Tuesday, July 31, 2018

SORBAUJAN PART 22 KEBEBASAN RASA

Oleh Halim Ambiya

Suara sirine mobil polisi terus memecah telinga. Membuat kebisingan di sepanjang jalan. Terasa seperti teror dan caci maki tak henti-henti. Bagiku ini seperti iring-iringan mobil jenazah. Aku seperti mayat terduduk kaku. Gerah, pengap dan menyesakkan dada. Dua orang polisi itu mengapitku rapat-rapat. Dengan keangkuhan baju seragam dan kuasanya, mereka bisa berbuat apa pun atas nama hukum. Aku seperti buronan paling dicari, layaknya kriminal paling berbahaya.

“Astaghfirullah… Aku bukan teroris. Aku tak bisa membayangkan jika Yasmin melihatku seperti ini,” bisikku dalam hati. Kuajak pikiranku melayang mengingat Yasmin dan mencari cara agar aku bisa segera bebas. Sekadar untuk mengingatkan kepada diriku sendiri bahwa aku belum mati. Aku masih bernafas, meski sangat pengap dengan tutup kepala hitam memuakkan ini. Aku bagai penjahat dungu. Ditendang dan dipukul agar tunduk. Diborgol dan diseret ke mobil dengan kepala tertutup. “Ya Allah… Apa yang sedang Kau-tunjukkan kepada hamba-Mu ini? Apa yang membuatku pantas menerimanya?” bisikku lagi.

Aku terbatuk-batuk. Susah bernafas. Asap rokok polisi di depanku seperti tersedot ke hidungku. Sarung wajah hitam ini makin menyiksaku. Tanganku terborgol ke belakang hingga sukar untuk mengusap hidung dan mulutku. Aku terus terbatuk-batuk dan benar-benar tersiksa.

“Buka saja lah!” perintah polisi di depanku tiba-tiba. Lalu, sejurus kemudian, polisi di sebelah kananku membuka penutup kepalaku dengan cepat.

“Alhamdulillah. Terima kasih,” kataku kepada mereka.

Kulihat nama di baju polisi yang merokok itu: Abdurrazaq. Ya…Abdurrazaq Asap namanya. Rokok ini justru menyelamatkanku dari penutup wajah memuakkan ini. Sejujurnya kuakui, sebenarnya aku lebih membenci penutup wajah ini daripada asap rokok polisi itu. Penutup muka ini membuat diriku tak ada harganya sama sekali. Aku seperti bukan manusia. Aku hanya seperti seonggok daging tak berguna. Dianggap hina. Tak bermartabat. Tak bernama. Tak berwajah.

Aku memberi senyum kepada polisi-polisi itu. Meskipun dibalas dengan senyum kecut penuh kesombongan. Hatiku cukup lega terbebas dari cadar teroris memuakkan ini. Untungnya, polisi juga manusia biasa. Mereka masih punya rasa kemanusiaan. Tak tahan melihatku terbatuk-batuk. Sepanjang perjalanan, mereka asyik mengobrol sesamanya. Sedangkan aku, hanya seorang tahanan. Adanya dianggap tiada.

“Tuan-tuan ini salah tangkap. Namaku Thariq Abdul Matin,” kataku membuka obrolan.

“Diam kau Kahar!” bentaknya. “Kau pasti punya banyak nama!” bentaknya lagi.

“Saya bukan Kahar Baharsyah. Bukan suami Maryam yang Tuan cari. Coba lihat kad (kartu) di wallet (dompet) saya. Istriku juga orang Malaysia,” kataku pelan.

“Diam!”

“Tuan salah tangkap.”

“Diam atau aku tutup lagi wajahmu!” bentak polisi bernama Abdurrazaq.

Tak ada gunanya berdebat dengan polisi dengan pangkat rendahan. Aku cukup mengikuti prosedur dan menghormati tugas mereka. Itu saja. Tak perlu menuntut hak di depan mereka. Lalu, polisi perokok itu menghirup rokok dengan bergaya. Tepatnya dengan gaya paling songong yang pernah dilakukan polisi di Asia Tenggara ini. Aku jamin, dia adalah orang paling sombong dan songong yang pernah kukenal. Dia membuat bulatan asap, melingkar ke arah mukaku. “Awak cakap saja nanti di pejabat!” bentaknya lagi.

“Baik,” jawabku sopan. Aku bersopan santun bukan karena takut. Tapi, kuhargai mereka yang sedang menjalankan tugas dengan ketidaktahuannya. Kuhadiahkan mereka sopan santun yang paling luhur. Kesantunan yang pernah dilakukan oleh seorang yang terzalimi.

“Astaghfirullah…Dia melakukannya lagi,” bisikku sambil memalingkan mukaku dari asap itu. Kuanggap itu sebagai hiburan. Kujawab dengan senyuman seorang yang paling berbudi, meski tanganku terborgol. Berulang-ulang, hingga hisapan terakhir rokoknya, polisi itu masih berusaha menyemprotku dengan asap. Sedangkan, polisi lainnya hanya tertawa-tawa menyaksikan kejadian itu.

“Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini. Ampunilah polisi bernama Abdurrazaq ini. Ampuni dia, ya Allah. Dia tak tahu apa-apa. Dia hanya petugas rendahan yang tak punya kewenangan apa pun dalam kasusku ini. Mungkin karena itulah Kau-beri dia nama ‘Abdurrazaq.’ Kini dia sedang memberi rezeki asap dari-Mu,” bisikku dalam hati.

“Pakai lagi! Kita sudah sampai,” perintah Abdurrazaq kepada polisi di sampingku.

Aku sempat melirik ke arah jalanan dan bangunan gedung yang sedang dituju sebelum polisi itu kembali menutup mukaku lagi. Aku seperti binatang yang akan disembelih. “Hmmm. Ternyata, iring-iringan mobil jenazah ini menuju kesini? Aku mengenal tempat ini: Penjara Sungai Buloh,” bisikku dalam hati. Penjara ini pernah dihuni oleh Anwar Ibrahim (mantan wakil Perdana Menteri), Raja Petra Kamaruddin (editor Malaysia Today) dan juga Dr. Abdul Razak Baginda, dosen UM yang kukenal, terkait rekayasa kasus pembunuhan Altantuya. Aku harap akan ada proses penyelidikan lebih mendalam dan adil untukku. Tak mau bernasib sama seperti mereka. Aku tahu, mereka yang membawaku kemari bukan I.S.A. Mereka adalah polisi anti teroris. Aku berhak mendapatkan persidangan kalau salah tangkap ini berbuntut panjang.

Pandanganku gelap, karena kain penutup brengsek ini. Kalau aku memang penjahat, pasti lebih nyaman dengan kain penutup model ini. Bisa menyembunyikan wajah dan identitas asli. Tapi aku? Aku ingin identitasku yang sebenarnya diketahui orang lain agar mereka bisa menolongku. Aku bukan teroris yang mereka cari.

Aku digiring keluar dari mobil layaknya penjahat. Kudengar kerumunan orang di sekitar gedung. Aku harap itu adalah wartawan televisi yang bisa mengabarkan keberadaanku kepada Yasmin secepat mungkin. Penangkapan teroris pasti akan menjadi berita heboh. Tapi, harapanku sia-sia. Aku mendengar larangan seseorang memotret diriku. “Tidak. Jangan sekarang!” teriaknya. Aku mendengar perintah agar wartawan-wartawan itu menunggu dan berkumpul di ruangan khusus. Sedangkan aku digiring ke ruangan berbeda.

Kepalaku masih terus tertutup rapat. Tanpa lubang. Aku mengais nafas. Semakin gelap. Aku digiring ke dalam ruangan asing dengan tersengal-sengal. Terus berjalan tanpa bisa melihat. Terasa lebih dari 300 meter sejak aku diturunkan dari mobil, aku tak bisa melihat apa pun. Tak kujumpai suara-suara gaduh. Yang kudengar hanya suara berisik sepatuku dan sepatu dua polisi yang menggandengku. Lalu, kudengar suara langkah kaki mereka terhenti. Langkahku pun tertahan. Polisi di sampingku membuka tutup kepalaku perlahan. Aku diserahkan kepada penjaga yang bertugas di depan sel. “Astaghfirullah. Aku benar-benar ditahan,” bisikku dalam hati.

“Masuk!” perintahnya sambil mendorong tubuhku ke dalam sel.

Mereka tak mengharapkan jawaban apa pun dariku. Aku seperti kambing dungu. Penjaga dan dua orang polisi yang menggiringku meninggalkan aku setelah mengunci sel. Di ruangan ini aku dibiarkan sendiri. Kosong tak ada teman. Belum ada kunjungan siapa pun. Aku sama sekali belum diinterogasi polisi. Ruangan ini terisolasi dari penghuni yang lain. Mungkin aku dianggap paling berbahaya dari yang lain.

***
Huhh… Ruangan ini tak akan bisa memenjarakan diriku. Ini tempat yang aman untuk berkhalwat. Lebih nyaman daripada kamar di pondokku dulu. “Alhamdulillah,” kuucap berulang-ulang. Mereka tak menjebloskanku di sel busuk seperti gambaran penjara di Alcatraz. Ini tak seperti Penjara Cipinang yang kukunjungi; pengap, pesing, dan kotor. Tapi, lebih mirip tahanan sementara di Bareskrim, Jakarta. Selnya cukup nyaman. Aku terus berusaha mencari sisi positif pikiranku. Kulihat ranjangnya bersih, tentunya untuk ukuran ranjang di penjara. Terdapat kipas angin di pojok ruangan. Satu sarung, satu handuk, dan satu sajadah terlipat rapi. Ahhh. Mungkin ini hanya sel sementara, untuk tahanan baru yang masih dalam proses penyelidikan atau persidangan. Aku tak begitu paham dengan sistem penjara di Malaysia.

Aku maafkan dua kecoa berjalan mondar-mandir di selku. Aku tak mau mengusir atau menangkapnya. Biarlah itu hanya sekadar binatang, penghuni paling berhak di tempat ini. Lalu, seekor cicak melotot di dinding. Mungkin merasa aneh melihatku. Pada bagian pojok, terasa agak lembab. Mungkin kamar sebelah adalah WC. Aku tak mau berteriak-teriak memanggil penjaga untuk sekadar minta izin berwudhu. Lebih baik segera kuputuskan tayamum untuk shalat ashar. Sebelum terlambat. Aku bisa minta dispensasi kepada Allah atas kondisiku saat ini.

Pokoknya, aku harus shalat sekarang. Aku beri nama shalat sunnah sebelum ashar ini sebagai shalat tahiyitussijn (shalat untuk menghormati penjara). Meskipun tak pernah dijumpai shalat tahiyitussijn dalam buku fikih manapun, aku beranikan diri untuk menamainya secara pribadi. Ini bukan untuk konsumsi umum. Bukan untuk membuat syariat baru. Aku merasa berhak untuk membuatnya lebih khusus untuk diriku sendiri. Meskipun kuniatkan sebagai shalat sunah qabliyah, namun di hati yang paling dalam, aku memang seperti sedang menghormati tempat khalwat para penghuni sel yang pernah melakukan shalat di sini.

Bukankah telah jelas diriwayatkan kullu ardhin masjidun (setiap hamparan tanah adalah masjid/tempat sujud) maka sel ini adalah masjidku saat ini. Masjid adalah tempat sujud. Fakta juga menunjukkan bahwa penjara adalah tempat bagi para pendosa. Ia juga menjadi tempat khalwat paling mengagumkan yang pernah ada. Di tempat seperti inilah dzikir, doa dan munajat seorang narapidana atau tahanan dilakukan dengan khusus. Banyak ulama besar melalui nasibnya di tempat seperti ini. Penjara menjadi tempat paling rahasia, paling pribadi, dan paling mengasyikkan bagi kebebasan ruh mengenal Allah. Dengan getar-getar kerinduan pada ampunan Allah, kepasrahan jiwa yang total dan tingginya harapan kepada Allah, aku akan dirikan shalat saat ini. Kujadikan sel ini sebagai masjidku.

Jeklek..Seorang petugas memasuki lorong yang menghubungkan dengan selku. Kuhentikan takbirku. “Aku ada kesempatan untuk meminta izin untuk berwudhu,” bisikku dalam hati. Aku tak jadi melakukan shalat sunnah qabliyah Ashar yang kuberi nama shalat tahiyitussijn ini sebelum wudhu.

“Encik, boleh tak saya nak ambi air wudhu,” teriakku kepada petugas.

“Boleh. Sekejap,” jawabnya datar.

Alhamdulillah. Aku diberi kesempatan berwudhu. Ternyata Tuhan tak rela melihatku shalat tanpa kesucian lahir. Petugas itu membuka selku dan menunjukkan kamar mandi yang berada di ujung lorong. Aku bersyukur untuk pesan Tuhan yang satu ini. Akan kuingat baik-baik petugas berbudi ini. Akan kudoakan secara khusus untuknya.

Ashar, Maghrib dan Isya-ku menjadi pengalaman luar biasa. Setiap saat selalu menunggu waktu shalat berikutnya. Tak ubahnya seperti diri kita hidup di dunia ini. Dunia adalah penjara bagi seorang Mukmin. Lalu, melalui shalat dan dzikir seorang Mukmin akan merasa bebas, menggapai kedamaian batin yang begitu luas, tak terbatas. Begitu dalam, melebihi kedalaman tujuh samudera. Jiwaku merasa begitu bebas justru saat aku sendiri, di tempat ini, di sudut paling rahasia, antara aku dan Dia.

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Lî ma’llahi waqtun lâ yasau’ fîhi malakun muqarrabun walâ nabiyyun mursal” (Aku punya waktu khusus bersama Allah; dimana malaikat terdekat dan nabi yang diutus pun tidak akan memilki kesempatan ini.” (HR Ibnu Rahawaih). Sekarang adalah waktu khususku bersama Allah. Waktu rahasia antara aku dan Dia. Sangat personal dan begitu pribadi. Tak ada anak atau istri. Tak ada polisi dan penjaga. Tak ada satu orang pun yang menyaksikan rahasia batinku saat ini. Hanya antara aku dan Dia. Kujadikan penjara ini sebagai washilah perjamuan suci yang sangat rahasia.

Aku jadikan sel ini sebagai masjidku saat ini. Kuramba malam dengan gemuruh dzikir. Kadang dzikir jahr (keras), kadang sirr (rahasia). Suluk yang pernah diajarkan Kyai Bahruddin kulakukan di tempat ini. Hanya itu yang bisa kulakukan. Kuajak cicak, nyamuk dan kecoak-kecoak itu bertasbih bersamaku. Kadang, aku menggunakan ilmu cicak untuk berburu menangkap nyamuk. Malam menjelang pagi, aku diam, hening tak bergerak, lalu “Happ!” kutangkap getaran dzikir membuncah di dada. Menangkap tanda yang sukar dijelaskan. Kilauan cahaya memesona jiwa. Seolah memberi jawaban atas tafakurku pagi itu.

Sungguh, sebenarnya mereka tak memenjarakan aku. Mereka justru membebaskan jiwaku di sini. Di tempat ini. Sendiri. Aku hanya bersama-Nya, merasakan kebebasan rasa; Rasaning rasa. Di sudut pagi menjelang subuh, aku tiba-tiba mengingat Hadis Qudsi yang pernah kupelajari dari Kyai Bahruddin di pondok dahulu. Hadis ini pernah diriwayatkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mawâizh fi Al-Ahâdis Al-Qudsiyyah: “Aku bersaksi kepada diri-Ku sendiri bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Aku. Tiada sekutu bagi-Ku dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Ku. Siapa yang tak ridha terhadap qadha-Ku, tak sabar atas ujian-Ku, tak mensyukuri nikmat-Ku, dan tak puas dengan pemberian-Ku, maka carilah tuhan lain selain Aku.”

Aku bersaksi, ya Allah. Mustahil ada tuhan lain selain-Mu. Hadis ini benar-benar menamparku. Mengingatkan aku pada kesadaran batin yang paling dalam. Tak mungkin aku menyekutukan-Mu. Aku ridha terhadap semua ketetapan-Mu. Aku ikhlas menjalaninya. Berusaha sabar menghadapi semua ujian-Mu. Bersyukur atas semua pemberian-pemberian-Mu,” bisikku dalam hati. Pesan subuh ini terus kutanamkan dalam batin. Hingga saat Ashar berikutnya menjelang, aku masih terjaga dengan kalimat ini.

