Wednesday, July 19, 2017

16. Raden Mas Akoe Sinten Nyono ; “Ngawulang Umat”~2.

Tidak lama setelah itu Raden Mas akoe mohon diri, sekali lagi Ajengan sanusi mengulang
pesannya tadi, sekalian membenarkan arah pulang Raden yang hendak menyusur rute
datangnya semula, “Jangan lewat sana, jembatannya sudah rapuh, lewat sini saja..lebih gampang
dan lebih dekat.” Ujarnya disambung member arahan yang dianggap perlu.
Dan benar, jauh lebih gampang lewat sini, sebentar saja sudah ketemu jalan raya, harusnya ya
lewat sini tadi, ngapain lewat sana ? Raden meringis sadar dirinya dikerjain Mang Ihin,
dan nyengir lagi saat jumpa pertigaan tempatnya tadi membelok membelah persawahan,
hingga harus melintasi ‘titian rambut dibelah tujuh’ untuk sampai ketempat Ajengan Sanusi.
Jarak dari situ ke titik temu jalan raya tadi tidak jauh.

Sesaat lewat, hujan merintik turun..dari tadi memang sudah mendung, tidak deras sih
gerimis sedang aja, hujan seperti ini biasanya merata dan lama, kagok tembus hujan-hujanan,
sadar kalau jas hujan ketinggalan, tadinya tidak menyangka bakal sampai ke Ajengan Sanusi.
Saat memasuki batas kota, Guuur…! Guruh bergemuruh syahdu, Raden tersenyum kuyup.
Wa Yusabbihuur Ro’du bi hamdihi, nyata terasa olehnya.
“Alloh,… Maha Jalal Engkau….” Desahnya sambil mengusap wajahnya yang terbasuh percikan
Malaikat Mikail itu, memang berkala harus diusap begitu, macam wiper kaca depan mobil,
namanya juga nunggang vespa hujan-hujanan, tadinya mau langsung singgah ke Habib,
tapi…karena sudah kuyup,..besok saja lah, kasihan Habib kalau diganggu istirahatnya….
Namun tidak perlu sampai besok ternyata,..malam ini juga menjelang tengah malam,..
Raden merasa dipanggil batin oleh gurunya, karena ini adalah kejadian pertama,
Maka perlu sampai tiga kali “SMS” itu berkumandang, bukan tidak percaya, tapi Habib
memang telah memberi tahu caranya mengecek ‘Khotir’, siapa tahu cuma bersitan hati,
namun setelah di cek, asli ternyata,..ini benar-benar panggilan batin dari sang guru.
Maka Raden pun segera bersiap diri…
“Mau kemana lagi mas ?” Tanya sang isteri.
“Dipanggil Habib….”
“Malam-malam gini..?”
“He-eh,..kenapa,..mau ikut..?”
Sang isteri memandang suaminya, “Beneran nih…?”
Raden mengangguk.
“Oh ya sudah, nggak apa-apa sih kalau ke Habib…”
“He..he..”
Jalan kaki saja ke rumah Habib, sejuk hawanya sekarang, hujan gerimis tadi sudah mereda,
di depan rumah Habib terlihat Mang Ihin sibuk menstater motor, ngadat tampaknya,
dipancal-pancal segan nyambar api busi ke bensinnya, maklum minim perawatan.
“Ngapain mang ? sapa Raden
Mang Ihin menoleh agak kaget, “Panjang umur kamu, mau dijemput kesana malah datang
sendiri kesini…”
Raden nyengir, “Mamang mau ke tempat saya ?”
Mang Ihin mengangguk, “Disuruh Habib nyulik kamu, perintahnya paksa..kalau tidak mau..he..he..”
Raden ikut terkekeh, “Habib sudah sembuh ?”
“Lumayan,..tadi habis isya sudah bisa ngobrol sama tamu sebentar.”
“Alhamdulillah, saya masuk ya..?”
“Mangga, sudah ditunggu diruang biasa,.ee..ee ..sebentar,..sebentar….,
tadi ketemu jembatannya nggak…..?”
“Banyak,..”
“Gimana tuh…?” Mang Ihin nyengir.
“Tunggu pembalasanku,” sahut Raden sambil melangkah masuk.
Sang kuncen tertawa senang.

