrur pasti ada, namun kenyataan di lapangan jangan dikesampingkan,
sebab justru pada kenyataan itulah kebenarannya.
Kebenaran tidak bertempat pada angan-angan atau bayangan, aslinya pada
kenyataannya, kalau tidak sesuai harapan berarti ada yang mesti di tinjau ulang,
begitu garisnya, kang…”
Hening lagi  agak lama setelah itu.
“Aku pulang ah…nggak rame, pada diem-dieman begini.”celetuk Raden Mas Akoe.
“Eee..jangan dulu, belum puas nih.” Sahut Pak Mukhyar.
Raden Mas Akoe yang sedang mesem itu lanjut tertawa pelan.
“Urusan puas nggak puas bukan bagian saya kang…”
“Bagian siapa..?”
“Chacha lah,…siapa lagi..?”
Bujang lapuk yang sesaat masih terpekur itu langsung mendelik.
“kok aku..?”
“Kan katanya kamu yang paling pinter mengurus kepuasan ?
Beli rokok mesti kamu, beli martabak mesti kamu, lain-lainnya juga harus kamu.”
“Termasuk menghabiskannya.” Timpal Sulaiman, baru sadar dia kalau martabak telur
itu sudah ludes, benar-benar bersih.
Chacha tertawa, yang lain juga, untung masih tersedia gorengan dan bandrek,
aman lah, lagian sudah di maklumi kalau chacha memang tongkat berusus panjang.**4
Maka perbincangan pun berlanjut, masih soal berurutan….
“Berarti, Syahadatnya dulu dong yang harus dibenerin ?” Tanya Amir
Raden mengangguk, ”Yang bengkok-bengkok diluruskan, yang cabang-cabang
dipangkas, Syahadat mestilah lurus selurus-lurusnya, hanya satu, tidak ada dua,
tiga, empat, atau sejuta,…pokoknya DIA thok,…titik.”
“Mengucap dua kalimat Syahadat kan sudah, Mas..” kejar Pak Mukhyar.
Raden Mas Akoe tersenyum, tidak langsung menjawab.
 “Gimana ? sudah kan ?” Pak Mukhyar memaksa.
“Eeem…mengucapnya sih sudah, pada setiap sholat juga dibaca, tapi…
mungkin penyaksiannya yang belum, mungkin lho….”
“Maksudnya..?”
Raden menghela napas, tidak mudah menjelaskan ini…
“Baiklah,…saya coba jelaskan di batas kata-kata, sebab sejatinya ini melampaui
segala ucapan, tidak bisa dijelaskan dengan sekedar ucapan, gimana ? setuju..?”
Mengangguk semua.
Raden Mas Akoe diam sejenak, “Syahadat adalah penyaksian, dalam hal ini
kita bersaksi atas ke ‘Tauhid’ an dan ke ‘Rosul’ an, Syahadat Tauhid dan
Syahadat Rosul, nah penyaksian ini harus lah benar, artinya kita harus meyakini
itu dengan Haqqul Yaqin, kalau tidak….” Raden berhenti,..dia bertanya
kepada hatinya yang berdzikir, yang hakikatnya bertanya kepada-Nya.
“Kenapa ?” kejar Pak Mukhyar.
Raden Mas Akoe menghela napas lagi, “Akang beneran mau tahu..?”
Mukhyar mengangguk mantap, yang lain juga.
Raden Mas Akoe manggut-manggut.
“Kalau tanpa Haqqul Yaqin, berarti penyaksian itu bohong, dan bohong disini
sama artinya membohongi Alloh dan Rosul-Nya. Tolong dipahami bahwa kata
membohongi tadi bermakna dalam, tidak sama wujudnya dengan kita membohongi
orang misalnya, sebab Alloh Maha Mengetahui, nah kalau ini dihukumi,
maka batal ke ‘Islam’ an orang yang berbohong itu.
Dalam Al-Qur’an banyak sekali keterangan tentang mereka yang mendustakan
Alloh dan Rosul-Nya.”
 Hening menyergap….
“Bahkan sumpah palsu di tingkat muamalah manusiawi pun diganjar hukuman berat,
apalagi hukuman dusta yang ini, A’udzubillahi minasy syaithoonir rojiim….”
Raden Mas Akoe menyambung sedikit tuturannya.
Senyap pun semakin menyergap….
“Pulang ah…diem-dieman lagi sih…” celetuk Raden sesaat lewat.
“Jangan,..jangan.., belum tuntas ini..” Mukhyar kembali menahan.
“Sudah dong…masak belum ? kalau Syahadatnya sudah beres, ya tuntas juga
kesananya, he..he..he….”


BERSAMBUNG
diambil dari http://nasehatabah.blogspot.co.id
Ila Ruhi Mas Andi Bombang..Al-Fatiha....

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...