Aku sama sekali belum diperiksa. Tak ada petugas yang datang. Tak ada panggilan sama sekali. Aku hanya mengikuti rutinitas yang ada di lorong ini, sesuai instruksi penjaga. Yasmin pasti belum tahu apa yang sedang terjadi. Aku juga tak tahu nasib Maryam sekarang. Apakah dia juga ditahan di Penjara Sungai Buloh atau di Penjara Wanita Kajang? Aku hanya menunggu waktu. Menanti keajaiban anugerah Allah yang lain. Hingga di malam berikutnya, polisi yang menangkapku sama sekali belum mengenal namaku: Thariq Abdul Matin.

Malam semakin hening
Senyap merambah
Sepi dalam damai
Detak jarum jam terus berputar
Mencipta tanda nasib
Sungguh, mahakarya luar biasa!

Aku tak memilih warna
Hanya berharap indahnya
Sejatinya bukan gambarku
Meski kadang tampak gelap
Namun cahaya-Mu tetap Ada

--BERSAMBUNG--

SORBAUJAN PART 21 BUKAN SEKADAR KL

Oleh Halim Ambiya
Minggu pagi itu masih menyisakan pesan dan makna kata. Sebuah pengalaman mengasyikkan menelusuri belantara bahasa Melayu dari akar-akarnya. Rimba yang membuat para petualangnya terkagum-kagum. Pesan Cikgu Abdurrahman masih terngiang-ngiang: huruf-huruf itu ghaib. Tak ada satu huruf pun yang keluar dari mulut manusia tanpa kehendak-Nya.
Nasi lemak, kopi pahit dan teh tarik mengawali pagi kami tanpa terlelap. Seolah Encik Zaidi dan Mas DS menjadi kawan lama yang baru berjumpa. Aku semakin mengagumi cerita perjalanan Mas DS. Petualangannya mencari kebenaran kata membuatku iri. Bagaimana tidak, seorang muallaf, berketurunan Cina, punya perhatian luar biasa terhadap Al-Qur’an dari sisi kemukjizatannya pada simbol-simbol huruf dalam bahasa Arab. Riset semacam ini jarang dilakukan oleh sarjana-sarjana Timur Tengah. Dan, Mas DS melakukannya dengan gairah sains dan iman. Bagiku, menjelaskan pengalaman batin secara ilmiah dan filosofis, lalu menawarkannya sebagai sumber ilmu pengetahuan yang sah adalah hal yang sukar dilakukan. Sebuah studi yang cukup berani, brilian dan memancing kesadaran ruhani.
Mas DS berhasil membuktikan bahwa setiap huruf, baik model atau bentuk aksaranya pada setiap bahasa memiliki rahasia tersendiri dari hadirat Ilahi. Ini berlaku pada semua huruf dalam semua bahasa. Begitu juga pelafalan huruf dan gaya tutur para pengucapnya, semuanya tak bisa lepas dari kuasa Sang Maha Pencipta bahasa: Allah. Tak terkecuali nama orang. Tak ada satu nama pun yang tak diciptakan oleh Tuhan untuk makhluknya, meskipun kita mengenalnya melalui pemberian nama dari orangtua. Karena, hakikatnya tak akan ada satu huruf pun yang keluar dari mulut orangtua kita tanpa kehendak-Nya. Mas DS menyadarkan kepadaku bagaimana ayat-ayat Tuhan bekerja secara mistis.
Setelah sarapan tamu-tamuku berpamitan dan berjanji untuk bertemu lagi.
“Aku lupa…” kata Cikgu Abdurrahman sambil berdiri dan mengayunkan tongkatnya ke kanan dan ke kiri. Dia menghadap kepada orang yang salah. “Lupa apa, Cikgu?” tanyaku menghampirinya. Dia pun mencari sumber suaraku.
“Thariq…Maryam menitipkan salam untukmu.”
“Maryam?! Kenal dimana?”
“Ahhh. Akulah orang yang mengenalkan Maryam kepada Zahra dan Datuk Rustam.”
“Ohhhh…Begitu?!”
“Ceritanya panjang. Aku sudah mendengar semua cerita tentangmu, Cikgu Thariq.”
Aku berusaha bersikap biasa saja. Sambil kupapah berjalan keluar apartemen, Cikgu Abdurrahman terus bercerita tentang pertemuan pertamanya dengan Maryam. Ternyata Maryam dan Ustaz Kahar adalah tetangga flat-nya di Petaling Jaya, Seksyen 17. Maryam sudah menjadi pasien di bulan pertamanya di KL. Dia mengadukan masalah rumah tangganya kepada Cikgu Abdurrahman.
“Dia memerlukan bantuanmu, Thariq. Bukan aku,” bisik Cikgu Abdurrahman. “Awak tak perlu menghindar. Hadapi saja! Itu tugasmu. Bukan hanya Maryam, tapi suaminya juga. Jangan sampai Kahar tersesat terlalu jauh. Aku rasa, beban hidup yang membuatnya tergelincir pada pemahaman yang salah. Dia salah menafsirkan makna jihad,” bisiknya lagi.
“Baik, Cikgu,” jawabku. Rupanya Cikgu Abdurrahman sudah mengetahui duduk masalah yang dihadapi Maryam. Aku merasa bersalah beberapa kali menolak ajakan Maryam untuk bertemu. Semoga saja Kahar tidak terlibat terlalu jauh dengan kelompok radikal di Malaysia. Sebab, sistem keamanan di Malaysia lebih ketat daripada di Indonesia.
“Jangan terlambat!” kata Cikgu Abdurrahman lagi.
“Baik, Cikgu. Insya Allah, aku segera hubungi Maryam siang ini.”
Aku melepas tiga tamuku dengan rasa kantuk dan lelah. Kini harus tunaikan hak badanku untuk beristirahat. Sekadar menebus hutang tenaga begadang semalam suntuk. Yasmin sangat mengerti itu, dia segera menyeretku ke kamar. “Tidur, sayang! Jaga kesehatanmu!” pintanya.
***
Yasmin mulai membereskan bekas kamar Sean. Ruangan itu ditata-ulang. Dia menggeser foto-foto Sean dan menggantinya dengan foto-foto pernikahan kami. Seperti sedang mengharap kehadiran anak berikutnya dan mengubur ingatan tentang anaknya yang telah hilang. Kulihat dia memang bukan perempuan biasa. Yasmin tampak matang. Dia sangat sadar bahwa hidup bukan hanya deret angka dan hitungan matematik dalam jurnal keuangan, sebab logika Tuhan berbeda dengan logika manusia. Meskipun perencanaan telah disusun rapi, namun tak menjamin hasil akhir. Kehadiran Sean di rumah kami adalah buktinya. Dan, satu hal, perempuan Melayu ini memang pandai menghias ruangan. Aku benar-benar telah melihat suasana baru dalam sekejap. Kamar ini disulap menjadi seperti kamar bayi yang baru. Yasmin melakukannya sendiri, tanpa Makcik Izzah.
“Abang sudah siap?” tanyanya sambil melirik ke arahku saat aku mendekat.
“Sudah, sayang.” Aku semakin mendekat ke arahnya. Lalu, mengecup kuntum bunga melati wangi di hadapanku: Yasmin. Aku memeluknya sekejap. Membelai rambutnya yang hitam berkilau. “I love you, Abang,” bisiknya mesra. “I love you too, Yasmin,” sambutku.
“Bilik ini untuk anak kita nanti, sayang.”
“Aamiin. Moga Allah memberi kemudahan,” jawabku. Entah berapa kali Yasmin mendengar jawaban serupa itu. Saat terucap dari mulutnya bahwa dia ingin punya anak dariku, maka aku akan selalu menjawab: “Aamiin. Moga Allah memberi kemudahan.”
Ternyata kehadiranku di kamar itu hanya membuatnya lemah. Tak seperti tadi, waktu kulihat dia dari jauh. Yasmin justru tampak cengeng dalam pelukanku. Aku akui, tiga tahun menanti seorang anak bukanlah waktu yang sebentar. Apalagi bagi seorang istri, pasti mempunyai rasa harap berlipat-lipat. Aku pun sama, ingin melihat darah-dagingku sendiri di kamar itu. Namun, Tuhan telah mengulur waktu hingga sejauh ini.
Aku menangkap tangis, meski tanpa airmata.
“Jangan pernah berhenti bermunajat, sayang. Tak ada kata mustahil bagi Tuhan. Allah yang kita tuju. Tak ada yang lain,” bisikku. Aku ingin menyadarkannya, sebab beberapa saat tadi, aku menangkap kesan yang bimbang dari diri Yasmin. Dia tampak sedang bergumul dengan perasaan dan pikirannya sendiri. Namun tak menemukan jawabannya. Ini adalah tragedi manusia modern yang selalu gagal menemukan penyelesaian masalahnya di kepala mereka sendiri. Yasmin terlalu hanyut dengan pikiran tanpa kehadiran kalbu.
Kadang-kadang, dengan menyibukkan diri bekerja dan membersihkan rumah perasaan sedih bisa hilang begitu saja. Namun, Allah Maha Membolak-balikkan, tak semua getar hati berjalan lurus dan terkontrol. Perasaan sedih, galau, marah, benci dan dendam bisa muncul dengan atau tanpa sebab apa pun. Letupan-letupan itu yang harus dikenali dan dijinakkan dengan olah batin. “Jangan lupa dzikirmu, sayang,” bisikku lagi di telinganya. Yasmin hanya memeluk kencang, lalu mengusap-usap pundakku. “Kalbumu tak boleh kosong. Isi penuh dengan mengingat-Nya. Rasakan kehadiran-Nya. Jangan beri ruang sedikit pun nafsumu menghalangi pandanganmu kepada-Nya,” kataku lagi.
***
Siang menjelang sore aku berencana untuk pergi ke Pustaka Indonesia, toko buku langganan di Jalan Masjid India. Sebagai penggemar buku-buku Indonesia tempat ini memang layak dikunjungi. Tumpukan buku-buku import dari Indonesia sering kali membuat kami tergoda. Melalui buku-buku popular terbaru, aku dan Yasmin sering mengintip khazanah kesusastraan Indonesia dan Malaysia. Seperti juga jalan cinta kami, kami disatukan oleh keindahan dan kedalaman makna sastra dalam alam pikiran Melayu.
Kuberitahu Yasmin bahwa aku ada janji bertemu Maryam dan Ustaz Kahar di sekitar Jalan Masjid India, jadi bisa sekalian “nongkrong.” Bagiku itu hanya pertemuan biasa, tak perlu ditutup-tutupi, apalagi Maryam didampingi suaminya.
“Jemput Maryam kemari, Bang,” kata Yasmin.
“Insya Allah,” jawabku.
“Tapi, jemput dalam bahasa Malaysia, ya? Bukan Indonesia,” canda Yasmin sambil tertawa-tawa. “Abang tak perlu menghantar Maryam,” katanya lagi.
“Baik, Puan,” kataku sambil membalas kelakarnya. Kata “jemput” dalam bahasa Melayu Malaysia itu bermakna “undang”, bukan berarti “menjemput” seperti dalam bahasa Indonesia. Lalu, ketika ada tulisan “Jemput Naik” di pintu taksi di Kuala Lumpur, itu berarti “Silahkan naik.” Bukan berarti kita dijemput taksi itu. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kerap kali kita jumpai bahasa yang jarang digunakan dalam bahasa resmi dan keseharian masyarakat Indonesia, tapi justru dijumpai sangat populer di masyarakat Melayu Malaysia. Begitu juga sebaliknya yang terjadi di Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Sebagai contoh, kata “sulit” itu biasa diartikan “sukar” atau “susah” oleh masyarakat kita. Namun, masyarakat Malaysia sering menggunakan kata “sulit” dengan arti “rahasia.” Kata “sulit” biasanya tertera dalam amplop surat atau dokumen resmi kerajaan. Contoh lain, kata “senarai” jarang sekali digunakan oleh masyarakat kita, sebab kita lebih sering menggunakan kata “daftar.” Padahal, di kedua kamus tersebut (KBBI dan Kamus Dewan), kata “sulit” dapat berarti “sukar, susah atau rahasia.” Begitu juga kata “senarai”, diartikan sebagai “daftar.” Begitulah cara bahasa bekerja menunjukkan bentuk keragaman pengguna dan perbedaan geografisnya.
Untuk mempercepat sampai ke Jalan Masjid India, aku tak gunakan mobilku. Lebih cepat menggunakan LRT, lebih santai tanpa beban mencari tempat parkir. Bisa bepergian sambil baca buku. Cukup menaiki LRT dari Bangsar dan berhenti di stasiun Masjid Jamek, lalu berjalan kaki menyusuri trotoar dan menyeberang. Aku berharap bisa bertemu juga dengan Kahar, seperti yang dijanjikan Maryam.
Ketika aku keluar dari stasiun LRT Masjid Jamek, tiba-tiba kulihat Maryam sudah berdiri di ambang gerbang. Dia sendirian tanpa Kahar. Dengan wajah mesam-mesam dia melambaikan tangan ke arahku.
“Mana Ustaz Kahar?”
“Dia tunggu di kedai kopi.”
“Dimana?”
“Dekat Masjid India.”
“Mengapa kamu jemput aku disini?”
“Ahhh. Nggak sengaja. Jangan GR dulu,” timpalnya.
Aku tahu dia berbohong. Tapi, demi sopan santun aku tak mau bertanya lagi. Segera kuajak dia menyeberang jalan. Dan, lagi-lagi, aku harus rela bertoleransi, membiarkan tanganku digandeng. Aku berharap malaikat pencatat amal tak lagi bertugas di KL. Jujur, meski dalam hati ada pemberontakan kecil, tapi di sudut hati yang paling dalam aku merasa senang menggandeng Maryam menyeberang jalan. Karena itu, aku imbangi dengan “istighfar” dalam hati yang kuucapkan malu-malu kucing—istighfar basa-basi yang diucapkan oleh hamba yang tak berdaya.
Kami berjalan berdua menyusuri trotoar menuju Jalan Masjid India. Kulepaskan tangannya, kami hanya berjalan beriringan. Maryam menunjuk kedai kopi yang ditunjuk. Tampak tak seperti kedai kopi biasa, ini lebih seperti kafe. Kami memasuki kafe itu berdua, lalu mataku menyapu bangku-bangku kosong. Tak kulihat wajah Kahar. Yang tampak hanya dua orang lelaki pelayan kafe. Salah satu pelayan menyambutku dengan logat Melayu yang agak medok. Tampak sekali, pelayan kafe ini orang Jawa.
“Dimana, Ustaz Kahar?”
“Ah…Mungkin sedang ke toilet,” jawab Maryam. “Kita duduk sebelah sana saja, yuk!” katanya sambil menunjuk ruangan ber-AC. Ruangan itu ditutup dengan kaca gelap. Samar-samar kulihat tak ada orang di dalamnya.
“Tapi, aku kan perokok?!”
“Untuk kali ini saja, kamu nggak usah merokok,” kata Maryam sambil menarik lenganku.
Aku mengalah.
Maryam memesan untukku kopi Aceh dan goreng pisang. Lalu, berkali-kali dia menelpon Kahar di depanku, namun berkali-kali pula tak ada jawaban. Setelah 15 menit kami menikmati kopi, Kahar tak kunjung datang. Aku berusaha berdamai dengan perasaanku saat ini, tapi jika berlama-lama aku di ruangan ini tak baik dilihat orang. Tak banyak yang harus aku obrolkan dengan Maryam. Aku ingin langsung bertemu dengan Kahar, langsung ke pokok masalahnya. Sebagai alumni pondok, sebagai santrinya, dan sebagai sahabat, aku berhak memperingatkannya. Kalau memang nanti terjadi debat kusir, aku sudah siap dengan banyak amunisi. Bagiku, alumni pondok pesantren yang ikut gerakan radikal adalah mereka yang berkiblat pada ketololan besar. Pondok pesantren bukan pencetak kaum teroris. Negeriku dibangun oleh ulama dan kaum santri. Aku masih ingat ucapan Kyai Makmun, “Jika ada alumni jadi teroris, berarti itu kecolongan. Pondok adalah kawah candra dimuka bagi ilmu dan peradaban Islam. Bukan sarang para mujahid konyol.”
“Kalau 10 menit lagi Kahar tak datang, aku pergi ke toko buku dulu ya?”
“Tunggulah sebentar. Dia pasti datang.”
Kulihat di matanya, dia merasa senang Kahar tak datang. Aku curiga dia berbohong.
“Maaf, apa benar kamu bersama Kahar?”
“Astaghfirullah…Benar. Dia memang sama aku dari tadi. Tunggu saja sebentar.” Jawabannya seperti membentak. Kini kutahu, dia tak sedang berbohong. Sesekali aku melongok ke arah pintu untuk melihat kalau-kalau Kahar datang. Tapi, ternyata kafe ini semakin ditinggalkan tamu.
Obrolan basa-basiku dengan Maryam pun sudah terasa tak nyaman. Kopiku pun hampir habis. Sudah tak ada lagi alasan aku berlama-lama di tempat ini. Samar-samar kulihat beberapa orang laki-laki bertubuh tegap memasuki kafe. Tak kulihat wajah Kahar bersama mereka.
“Maaf, aku bukan tak mau menunggu,” kataku sambil berdiri. “Aku jalan dulu yah..” kataku lagi. Kulihat Maryam kecewa. Aku melambaikan tangan kepada pelayan untuk meminta bill. Namun, tiba-tiba Jebrrattt. Tiga orang bertubuh tegak lari mendobrak pintu ruang ber-AC. “Polis! Polis!!!” teriaknya. Mereka menodongkan pistol ke arahku dan Maryam. Aku sangat kaget. Maryam shock. “Allah” teriakku sambil mengangkat tangan.
“Ada apa ini? Apa salah saya Tuan?”
Dua orang melabrakku, menindih hingga membuatku jatuh ke lantai. Tanganku diplintir ke belakang, lalu secepat kilat seseorang telah memasang borgol kedua tanganku. Buku yang kubawa ditendang. Seorang lagi menggeledah baju dan celaku. Aku melirik ke arah Maryam. Dia pun sudah terborgol. Dia bertanya-tanya, bingung dan menangis. “Tuan..Tuan…Apa salah aku?” teriak Maryam.
“Polis…Polis.” Terdengar suara itu di seluruh ruangan kafe. Lebih dari sepuluh orang berpakaian polisi Diraja Malaysia mulai berdatangan memenuhi seisi ruangan. Mereka menggeledah sudut-sudut kafe. Kulihat ada beberapa polisi dengan pakaian anti peluru di luar kafe.
“Apa nama awak?” bentak polisi.
“Mar..Mar..Maryam,” jawabnya sambil terbata-bata.
“Awak ditangkap!”
Polisi itu tidak menayaiku. Dia hanya menunjuk ke arah polisi yang meringkusku, lalu berkata “Bawa!” Aku dan Maryam digiring ke ruang sebelah, di dekat kasir. Puluhan mata memandang ke arah kami. Bunyi sirene semakin memekakan telinga. Peristiwa ini begitu cepat. Terjadi begitu mudah dalam sekali serbuan. Aku bahkan tak bisa mengingatnya secara rinci.
Tiba-tiba seseorang berpakaian polisi mendekatiku. Dia menutup kepalaku dengan kain hitam. Sejurus kemudian, Maryam pun diperlakukan sama. Aku masih mendengar teriakan dan tangisnya, meski jarakku dengannya agak jauh.
Kudengar bisik-bisik orang di dekat kafe, “I.S.A…I.S.A... Polis tangkap teroris.”
Hmmm. Kini kutahu siapa yang menangkap aku dan Maryam. Ini adalah devisi khusus Kepolisian Kontra-terorisme Malaysia. Lengkap sudah penderitaan. Aku dan Maryam digelandang ke luar kafe dengan kepala tertutup. Seperti adegan film Hollywood, kami pasti menjadi bulan-bulanan mata-mata orang yang menganggap kami sebagai penjahat, sebagai teroris yang harus dibasmi.
Aku tahu, jauh sebelum isu terorisme marak terjadi dan menjadi persoalan global semua negara, Malaysia telah menetapkan undang-undang Keamanan Dalam Negeri yang lebih dikenal dengan istilah I.S.A. (Internal Security Act), yang bisa menangkap sembarang orang tanpa proses hukum atau pengadilan. Undang-undang ini dihapus April, tahun 2012, karena mendapat protes keras, sebab sering digunakan untuk menyingkirkan lawan politik penguasa. Polisi anti-teror Malaysia ini setali-tiga uang dengan I.S.A., meski dengan tugas yang lebih khusus. Tak akan ada yang selamat melawan I.S.A. ketika itu. Namun, kali ini, aku hanya menyisakan harapan terbesarku hanya kepada Allah. Meskipun dompet dan telponku dirampas. Milik Maryam pun sama. Tak ada pengacara untuk kami, walaupun mereka sempat membuka dompetku dan membaca nama pada dokumenku, tapi mereka sama sekali tak konfirmasi apa pun kepadaku. Aku hanya bisa menunggu apa yang akan mereka lakukan berikutnya.
“Cikgu Abdurrahman benar. Aku terlambat,” bisikku dalam hati.
Ini bukan sekadar KL yang kukenal, namun bagiku ini adalah kesaksian atas perjalanan nasib yang harus kujalani. Aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Meskipun kutahu sebenarnya mereka pasti sedang salah tangkap. Mereka pasti menyangka aku adalah Kahar. Aku tak mau berharap kepada makhluk, berharap kepada selain Allah hanya membuatku kecewa: “Allahu..Allah.”
Kasihan Maryam. Aku bungkam. Semua tampak gelap.
Aku hanya bisa menyebut “Allahu..Allah” dalam hati, lalu sesekali aku mengingat Yasmin dan Maryam silih berganti. Aku dimasukkan ke dalam mobil pengap dengan jok mobil yang keras. Aku dijaga kanan, kiri dan dapan. Aku tak tahu, apakah Maryam semobil denganku atau tidak. Semua terasa gelap. Hanya nafasku sendiri yang kudengar, suara lain tak kupedulikan lagi. “Allahu..Allah,” kupenuhi hatiku dengan dzikir. Aku tak lagi mengingat makhluk apa pun.
BERSAMBUNG PART 22