Di dalam ruangan itu, Raden terkesima melihat penampilan Habib yang berjubah
dan bersurban putih, selama ini dia belum pernah melihat Habib berpenampilan demikian.
Paling banter semodel ‘Pak Haji’ yang berkupluk atau berpeci saja.
Duduk bersila ditempatnya, sang guru terlihat berwibawa sekali, tidak tampak kalau beliau
sedang sakit, agak disebelah sana..buhur telah mengharum dalam tungku baranya.
“Duduklah…” ujar beliau usai beruluk salam.
Raden pun duduk bersila dihadapan guru hakikatnya itu.
Sesaat hening, belum ada pembicaraan, Habib mesam mesem saja melihat muridnya,
bahagia sekali kelihatannya, hingga kemudian, “Apa pesan Ajengan Sanusi ?” Tanya beliau.
“Abah titip salam buat Habib, semoga lekas sembuh,” jawab Raden.
“Terima kasih, he..he..yang lain..?”
Yang lain… ? apa ya… ? Raden mengingat ingat, lalu dia memandang  gurunya.
“Ada yang lain kan…?”
“Eeem, katanya saya tos tiasa ngawulang, sekalian abah nitipkeun dunya…”
Habib menghela napas lalu mengangguk-angguk, hening sejenak..,sampai beliau bertanya,
“Kamu sudah periksa makna ayat Cahaya ?”
Raden agak terkejut, pantesan perasaan dari kemarin ada yang ‘manggil-manggil’ minta dilihat,
tapi apa ya..? ternyata ayat Cahaya, An Nur 35 itu….
“Sudah diperiksa ?”
“Belum Bib..”
“Nah kalau gitu sekarang saja,” beliau meraih buku tebal disebelahnya, lalu membuka halaman
yang sudah ditandai, “Bacalah….”
Raden menerima kitab itu, bukan Al Qur’an, sebuah kitab tafsir karangan seorang ulama ternama,
namun telah wafat, disitu beliau menafsirkan ayat Cahaya dalam sebuah uraian panjang
yang kelihatannya dibahas khusus karena halamannya beda sendiri, pinggir kertasnya diberi
corak hiasan macam ukiran, tintanya pun hijau bukan hitam sebagaimana lazimnya.
Lalu dia pun membacanya dalam hati, mulai dari terjemahan ayat tersebut :
Alloh Cahaya langit dan bumi, perumpamaan Cahaya Alloh adalah seperti sebuah
lubang yang tak tembus, yang didalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca
yang seakan-akan bintang seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon
yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak ditimur dan tidak pula dibarat,
minyaknya hamper-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.
Cahaya diatas Cahaya, Alloh membimbing kepada Cahaya-Nya siapa yang DIA kehendaki,
dan Alloh membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia,
dan Alloh Maha Mengetahui segala sesuatu.
Usai membaca ini, Raden tersenyum, sambil melintas tadi sekalian langsung maknanya
mengiring masuk, jelas sekali terpampang, demi kebenaran tidak ada dusta disini.

