Wednesday, July 19, 2017

Sang Guru Sejati (9)

Aku pikir, Adam hanya sekedar bergurau. Tetapi ketika kutatap wajahnya, dia tidak kelihatan bergurau. Dia serius. Ini menyebabkan aku jadi penasaran sekali.

” Kamu jangan bergurau,” kataku.

Adam terkekeh, ” dasar anak bebal,” katanya. ” Ngakunya tidak pernah lupa baca Al Quran, bahkan sudah berkali-kali katam, koq masih bebal juga kamu. Apa kamu tidak penah menemukan ayat yang menyatakan hanya orang-orang yang pernah mengunjungi sorga yang dapat menikmati sorga.”

Aku tertunduk. Malu juga rasanya, karena kebiasaan membaca Al Quran, bahkan sampai katam berkali-kali, masih tetap saja tidak dapat menyembuhkan penyakit bebalku.

” Baiklah,” kataku, ” jujur aku akui, aku tidak pernah benar-benar mau memahami ayat-ayat yang aku baca. Kalau toh aku membaca terjemahan ayatnya pun hanya sekedar lewat, tidak pernah aku renungkan.”

” Baguslah kalau kamu jujur,” sahut Adam. ” Coba perhatikan firman yang satu ini dengan pikiran yang jernih. Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan beramal saleh, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga itu, mereka mengatakan :”Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya (QS 2:25).”

Aku memperhatikan ayat itu agak cukup lama, sampai Adam memberitahu aku, ” lihat tuh pada bagian yang berbunyi setiap mereka diberi rezeki berupa buah-buahan dalam surga itu mereka mengatakan ”inilah yang pernah diberikankepada kami dahulu”. Menurut kamu, apa itu maksudny?”

Aku mengangguk. Benar juga pikirku. Kata-kata ”inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”, itu menekankan pada waktu. Jika kata-kata itu diungkapkan hari ini, maka dahulu bisa berarti kemarin, kemarin dulu, seminggu yang lalu dan seterusnya. Jika konteks ucapan kata-kata itu dikaitkan dengan penduduk atau penghuni sorga, maka kata dahulu itu bermakna ketika mereka masih menjadi penghuni dunia. Bukankah itu berarti, penduduk sorga adalah mereka yang telah menikmati sorga ketika masih menjadi penghuni dunia ?

Dan dalam dialog dengan seorang teman baikku yang beragama nasrani, ternyata dia pun menyatakan, hal serupa disebutkan juga dalam Injil. Mohon maaf, aku hanya ingat ungkapan kalimatnya yaitu : yang masuk sorga adalah dia yang baru turun dari sorga. Sekali mohon maaf kalau aku keliru mengutipnya. Aku hanya ingin menyebutkan di sini adanya kesamaan visi dari masing-masing agama tentang sesuatu yang universal. Artinya, jika kita berada di ruang yang universal, maka tidak ada yang berbeda. Menjadi berbeda jika kita dibatasi oleh sekat-sekat, entah itu sekat yang berupa nama agama, bahasa, suku, ras dan lain-lain.

” Apa yang kamu pikirkan, Nak ?” ujar Guru Sejatiku.

” Aku berfikir tentang universalitas, Guru,” kataku.

” Kenapa ?”

” Aku melihat masih banyak saudara-saudaraku yang tidak juga mau membuka diri, melihat wajah lain di cermin kesamaan dan kesetaraan.”

Guru Sejatiku tersenyum.

” Makanya aku menyuruhmu untuk menemui Adam,” katanya,” supaya kamu belajar darinya.”

Penasaran juga rasanya, karena Guru Sejatiku selalu mendorong aku untuk menemukan jawaban dari semua persoalan itu sendiri. Dia hampir tidak pernah mengatakan sesuatu dengan kata-kata yang menyebabkan aku segera menemukan jawaban yang aku cari. Dia lebih senang mendorongku untuk melakukan pencarian. Kali ini melalui Adam.

Ketika hal itu aku katakan kepada Adam, dia hanya tersenyum. Sekarang dia tidak lagi menyebut aku anak bebal, setelah dengan jujur aku katakan, masih banyak hal yang aku tidak tahu.