SORBAUJAN PART 20 HURUF GHAIB

Oleh Halim Ambiya
Aku tak pernah memilih-milih tamu. Siapa pun yang berniat baik bertamu pasti kuterima. Tak terkecuali. Semua kuhormati, jika aku punya waktu senggang dan sesuai. Waktu menunjukkan pukul 00.30, tentu bukan saat yang tepat untuk bertamu. Namun, Cikgu Abdurrahman seperti memohon dengan sangat. Dia ingin mengenalkan aku pada seorang kawan malam itu juga.
“Aku tahu awak biasa tidur malam. Ini sangat penting, Bang Thariq. Kami harus bertemu. Ini masalah hidup dan mati.”
“Silakan Cikgu. Saya ada di rumah.”
“Terima kasih. Terima kasih, Thariq. Terima kasih,” ucapannya di telepon.
“Hmmm. Masalah hidup dan mati?!” bisikku penasaran. “Ada masalah apa lagi? Apakah ini masalah Datuk Rustam? Zahra? Atau Razi?” aku jadi semakin penasaran. Sudah hampir satu jam, tamu tak kunjung datang. Kulihat Yasmin sudah tertidur pulas di kamar. Sementara, aku duduk di ruang tamu sambil membaca buku dan mendengarkan radio Johor Bahru kesukaanku: RTM (Radio Televisyen Malaysia). Setiap hari, di jam ini stasiun RTM Johor biasa memutar lagu-lagu keroncong Melayu dan Jawa. Sebelum pemutaran biasanya diawali dengan sambutan khusus dari Raja Johor Bahru, lalu musik keroncong diputar non-stop semalam suntuk.
Sebagai orang berketurunan Jawa yang sedang merantau di Semenanjung Malaya, tentu saja mendengarkan musik keroncong Jawa adalah sesuatu yang mengasyikkan. Kehadiran musik semacam ini bisa mengobati rasa rindu kepada kampung halaman. Penyanyi keroncong seperti Waljinah, Sundari Soekotjo, Mus Mulyadi hingga Hetty Kusendang memiliki banyak penggemar di negeri ini. Bukan hanya digemari orang keturunan Indonesia, tapi generasi tua di Malaysia yang menyukai musik tempo dulu pasti mengenal nama mereka. Apalagi keluarga diraja Johor Bahru dan warga masyarakatnya yang masih memiliki ikatan darah dengan Jawa, tentu menjadikan keroncong sebagai persembahan yang mengagumkan. Aku juga menyukai penyanyi keroncong Kartina Dahari, penyanyi asal Malaysia yang terkenal di era 1960-an dengan album keroncong rindu yang memesona.
Bagiku, musik dan nilai-nilai luhur dalam sastra itu bisa dinikmati secara universal. Keduanya bisa menyadarkan orang dari nasionalisme sempit dan picik. Karena itu, saat polemik masalah kesenian tradisional, wayang, musik, dan batik antara Malaysia dan Indonesia, aku tak menanggapinya terlalu serius. Apalagi jika polemik itu dibawa-bawa kepada ranah politik luar negeri antar kedua negara. Klaim atas kebudayaan hanya membuat kita memecah persaudaraan. Selama berabad-abad, orang Melayu semenanjung Malaysia sudah mempunyai corak batik khas Melayu, bukankah di masa itu belum ditemukan kata “Indonesia” atau “Malaysia.” Begitu juga dengan kesenian Reog Malaysia. Orang-orang Jawa berketurunan Ponorogo dan Madiun di Johor Bahru sudah berabad-abad pula melestarikan reog. Dan, Jawa adalah bagian dari suku di Malaysia yang berandil besar bagi kebudayaan Melayu. Persentuhan kebudayaan ini sudah berlangsung berabad-abad.
Kalau kita mau jujur, kerajaan Malaysia memang lebih peduli terhadap kesenian khas daerah mereka. Meskipun kesenian wayang dan reog tak menjadi nafas keseharian masyarakat, namun mereka berusaha mempertahankannya dengan baik. Pemerintahnya benar-benar berusaha melestarikan dengan dukungan dana yang besar. Tak seperti pemerintah di Indonesia yang acap kali lalai dan tak mengabaikan potensi tradisi leluhur. Sejak dulu, Waljinah, Sundari Soekotjo dan Broery Marantika telah menjadi penyanyi di istana-istana kerajaan Malaysia. Mereka memberi apresiasi luar biasa terhadap musik dan kesenian kita. Sejak dulu pula, wayang Melayu, menjadikan tembang-tembang karawitan sebagai rujukan. Mereka mengadaptasi dan menggubahnya menjadi tembang rasa khas wayang Melayu. Ini biasa terjadi sebagai transfer kebudayaan. Lalu, saat kesenian modern menghajatkannya sebagai potensi pariwisata, Malaysia lebih maju selangkah dalam hal promosi.
Ketegangan kedua negara selalu dipicu oleh masalah politik sesaat, tapi tak akan pernah mengubah kordinat kebudayaan kita yang sama. Jika masalahnya adalah klaim atas kesenian dan kebudayaan, mengapa kita tak pernah memprotes Singapura yang sering kali menjadikan wayang, batik, dan kesenian khas Indonesia sebagai icon pariwisata dan promosi bagi negera itu. Di Eropa dan Amerika, Singapura selalu “menjual” kesenian kita untuk menarik turis berkunjung ke negeri singa itu. Semua itu adalah masalah kegagalan kita dalam mempromosikan kesenian dan kebudayaan kepada dunia. Kita sering kali kebakaran jenggot, manakala negara tetangga maju lebih dulu. Tapi, tak pernah menggali dan melestarikan secara konsekwen dan kontinyu.
Mestinya kita berbangga pada saat nilai-nilai kesenian dan kebudayaan khas Indonesia mewarnai dunia. Bukan malah menghujat dan mempersoalkan “klaim” sepihak yang kekanak-kanakkan. Memprotes boleh-boleh saja, tapi jika hanya sekadar hujatan dan tetap menjadikan kesenian sebagai anak tiri di negeri sendiri apa artinya? Bukankah, ketika kita menyukai musik Country khas Amerika, tak serta merta kita menjadi cowboy? Kita tetap Melayu, tetap Jawa, tetap Sunda. Atau, saat kita menyukai Michael Jackson, bermusik, berdandan dan bergaya ala raja pop itu, tak akan pernah ada protes dari orang Amerika sebagai pembajakan terhadap karya mereka.
***
Pukul 1.15 dini hari, Cikgu Abdurrahman dan 2 orang kawannya datang. Seseorang berwajah Cina dikenalkan sebagai DS Muhammad, mengaku sebagai orang Indonesia yang kebetulan sedang berkunjung ke Kuala Lumpur. Sedangkan satu orang lagi adalah seorang Melayu bernama Zaidi Ishak, dosen dari Universiti Malaya.
“Encik Zaidi dan Encik DS Muhammad ini berkawan lama. Aku tak pandai bahasa Arab. Encik Muhammad ini mendapat pengalaman luar biasa. Tapi, aku tak pandai. Awak boleh jelaskan,” tutur Cikgu Abdurrahman mengenalkan kawan-kawannya kepadaku. “Gara-gara pengalamannya itu dia dianggap sesat. Penemuannya dianggap berbahaya dan merusak akidah,” lanjutnya.
“Pak DS Muhammad punya pengalaman apa?” tanyaku penasaran.
DS Muhammad belum mau bercerita, dia hanya tersenyum aneh memandangku. Mengangguk-anggukkan kepala. Sesekali memandang ke arah Encik Zaidi. Meski berulang kali Cikgu Abdurrahman mempersilahkan agar menceritakan pengalamannya di depanku, tapi dia tak mau bercerita. Aku sangat faham dengan orang jenis ini, dia tak akan sembarangan menceritakan pengalamannya kepada orang yang baru dikenal. Aku tak mau memaksakan diri dan tak mau pula membuat Cikgu Abdurrahman serba-salah.
“Mungkin hanya kau yang boleh jelaskan, Thariq. Aku sengaja bawa Encik DS Muhammad kemari. Kamu orang pandai. Kamu boleh jelaskan semuanya. Aku tak pandai bahasa Arab,” kata Cikgu Abdrurrahman memecah kebisuan malam.
“Ahhh. Cikgu ini bisa saja. Sebenarnya, tanpa aku, Cikgu pun boleh jelaskan. Cikgu terlalu tawaduk,” jawabku. Aku merasa malu dipuji di depan orang yang tak kukenal. Apalagi dua orang ini belum mau angkat bicara. Rasanya sia-sia saja Cikgu Abdurrahman mengajaknya kemari.
“Masalahmu dengan Datuk Rustam diselesaikan dengan cara hebat. Aku sangat kagum mendengarnya. Kamu memiliki jiwa yang matang. Izinkan aku menjadi muridmu, Thariq,” ungkap Cikgu Abdurrahman lagi. Dia tampak serius, tak sedang berbasa-basi di depan kedua orang itu. Perlahan, Cikgu menyodorkan tangannya lagi. “Izinkan aku menjadi muridmu. Aku hanya belajar ilmu mendengar. Aku buta. Banyak kekurangan. Aku hanya belajar agama dari telingaku,” kata Cikgu Abdurrahman.
Aku segera menyambut uluran tangannya dan mencium tangannya. Seperti biasa, dia pun segera mencium tanganku. “Qabiltu,” ucapku dan ucapnya bersamaan.
“Cikgu adalah guruku,” kataku.
“Tak… Awak guru saya sekarang. Aku tak pernah belajar di pondok, aku buta. Aku tak pandai bahasa Arab. Awak sarjana Islam,” jawabnya cepat.
Kedua orang itu terheran-heran melihat reaksi kami. Kulihat senyum DS Muhammad berbeda dari sebelumnya.
“Beri aku nasehat Guru,” kataku.
“Kamu memiliki ilmu, sifat dan akhlak yang menakjubkan. Kau telah pun faham makna adil. Fasih menafsirkan arti hikmah dalam setiap masalah yang sedang kauhadapi,” ungkap Cikgu Abdurrahman.
Aku terdiam. Kedua orang itu sama. Suasana hening di ruangan itu menambah kekuatan pada kata-kata yang dikeluarkan oleh Cikgu Abdurrahman.
“Mana boleh aku jadi gurumu. Aku tak pandai bahasa Arab. Dua orang ini pun sama. Mereka datang kepadaku bertanya soalan bahasa Arab yang tak dapat kumengerti,” katanya lagi. Dalam hati aku berbisik, orang ini mengaku tak pandai berbahasa Arab, tapi tanpa sadar, sebenarnya dia sedang berbahasa Arab.
“Cikgu hanya buta mata zahir, tapi tak buta mata hati. Boleh jadi, Cikgu memiliki pandangan lebih jelas daripada kita,” kataku sambil senyum-senyum penuh kagum. “Beri aku nasehat, Guru,” kataku lagi.
“Hakikatnya, nafas bahagia insan itu wujud berkah Ilahi…” ucapnya sambil menarik nafas. “Sabar dan ikhlaslah menjalani hidup di dunia ini. Bermusyawarahlah dengan kalbu dan akalmu sendiri. Tafakur dalam lisan, kalbu dan amal badanmu. Insya Allah, rahmat dan ridha-Nya kelak jadi nur zahir dan batinmu, Thariq,” tuturnya.
“Subhanallah,” kataku. Aku segera menjabat tangannya dan mencium tangannya kembali. Aku memeluk Cikgu. “Terima kasih, Cikgu. Terima kasih,” kataku lagi.
“Boleh kah, aku merekam nasehat Cikgu, tadi?” pintaku.
“Kenapa harus direkam?”
Aku segera menyiapkan HP-ku untuk merekam. “Cikgu, boleh tak diulang kembali. Hakikatnya…nafas bahagia insan itu…” kataku mengulang kembali.
“Hakikatnya, nafas bahagia insan itu wujud berkah Ilahi. Sabar dan ikhlaslah menjalani hidup di dunia ini. Bermusyawarahlah dengan kalbu dan akalmu sendiri. Tafakur dalam lisan, kalbu dan amal badanmu. Insya Allah, rahmat dan ridha-Nya kelak jadi nur zahir dan batinmu,” tutur Cikgu Abdurrahman.
“Subhanallah. Terima kasih, Cikgu. Sebenarnya, dari tadi, Cikgu sedang bercakap bahasa Arab,” kataku sambil tersenyum gembira. Aku yakin, susunan kata ini mengandung kekuatan berbeda, apalagi keluar dari mulut Cikgu Abdurrahman. Orang ini memang bukan orang sembarangan.
“Apa awak nih?! Itu bahasa Melayu. Bukan bahasa Arab?!” kata Cikgu.
“Itu bahasa Arab, Cikgu.”
“Yang mana satu?”
“Semua yang tadi diucapkan Cikgu sebenarnya berasal dari bahasa Arab,” jawabku.
“Semuanya?”
“Betul, Cikgu. Hanya kata awalan, akhiran, tambahan, dan kata ganti saja yang bukan,” jawabku. Aku memutar kembali rekaman nasehat Cikgu Abdurrahman hingga ketiga tamuku itu penasaran.
“Hakikatnya, nafas bahagia insan itu wujud berkah Ilahi. Sabar dan ikhlaslah menjalani hidup di dunia ini. Bermusyawarahlah dengan kalbu dan akalmu sendiri. Tafakur dalam lisan, kalbu dan amal badanmu. Insya Allah, rahmat dan ridha-Nya kelak jadi nur zahir dan batinmu.”
“Hakikat, bahagia, badan.. Bahasa Arab kah itu?” tanya Encik Zaidi penasaran.
“Betul. Kata ‘hakikat, nafas, bahagia, insan, wujud, berkah, ilahi itu berasal dari bahasa Arab,” jawabku. Aku kembali memutar rekaman itu. “Kata ‘sabar, ikhlas, hidup, dunia, musyawarah, kalbu, akal, tafakur, amal, badan, insya Allah, rahmat, ridha, nur, zahir, dan batin’ itu semua bahasa Arab. Tanpa sadar, Cikgu Abdurrahman memberi nasihat dalam bahasa Melayu yang diambil dari cerapan bahasa Arab,” tuturku.
“Kata bahagia pun bahasa Arab kah?” tanya DS Muhammad membuka mulutnya.
“Betul. Kata ‘bahagia’ itu sebenarnya diambil dari kata ‘bahjah,’ itu hanya karena lahjah Arab khas Hadrumaut dan suku Arab lain, yang sering mengubah huruf ‘ja’ menjadi menjadi terdengar seperti huruf ‘g.’ Seperti nama Gamal Abdul Nasir, sebenarnya Jamal Abdul Nasir,” ungkapku.
“Apakah makna bahjah itu sama dengan kata bahagia?” tanya DS Muhammad lagi. Aku melihat Encik Zaidi dan Cikgu Abdurrahman pun mendengarkan dengan seksama.
“Sama. Itu bermakna bahagia,” jawabku.
“Lebih dari 3000 kata dalam bahasa Melayu-Indonesia adalah cerapan dari bahasa Arab. Sejak tadi, Cikgu Abdurrahman menggunakan bahasa Arab. Kata ‘mungkin, ilmu, takjub, adil, fasih, tafsir, makna,’ yang diucapkan Cikgu tadi pun bahasa Arab,” kataku lagi.
“Awak benar-benar mahir bahasa Arab,” kata Cikgu.
“Mahir pun bahasa Arab,” jawabku.
“Heran… Aku khawatir, niat Encik Muhammad silaturahmi pergi ke Melaka tak jadi gara-gara bertemu awak, Thariq,” kata Cikgu Abdurrahman.
“Kata ‘heran, khawatir, niat dan silaturahmi’ pun bahasa Arab, Cikgu,” jawabku yang diiringi dengan tertawa gembira dari tamu-tamuku malam itu. Kini semua tamuku tertuju kepadaku. Mereka menuntut penjelasan panjang lebar. Lalu, Yasmin pun terbangun dan menawarkan kopi panas kepada tamu-tamuku.
Aku menjelaskan tentang pola-pola kata serapan dari Bahasa Arab secara panjang lebar, baik pola serapan penuh ataupun serapan sebagian. Atau juga pola penyesuaian penyerapan lafal dalam kata Arab dan Melayu. Begitu juga dengan penyimpangan makna yang terjadi karena perbedaan struktur bahasa keduanya. Sebab, antara bahasa Arab dan Melayu-Indonesia memiliki perbedaan sistem aksara, struktur fonologis dan morfologis sehingga penyerapan kata bahasa Arab mengalami proses pengintegrasian, baik dalam percakapan keseharian, pengajaran ataupun tulisan.
“Kita berhutang kepada ulama dahulu,” kata Cikgu Abdurrahman.
