Wednesday, July 19, 2017

10. Raden Mas Akoe Sinten Nyono ; Balada Kehidupan-3

Dibalik keriuhan dunia luar itu, dimensi spiritual Raden Mas akoe semakin melarut
bersama dzikirnya, dzikir Cahaya dan dzikir Qolbi terus mengalun syahdu dalam hakikat rasa.
Keduanya tidak terhalang oleh aktifitas lahiriah, luarnya jalan,…dalamnya pun jalan.
Saat tertawa bareng Gilang beberapa saat lalu, ingatannya kepada Alloh terus melantun.
Ayat-ayat  suci al-Qur’anul Karim semakin banyak yang membuka, untuk sementara
Petunjuk-petunjuk ini disimpan bagi dirinya sendiri, sesuai amanat sang guru “Jangan merasa
berhak memberi tahu tanpa hak-Nya, kelak kamu akan tahu kapan saat menyampaikannya.
Sekarang diamlah dulu, semakin mampu menyimpan rahasia-Nya, semakin baik.
dan semakin banyak datang.”
Kala menerima amanat ini, Raden langsung paham, sebab mulut memang serasa
terkunci rapat, segan betul dia ngecap koar tentang ini, segan yang luar biasa segannya.
Namun yang maujud dari Yang Wujud itu belum berkenan menyapa, kalau sedang
dipandang oleh Raden, rasanya mereka nyamber-nyamber, tapi belum jelas maknanya.
Sekelebat-sekelebat saja begitu, namun Raden tidak jemu memandang, sebab memandangnya
dengan ‘cinta’, pakai hati, maka pandang tak jemu yang ada.
Seperti lagunya,..yang hitam manis itu….

Sore ini seusai tutup toko, Raden duduk sendirian dihalaman belakang tempat tinggalnya,
dekat pohon besar yang kata mertua sudah ada sejak zaman jepang.
Tampaknya sesaat itu dia sedang merenung sambil memandang api di pembakaran sampah,
sebagaimana memandang yang setengah tahun terakhir dia lakoni.
Bagian dari yang maujud itu terus dipandangi dengan syahdu,
seiring alunan dzikir Cahaya dan dzikir Qolbi.
Tek tek byar…! Raden Mas Akoe tersentak ‘melihat’ api bertasbih, kobar kecil api itu
melantunkan asma-Nya, bukan hanya liukan, warnanya yang kuning kebiruan itu juga.
Dan semua ternyata, semua bagian dalam satu geluntungan benda terbakar itu
menyebut asma-Nya, “Alloh,..Alloh,..Alloh..” nyata sekali terdengarnya.
Sangat jelas sekali gaungnya bagi Raden, ini semua dalam hakikat ‘rasa’ tentunya,
bukan suara harfiah atau keadaan lahiriah.
Tasbih ini berkumandang di balik yang ternyatakan, Yang Wujud di balik maujud,
itulah kuncinya.
“Alloh” Raden mendesah, lalu memejamkan mata, dzikir terus melantun
di kedalaman rasanya, syahdu nian, serasa semua disitu ikut berdzikr bersamanya,
lalu pelan-pelan dia membuka matanya, dan syukur pun kembali melantun kehadirat-Nya,
saat mendapati api yang sudah mulai mengecil masih pula bertasbih, nadanya saja
yang berubah sesuai keadaan lahiriah api itu.
Api yang mulai mengecil itu terus dipandanginya sampai habis, begitu habis, ganti asap
yang kini bertasbih, Allohu Akbar, demikianlah kebenarannya.

Setelah asap itu habis, sambil terus tersenyum dan tanpa bermaksud apa-apa,
Raden mengalihkan pandangannya ke seonggok batu yang dijadikan oleh isterinya
sebagai penghias taman kecil disitu, dan,..tersentak lagilah dia saat mendapati
bahwa batu itu pun bertasbih.
Lalu,..bunganya, rumputnya, pohonnya, kerikilnya, tanahnya, air kolamnya,
ayam pelung sang mertua yang nyelonong masuk pun sama.
Bagaimana ini ? lalu semakin mencengangkan karena ternyata gerak daun,
riak air kolam, liukan ikan berenang, kokok pelung, desiran angin, derum knalpot,
Allohu Akbar, Allohu Akbar ! Engkau segalanya !

