Wednesday, July 19, 2017

Sang Guru Sejati (6)


Tidak sekali dua kali, teman-temanku mengingatkan aku untuk tidak terlalu dibebani obsesi mengetahui kesejatian syahadat yang mereka sebut sebagai ”tidak lazim” seperti itu. Aku sendiri heran dengan sikap teman-temanku.

” Islam itu tidak sulit,” kata teman-teman, ” cukup mengucapkan dua kalimat syahadat, jadilah kamu Islam. Ngapain repot-repot seperti itu.”

” Terimakasih,” sahutku, ” silakan kalian tetap berada pada keyakinan ”standar”seperti itu. Tetapi jika aku merasakan kegelisahan, aku harus mencari jawaban yang menyebabkan kegelisahan itu sirna dari hatiku. Mungkin kalian tidak merasa gelisah. Maka bersyukurlah. Jadi, biarkan aku mencari obat kegelisahanku, karena aku yakin akan menemukan yang aku cari.”

” Kapan ?”

” Jika waktu yang ditentukan oleh Tuhan sudah tiba,” jawabku.

Banyak yang menertawakan sikapku itu. Tetapi aku terus mencari. Nyatanya, para Kyai, Ustad dan Ulama yang aku temui dalam perjalanan pencarianku belum ada yang mampu memberikan jawaban yang menyebabkan gelisahku terobati. Aku selalu menanyakan kepada mereka bagaimana cara syahadat yang sebenarnya itu ? Anehnya, aku selalu mendapat jawaban ya seperti yang sudah kamu lakukan itu. Lalu jika aku kejar dengan pertanyaan berikutnya : bukankah itu baru pengakuan persaksian yang diucapkan oleh mulutku ? Mereka menjawab : yang membuat pengakuan persaksian memang mulut bukan selain mulut. Lalu kukejar lagi : atas dasar apa mulut membuat pengakuan persaksian ? Sampai di sini, biasanya para Kyai, Ustad dan Ulama yang aku temui akan terbelah. Ada yang tersinggung dan menghujatku. Ada yang secara jujur mengakui bahwa pengetahuannya belum sampai untuk menjawab pertanyaanku.

Aku sangat menghormati mereka yang secara jujur mengakui kekurangannya. Dan biasanya aku tetap menjalin silaturahim dengan mereka, karena aku pun harus mengakui mereka adalah orang-orang yang hebat. Tidak banyak jumlahnya orang yang berani membuat pengakuan secara jujur seperti itu.

Sebenarnya, kepada yang tersinggung dan menghujat pun aku tetap menaruh hormat. Kerap aku ingin menjalin silaturahmi dengan mereka. Tetapi tidak jarang mereka sengaja menghindar dengan berbagai cara. Aku menerima semua itu dengan hati lapang, karena dengan begitu sebenarnya Allah sedang menunjukkan kepadaku tentang manusia secara utuh. Bahkan aku pun kemudian mencatat baik-baik dalam ingatanku : jujurlah pada dirimu sendiri.

Jika kamu tidak tahu, katakanlah apa adanya, sebab dalam perjalanan mencari Kebenaran, kamu harus memulainya dengan kejujuranmu. Lebih-lebih jika kamu berhadapan dengan orang lain. Siapa pun adanya dia, tetaplah orang lain adalah orang-orang terhormat yang harus kamu muliakan.

Lalu kucatat lagi : rendahkan egomu, karena dalam perjalanan mencari Kebenaran kamu akan mendapatkan banyak ujian dan cobaan. Kebenaran itu akan datang melalui siapa saja. Melalui para Kyai, Ustad, Ulama dan tokoh agama. Tetapi bisa juga datang dari seorang penyapu jalan, mungkin seorang gelandangan, karena Sang Kebenaranakan menggerakkan siapa pun yang dipercaya untuk mengantarkannya.

Setelah itu : merdekakan dirimu dari segala bentuk penjajahan pemikiran dan kehendak. Dan teruslah berusaha mencari apa yang ingin kamu ketahui.

Hanya itu bekal perjalananku selama bertahun-tahun. Aku yakin, Tuhan akan memenuhi janjiNya. Ini bukan sekedar upayaku menghibur diri sendiri, melainkan Tuhan sendiri yang memberitahukan kepadaku : barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti akan datang (QS 29:5). Aku juga ingat pesan Kakek almarhum, segala sesuatu sudah ditentukan waktunya, dan yang mengetahui kapan waktu itu tiba hanya Tuhan. Tetapi aku harus terus bekerja, jangan sampai berhenti.

Di sinilah aku mulai mengenal dua wilayah yang masing-masing wilayah itu tidak akan saling tertukar. Aku menyebutnya sebagai wilayah ikhtiar atau usaha yang menjadi milik dan kewajiban manusia, dan wilayah hasil atau ijabah yang menjadi milik dan kekuasaan Tuhan. Kesadaran ini menumbuhkan keyakinanku untuk tidak pernah berhenti berusaha melakukan ihtiar yang sungguh-sungguh. Aku memahami ini sebagai kesejatian jihadunnafs, yakni berjuang menundukkan rasa malas dan rasa bosan dengan sabar dan tawakal.

Rupanya, inilah salah satu pengajaran Tuhan yang sangat berguna bagiku, sebelum aku memasuki wilayahNya yang sakral. Tuhan lebih dahulu membentuk diriku menjadi seorang fakir yang sempurna, melalui kesadaranku terhadap diriku sendiri. Seorang fakir adalah dia yang amat membutuhkan, atau seorang yang sangat berhajat akan pertolongan. Jika fakir kepada Tuhan, maka artinya, dia adalah orang yang amat membutuhkan Tuhan, atau seorang yang berhajat pada pertolongan Tuhan.

Aku jadi merasa trenyuh sendiri. Tuhan lebih dulu menjadikan aku fakir kepadaNya dengan membimbingku memasuki wilayah kodrati manusia yang harus senantiasa berusaha untukNya dan berharap kepadaNya. Maka aku catat ini baik-baik dalam diriku, kelak aku akan menamai diriku sebagai al-faqir Ilallah, karena Dia yang menyebabkan aku tidak pernah berhenti mencari.

Jika pada akhirnya aku bertemu dengan orang yang dapat membimbingku untuk bersyahadat kepadaNya, maka itu sama sekali bukan sebuah kebetulan. Itu adalah rencanaNya yang agung, karena dia yang kemudian membimbing aku bertemu dengan Guru Sejatiku, benar-benar kutemukan.

Bagaimana aku dapat bertemu ? Di mana ?*****

diambil dari:http://www.kompasiana.com

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...