“Betul, Cikgu. Bahasa Melayu sangat dipengaruhi ulama kita dahulu. Mereka mengajarkan Islam di Nusantara dengan cara yang luar biasa. Penyebaran Islam di Tanah Melayu ini tidak menggunakan kekerasan, tapi dengan membangun kekuatan peradaban Melayu yang agung, melalui perdagangan, transfer ilmu dan kebudayaan, serta dengan pendirian kesultanan. Sebagian besar kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dibangun oleh wali-wali berketurunan Azmatkhan dan para sayyid (haba’ib) dari Hadramaut. Tak heran jika kita menyaksikan bahasa Melayu menjadi lingua franca; menjadi bahasa persatuan, perdagangan, bahasa resmi kerajaan, serta bahasa diplomasi antara kerajaan-kerajaan di Nusantara,” jelasku.
“Lalu, apa pengaruh bahasa Cina di Nusantara? Bukankah mereka juga sudah berabad-abad berada di negeri kita,” tanya Encik Zaidi.
“Bahasa Cina, baik Mandarin ataupun Kantonis, tidak berpengaruh besar bagi peradaban dan bahasa Melayu di Nusantara. Sebab bahasa itu menunjukan alam pikiran Melayu, kepercayaan, agama dan keyakinan,” jawabku.
“Oooh…Betul. Karena itu bahasa Cina yang mungkin diserap oleh orang Melayu hanya kata seperti ‘capcai’ dan ‘kangkung,’” kata DS Muhammad. Dia sudah mulai ikut nimbrung obrolan kami.
Cikgu Abdurrahman akhirnya meminta izin kepada DS Muhammad untuk menceritakan maksud kedatangannya menemuiku. Menurut penuturannya, orang berketurunan ini adalah seorang muallaf. DS Muhammad adalah nama Islamnya. Baru 10 tahun memeluk Islam. Dia masuk Islam gara-gara mendengar alunan bacaan Al-Quran dari sebuah masjid di Surabaya. Sejak itu dia datang ke ulama dan menyatan diri masuk Islam. Pada saat gairah ketertarikannya yang sangat tinggi dengan Al-Qur’an memuncak, tiba-tiba dia mendapat fenomena aneh. Namun, saat dia menceritakan pengalamannya tersebut, banyak orang menganggapnya sebagai orang gila, aneh, dan berpotensi terjebak pada kesesatan.
“Aku sering kali meminta kepada Allah untuk menunjukkan sisi kemujizatan Al-Qur’an. Jika aku telah merasakan suara bacaan Al-Qur’an sebagai mukjizat, berarti setiap huruf dalam Al-Qur’an adalah mukjizat,” tutur DS Muhammad. Orang ini mulai menceritakan pengalamannya sendiri. Dia tak malu-malu seperti sebelumnya. Dia telah pergi ke beberapa ulama dan pondok pesantren untuk belajar tentang tafsir Al-Qur’an. Mendengarkan banyak ceramah agama, baik melalui televisi, radio ataupun internet. Ada semacam dorongan bawah sadar yang menuntunnya untuk meminta pembuktian tentang kemukjizatan Al-Qur’an. Sarjana ekonomi ini belajar secara otodidak bahasa Arab untuk memudahkan pelajarannya tentang tafsir Al-Qur’an. Namun, belajar bahasa Arab di usia dewasa dan tanpa guru seperti di pesantren tentu memiliki kesukaran yang besar.
“Suatu malam, saat aku sedang berdzikir dan memegang Al-Qur’an, setelah usai shalat tahajjud, tiba-tiba di ruangan agak gelap itu aku melihat huruf-huruf hijaiyah muncul dari balik Al-Qur’an. Seperti hidup. Muncul seperti di film kartun. Saat aku membaca Al-Fatihah, tiba-tiba huruf-huruf pada surat itu keluar lalu membentuk kalimat. Persis seperti bacaan ayat-ayat dalam Al-Fatihah,” tutur DS Muhammad.
“Subhanallah. Luar biasa!” kataku. Menurut penuturannya, sejak saat itu, dia mulai meneliti tentang huruf-huruf Arab. Dia ingin tahu lebih mendalam apa makna huruf-huruf dalam Al-Qur’an secara semiotik. Dia belajar tentang ilmu tanda dalam suatu bahasa. Sayangnya, lagi-lagi karena dia orang baru, baru mengenal khazanah Islam, dan baru belajar bahasa Arab secara otodidak sehingga sering kali menemui jalan buntu. Namun, Tuhan ternyata menunjukkan dengan cara yang luar biasa. DS Muhammad mampu menjelaskan makna-makna huruf dalam Al-Qur’an seperti yang pernah diajarkan Syekh Ibnu ‘Arabi.
“Sejak kapan mengenal karya-karya Ibnu Arabi?” tanyaku.
“Baru seminggu ini aku membaca.”
“Baru seminggu?”
“Betul. Tapi, bukan itu yang mau kuceritakan, Pak Thariq. Aku telah meneliti huruf-huruf ini jauh sebelum aku mengenal pemikiran Ibnu Arabi,” tuturnya.
Ternyata DS Muhammad sengaja datang ke Kuala Lumpur untuk melanjutkan riset pribadinya agar bisa menjawab pengalaman batinnya tentang Al-Qur’an. Orang ini memang benar-benar seorang pencari Tuhan yang tak kenal waktu. Aku cukup kagum mendengar sepenggal ceritanya. Kemudian, dia membuka tas ranselnya dan mengeluarkan satu bundel buku catatan. Buku itu cukup tebal, terdapat banyak catatan-catatan di pinggirnya. Tampak seperti diktat atau seperti foto copy skripsi dengan binding spiral.
“Ini yang kutulis sejak 10 tahun lalu. Aku menulis makna setiap huruf hijaiyah yang terdapat dalam deret ayat Al-Qur’an lalu menjelaskan maknanya,” kata DS Muhammad sambil menyodorkan buku tanpa judul itu.
Aku membukanya dari lembar awal. Sementara yang lain melihat ke arahku. Tertera jelas nama penulisnya adalah DS Muhammad, orang di depanku. Dia menjelaskan makna huruf alif, ba, ta hingga ya. Setiap huruf dibuat penjelasan maknanya dengan bantuan peta konsep yang dibuatnya. Aku kagum dengan model susunannya. Meski dia tidak mahir dalam bahasa Arab, namun penjelasan hurufnya secara semiotis, sungguh dahsyat. Aku berbisik dalam hati, “Sungguh benar apa kata Imam Al-Ghazali, ‘Setiap huruf dari Kalam Allah SWT, hakikatnya terjaga di Lauh Mahfuzh adalah lebih besar dari Bukit Qaf. Dan, apabila malaikat berkumpul untuk mengangkat satu huruf saja (dari Al-Quran), niscaya mereka tidak akan sanggup, kecuali malaikat Israfil a.s., yang menjaga Lauh Mahfuzh dan pernah ikut mengangkatnya. Tapi, terangkatnya pun tak lain karena izin dan rahmat Allah SWT, bukan karena kekuatan dan kesanggupan mereka.’"
Aku ingin menguji orang di depanku. Kututup buku catatan ini. Aku ingin mendengar langsung penjelasannya. “Mas DS Muhammad, apa arti huruf Sin (س)?” tanyaku.
“Huruf Sin (س) itu bermakna getaran, pancaran, radiasi, pendar, spektrum, spout, suara, atau bermakna sebuah pelaksanaan. Contohnya kata وَسْوَاسِ , لِسَانَ . Coba perhatikan kata ‘was-was’ dan ‘lisan,’ bukankah tepat jika kata ‘was-was’ itu bermakna getaran jiwa, lalu kata ‘lisan’ adalah getaran suara. ‘Lam’ itu berarti menunjukkan, ‘Sin’ berarti getaran, ‘Nun’ itu berarti data atau informasi. Jadi, kata lisan itu bermakna ‘suatu getaran yang menunjukan data atau informasi.’”
Aku tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasannya. Orang ini memberi penjelasan dengan hebat. Ini original penemuannya. Aku belum pernah mendapatkan penjelasan semacam ini dalam buku apa pun. Kalau pun Syekh Ibnu Arabi menjelaskan makna huruf, namun itu penjelasan makna mistis dan filosofis di balik huruf. Tapi, penjelasan Mas DS ini berbeda. Lebih fresh dan tidak berkaitan dengan mistis. Ini lebih sainstifik.
“Nanti, Kang Mas Thariq bisa uji ulang isi buku ini. Silahkan dipelajari peta konsep yang telah saya susun dari huruf ‘Alif’ sampai ‘Ya.’”
“Bagaimana jika huruf ‘Sin’ pada kata yang lain,” tanyaku penasaran.
“Huruf س (Sin) yang bermakna implementasi atau pelaksanaan, misalnya pada kata اَلْحَسَنُ (al-hasan) secara bahasa berarti “baik.” Kata ini terdiri dari huruf ال (alif dan lam) yang berarti “yang,” ح (ha) yang berarti “mendekatkan, mengarahkan, membawa, mendistribusikan. Lalu huruf س (Sin) sendiri berarti pelaksanaan. Jadi, dari sudut ilmu huruf ini, kata al-hasan berarti sesuatu yang baik atau al-hasan adalah yang mengarahkan suatu pelaksanaan kepada ketentuan-Nya (taat, tidak salah arah).”
“Subhanallah. Ini adalah penemuan dahsyat!” kataku. “Bagaimana kalau huruf ‘Syin’ ada titiknya tiga di atas?”
“Kalau ada titik tiga di atas berarti energinya lebih besar. Contoh kata ‘asy-syams’ yang berarti matahari. Jadi, asy-syams adalah sesuatu yang memancar dan pancarannya sangat terang. Sesuatu radiasi, radioaktif yang berasal dari fusi dan fisi nuklir. Bukankah penjelasan tentang huruf س (Sin) di atas tetap konsisten sesuai dengan peta konsep yang saya buat? Bukankah sains tidak bertentangan dengan Al-Qur’an? Bahkan, sangat dimungkinkan jika kode-kode ilmu pengetahuan yang terdapat di dalam Al-Qur’an mampu dibedah dari huruf ke huruf, pasti akan lebih banyak lagi orang mempelajari Al-Qur’an. Juga akan menambah penemuan-penemuan baru yang berguna bagi ilmu pengetahuan.”
“Subhanallah. Apakah Mas DS mendapatkan semua makna huruf ini pada setiap dzikir?” tanyaku penasaran.
“Betul. Tapi, bukan dalam satu waktu. Melalui proses panjang. Kadang, dzikir di malam hari, kadang di siang bolong. Kadang, saat berjalan atau sedang duduk termenung.”
“Subhanallah. Aku masih penasaran, Mas.”
“Silakan tanya… Tanya lagi,” kata Encik Zaidi. “Iya, tanya lagi,” sambut Cikgu Abdurrahman.
“Mas DS tadi bilang, huruf ‘Ha’ berarti mendekatkan, mengarahkan, membawa, mendistribusikan. Boleh dicoba, huruf ‘ha’ pada kata yang lain?” tanyaku. Aku tidak sedang menguji, apakah orang ini menguasai banyak kosa kata Arab atau tidak. Tujuanku hanya untuk meyakinkan apakah risetnya telah dijalankan secara teliti atau tidak.
“Contohnya, kata اَلْحِمَارُ (al-himâr) atau keledai. Berarti binatang yang bisa mengangkut dan membawa,” jawab Mas DS.
“Katanya, tidak banyak tahu bahasa Arab?” tanyaku penasaran.
“Tidak sebanyak Mas Thariq. Aku tahu kata al-himâr itu berarti keledai, karena kata itu terdapat dalam Al-Qur’an. Aku kan sudah bilang, yang menjadi objek penelitianku adalah huruf dan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an, di luar itu aku tidak tahu. Karena, Al-Qur’an sudah ada terjemahnya, aku jadi fokus meneliti rangkaian hurufnya saja.”
“Oooh begitu. Berarti Mas DS nggak tahu, huruf ‘ha’ pada kata yang lain selain himar, atau jika kata itu tak terdapat dalam Al-Quran?”
“Betul. Karena kosa kata Arabku sangat terbatas. Aku tak banyak hafal. Aku fokus pada hurufnya saja.”
“Hmmm. Tapi, itu membuat penelitianmu bertambah meyakinkan. Aku menemukan huruf ‘h’ pada binatang lain yang lebih kencang membawa barang.”
“Apa itu?”
“Tadi, Mas DS bilang, huruf ‘h’ berarti membawa, mengangkut, mendistribusikan. Mas DS mencontohkan kata al-himâr (keledai). Keledai memang binatang yang bisa mengangkut barang dan menjadi tunggangan. Tapi, itu hewan pemalas. Tidak seperti hishon, kuda.”
“Oooh. Kuda itu bahasa Arabnya hishon?”
“Betul, Mas.”
“Terima kasih. Aku baru tahu.”
“Ada juga nama binatang yang biasa buat mengirim dan mengantarkan, tapi melalui udara.”
“Melalui udara, apa itu? Bukankah burung bahasa Arabnya tha’ir?”
“Hamamah, artinya merpati.”
“Subhanallah. Merpati membawa surat.”
“Huruf-huruf memang ghaib. Setiap huruf yang kita keluarkan dari mulut kita hakikatnya bukan kita yang menciptakan. Semuanya adalah ucapan Allah. Dialah yang menciptakan bahasa setiap makhluknya. Allah berkuasa pada setiap hurufnya. Setiap saat, semua hal, semua makhluk, semua dalam penciptaan Allah,” kata Cikgu Abdurrahman.
“Termasuk pengaruh bahasa Arab dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Semuanya telah didesain oleh Allah untuk kita. Tak boleh ada kesombongan makhluk bagi para penggunanya. Kita hanya menggunakan secara turun-temurun, lalu kita menyepakati secara bersama tentang penggunaannya. Alangkah kerdilnya diri kita jika tak menyadari hakikat huruf yang keluar dari mulut kita,” tuturnya lagi.
Cikgu Abdurrahman menjelaskan kepada kita bagaimana huruf itu bersifat mistis. Seperti doa dan munajat yang dibuat orang untuk memohon kekuatan kepada Tuhan. Rangkaian huruf yang diucapkan oleh lisan kita menjadi persembahan mistis kepada Yang Maha Ghaib. Tak ada satu huruf pun yang luput dari kehendak Allah. Karenanya, Al-Qur’an sebagai kalam-Nya, pasti memiliki kekuatan mistis paling luar biasa jika dijadikan sebagai doa dan munajat.
“Mas DS, Anda menyebut huruf “ro” dalam buku catatan ini berarti bulatan. Ro juga berarti lingkaran, bulatan, pengulangan, bolak-balik, dan menunjukkan sesuatu yang bundar, meski huruf ini tidak begitu melingkar. Anda menyebut kata ‘mustadir’ (bulat), thariq (jalan). Rabb (Tuhan yang selalu berulang-ulang memelihara), lalu menyebut kata ‘tarbiyah’ berarti pendidikan yang selalu diajarkan berulang-ulang. Huruf ‘ro’ diasosiasikan dengan dengan simbol Dewa Matahari dalam kebudayaan Yunani, yang juga disebut ‘RO’ dengan tanda lingkaran ‘O.’ Lalu, dalam rumpun bahasa Germanic, Inggris atau Latin, huruf ini ditandai dengan huruf ‘R’ atau ‘r’. Apakah itu berlaku pada huruf dalam bahasa yang lain, selain Arab?” tanyaku.
“Kadang, Allah menitipkan pesan dan kode serupa. Kadang membiarkannya tanpa diketahui makhluk-Nya,” jawab Mas DS.
“Aku jadi heran. Setiap huruf yang mengandung huruf ‘R’ pasti mengandung unsur makna serupa. Contohnya, ring, roll, round, rotation, dalam bahasa Inggris. Ini seperti juga kata lingkar, bundar, sumur, ember, roda. Semunya memuat huruf R,” kataku lagi.
“Hahaha. Betul…Mengapa boleh macam itu? Rotation, remedial, radius, roundabout, routinized?” tanya Encik Zaidi.
Mas DS Muhammad masih tersenyum-senyum mendengar pertanyaan nakalku dan Encik Zaidi. Aku semakin tertarik dengan orang yang baru kukenal ini.
“Mengapa unsur huruf ‘R’ selalu bermakna serupa itu. Meski itu bukan bahasa Arab. Misalnya, mengapa ada kata sejenis: ruwet, runyam, ricuh, ripuh, rengek, rintih, rawan, lalu bandingkan dalam kata bahasa Inggris: riot, risk, radical, race, reactive, dan seluruh kata yang berawal “re” dalam bahasa Inggris yang berarti pengulangan,” kataku.
“Risywah berarti ruwet, runyam, rugi, rubes. Risywah menjadi kejahatan yang berlarut-larut, merepotkan, merusakkan.”
“Lalu, terjadi dimana-mana, karena lumrah, rakus, rampok, rusak, rapuh, repot, dan ruarbiasa!”
“Ternyata menjadi lingkaran setan gara-gara huruf R,” kataku lagi.
Mas DS, Cikgu Abdurrahman, dan Encik Zaidi hanya tertawa-tawa mendengar ucapanku. Obrolan terhenti saat adzan subuh mulai berkumandang. Kita seolah sedang berdzikir merenung makna huruf hingga pagi. Aku mendaulat Mas DS Muhammad sebagai imam subuh kami.