Sayup-sayup menyusup suara adzan maghrib dari sebuah mesjid, Raden menghela napas,
mengusap air matanya dengan punggung tangan, lalu bergegas ke mesjid.
Dari awal tadi dia memang sudah bersiap untuk itu, sudah berbaju koko, sekalian
berkupluk haji, tinggal wudhu saja.
Di mesjid, suasana serupa dengan yang tadi kembali terulang nyata, lebih kental rasanya,
Semua yang dipandang disini dan semua nuansa yang terpampang, bertasbih kepada-Nya.
Usai sholat, Raden mencari Habib Atho diantara para sepuh, namun tidak ada.
lalu dia mendatangi Mang Ihin yang sedang leyeh-leyeh ngadem didekat kipas angin.
“Assalamu’alaykum” sapanya.
“Wa’alaykum salam” sahut Mang Ihin.
“Habib nggak kesini Mang ?”
“Nggak, katanya mau nunggu tamu, jadi jama’ah di mesjid sana.”
“Kenapa ? Mau kesana ?”
“Iya”
“Kalau gitu cepetan, nanti keburu datang tamunya, kayaknya tamu penting ini,
soalnya tumben Habib bilang mau nunggu segala.”
“Siapa sih Mang ?”
Mang Ihin menggeleng tidak tahu, “Sudah cepetan sana….”
Raden mengangguk, usai beruluk salam, dia pun bergegas kesana, jalan kaki,..
Sekalian menikmati bebunyian dan segala rupa ini, ramai terdengar tasbih di jalan.
Tiba dirumah Habib sudah masuk isya, adzan mengalun dari mesjid.
Usai beruluk salam, Habib yang terlihat memang sedang menunggu tamu itu
mengajak muridnya sholat isya, berdua saja mereka menuanikan kewajiban syariat
ini dirumah.
Usai itu, beliau langsung meminta Raden membeberkan apa yang dialami hari ini,
seperti sudah tahu duluan,….
Maka sang murid pun menceritakan kisahnya, edisi lengkap, mulai dari A s/d Z
Mulai dari api sampai sisa bakaran yang bermakna rasa melantunkan asma-Nya.
Habib tersenyum-senyum mendengar kisah ajaib ini, lalu beliau mengambil bungkus
rokoknya, “Coba, katakan apa yang kamu rasa disini” ujarnya.
Raden balas tersenyum sambil menerima bungkus rokok yang dijadikan bahan
praktikum itu, dipandang sekejap “Alloh” ujarnya tanpa ragu, memang iya bungkus
rokok itu bermakna rasa demikian baginya.
“he..he..he..” Habib tertawa pelan
“Pandang terus selaraskan…”
Raden pun melaksanakan perintah sang guru, hati dan dzikir menyelaras syahdu,
pandang dan terus pandang…., sampai kemudian dia mendapati kenyataan rasa
serupa yang tadi dirumahnya, bahwa yang setiap terpampang pada bungkus rokok
itu bertasbih, kotaknya, warna-warninya, tulisannya, bahkan pada setiap lekuk hurufnya,
semua menyeru asma-Nya, serentak bertasbih kepada-Nya, riuh terdengar
seolah dengung rombongan lebah sedang merubung sekuntum bunga.
“Gimana ?” Tanya habib.
Raden menatap sang guru, “Banyak tasbihnya, Bib “ dia mendesah, mata terkejap-kejap.
Habib tersenyum, “Berapa banyak ?”
“Semuanya, hm…maksud saya,…tidak ada batasnya….”
“Alhamdulillah,” habib berucap, “Apa yang kamu rasa ini, teramat sulit di nalar awam,
apalagi bagi mereka yang belum berjumpa khusyuk dalam hatinya, kecuali sekedar
akuan diri, simpanlah untukmu dan bagi siapa kelak yang membutuhkan, sebab ini
memang bukannya bagian awam, hanya untuk mereka yang berketetapan, tanpa itu
tidak akan paham, Alloh segalanya, Laa Tadrikuhul Abshoor, tidak
tercapai penglihatan mata, Wa Huwa Yudrikul Abshoor, namun Dia
melihat segalanya, Wa Huwa Lathiiful Khobiir, dan Dia Maha Halus
lagi Maha Mengetahui…
Raden manggut-manggut, rasanya dia pernah membaca ayat ini.
