Wednesday, July 19, 2017

Sang Guru Sejati (5)

Hidup yang keras dan sibuk menyebabkan aku nyaris melupakan pencarianku pada kesejatian syahadat. Aku harus selalu berpacu dengan waktu, bergelut dengan hidup memenuhi kewajiban memberikan nafkah untuk keluarga. Rasanya tidak ada waktu sedetik pun yang aku lewatkan untuk bermalasan, sebab jika aku malas, maka aku akan digilas oleh kebutuhan yang tak pernah surut. Dalam bahasa lokal saya sikil nggo sirah, sirah nggo sikil untuk menegaskan betapa aku tidak memedulikan yang lain selain bekerja keras agar aku punya rumah untuk bernaung anak dan isteri, agar aku punya kendaraan sehingga aku dapat bepergian dengan mudah. Dengan satu kalimat : aku benar-benar mengejar dunia.

Ternyata Tuhan menyayangiku dengan memanggil pulang Ayahku pada dini hari sekitar jam 02.45, pada hari terakhir bulan Februari 1987, tanpa keluhan sakit apa pun. Kepergiannya yang mendadak seperti merontokkan jantungku. Tuhan tidak dapat diajak kompromi.

Ya, aku ingat ada Tuhan yang berkuasa. Semua yang Ayah miliki, termasuk kami anak-anaknya dan isterinya yang adalah Ibuku, ditinggalkannya. Tidak ada yang menyertainya. Ayah pulang sendirian menghadap Tuhan.

Kesadaran ini amat menyentak. Tuhan, Allah, atau dengan sebutan apa pun Dia dipanggil, kembali menyadarkan aku pada kesejatian syahadat yang nyaris aku lupakan. Rupanya, Tuhan mengingatkan aku melalui peristiwa wafatnya Ayahku. Bahkan kali ini lebih menyentak, karena beberapa jam sebelum wafat, Ayah masih sempat ngobrol denganku. Rasanya aku masih belum lelap benar, ketika Ibu membangunkan aku, dan kudapati Ayah sedang menghadapi sakaratulmaut. Aku tidak dapat melakukan sesuatu, selain membisikkan kata-kata ”Allah, Allah,Allah” di telinga Ayah. Lalu tidak lama kemudian, nafas Ayah terhenti. Ayahku wafat.

Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, bisikku. Lalu kututup tubuh Ayah yang membujur tak bergerak. Matanya terpejam. Wajahnya bersih. Tubuhnya terasa dingin.

Tubuh yang membujur itu disebut jenazah. Dan aku menutupinya dengan kain, sementara Ibuku menangis, Isteriku menangis, adik-adikku menangis. Tetapi Ayah sudah tidak lagi mendengar, entahlah, aku tidak tahu. Tetapi rasanya, semua yang ada di rumah, tidak lagi berguna bagi Ayah. Isterinya dia tinggalkan, anak-anak dia tinggalkan, bahkan karya-karya monumental yang sedang dirintisnya pun ditinggalkan.

Tanpa aku ketahui, sejak itu aku menjadi benci waktu malam. Aku selalu disergap kegelisahan tiap kali waktu malam tiba. Ketika matahari berangsur terbenam, alam sekitarku mulai gelap, pintu dan jendela rumah ditutup, cahaya matahari digantikan oleh sinar lampu pijar, aku tidak dapat menyembunyikan kegelisahan. Entah dari mana datangnya, aku selalu merasa, malaikat maut akan datang bersamaan dengan datangnya kegelapan.

Gelap yang menyentakku pada sebuah kesadaran, ”gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihat, barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun” (QS 24:40). Ternyata, gelap pun memberikan pelajaran dan menjadi peringatan bagiku untuk segera menyadari bahwa apa pun yang dapat kita lihat dengan matakepala kita, sebenarnya bukan karena kemampuan kita, melainkan karena Allah memberikan cahaya sehingga segala sesuatu dapat diserap oleh retina mata kita.

Sebenarnya dunia – dan segala sesuatu yang bersifat duniawiah – adalah kegelapan, sehingga siapapun yang menjadikan dunia ini sebagai gantungan hidup, maka sebenarnya dia bergantung pada kegelapan. Karena itulah, Allah perlu memberitahukan ”Allah adalah cahaya langit dan bumi” (QS 24:35), untuk mengetuk kesadaran manusia ke arah mana seharusnya orientasi hidup manusia diarahkan. Jika orientasinya serba dunia, yang berarti serba benda, materi, maka dia sebenarnya berada dalam orientasi kegelapan, sehingga dia tidak dapat melihat esensi dari segala sesuatu.

Langkah yang mengarah pada dunia, mengantarkan manusia pada kegelapan. Ada sebagian orang yang menyatakan, dalam kegelapan itulah setan berada. ”Allah pelindung orang yang beriman, Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang yang kafir, pelindung mereka adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya” (QS 2:257).

Inilah yang aku maksud sebagai kesadaran yang menyentak diriku, ketika aku mendapati diriku yang tiba-tiba menjadi begitu khawatir dan takut saat gelap mulai menyelimuti alam. Aku mulai sadar, jika kegelapan duniawi bisa diusir dengan cahaya api atau sinar lampu, lalu dengan apakah kegelapan kematian itu dapat diusir ? Hanya ada satu kata : Tuhan, karena Dialah Sang Maha Cahaya. Dialah yang harus aku cari. Dialah yang harus aku temukan.

Tetapi di mana dan bagaimana ?

Dua pertanyaan itulah yang menyebabkan aku kembali melanjutkan pencarianku atas jawaban terhadap kesejatian syahadat. Aku mulai sadar, syahadat bukan sekedar mengucapkan ”aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah”. Jika aku bersaksi, maka artinya aku harus menyaksikan. Jika aku tidak menyaksikan, tetapi aku bersumpah telah menyaksikan, hakekatnya aku telah melakukan persaksian palsu. Padahal saksi palsu diancam dengan hukuman yang berat, tidak saja dalam pandangan hukum manusia, melainkan yang terutama dalam pandangan Tuhan.

Berbekal pertanyaan itulah aku mendatangi para Kyai, Ustad dan Ulama untuk mendapatkan pencerahan dan petunjuk mereka tentang bagaimana aku dapat terhindar dari persaksian palsu yang amat berat hukumannya itu. Tidak hanya sehari dua hari, sebulan dua bulan, tetapi bertahun-tahun.

Sejak itu, aku hanya meminta kepadaNya : ” Tuhan, temukan aku dengan orang yang dapat membimbingku untuk bersyahadat denganMu”. Aku tidak akan lelah mencarinya.*****

diambil dari:http://www.kompasiana.com

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...