--BERSAMBUNG PART 21

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/sorbaujan-part-20-huruf-ghaib/1694866340563293/
https://www.facebook.com/halim.ambiya

SORBAUJAN PART 19 MAKRIFAT DAUN

Oleh Halim Ambiya

Selamat malam Kuala Lumpur. Aku menarik nafas dalam-dalam. Selamat tinggal Sean, anakku. Selamat tinggal dua koper pakaian dan setumpuk mainan. Selamat tinggal masa lalu, selamat jalan pengalaman indah orangtua dan anak. Anggaplah ini sebagai akhir bagi status hukum, tapi bukan perpisahan batin kami atas hak orangtua ruhani bagi dirimu, Sean, anakku. Maafkan atas kesalahan kami, Nak. Maafkan ketidakberdayaan kami sebagai orangtuamu selama beberapa tahun ini. Malam ini aku dan Yasmin menyerahkanmu pada asuhan orangtua lain. Orangtua yang lebih berhak secara nasab ataupun hukum.
Aku serahkan dirimu kepada Datuk Rustam bukan untuk membuangmu. Bukan untuk memutus tali kasih kami: aku, kamu dan Yasmin. Ini hanyalah episode cerita tentang masa depanmu yang sedang diputar dari awal kau menginjak 5 tahun. Demi hak-hakmu kelak. Demi darah yang mengalir dalam tubuhmu, aku serahkan dirimu kepada orang yang lebih berhak. Anggaplah kehadiranku dan Bunda Yasmin sebagai mimpi-mimpi indahmu. Lupakan saja wajahku. Berusaha dan berusahalah membuang wajah Bunda Yasmin di malam-malammu.
Yasmin menggendong Sean keluar dari sisi pintu mobil. Sedangkan aku mengangkat dan menarik koper besar, mengikuti Yasmin dari belakang. Langkah-langkah ini hanya sekitar 30 meter dari halaman parkir ke rumah banglo Datuk Rustam, tapi kenangannya tak akan mudah dihapus dalam 30 tahun mendatang. Yasmin telah mengumpulkan keberanian hebat yang pernah kuajarkan. Antara Bangsar dan Kelana Jaya yang mengharukan jiwa.
Tak terasa, sejak dua minggu ini, kami sudah mengajarkan kepada Sean tentang makna peralihan pengasuhan dengan cara yang mudah dan biasa-biasa saja mengikuti alur memori anak-anak yang bisa kami mengerti. Kami telah menanamkan di benak Sean selama dua minggu bahwa kami bukan siapa-siapa, hanya pangasuh sementara. Lalu, kumasukkan memori Datuk Rustam, ayah Razi dan Mama Zahra dengan cara sebisa kami. Ini adalah perjuangan menghilangkan ingatan, mencuci memori Sean tentang “kehadiran” kami di otaknya.
Di dua minggu ini, aku dan Yasmin menjaga jarak dari Sean dengan memasang figur baru pengasuh di rumah kami: Safitri. Seorang pembantu rumah asal Tasikmalaya yang sudah 5 tahun bekerja untuk keluarga Datuk Rustam. Safitri sengaja dikirim oleh Datuk Rustam untuk memomong Sean di rumah kami, menggantikan Makcik Izzah. Safitri berhasil menjalani misi pendekatan khusus dengan Sean. Hari ini adalah waktu yang tepat untuk menyerahkan Sean kepada mereka.
“Hello…Ketemu lagi?” ucap Safitri kepada Sean, menyambut kedatangan kami.
Lalu mengajak Sean bermain petak umpet di sudut kamar. Sementara, aku dan Yasmin duduk tanpa kata di ruang tamu. Aku dan Yasmin hanya berbasa-basi sebentar dengan penyambutan Datuk Rustam. Demi sopan santun kami menyampaikan serah terima Sean kepada keluarga Datuk Rustam. Kami tak ingin berlama-lama di rumah ini. Biarkan Sean beradaptasi dengan rumah ini. Untuk ketiga kalinya dia berkunjung ke rumah ini. Selasa, Kamis dan hari ini, Minggu perpisahan kami. Sebelumnya, Safitri sudah dua kali mengajak ke rumah ini tanpa kami.
Aku dan Yasmin ingin membuktikan bahwa penyerahan Sean kepada keluarga Datuk Rustam bukan karena tekanan hukum. Bukan pula karena takut menghadapi begundal dan preman bayarannya, yang telah berani menghajar Bang Faizal hingga babak-belur. Bukan, bukan itu! Bukan pula karena aku seorang “Indon” lemah di hadapan kesombongan orang Malaysia. Tidak! Sama sekali tidak! Penyerahan Sean bukan pula karena Indon pasti kalah berhadapan dengan Melayu Malaysia, karena sama sekali hal itu tak ada kena-mengenanya dengan kesukuan dan kebangsaan. Bukan pula karena kami minder dan tak percaya diri untuk memberi penghidupan yang layak bagi Sean. Sama sekali tidak! Bisnisku lebih besar daripada bisnis yang dimiliki Razi ayah kandung Sean, meskipun hartaku tak sebanding Datuk Rustam. Mobilku lebih mewah daripada mobil Razi yang pernah dibeli dari koceknya, meski tak sebanding dengan mobil milik Datuk Rustam. Bahkan, pendidikan aku dan Yasmin lebih dari cukup untuk membekali Sean hingga dewasa. Gelar pendidikanku lebih tinggi daripada Razi dan bahkan Datuk Rustam sendiri.
Kalau aku tak memiliki itu semua, maka tak mungkin seorang Indon dapat menikahi perempuan Melayu dari keluarga terhormat. Aku dipandang sejajar dengan mereka. Tak bisa mereka menyamakan aku dengan mayoritas TKW yang menjadi pembantu di rumah-rumah mereka. Mereka boleh membanggakan diri dengan kehebatan bertutur dalam bahasa Inggris di depan pembantu rumah, tapi tidak di hadapanku. Mereka boleh saja menganggap bahwa kemampuan bahasa Inggris sarjana-sarjana Indonesia tidak lebih hebat dari TKW asal Filipina, tapi tidak di hadapanku. Kalau aku dianggap biasa, mengapa aku yang ditunjuk sebagai asisten dosen di UM, bukan kawan Melayu itu?
Kalau aku dianggap biasa, mengapa aku harus mengajar private bahasa Arab dan tafsir di beberapa kelas dan masjid di sekitar Petaling Jaya? Ahh…Sudahlah, Yasmin tahu itu semua. Aku memang anak pondok, background pendidikanku adalah kajian Islam, tapi bukan berarti aku buta ekonomi makro, politik, sosiologi, antropologi dan ilmu umum yang lain. Semua itu dipelajari di bangku kuliah. Pendidikan agama di pondok adalah dasar bagi semua ilmu yang wajib dipelajari oleh Muslim Melayu, seperti juga yang telah diwariskan semua kerajaan Melayu di Nusantara. Aku tak pernah mau menganggap ilmu agama sebagai keterbelakangan dan menghambat sains dan teknologi. Ilmu agama harus menjadi ruh bagi semua ilmu yang kita pelajari.
Pernikahanku dengan Yasmin adalah bukti bahwa aku memang layak bersaing dengan kumbang-kumbang Melayu lain yang berharap cinta Yasmin. Aku pernah memukul mundur, seorang mahasiswa Melayu sombong yang berusaha menghina hubunganku dengan Yasmin. Di sebuah kedai kopi, di dekat Bulatan Universiti, di Seksyen 16, Petaling Jaya, aku pernah disiram kopi panas tanda kemarahan mereka karena kekalahan argumentasinya. “Kalau perempuan Indon jadi gundik orang Malaysia banyak lah. Tapi, kalau lelaki Indon menikahi perempuan Malaysia rasanya jarang terjadi. Dan, kamu tak akan mampu!” kata Nik Zaidi kala itu. Aku langsung menyambar ucapannya, “Awak tak pernah baca surat kabar, kah? Awak tak tak tahu kah Perdana Menteri Malaysia pun punya menantu orang Jawa? Atau, awak ini pura-pura tak tahu dan menutupi kekalahan lelaki-lelaki Melayu yang lain?” Jawabanku saat itu dibayar dengan siraman kopi panas ke wajahku. Untung saja, seorang pemilik kedai, Pakcik Rahman, keturunan Mandailing membelaku dan mengusir Nik Zaidi dan kawan-kawannya dari kedai itu.
Kuceritakan ini hanya untuk menunjukkan bahwa kita itu memiliki kesamaan derajat. Persoalan seperti ini memang hanya obrolan murahan di kedai kopi, tapi siapa pun orang Indonesia yang merantau di tempat ini pasti dapat menjumpai ulah segelintir orang Melayu yang menghina saudara bangsanya sendiri. Ini hanya masalah akhlak, sama sekali tidak ada kaitan dengan keagungan dan keluhuran bangsa Melayu. Buktinya, aku dihormati oleh banyak keluarga Melayu di sini. Aku menyerahkan Sean kepada Datuk Rustam bukan karena kelemahanku, tapi karena bentuk sayang dan cintaku kepada Sean. Karena rasa hormat dan takzim kami kepada Datuk Rustam sebagai mantan ayah mertua bagi Yasmin dan sebagai kakek bagi Sean. Kami serahkan Sean tanpa tekanan apa pun. Aku lega. Yasmin pun plong. Penyerahan ini bukan karena kalah-menang.
“Terima kasih, Yasmin. Terima kasih, anakku,” ucap Datuk Rustam kepada Yasmin. Lalu, Datuk itu menjabat tanganku dan memeluk tubuhku. “Terima kasih, jaguhku, pahlawanku,” bisiknya di telingaku.
“Jangan pernah putuskan silaturahmi.”
“Insya Allah. Doakan kami agar segera mempunyai anak, Datuk.”
“Aamiin. Saya berdoa untuk awak dan Yasmin. Moga Allah memberi keberkahan dan keselamatan untuk kalian. Jaga baik-baik Yasmin seperti kau menjaga seorang Puteri Melayu Terakhir. Sejak Razi menceraikan Yasmin, sebenarnya saya adalah orang yang paling kecewa dan merasa patah hati, sebab dia adalah perempuan sempurna yang pernah aku kenal. Aku bangga mempunyai anak menantu seorang Yasmin.”
“Baik Datuk. Aku akan selalu mengingat nasehat Datuk.”
Razi dan Zahra sengaja tak dihadirkan di pertemuan ini. Mungkin Datuk Rustam menginginkan serah terima ini hanya antara aku, Yasmin dan dia saja. Bagiku, itu pun sudah tak penting. Lagi pula, kami sudah ikhlas menyerahkan Sean kepada Datuk Rustam, orang yang paling kami percaya saat ini. Urusan bagaimana Razi dan Zahra mengenalkan diri dan mendekati Sean adalah urusan mereka. Biarkan mereka mempelajari garis keturunan yang baru kembali dari tempat asingnya. Aku hanya bisa berdoa agar konflik Zahra dan Datuk Othman segera berakhir agar tidak berimbas kepada Sean.
Berlama-lama di rumah ini hanya akan membawa kami pada tangis. Meski sudah begitu ikhlas melepas, tapi boleh jadi sinyal sedih tertangkap melalui gerak tangis Sean yang ingin bermain bersama kami. Untuk sebuah bukti keseriusan dan komitmen kami atas janji yang telah disepakati bersama Datuk Rustam, kehadiran kami malam ini sudah lebih dari cukup. Semoga Allah melindungi dan meridhai niat baik kami yang ikhlas ini.
“Terima kasih, Yasmin. Terima kasih,” ucap Datuk Rustam lagi. Kami berpamitan meninggalkan rumah itu tanpa mengucapkan salam kepada Sean.
***
Yasmin mengajakku berjalan-jalan ke Damansara Heights, mengunjungi Baujan yang selalu membuatku kagum. Aku tahu maksudnya. Dia ingin sekadar mencari ketenangan, menghirup udara pagi Kuala Lumpur yang masih asri dan jauh dari polusi. Kami mengambil jalan memutar, melewati tebing dan perbukitan nan menawan. Berjalan kaki menghirup kesegaran pagi, Yasmin sebagai bunga menjadi kembang hutan yang sangat mencolok di antara anggrek-anggrek liar itu.
Sesampai di Sor-Baujan, Yasmin duduk mengela nafas, duduk di atas akarnya yang besar. Yasmin tersenyum ceria. Sementara aku memungut buah-buah baujan, berkeliling menyapu ke sekitar pohon besar itu. Untuk pertama kalinya, aku melihat mimpiku secara nyata. Yasmin yang kulihat ini seperti Hanum dalam mimpiku. Subhanallah. Lagi dan lagi, Allah menunjukkan kuasanya, melalui getar jiwa yang menghanyutkan.
“Abang, nikmat sekali duduk di sini. Kemarilah, Bang. Mendekatlah!”
“Ada apa sayang?”
Aku mendekatinya sambil membawa segenggam buah baujan. Wajah Yasmin begitu berseri-seri. Sungguh cantik istriku ini. Aku adalah lelaki paling bertuah yang ada Tanah Semenanjung.
“Aku tahu sekarang, mengapa Abang suka pokok (pohon) ini.”
“Apa yang kaurasakan, Yasmin?”
“Terasa damai dan teduh. Seakan-akan kita berada di dunia yang berbeda.”
“Syukurlah. Kamu menyukai apa yang kusuka.”