Habib mesem, “Kamu tahu ayat itu ?”
“Pernah terbaca Bib, kalau ga salah di surat Al-An’aam ya..?”
Sang guru mengangguk, “Ayat seratus tiga, coba apa maknanya ‘tidak tercapai oleh
penglihatan mata’ itu ?” beliau lanjut ngetes.
Raden Mas Akoe meringis.
“Jangan pakai sepasang mata bola, nggak bakalan tembus, biar melotot pol-polan
dua-duanya.”
“Oh ya, jadi gimana…?”
“Pakai mata hati.”
“Apa itu ?”
“Iman.”
“Yang bagaimana ?”
“Yang Hakiki, sudahnya yang iman-imanan digebukin habis.”
Habib tertawa pelan, Raden pun ikutan.
“Ada bahasa jawanya…,” Habib kembali berujar, setelah tertawa sejenak,
“Seperti di bilang kakekmu barusan….”
Raden Mas Akoe terkejut, “Mbah Kaspo…?”
Habib mengangguk, biasa-biasa aja.
“Kok barusan Bib ?” Raden menatap guru nya minta penjelasan.
“Iya kenapa ?”
“Mbah Kaspo kan sudah wafat ?”
“Ooo, he..he..he….iya lupa saya.”
Raden berkerut kening, apa lagi artinya ‘he..he..he’ ini ?
“Maksud Habib, mbah kaspo barusan hadir gitu ?” dia pun bertanya.
Habib menatap muridnya, lalu mengangguk pelan.
“Tapi,…sudahlah,..bagian ini jangan terlalu dipikirkan, kalau kelak sudah diberi hak,
kamu akan bisa, kalau pun tidak..ya tidak apa-apa..sebab ini bukan perkara pokok,
hak nya ada di Alloh, Laa Ya’lamu maa fis samaawaati wal ardhiyul ghoibii
illalloh, Di langit dan di bumi, yang tahu urusan ghoib hanyalah Alloh.
Raden Mas Akoe mengangguk angguk.
Hakikat adam asmaning Alloh, ya inilah yang tadi di katakan
kakekmu, bahwa dibalik segala adam ternyata asma-Nya.
“Emmm,..adam itu apa Bib ? Nabi Adam..?”
Habib tersenyum, “Istilah lain yang maujud, semua yang maujud ini
adalah para adam, he,,,he,,he..”
Raden mendelik sekejap, lalu meringis, kalau demikian Hakikat adam asmaning Alloh,
ini jelas lah bagi nya, tidak terbantahkan, gimana mau dibantah jika nyata semua
yang terlihat ini terasakan melantunkan asma-Nya ?
“Tapi,..masih ada yang ketinggalan kayaknya” gumam habib.
“Apa Bib,..?”
“Yang lebih dekat….”
Raden diam, menunggu penjelasan, tapi Habib malah tenang-tenang saja meneguk susunya.
Selain kopi, beliau memang suka mimic susu, maklum sudah sepuh, kan katanya
yang sepuh harusnya kembali ‘mem bayi’ he..he..he.
Namun hanya seteguk ternyata, selebihnya di gelas disodorkan ke Raden.
“Minumlah.” Ujarnya sambil mesem.
Raden Mas Akoe nyerengeh, “Buat saya Bib ?”
“Iya habiskan.”
He..he..Raden tertawa riang dalam hati, bukan soal susunya, di rumah juga tersedia
kalau susu, ini pemberian model begini, belum pernah terjadi di kalangan para murid Habib.
Maksudnya, yang secara langsung disodorkan oleh beliau, adanya para ‘kuncen’ berebut
apa yang tidak dihabiskan beliau.
Termasuk bid’ah itu…, tidak ada contohnya dari Habib, he..he…
Lalu sang murid pun meneguk jatahnya, Raden tidak sadar, kalau pada setiap tegukkan
yang dia lakukan, Habib mengerjapkan matanya, seperti ‘mengirimkan sesuatu’ ke dalam
diri sang murid lewat minumannya, terhitung lima kali tegukkan, berarti lima kali
‘pengiriman’ juga, apakah itu,…wallohu a’lam.