” Mengapa kamu kesal, hanya karena tidak diberikan jawaban langsung oleh Guru Sejati itu ?” tanya Adam.

Aku menggeleng. ” Entahlah,” sahutku.

” Katakan padaku, siapakah dirimu ?”

Aku terperangah.

” Kenapa kamu terkejut ?”

” Sama seperti kamu, aku ini manusia juga,”sahutku.

” Itu aku sudah tahu.”

” Jadi kenapa kamu masih bertanya ?”

” Karena aku ingin tahu, apakah kamu sudah benar-benar mengenali dirimu, atau belum.”

Aku terdiam.

” Jika setiap orang yang ditanya dengan pertanyaan serupa, siapakah dirimu, kemudian dia menjawab, aku ini manusia, maka apa yang membedakan kamu dengan orang lain ?” tanya Adam lagi.

Aku makin terdiam. Kata-kata Adam kali ini agak sulit aku tangkap maknanya. Maka aku hanya memandang dia.

” Kamu harus mengenali dirimu dari tiga sisi,” ujar Adam lagi. ” Pertama, dari sisi jasad. Jasad manusia di mana pun serupa. Punya satu kepala, dua tangan, dua kaki, satu badan dan lain-lain. Jasadmu tidak ada bedanya dengan jasad para Nabi. Maka, Tuhan selalu mengingatkan para Nabi dengan firmanNya yang sangat jela, yaitu ”katakanlah, aku ini manusia biasa seperti kamu”(QS 18:110). Kata manusia biasa dalam ayat itu merupakan terjemah dari kata al-basyar dalam teks Bahasa Arab, yang arti asalnya adalah jasad. Dan setiap jasad berasal dari tempat yang sama, yaitu dari sesuatu yang rendah dan hina. Tuhan memberitahu aku, Allah menciptakan Adam dari tanah (QS 3:59). Lalu tentang anak-anak ketrurunanku, Tuhanku juga memberitahu : bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina ?(QS 77:20). Dan jika benar kamu rajin membaca Al Quran, maka akan kamu dapati ayat-ayat yang menyatakan hal serupa, bahwa jasad manusia di mana pun sama, dan berasal dari tempat yang rendah dan hina. Atau dalam bahasa Arab, disebut berasal dari alam mulki, alam kerendahan.”

Aku mengangguk.

” Anak bebal,” kata Adam lagi.” Siapa pun manusianya yang lebih mencintai jasad dan hal-hal yang bersifat jasad, maka orientasi hidupnya hanya akan berada di alam kerendahan. Sama seperti binatang.”

” Kamu bilang, hal-hal yang bersifat jasad. Apa itu maksudnya ?” tanyaku.

Adam tertawa kecil.

” Jasad itu berasal dari tanah, tanah itu juga disebut bumi, dan bumi itu pun disebut dunia. Maka jasad itu juga disebut sebagai kendaraan, kuda tunggangan, bahtera, pakaian dan segala sesuatu yang berguna sebagai alat. Bumi, dunia, tanah dan segala sesuatu yang ada di atas dunia ini adalah alat. Bukan tujuan, maka dia tidak layak dijadikan tujuan. Walaupun alat itu penting dan diperlukan, tetapi dia tetaplah alat, yang ada masa berlakunya sehingga suatu ketika akan rusak atau aus, tidak sesuai lagi dengan tuntutan jaman yang terus berubah sehingga harus diganti atau disesuaikan dengan keadaan. Maka, hal-hal yang bersifat jasad pun adalah sesuatu yang karena sifatnya adalah alat. Contohnya : kekayaan, jabatan, kekuasaan, ilmu, hukum, peraturan –atau ada orang yang lebih suka menggunakan istilah : syariat- dan lain-lain pun adalah hanya alat untuk mencapai tujuan. Bukan tujuan itu sendiri.”

” Jadi tidak layak dijadikan tujuan ya ?”

” Ya. Semua itu hanya alat, dan selamanya tetap alat atau perkakas.”

Mendengar penjelasan Adam, aku tersenyum-senyum sendiri.

” Kenapa kamu tersenyum ?”

Kupandang Adam dengan tersenyum.

Dia jadi penasaran.*****

diambil dari:http://www.kompasiana.com

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...