“Tapi, apa filosofi pokok ini bagimu, Bang?”
“Aku ingin mendengar jawabanya dari seorang filosof sekaligus anak pondok,” katanya sambil senyum yang menggoda. Yasmin mulai merayuku. Dia membersihkan akar yang melintang di depannya untuk mempersilahkan aku duduk. Senyumannya seperti sedang menantangku. “Apa filosofi dari pohon yang kaubanggakan ini, Bang?” desaknya lagi.
“Ini yang sebenarnya kita dapatkan,” jawabku sambil menunjukkan buah baujan. Aku meletakkannya di depan Yasmin.
“Apa maksudnya dengan buah ini?”
“Buah seperti inilah sebenarnya yang baru saja kita panen dan kita nikmati semalam.”
“Aku tak paham. Apa maksud, Abang?”
Semalam kita telah memanen buah hakikat dari perjalanan hidup kita, setelah kita bersusah payah menanam, merawat dan memeliharanya.
“Hmmm.” Yasmin masih bingung dengan penjelasanku.
“Sebenarnya, saat kita menyerahkan Sean kepada Datuk Rustam, hakikatnya kita sedang memetik buah hakikat.” Aku berusaha menjelaskan secara serius. “Lihat pohon ini, akarnya sangat kuat. Menjalar puluhan meter, besar dan kokoh hingga membuat puluhan tahun pohon ini berdiri dan tak mudah tumbang. Kalau kita ibaratkan pohon ini adalah diri kita, maka akar yang sedang kita duduki adalah keyakinan tauhid yang tertanam dalam kalbu kita.”
Yasmin mulai serius mendengarkan. Dengan keseriusan wanita cantik yang tak biasa.
Syariat yang kita jalani ini ibarat pohon yang kuat, seperti baujan ini. Pengamalan syariat kita jalani bergantung kekuatan akar, daya sedot akar menyerap sari makanan dan air dari tanah ini. Pokok pohon ini tak akan sekuat ini jika tak memiliki akar sehebat ini. Angin, hujan, terik mentari, ulat, serangga, dan semua musuh tumbuhan ini tak mampu merusak pohon besar ini.”
Lihat cabang-cabang dari pohon ini! Itu adalah jalan hidup yang sedang kita lalui dengan penuh liku dan bercabang-cabang. Inilah thariqah atau jalan hidup yang bersumber dari kekuatan tauhid dan keserasian pengamalan syariat. Kita berjaya bertahan menghadapi ujian-ujian hidup ini karena kekuatan akar dan pokok pohon ini. Kita melaluinya dengan cabang-cabang kehidupan ruhani, seperti dengan cara tobat atas dosa, sabar dengan ujian-Nya, ikhlas dengan keputusan-Nya, ridha dengan kehendak-Nya, takut dengan kemarahan-Nya, berharap dengan janji-janji-Nya, rindu dan cinta dengan keagungan-Nya. Ini jalan yang sedang kita tempuh, sayang.”
Yasmin meneteskan airmata. Kulihat bukan karena sedih, sebab tampak jelas senyumannya semakin menunjukkan kebahagiaannya.
“Lalu, tak ada cabang yang tak berujung kepada daun. Semuanya menuju kepada daun. Lihatlah daun-daun itu. Bukankah ia adalah sumber pengolahan zat makanan pada pohon ini. Melalui proses fotosintesis, yakni proses pembentukan karbohidrat dari karbon dioksida (CO2) dan air (H2O) dengan bantuan sinar matahari. Terdapat sel-sel yang mengandung klorofil (zat hijau daun) untuk membuat semua itu berlangsung. Dalam proses fotosintesis ini, energi cahaya matahari diserap oleh klorofil dan diubah menjadi energi kimiawi yang disimpan dalam bentuk karbohidrat atau senyawa organik lainnya. Lalu, diserap dan diubah menjadi protein, lemak, vitamin dan senyawa lain yang sangat berguna bagi kehidupan pohon ini. Aku membayangkan daun ini seperti ilmu makrifatullah. Mengenal Allah. Ini adalah penyatuan dan penyerapan serta rasa sejatinya rasa mengenal Sang Maha Hidup. Ilmu daun adalah ilmu makrifat. Dan, proses fotosintesis sebagai proses dialog batin antara hamba dengan Tuhannya.”
“Subhanallah. Anak pondok ini fasih betul menjelaskan ilmu biologi,” kata Yasmin dengan senyumnya yang khas.
“Tak hanya itu, daun juga berfungsi sebagai organ pernafasan bagi tumbuhan. Maka, orang yang tak bermakrifat akan cepat mati kalbunya. Sebab kalbu menghajatkan nutrisi ruhani berupa makrifatullah. Ingat dalam pelajaran biologi di sekolahmu, daun juga merupakan tempat proses transpirasi. Ketika suatu tumbuhan kekurangan atau kelebihan air, maka zat lalin atau juga kutikula yang terdapat di permukaan melakukan proses penguapan dari jaringan tumbuhan melalui apa yang disebut sebagai stomata. Bukankah selalu ada dialog antara kita dan Tuhan melalui komunikasi ruhani. Ada semacam proses menyadari, memahami, menirima, dan menyerap ilmu Tuhan pada saat kita menjalani hidup dan kehidupan. Kita berusaha merasakan getaran-getaran kehadiran-Nya melalui shalat dan dzikir. Semua berlangsung dengan menggunakan ilmu daun. Inilah cara bagaimana seorang hamba memahami kehendak Allah. Sebagaimana daun berfotosintesis, bernafas, dan menjadi tempat transpirasi, memberi manfaat bagi diri sendiri, bagi sekitarnya.
Yasmin hanya membalas penjelasanku dengan ucapan pelan, “Subhanallah.”
“Ilmu makrifat itu layaknya seperti peran dan fungsi daun bagi pohon. Daunlah yang pertama kali mengenal “rasa” panas dan indahnya cahaya matahari. Lalu, dari ujung lapis daun paling luar dan paling tinggi menjalar ke seluruh pohon hingga akar yang paling rendah dan jauh dari daun itu. Semuanya ikut merasakan manfaat dari proses komunikasi antara daun dan matahari. Sebagai suatu benda, matahari memang begitu jauh tak terhingga, tapi sinarnya dan manfaatnya dapat dirasakan oleh pohon hingga ke dasar paling dalam akar-akarnya.”
“Usia daun berpengaruh bagi proses fotosintesis. Seperti juga kematangan jiwa seseorang dalam memahami pesan Ilahi. Tingkat konsentrasi daun, daya serap cahayanya, ketersediaan airnya, serta suhu yang dimiliki daun, sangat berpengaruh bagi proses fotosintesis. Begitu juga dialog batinmu dengan Allah, pasti memerlukan kekuatan pribadi, kecerdasan akal, pengalaman pendidikan, dukungan keluarga, pengaruh lingkungan, bimbingan guru dan sebagainya. Seperti pengenalan diri sendiri dan pengenalan pada sumber dari segala sumber kehidupan. Sebagaimana daun yang selalu bergantung pada sinar matahari.
“Allahu akbar!”
Semakin banyak jumlah klorofil yang berada pada daun, maka semakin cepat proses fotosintesis berlangsung. Semakin banyak energi baikmu, sabarmu, syukurmu, ridhamu, ikhlasmu maka semakin cepat dirimu mengenal-Nya. Inilah apa yang disebut dengan jalan thariqah menuju makrifat.”
“Usia daun pun berpengaruh pada proses fotosintesis. Semakin tua daun, semakin berkurang kemampuannya untuk berfotosintesis. Begitu juga kalbu kita, jika kalbu ini telah “dituakan” oleh keadaan, oleh waktu, derita, sedih, dan cobaan-cobaan hidup, maka jangan pernah berhenti “meremajakan” jiwa kita dengan dzikir dan “menghidupkan” kalbu kita dengan dzikir kepada Allah agar jiwa dan raga kita bisa tetap hidup menjalani kehidupan.
“Lalu bagaimana dengan buah, Abang?” tanya Yasmin. Semakin penasaran dengan penjelasanku yang berapi-api. Kadang aku duduk atau berdiri dengan ekspresi wajah dan tangan agar mudah dicerna Yasmin.
Buah dari sebuah pohon itu layaknya seperti hakikat dari wujud pohon itu sendiri. Ia memberi rasa; manis, pahit, getir, masam, dan lainnya. Merasakan buah adalah merasakan keseluruhan wujud pohon dan sumber kehidupan dari pohon itu. Memahami buah, seperti memahami hakikat diri untuk mengenal Tuhan; Sumber dari segala sumber kehidupan.
“Luar biasa penjelasan, Cikgu Thariq Abdul Matin.” Yasmin tertawa-tawa senang. “Lalu, apa kaitan antara buah dengan peristiwa semalam. Katanya, semalam kita memanen buah?” tanya Yasmin. Dari pertanyaanya, dia memang memerhatikan penjelasanku.
“Penyerahan Sean kepada keluarga Datuk Rustam itu sebenarnya semacam kita sedang mengunduh atau memanen tanaman yang kita tanam sendiri. Sean adalah anak yang kita rawat dan jaga sejak kecil, lalu kita didik dan sayangi selama lima tahun. Apa pun hasilnya dia adalah buah dari semua jerih payah kita menjaga dan merawatnya. Sebagaimana buah, ia merupakan hasil akhir dari sebuah pohon. Buah adalah karya persembahan terbesar dari sebuah pohon selama melakukan perjalanan panjang dari mulai tunas, akar, batang dan daun. Buah adalah puncak pencapaian hidup dari sebuah pohon. Memahami buah itu seperti memahami ilmu hakikat. Ilmu hakikat adalah ilmu pencapaian tertinggi sebuah tujuan hingga mencapai titik akhir sebuah makna yang dipahami oleh seorang hamba, tentang hidup, tentang Sang Maha Hidup.”
“Pohon memahami dirinya sebagai pohon manakala ia berbuah. Ia menjadi nama dirinya dan menjadi hakikat dirinya. Begitu juga hidup ini, buah dari perjalanan jiwa seseorang adalah pengenalan kepada hakikat diri. Dengan mengenali hakikat diri, kita bisa mengenali Tuhan.”
Yasmin masih meraba tentang maksud penyerahan Sean kepada Datuk Rustam sebagai panen. Dari sorot matanya, dia masih menyisakan tanda tanya besar. “Apa hubungan dengan peristiwa semalam?” tanyanya lagi.
“Begini sayang..” Aku menarik nafas sebentar. “Aku berbangga padamu, Yasmin. Semalam, aku melihat kau telah memetik buah kematangan hakikat dirimu. Cobaan dan ujian hidup, penderitaan dan kesedihan, hinaan dan penzaliman terhadap dirimu berhasil dihadapi dengan kematangan jiwamu. Kamu rela melepas Sean sebagaimana pohon itu membiarkan buahnya sendiri jatuh atau dipetik orang. Meskipun kau telah merawat, menjaga dan menyayanginya, tapi kau tak merasa berhak menikmati buahnya. Sebagaimana pohon tak pernah merasakan manisnya buah dirinya sendiri. Kau telah mengenal hakikat dirimu sebagai hamba, yang sama sekali tidak punya hak atas Sean, bahkan atas takdirmu sendiri. Kamu menghargainya sebagai proses yang memang harus terjadi. Sebagaimana pohon tak pernah mempersoalkan selama puluhan tahun menyerap air dan nutrisi, mensuplai makanan hingga ke akar atau sebaliknya, semua dilakukan karena menjalankan perannya sebagai (hamba) pohon yang tak pernah mempersoalkan kemana buah itu, kepada siapa diserahkan dan dimanfaatkan.”
“Kalaulah kita tak memiliki tauhid yang kuat, mungkin kita telah menghujat Tuhan atas semua yang terjadi selama ini. Kalau bukan karena pelaksanaan syariat kita, kita pasti akan memberontak dan melawan dengan cara-cara yang bertentangan dengan syariat. Kalau kita tidak mengenal cara atau jalan (thariqah) menuju Tuhan untuk menyelesaikan tugas kehambaan, mungkin kita tak akan mampu menjalani hidup dan derita ini. Kalau bukan karena kesadaran mengenal diri dan Tuhan, mungkin kita telah tumbang karena penghianatan, caci-maki, hinaan, penganiayaan, dan penzaliman terhadap diri kita. Kalau bukan karena pengenalan akan makna hakikat diri dan Tuhan, serta pengenalan atas hakikat hidup dan ujian-ujian-Nya, mungkin kita tak akan menyerahkan Sean kepada keluarga Datuk Rustam.”
“Subhanallah. Abang telah menjelaskan makna tauhid dalam bingkai syariat, thariqat, makrifat dan hakikat. Terima kasih, Abang. Ternyata namamu memang benar-benar Thariq Abdul Matin seperti yang kukenal.”
Kuliah Sor-Baujan pun berhenti dengan peluk cium mesra dari istriku tercinta. “Kita hanya menjalankan peran sebagai hamba, sayang,” bisikku. “Inilah puncak tertinggi maqam bagi jiwa seorang makhluk,” kataku lagi.