Yang pasti, usai tuntas, Raden langsung merasakan tubuhnya segar, semua tahu
kalau susu itu bergizi tinggi, tapi segar ini bukan karena itu, sebab setinggi-tingginya
gizi susu, tidak ada yang mampu menyegarkan seketika.
“Ini susu apa Bib ?”
“Susu bubuk biasa, kenapa ?”
“Enak buanget rasa nya ke badan…”
Habib tersenyum, tidak komentar.
“Coba sekarang kamu pandang semua ini, jangan di fokus kan pada satu,
sebar pandanganmu, lepaskan, bebaskan, lalu pelan-pelan pindahkan posisi rasa mu
pada mereka, rasakan bahwa mereka pun memandangi mu”. Ujar beliau.
Raden mikir terdiam, lalu bertanya, “Bagaimana caranya memindahkan
posisi rasa itu Bib ?”
“Caranya,…jangan dipikirkan, pindahkan saja.”
Raden terdiam lagi, justru ini pertanyaannya kan…?
Anakku,..tidak semua perkara bisa diajarkan dengan kata-kata, ini termasuk
yang tidak bisa di kata-katakan, perkataan memindahkan rasa, hanyalah isyarat saja.
Pindahkan rasa itu, bukan seperti kamu pindah-pindah duduk, ini hanya bisa kamu
pahami pada kenyataannya dan saat kenyataannya.
Tidak ada kata-kata, tidak ada bahasa, adanya segumpal rasa, sekarang
kerjakan, jangan berpikir, …kalau ternyata rasamu telah cukup, maka dia akan
berpindah sesuai maumu.”
Raden mengangguk, paham tidak paham, itulah.
“Gimana …siap ?”
“Siap….”
“Supaya lebih memudahkan, anggap saja saya tidak ada disini sekarang, ceritanya
kamu sedang berduaan saja, he..he..”
Raden memandang gurunya sejenak, lalu tersenyum, paham yang dimaksud beliau
dengan ‘berduaan saja’ tadi.
“Nah mulailah….”
Maka , satu saat, dua saat, tiga saat…Raden pun melebur dalam Cahaya, sesuai pengarahan
sang guru, dia memandang semua maujud yang ada dalam ruangan ini, bukan dipandang
bergantian, tapi disebar, semua yang tertangkap dalam satu saat pandangannya, masuk.
Saat pandangannya bergeser kearah lain pun demikian, semua yang tertangkap itu masuk,
Terus begitu, atas nama-Nya, riuh terdengar gemuruh tasbih para adamini.
Hingga pada suatu timing, tek, Raden meminta rasanya bergeser kesana, dan set
berpindahlah rasanya itu dengan serta merta, tanpa kata-kata, tanpa bahasa,
lalu, terkejutlah dia mendapati ‘dirinya memandang dirinya’, dengan ungkapan lain,
‘Raden melihat Raden’….
Plak….! Tepukan tangan Habib menyadarkan Raden yang sedang kesengsem
‘nonton Raden’ itu.
Dalam duduk silanya, sang murid terhuyung oleh hentakan kesadaran diri yang kembali
merasuk kedalam dirinya, “Astaghfirulloh, innahu kaana ghoffaaro”.
Habib hanya mesem-mesem saja, beliau memberi waktu kepada muridnya, yang barusan
‘pulang jalan-jalan’ itu, untuk menenangkan diri.
“Sudah tenang ?” Tanya Habib.
“Sudah Bib,”jawab Raden, rasanya masih seperti mimpi.
“Nah apa yang kamu rasakan tadi ?”
Raden memandang gurunya, “Saya memandang diri saya,…”
Habib mengangguk-angguk, “Innalloha mukhrijul hayya minal mayyiti
wa mukhrijul mayyiti minal hayyi, Alloh mengeluarkan yang hidup dari
yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.
Yang melihat dirimu tadi adalah yang hidup, sebab yang hiduplah yang mampu melihat,
mendengar, dan merasa.”
“Apakah yang hidup itu ?”
“Yang membuat yang mati bisa dikatakan hidup….”
Raden Mas Akoe merenung sekejap, “Ruh…?”
Habib mengangguk pelan.
“Ooo, jadi yang keluar tadi ruh saya ?”