---BERSAMBUNG PART 20--
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1684254424957818
https://www.facebook.com/halim.ambiya 

SORBAUJAN PART 18 DERITA ZAHRA

Oleh Halim Ambiya

“Yasminku…Melatiku…” bisiku di telinganya.
“Kamu memang cantik. Bahkan, kamu sudah cantik sebelum kata cantik ditemukan.”
Aku membelainya mesra. Mengajaknya merenung tentang makna kebahagiaan agar dapat membuang rasa sedih dan derita. Dengan rasa syukur kita dapat merasakan indahnya jalan kebahagiaan, yang kadang harus ditempuh dengan berliku-liku. Karena, kebahagiaan akan terasa singkat jika dilalui tanpa perjuangan meraihnya. Maka, tak perlu menganggap perjuangan sebagai derita, kalau kita memahami perjuangan sebagai wadah bagi kebahagiaan itu sendiri. Dengan memahami semua itu jiwa kita akan selalu merasa bahagia. Sebagaimana kebahagiaan menjadi unsur yang dijanjikan keabadiannya oleh Sang Maha Abadi.
Yasmin seperti juga Hanum adalah dua sisi sayap kupu-kupu bagi perjalanan hidupku. Keduanya mewakili keindahan dan keserasian semestaku. Kecantikan Hanum mewarnai getar-getar jiwaku hingga kini. Begitu juga Yasmin, meskipun tak ada kata “cantik” yang melekat pada namanya, namun semerbab harum wanginya adalah bukti kecantikan itu sendiri. Bagiku, Yasmin adalah simbol kecantikan dan keharuman perjalanan hidupku. Ia sudah pun cantik, jauh sebelum kata “cantik” ditemukan Bangsa Melayu. Sungguh, aku sangat bersyukur atas anugerah ini. Yasmin dan Hanum adalah ruh keabadianku.
Aku katakan ini, sebab tak ada kematian bagi ruh. Usia ruhku, ruh Hanum, dan ruh Yasmin sebenarnya sama. Kita diciptakan di waktu yang bersamaan. Lalu terlahir sebagai manusia di waktu berbeda dan kembali kepada-Nya di waktu berbeda pula. Tuhan menciptakan barzakh sebagai batas ruang antara dimensi alam hidupku sekarang dan dimensi tempat Hanum bersemayam. Dan, di waktu bersamaan, aku masih bisa berhubungan dengannya dengan getar-getar jiwa yang merindu kepadanya. Ruhku, ruh Yasmin dan ruh Hanum bisa bersatu dalam satu waktu.
“Hidup kita ini hanya sekejap saja, sayang…Kita ini bagaikan hari-hari yang kita lalui. Tatkala satu hari hilang, maka hilang pula sebagian dari diri kita,” bisikku lagi. Aku menceritakan nasehat-nasehat indah Kyai Bahruddin di Jatijajar, saat aku merasakan keputus-asaan ditinggal mati Hanum. Kala itu, aku diajak Kyai Bahruddin menaiki lereng bukit di sekitar Goa Jatijajar. “Cobalah kau bertasbih membaca ‘Subhanallah’ sampai ke pohon itu,” perintah Kyai Bahruddin sambil menunjuk pohon beringin yang berdiri kokoh 50 meter dari tempatku berdiri. Lalu, aku pun berjalana sambil berdzikir seperti perintahnya, mengucap “Subhanallah” hingga sampai di pohon beringin. Setelah sampai, Kyai Bahruddin pun berkata lagi, “Sekarang, bertakbirlah hingga ke pohon mahoni itu!” Aku pun mengikuti perintahnya. Dan, sampai di pohon mahoni, beliau pun memerintahku lagi, “Sekarang, coba kamu beristigfar sambil berjalan mendaki hingga ke pohon trembesi itu!” Aku pun melakukannya, membaca “Astaghfirullah” dengan lisan dan hati sampai ke pohon trembesi. Sesampai di sana, kami duduk dan bercerita banyak hal sambil menikmati pemandangan perbukitan yang indah.
Sungguh kenangan yang sangat hebat dan membekas di hati. Aku baru menyadari ternyata cara Kyai Bahruddin ini pernah dilakukan Rasul dan para sahabat secara turun temurun. Beginilah cara mengajarkan bagaimana memahami waktu hidup di dunia yang hanya sekejap. “Beringin, Mahoni dan Trembesi adalah tempat-tempat persinggahan kita. Hidup kita di dunia seperti persinggahanmu tadi di bawah pohon mahoni. Hanya sekejap saja,” ungkap Kyai Bahruddin.
“Isilah ruang kosong dalam kalbumu dengan kesadaranmu mengenal-Nya, memuji kesucian-Nya, mengagungkan kebesaran-Nya, mendekati-Nya agar perjalananmu menjadi bermakna. Itu adalah hakikat waktumu sebagai hamba. Tanpa itu kau tak akan pernah memahami makna kehambaanmu kepada-Nya. Kadang kakimu terbentur batu atau tertusuk duri. Tanganmu lecet tergesek ranting-ranting tajam. Kulitmu gatal karena dedaunan. Itulah warna kehidupan yang sedang kau lalui. Tapi, sekali lagi kukatakan, hidupmu itu hanya sekejap saja,” tutur Kyai Bahruddin kala itu. “Jika kau kembali ke pondok, kau pasti masih mengingat tempat-tempat singgahmu tadi. Kau masih bisa membayangkan dan mengingat beringin, mahoni, dan trembesi ini,” tuturnya lagi.
“Anggaplah ini seperti tusukan duri di kakimu, sayang. Kau tinggal mencabut, lalu nikmati saja kerindangan dan keteduhan pohonnya di persinggahan kita kali ini. Nikmati saja, ambil indahnya,” bisikku sambil membelai rambutnya.
“Abang, bolehkah aku berjumpa dengan Kyai Bahruddin nanti?”
“Boleh sayang.”
“Jauh tak dari Jakarta?”
“Lumayan. Sekitar 400 km.”
“Jauhnya…Berapa lama?”
“Sekitar 7 jam perjalanan. Nanti kita naik kereta api saja dari Jakarta.”
“Dekat tak dengan Pondok, Abang?”
“Dekat. Kita naik kereta api dari Jakarta, turun di stasiun Kroya. Nanti kita singgah dulu di Pondok Gading. Bermalam sehari atau dua hari. Lalu, kita pergi ke Goa Jatijajar, tempat Kyai Bahruddin. Ini objek wisata yang bagus. Kita bisa naik motor dari pondok, melewati daerah Nusawungu dan Pantai Ayah, di selatan Kebumen.”
Aku terlalu bersemangat bercerita hingga tak menyadari Yasmin tertidur di pangkuanku.
***
Layaknya seorang mediator, aku menjadi orang tengah dalam konflik keluarga ini. Beberapa kali aku bertemu dengan Datuk Rustam dan Zahra. Secara pribadi, aku sudah menerima jika saatnya nanti Sean diambil Razi dan keluarganya. Namun, aku tetap harus menghargai keputusan Yasmin. Sebelum Yasmin mengatakan setuju, aku tetap membelanya. Aku harus berada di pihak Yasmin.
Untungnya, Datuk Rustam dan Zahra masih mau menunggu. Kita juga sama-sama sepakat untuk mencabut segala macam tuntutan hukum atas Razi ataupun Bang Faizal. Tapi, konflik ini tak akan bisa selesai tanpa keputusan Yasmin menyerahkan Sean kepada pihak mereka.
Aku tak mau terlibat terlalu jauh dengan perseteruan Zahra, Razi dan Datuk Othman. Tak mau ikut campur konflik mereka yang memalukan. Aku dengar dari Zahra bahwa dirinya masih dalam proses cerai dengan Datuk Othman. Tapi, persidangan perceraian mereka berlarut-larut. Ternyata proses persidangan mereka selalu “digantung.” Datuk Othman sengaja melambat-lambatkan prosesnya di Mahkamah Syariah. Sudah 4 tahun lebih belum juga usai.
Sungguh menyedihkan, persidangan perceraian di negara ini menjadi ajang unjuk gigi kaum lelaki kuat. Mereka bersembunyi di balik hukum hanya untuk menunjukkan keegoan suami. Tak ada thalak tanpa persetujuan suami. Dengan ini sebenarnya suami menjadi pemegang palu keputusan untuk menghukum sang istri. Zahra adalah korban atas “kekakuan” hukum yang menimpa sebagian perempuan di Malaysia. Datuk Othman sengaja tak mau menceraikan Zahra agar dia bisa melihat wanita itu menderita.
Awalnya, aku pun menyalahkan perselingkuhan Zahra dan Razi. Tapi, setelah kutahu dan telusuri, ternyata keadaan memang membuatnya menjadi mungkin. Bagaimana tidak, seorang wanita muda dan cantik, dibiarkan “menggantung” tanpa status yang jelas. Secara hukum dia memang istri Datuk Othman, namun apa artinya status itu jika hanya digunakan untuk menghukum Zahra dalam kesendirian yang merana. Dengan ego kelaki-lakian orang berduit dan berkuasa seperti Datuk Othman, dia bisa menggunakan segala cara untuk mempertahankan Zahra di balik pasal-pasal karet. Nafkah lahir dan batin tak diberi selama berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun, lalu apa makna bagi pernikahan yang dipertahankan seperti itu?
Beberapa kali, Zahra menggunakan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang membela kepentingan perempuan di negeri ini, tetapi tetap saja tak mampu memenangkan dan mempercepat proses persidangan perceraiannya dengan Datuk Othman. Organisasi Sister in Islam memiliki segudang data kasus-kasus seperti Zahra di Malaysia ini. Kemapanan ekonomi, pencapaian pendidikan, dan kesejahteraan hidup tidak serta-merta menjadi ukuran kebijaksanaan seseorang dalam memahami hukum Islam dalam hal penikahan. Semuanya tampak kaku dan zumud di tengah keegoan kelaki-lakiannya. Berusaha mempertahankan “tradisi” hukum yang selalu menjadikan lelaki lebih dominan dan merasa lebih berhak atas hidup perempuan. Sungguh ironis. Hukum tidak dijadikan sebagai proses penyelesaian, tapi sebaliknya dijadikan sebagai penjara sekaligus “punishment” yang menyiksa bagi orang yang tak berdaya oleh keadaan.
“Aku bukan tak tahu masalah Razi dan Zahra. Tapi, Datuk Othman terlalu kuat,” tutur Datuk Rustam kepadaku di sudut ruang.
“Apakah Datuk sudah coba menggunakan jalur lain, selain hukum?” tanyaku.
“Sudah…Aku sudah beberapa kali berjumpa dengan Datuk Othman agar dia mau melepas Zahra, tapi dia terlalu sombong. Kau tahu sendiri, dulu waktu Razi menceraikan Yasmin, prosesnya cepat. Aku melarang Razi melambat-lambatkan, jika memang sudah keputusan bercerai tak dapat dihindari,” ungkapnya.
Kini aku paham bagaimana perdukunan marak di dunia modern. Seperti yang dilakukan Razi mengirim guna-guna kepada Yasmin dan juga kepada pihak Datuk Othman. Itu terjadi bukan karena dia tak memiliki akal sehat, tetapi karena butuh pelampiasan atas keputus-asaannya. Harapan Razi dan orang-orang jenis ini kandas oleh aturan hukum yang berbelit menjerat ketidakberdayaan.
Bagi Datuk Othman, bukan perkara besar untuk memberi nafkah uang setiap bulan bagi Zahra—sebagai tanda bahwa dia masih suaminya—namun apa arti nafkah jika ia hanya sekadar jeratan? Zahra masih sesekali diberi uang bulanan Datuk Othman, tapi itu hanya untuk menujukan dirinya di depan hakim bahwa dia masih suami yang sah dan berdaulat atas Zahra. Tapi, di luar itu Zahra hanya menjadi burung dalam sangkar. Hanya untuk dimiliki dan dilihat keindahannya. Sang burung tak pernah ditanya bahagia atau tidak, ingin keluar atau tidak dari sangkar itu. Ini adalah penzaliman atas diri wanita yang tak bisa dimaafkan.
Meskipun Zahra tak mempersoalkan harta suaminya sama sekali, tetapi dalam kamus Datuk Othman tidak ada gugatan cerai (khulu’) dari seorang istrinya yang bisa diterima. Dia justru bersembunyi di balik pasal “kelaki-lakian” dengan mempersoalkan harta sepencarian. Dari sinilah sebenarnya Datuk Othman membuat proses perceraian mahkamah menjadi berlarut-larut. Dia seperti bersumpah bahwa tak akan ada shighah taklik thalak (pernyataan menerima untuk menceraikan istrinya) yang akan keluar dari mulutnya untuk Zahra. Apalagi kalau dia dan pengacaranya tahu bahwa sebenarnya Zahra mengandung karena telah berzina dengan Razi, maka pasti akan bertambah runyam. Aku melihat bukan salah undang-undang perceraian di Malaysia, tapi salah pribadi-pribadinya yang hanya mementingkan syahwat dan dominasi kelaki-lakian. Hukum hanya menjadi kamuflase semata.
“Serba salah. Sudah lebih dari 4 tahun Zahra digantung macam ini. Aku juga sangat kasihan,” tutur Datuk Rustam lagi.
Aku jadi berpikir, apakah dosa zina yang dilakukan Razi dan Zahra juga kelak akan ditanggung Datuk Othman di akhirat nanti? Bukankah dia juga berkontribusi besar terhadap perbuatan maksiat yang dilakukan istrinya pada masa perceraian yang memakan waktu bertahun-tahun lamanya? Bukankah nafkah lahir dan batin adalah persyaratan mutlak bangunan keluarga mengapa masalah harta pencarian menjadi begitu rumit untuk disepakati bersama?
Perceraian benar-benar menjadi sesuatu yang halal tapi sangat dibenci Tuhan. Aku telah menyaksikannya pada kasus Zahra. Aku menyaksikan kasus-kasus serupa terjadi, seperti bola salju menggelinding dengan kompleksitas masalah yang beragam. Setiap 10 menit terdapat satu kasus perceraian di Malaysia. Sungguh ini merupakan hal yang memilukan. Puluhan ribu angka perceraian per tahun terjadi di negeri ini, menambah panjang deret derita perempuan-perempuan Melayu dalam kasus perceraian.
“Aku ingin menimang-nimang cucu, bermain bersama di usiaku yang sudah tua ini. Tapi, ternyata tak mudah. Razi adalah anakku satu-satunya. Sekarang, saat kuketahui aku mempunyai cucu dari Razi dan Zahra, aku tak dapat memilikinya,” ucap Datuk Rustam hingga berlinang airmata.
“Datuk, engkau sudah memilikinya. Ini hanya masalah waktu saja. Insya Allah, kelak Yasmin pun akan setuju. Tapi, ini perlu waktu,” kataku meyakinkannya. “Ini masalah waktu saja. Lagi pula, bagaimana Datuk menyembunyikan nama ibunya? Bukankah ini juga akan menambah panjang proses mahkamah?” tanyaku.
“Betul. Aku pun bingung. Namun, pasti kami akan merahasiakan dulu siapa ibu Sean. Sebab, jika Datuk Othman tahu itu adalah anak Razi dan Zahra, pasti dia akan buat macam-macam,” ungkapnya.
“Apakah waktu Datuk bertemu dengan Datuk Othman memberi tahu bahwa anak Datuk ingin menikahi Zahra?” tanyaku lagi.
“Itulah masalahnya. Aku sudah bagi tahu bahwa Razi menyukai Zahra dan berharap agar beliau cepat-cepat menceraikan Zahra. Aku bertemu Datuk Othman sebagai seorang sahabat, sama-sama Melayu, sama-sama kawan seperjuangan, tapi tak mudah membujuk beliau ini. Mungkin beliau pun merasa sakit hati dengan Zahra. Boleh jadi, beliau pun sudah tahu kalau Zahra itu punya anak. Sudah 1 tahun ini aku tak punya alasan lagi untuk membujuk Datuk Othman. Serba salah bagai makan buah simalakama,” tuturnya.
---BERSAMBUNG PART 19---
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1682439731805954
https://www.facebook.com/halim.ambiya

SORBAUJAN PART 17 LAUTAN CINTA

Oleh Halim Ambiya
“Abang, Datuk Rustam meminta cucunya,” tutur Yasmin pelan dalam pelukanku. Aku sendiri dalam diam, melihat Yasmin dalam kesendirian yang buta, di antara isak tangis dan tubuh yang gelisah. Aku mendekap, lalu lebih dekat di hati seiring dengan detak jantung. Kudapati bayang dirinya menghilang saat lampu padam mengabarkan tentang luka yang bertambah kelam.
"Berusahalah untuk menerimanya, sayang. Ini adalah jalan yang terbaik. Inilah jalan yang telah dipilihkan Tuhan untuk kita, untuk Sean," bisikku.
"Mengapa penderitaan ini tak pernah berakhir Abang? Aku semakin tersiksa. Lagi dan lagi. Kapan ini berakhir?” tutur Yasmin lagi.
Aku tahu, dia tak sanggup hidup tanpa Sean di sisinya. Yasmin tak mau hidup tanpa mentari di hatinya. Semua hari akan terasa malam, semakin kelam dan gelap. Kadang, Yasmin dan aku hanya berharap pada purnama. Padahal purnama hanyalah khayalan saat kita berada di siang hari. Mentari adalah khayalan saat kita berada di malam hari. Purnama itu tak nyata, hanya pengganti, hanya pantulan cahaya. Sebetulnya ia adalah kegelapan yang sesungguhnya. Lalu, kita hanya terus berharap tiada henti.
Aku memeluknya dalam dekap kasih. Mengelus-elus jiwa yang sedang merana dan meronta. Naik-turun. Kadang kuat karena totalitas kepasrahan, kadang rapuh dalam bimbang kegaulauan tanpa harapan.
"Apalagi yang harus kujelaskan kepadanya?" bisikku. Aku tak menemukan kata untuk kukatakan kepada Yasmin. Peluk sayangku sudah mengisyaratkan banyak hal. Dan, diamku sudah menjawab semua pertanyaannya yang sudah ataupun yang belum terucap.
"Bagaimana kau mengharapkan mentari di malam yang gelap. Itu mustahil. Takdir selalu menuntut logika, selalu menghajatkan nalar. Kadang tersentuh akal dan terindera, kadang terlalu asing bagi keduanya. Lalu, rahasia-Nya bersembunyi di balik waktu. Maka, jangan pernah menentang-Nya. Ikuti saja iramanya, lalu bergoyanglah," bisikku dalam hati.
“Kau tak harus putuskan sekarang. Insya Allah, Datuk Rustam bisa mengerti,” kataku.
“Iya, Abang. Aku hanya sedih dan bingung. Aku sudah tak ingin lagi ada hubungan dengan Razi dan seluruh keluarga Datuk Rustam. Aku ingin mengubur semua duka ini. Aku ingin hidup bersamamu di Jakarta,” tuturnya manja.
“Insya Allah, nanti kita jalan-jalan yah. Kita bisa berlibur di Puncak.”
“Aku mau, Bang. Kita bisa tinggal disana sebulan atau dua bulan. Aku ingin menghirup udara baru.”
“Tapi, selesaikan dulu masalah hatimu disini agar kita pergi tak membawa beban. Kuatkan dulu hatimu sayang. Meskipun kita bisa berlibur di Bali atau Raja Ampat, jika hati kita masih menyimpan rasa sedih, putus asa, amarah, dan dendam, sama saja.”
Rupanya sudah ada pembicaraan tentang Sean antara Yasmin, Abah Samad dan Datuk Rustam mengenai nasib Sean. Tapi, Yasmin belum mau menceritakan semuanya. Aku tak mau memaksanya untuk bercerita. “Biarkan aku menunggu waktu. Semoga Allah membimbing dan menguatkan hati Yasminku, melatiku,” bisikku dalam hati.
Pada saat aku terbaring di rumah sakit, sebenarnya banyak kejanggalan yang kusaksikan, tapi belum semua dapat kutahu jawabannya. Aku masih bingung, mengapa Maryam dan Zenita saling mengenal? Mengapa tiba-tiba, Zenita menghubungi Maryam, bukan menghubungi Yasmin? Mengapa harus Datuk Rustam yang menghubungi Yasmin, bukan Zenita? "Biarlah, semua ada waktunya. Aku tak mau membuat Yasmin gelisah dengan pertanyaanku," bisik hatiku.
Pada saat aku sedang berpelukan bersama Yasmin di ruang perawatan itu, tiba-tiba ada seseorang mengetuk pintu dan mengucap salam.
“Assalamu’alaikum,” ucap Zenita membuka pintu. Lalu, dia merasa kaget melihat Yasmin berada di ruangan itu. “Aneh, mengapa dia sekaget itu melihat Yasmin disini” bisikku dalam hati. Dia tampak bingung, seolah ingin keluar kembali dari ruangan.
“Oooh. Maaf, aku mengganggu,” kata Zenita.
Yasmin melepas pelukaku. Dia berdiri dengan angkuh. Menatap Zenita dengan sombongnya. Aku melihat sorot mata Yasmin yang membara dan buas. Wajahnya menyimpan amarah, merona membakar wajahnya. Memerah mewarnai deru nafas yang kencang. Ucapannya bergetar menahan geram. "Mengapa kau kemari? Apa maumu?” kata Yasmin, menuding ke arah Zenita.
Zenita menunduk. Dia menahan tangis. “Aku tak mengerti mengapa Yasmin bertindak tak sopan kepada Zenita. Bukankah dia selama ini sudah sangat membantuku. Zenitalah yang menahan pengeroyokan terhadapku. Dia pula yang membawaku ke rumah sakit dan mengurus semuanya,” bisikku dalam hati.
“Apa yang kaurencanakan? Apa yang sedang kau buat?" bentak Yasmin lagi.
"Maafkan aku, Yasmin. Aku bingung harus menceritakan darimana," jawab Zenita tertunduk lesu.
Aku tak paham apa sedang terjadi. Mengapa Yasmin semarah ini? Zenita masih diam membisu. Keduanya seperti sudah saling mengenal lama.
"Apa lagi yang akan kau ceritakan? Mengapa kau sejahat ini? Kita pernah satu sekolah. You are my roomate. Kau sahabatku yang paling aku percaya. Tega-teganya kau buat seperti ini padaku? Apa sekarang kau juga akan merebut suamiku lagi?”
“Tidak, Yasmin. Maafkan aku,” jawab Zenita tertenduk lesu. Dia tak berani menatap wajah Yasmin sama sekali.
“Apakah kau otak di balik semua kekejaman ini? Apa sebenarnya engkaulah yang menyuruh orang membunuh Abah dan Bang Thariq?"
“Tidak, Yasmin. Mustahil aku melakukannya,” jawabnya lagi, lalu menunduk lagi.
"Yasmin..Yasmin. Ada apa ini?" tanyaku penesaran. Aku ingin segera meredakan apa yang sedang terjadi. Baru kali ini, aku melihat tutur kata Yasmin tak sopan terhadap orang lain. Yasmin menangis. Jujur kuakui, wanita cantik ini tetap terlihat cantik meski dengan isak-isakan tangis kesedihan. Wajah dalam balutan kerudung berwarna biru itu semakin membiru.
"Abang tak tahu. Inilah Zahra, Abang. Ini dia yang merusak segalanya.”
"Zenita?!" Hmmm. Aku terdiam. Menarik nafas. Belajar memahami makna ini semua.
"Zenita itu Zahra, Abang. Zenita Zahra binti Sulaiman. Sean adalah darah dagingnya. Anak perselingkuhan antara Razi dan dia. Ini Zahra, Bang!"
“Aku bingung, Yasmin. Aku khilaf. Hingga Razi mengusulkan untuk menyerahkan anakku kepadamu, Yasmin. Ini rancangan Razi. Aku bingung harus berbuat apa. Bahkan, awalnya aku berencana untuk menggugurkan bayi dalam kandunganku,” tutur Zahra.
“Kau telah berbuat kebohongan untuk menutupi kebohongan. Harapkan pagar, pagar makan padi,” kata Yasmin.
“Aku akui, aku memang salah Yasmin. Aku bukanlah istri Razi, aku istri kedua Datuk Othman. Bagaimana kalau mereka tahu jika anak yang ada dalam kandunganku adalah anak Razi,” tutur Zahra.
Aku seperti sedang menonton telenovela. Perselingkuhan dibalas dengan perselingkuhan. Dosa ditutupi dengan dosa. Kebohongan ditutup dengan kebohongan. Semua menjadi lingkaran setan yang mengerikan. Dimanakah letak kebahagiaan yang mereka cari? Bagaimana mereka memahami nafas-nafas cinta dalam bahtera rumah tangga. Pergaulan bebas telah mengotori nama cinta dengan syahwat. Cinta tercemar karena nafsu dan ambisi. Nilai-nilai kesejatian cinta mulai sukar dicari dalam kamus manusia zaman sekarang. Kemapanan ekonomi bukanlah simbol bagi kebahagiaan hidup. Bahkan, kadang kekayaan justru mengusir nilai kebahagian dari jiwa pemiliknya. Kecantikan bisa dibeli. Kenikmatan sesaat bisa dicari. Semua bisa dilakukan dengan telunjuk pemilik harta. Mereka pikir, kepuasan seks adalah puncak kebahagian tertinggi.
Bagiku, kadang-kadang sikap diam adalah kemarahan yang paling memuncak. Kadang teriakan tak bisa mewakili rasa marah yang tinggi. Bahkan, untuk sebuah penzaliman, kadang kita tak memerlukan pembelaan makhluk. Sebab, saat orang terzalimi, meski mulutnya terkunci, tapi jiwa dan raganya telah mendapat jaminan pembalasan-Nya. Tuhan adalah pemberi garansi yang tak pernah ingkar janji.
Aku, seperti juga Yasmin pasti menyimpan luka yang dalam. Tapi, sanggupkah aku memperlakukan Zahra seperti Yasmin memperlakukannya? Tidak. Aku hanyalah orang asing, seperti juga dia bagiku. Kejahatan apa pun yang dilakukan orang asing, tidak akan lebih kejam daripada kejahatan orang terdekat kita. Pengkhianatan dapat melukai berlapis-lapis lebih dalam. Yasmin pasti sangat merasakan sakit hati luar biasa karena kejahatan Razi dan Zahra terhadap dirinya.
Aku masih membiarkan Yasmin meluapkan emosinya saat kulihat Zahra terus menangis. Dia terus tertunduk. Kemarahan Yasmin terhenti sesaat, saat seorang dokter dan perawat memasuki ruangan. Zahra bergegas mengusap airmatanya, lalu berdiri di sudut ruangan. Sedangkan Yasmin, tampak kesusahan membendung tangis. Dia tak mampu menyembunyikan tangisannya setelah melepas semua kekesalannya pada Zahra.
"Puan tak usah risau. Suami Puan sudah sembuh. Hari ini sudah boleh balik," kata dokter sambil memeriksaku.
"Terima kasih, dokter," jawab Yasmin kaku. Dokter itu tak tahu jika tangis Yasmin kali ini bukan untuk luka di tubuhku, tapi karena luka di hatinya yang kembali menganga saat berjumpa pelakunya. Dokter itu seperti menangkap pemandangan aneh. Sebab, beberapa kali dia melirik ke arah Zahra yang juga ikut menangis.
Setelah dokter dan perawat itu keluar dari ruangan, wajah kegarangan Yasmin mulai tampak kembali. "Pergi kau dari sini! Pergi! Untuk apa kau disini, kau hanya membuatku tambah sakit," bentak Yasmin.
"Maafkan aku, Yasmin. Maafkan," jawab Zahra.
"Pergi!"
Yasmin mengusir Zahra dari ruangan. Aku heran, mengapa Datuk Rustam tak membicarakan masalah Zenita kepadaku? Lalu, apa yang disepakati antara Yasmin, Abah Samad dan Datuk Rustam kemaren? Aku pikir masalah ini sudah selesai. Hmmmm. Aku memang baru mengetahui bahwa Zenita atau Zahra adalah anak dari Sean. Tapi, apakah juga Datuk Rustam mengetahuinya? Siapa yang bisa menjelaskan ini?!
Zahra pun mulai berkemas, meletakan kue dan bebuahan untukku di atas meja, lalu berjalan melangkah mendekati pintu. Dia tak sanggup berkata apa pun lagi kepada Yasmin. Dia hanya mampu mengatakan, "Maafkan aku...Maafkan aku." Sepertinya, Zahra sama sekali tak punya nyali untuk menghadapi Yasmin.
"Tunggu!" teriakku.
"Untuk apa, Bang?" tanya Yasmin.
"Jangan pergi dulu," kataku sambil berusaha duduk dari pembaringanku. Yasmin berusaha menolong. "Kemarilah, Zahra," pintaku pelan. “Kemarilah!” kataku sambil memandang wajahnya. Tapi, Zahra masih berdiri saja di depan pintu.
"Kenapa Abang tahan dia? Apa untungnya dia disini?"
"Zahra, kemarilah. Aku ingin bicara," pintaku meyakinkan Zahra. Aku tak memedulikan ucapan Yasmin. Aku hanya mengelus pundak Yasmin pelan. “Tenang sayang. Sabar, Abang nak cakap sekejap,” bisikku pada Yasmin.
Awalnya Zahra ragu, tapi berkali-kali aku berusaha meyakinkannya agar tak pergi dulu. Kuminta dia menarik kursi dan duduk dekat pembaringanku. "Aku ingin masalah ini selesai di sini, di ruangan ini sekarang juga. Atau minimal kita mulai berterus-terang. Saling membuka diri," kataku kepada Yasmin dan Zahra.
"Aku tak ingin menyisakan rasa marah dan kebencian, yang kelak bisa membesar di luar sana. Aku ingin orang yang aku sayangi hari ini, saat ini, mau bersamaku mendengarkan penjelasan Zahra," bisikku kepada Yasmin.
"Tidak Abang! Tidak! Aku belum mampu memaafkan Zahra," jawab Zahra melepaskan tanganku.
"Aku tak memintamu memberi maaf saat ini juga sayang. Aku hanya memintamu untuk mendengarkan Zahra untuk sekali ini saja," kataku pelan. “Please, biarkan Zahra bicara,” pintaku kepada Yasmin. “Please, I beg you, wait a while…Let her talk about Sean, her son, her blood, (Aku mohon kepadamu, tunggu sebentar. Biarkan dia bicara tentang Sean, anaknya, darah dagingnya)” pintaku kepada Yasmin.
Yasmin menangis. Kini dia menunduk lalu berusaha memelukku lagi. "Sayang, aku mohon dengarkan dulu penjelasannya dengan hatimu. Hatimu sebagai seorang wanita. Hati sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu, sebagai seorang sahabat perempuan Zahra," bisikku lagi.
Kini Yasmin dan Zahra sama-sama menangis. “Aku yakin. Haqqul yaqin, di lubuk hati yang paling dalam. Kalian masih saling menyangi,” kataku tegas hingga membuat tangis keduanya menjadi lebih menggema. Lalu, ketegangan demi ketegangan mulai larut dalam diam.
"Kita memang harus mendengarkan penjelasan Zahra. Selama ini kau hanya dengar penjelasan dari Razi. Bagiku ini salah besar. Zahra adalah ibu dari Sean. Dia yang paling berhak atas Sean daripada kita, daripada Razi sekalipun," kataku lagi. Kulihat, Zahra semakin mendekat ke arah Yasmin.
“Buang jauh-jauh ego kalian berdua. Selama ini ego kalian yang membuat ini semua terjadi. Kalian sahabat dekat, tapi tak mampu berkomunikasi dengan baik. Kalian saling menutupi. Padahal kalian berdua sebenarnya adalah sama-sama korban dari suatu keadaan. Kalian korban dari hubungan dengan Razi. Apakah kau sanggup memutuskan persahabatan kalian di dunia yang hanya sesaat, lalu kalian melupakan persahabatan abadi di akhirat? Apakah kalian kelak di akhirat akan saling menghujat, saling memasukkan sahabat sendiri ke neraka? Sanggupkah kalian lakukan itu?”
Aku tak ingat lagi kapan Yasmin dan Zahra saling berpelukan dan menangis sejadi-jadinya.
“Masalah ini sudah terjadi. Kalian sedang tenggelam di tengah lautan. Jangan kau tanya basah atau tidak! Jangan pula kalian saling menyalahkan! Mestinya kalian saling bertanya, ‘bagaimana cara berenang ke tepian?’” lanjutku lagi.
“Lautan cinta Ilahi begitu luas. Jangan pernah kau bandingkan kesucian cinta sesamu dengan samudera cinta Ilahi, karena sebenarnya kalian hanya merasakan cipratannya saja. Maka, apa yang kau banggakan dengan keteguhan cintamu itu di hadapan Allah. Kita ini kotor. Pendosa yang bengal. Tiap hari kita melakukan dosa, dan berkali-kali kita memohon ampun. Lalu, mengapa saat dirimu salah, saudaramu salah, kau berusaha menjadi “tuhan” yang sombong dan angkuh? Tak mau saling memaafkan. Seolah-olah kau lebih hebat daripada Tuhan yang setiap saat memaafkan hamba-Nya,” kataku kepada Yasmin dan Zahra.
Keduanya masih terus berpelukkan dalam diam perenungan.

---BERSAMBUNG PART18

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1681083141941613
https://www.facebook.com/halim.ambiya

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...