Sang guru mengangguk lagi sambil tersenyum, “Tapi kata keluar ini jangan lantas
dimaknai macam ayam kampung keluar dari kandang terus keluyuran ya ?
Bahasa manusiawi memang terbatas kemampuannya untuk menerjemahkan
makna-makna spiritual.”
Raden Mas Akoe mengangguk-angguk.
“Yang sebenarnya, ruh mu tadi tidak kemana-mana, tetap di posisi nya, hanya dia
memperlihatkan ketinggian martabatnya atas martabat maujud, maka tampak seolah
keluar, kalau keluar beneran,…ya habis riwayatnya…”
“Ayo balik ke awal lagi, sudah hampir tembus jam sepuluh malam, cemburu nanti
isterimu.” Ujar Habib kemudian.
Raden yang sudah mereda pun terkekeh, ada-ada saja Habib ini, pakai acara isteri
cemburuan segala, nggak ada ah….
“Jadi dengan karunia-Nya atas rasamu tadi, tentu sekarang kamu sudah lebih paham
bahwa benar dalam dirimu ada bagian yang hidup dan ada bagian yang mati,
mudahnya ada ruh dan ada jasad, iya kan..?”
Raden mengangguk.
“Yakin nggak ini ?”
“Yakin Bib, Haqqul Yaqin.”
“Kok bisa ?”
“Kan sudah dikasih tahu rasanya tadi,” Raden nyengir.
Habib mesem, “Berbeda tidak dengan sebelumnya ?”
“Ooo jelas, sekarang nyata, yang lalu cuma katanya.”
“He..he..he…” Habib terkekeh,
Famustaqorru wa mustawda’u, bagimu ada bagian tetap dan bagian simpanan.
Bagian tetap adalah ruh, bagian simpanan adalah jasad, ruh tersimpan dalam jasad,
begitu kabarnya, kalau aslinya nggak begitulah…jauh langit dari bumi,
sejagat alam pun kekecilan, he..he..”
“Wuih, kayak gimana itu Bib ?” Raden antusias.
Habib menggeleng, “Kelak jika ada hak dari-Nya, kamu akan tahu.”
Raden menghela napas, lalu mengangguk-angguk.
“Nah sekarang,…dengan rasamu yang haqqul yaqin tadi, dengan ruh mu, dengan iman mu,
…pandanglah jasad mu.” Ujar Habib memberi perintah.
Raden terdiam, maksudnya ?
“Pandanglah….” Kembali Habib berujar.
Maka Raden Mas akoe pun memandang jasadnya sendiri, tersorot bagian tangan kanan,
lalu terperanjatlah dia mendapati kenyataan rasa bahwa tangannya bertasbih juga,
kulitnya, warnanya, bulu-bulunya, dan semua disitu terdengar ‘mendengungkan’
asma-Nya, nyata sekali dengungannya.
Dan semua ternnyata…….!
Semua bagian dari jasadnya, yang bisa dilihat langsung maupun yang tersembunyi
dibalik kulit, serentak bertasbih, riuh…tak terbatas tasbih yang menggema dalam dirinya,
maka sesaat lewat dengan kesadaran ini Raden pun bergetar, jasadnya bergetar keras,
terguncang-guncang, macam dilanda gempa….
Sigap Habib memegang pundak muridnya, gempa itupun mereda.
“Bacalah doamu” ujar beliau sambil memegang pundak muridnya.
Seraya terengah, Raden mengangguk, lalu melantunkan doa khusus itu.
Disebut khusus karena doa ini hanya terdengar di ‘kalangan Habaib’, itupun tidak
diwariskan kepada semua murid, hanya yang bertanda, yang mampu..ujar beliau kapan
waktu dulu, saat Raden menanyakannya. Walohu a’lam.
Tapi kabarnya pernah ada seorang murid yang terbanting pingsan, gara-gara melantun
bait pertama doa itu tanpa hak atau ijazah.
Usai doa, usai pula guncangan ini, Habib melepaskan pegangan tangannya dari pundak
sang murid, Raden menghela napas panjang, lalu tafakur, meresapi apa yang barusan
dia alami, sambil memandangi tasbih jasadnya.

BERSAMBUNG
diambil dari http://nasehatabah.blogspot.co.id

Ila Ruhi Mas Andi Bombang..Al-Fatiha....

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...