Namun dia ganti terkesiap saat menelaah uraian tafsir atas ayat Cahaya yang ada dikitab ini,
kok begitu ? dikatakan bahwa yang dimaksud “Alloh Cahaya langit dan bumi
adalah adanya matahari, beliau berpegang pada kalimat ayatnya, yang kalau diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia sesuai kaidah yang baik dan benar, maka mestinya (diharapkan)
berbunyi “Alloh (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi, ada sisipan kata ‘pemberi’
dan ‘kepada’ disitu, jadilah huruf ‘C’ nya Cahaya ditulis menjadi huruf kecil karena sekedar
dipandang cahaya matahari, waduh…padahal telah nyata bahwa Alloh lah Cahaya langit dan
bumi, apakah kurang jelas yang sedemikian terangnya ?
Bukankah didekat penghujung ayat ini tercantum kalimat Nuurun alaa Nuurin ?
Bagaimana mengenakan martabat “Cahaya diatas Cahaya” bagi sekedar cahaya matahari ?
Lalu Raden mendelik saat menelaah uraian selanjutnya, ‘Perumpamaan Cahaya Alloh
adalah seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang didalamnya ada pelita besar,
pelita itu didalam kaca yang seakan-akan bintang seperti mutiara….
tafsirannya itu adalah isyarat dari adanya  cahaya yang dihasilkan dari aliran listrik, yang kalau
dimasukkan kedalam ruang hampa, maka ia akan menghasilkan cahaya yang terlihat
bagaikan bintang gemerlap layaknya mutiara.
Wuih….
Tiba pada tafsir kalimat, ‘…yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya
 pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak juga di barat..
Raden Mas Akoe tambah mendelik, soalnya dikatakan bahwa itu menunjukkan adanya cahaya
yang dihasilkan dari minyak bumi, yang banyak terdapat ditanah yang banyak ditumbuhi
pohon zaitun, dari ujung timur sampai ujung barat, jadi tanah yang banyak pohon zaitunnya
adalah Negara-negara Timur Tengah, busyet….sama persis dengan akal-akalan si’penjahat’
dulu, zaman  sebelum  taslim.
Lanjut,…’yang minyaknya hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api
Kabarnya siloka ini menunjukkan adanya cahaya yang ditimbulkan dari gas bumi, yang tidak
memerlukan api untuk menyalakannya.
“Allohu Akbar..” Raden mendesah, “Api-Mu seperti korek api saja….”
Habib tersenyum, tapi belum berkomentar.
Raden Mas Akoe membalik halaman mencari terusannya, ternyata tidak ada..habis begitu aja.
Yang ‘Nuurun alaa Nuurin’ dan seterusnya tidak ditafsirkan, entah mengapa..
mungkin kalau ini ‘berhasil’ ditafsirkan,…bubar semua yang tadi.
Hening sejenak, Raden menutup kitab lalu memandangi ‘hard cover’ nya yang berhias indah itu
sambil menggeleng-geleng.
Habib lanjut tersenyum, “Jangan merasa tinggi, jangan pula merasa rendah, dihadapan makhluk,
manusia adalah yang paling mulia, sama martabat kesucian azalinya.” Beliau mendesah pelan.
Raden Mas Akoe memandang gurunya lalu mengangguk-angguk, terucap kepada Kiayi Haji
yang menulis kitab tafsir itu lewat hati.
Sesaat senyum Habib kembali mengembang, seakan tahu apa yang diucapkan hati muridnya
barusan, atau entahlah karena alasan apa.
“Apa yang disampaikan beliau dalam kitabnya, tetap punya nilai kebenaran, sebab segala
yang diniatkan untuk ‘Taqorub ilalloh’ adalah benar, hanya seberapa tinggi nilai kebenarannya
tergantung derajat kedekatannya kepada Sang Maha Benar, Alloh memandang hati, maka manusia
adalah Hum darojaatun ‘indalloh pada martabat manusiawinya,
bertingkat-tingkat….” Beliau lanjut berujar.
Raden Mas Akoe menghela napas
Hum darojaatun ‘indalloh, walloohu bashiirun bimaa ya’maluun,
Kedudukan mereka bertingkat-tingkat disisi Alloh, dan Alloh Maha Melihat apa
yang mereka kerjakan (QS. Ali Imron : 163)

Mohon  di simak baik-baik

“Baiklah, sekarang apa menurutmu ‘Lubang yang tak tembus’ itu ?”
Habib bertanya sekaligus menguji.
Sejati Hati, Qolbu..” jawab Raden tanpa ragu.
Habib tersenyum, “Apakah ‘Pelita besar’ itu ?”
Sejati Diri, Ruh…
“Apakah ‘Kaca yang seakan gemerlap bintang’…?”
Rasa Sejati Diri, Rasa Ruh..
“Apakah ‘Pohon zaitun yang tidak di timur dan tidak di barat’..?”
Iman Tauhid, Setunggalnya Tunggal…
“Apakah ‘Minyak yang terang walau tidak disentuh api…?”
Keagungan-Nya…” Raden tersenyum, melihat ini Habib Atho’ pun ikutan, sama-sama
tahu rasanya “Maha Minyak” tersebut.
“Apakah ‘Nuurun alaa Nuurin’….?”
Huwa,…Anta,…Ana….” Raden meringis manis, entah mengapa Habib Atho’ ikutan pula,
padahal terjemahannya ‘sekedar’ Dia,…Engkau,..Aku…
“Terakhir, apakah ‘Perumpamaan’ itu…?”
Senda gurau-NyaWamal hayaatud Dunyaa illaa la’ibuw wa lahwu,
Wa laddaarul aakhirotu khoyrul lil ladziina yattaquun, afalaa ta’qiluun.
Tiadalah kehidupan di dunia ini melainkan sekedar senda gurau belaka, sesungguhnya
kampung akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, tidakkah kamu berpikir ?
Surat Al-An’aam ayat tiga dua” Raden kembali tersenyum.
Habib juga.
“Alhamdulillah, maka benarlah apa yang dituduhkan Ajengan Sanusi kepadamu, pada hakikaynya
kamu sudah tiasa ngawulang sekalian nanggung Dunya, jika dikehendaki-Nya.”
Beliau menatap sang murid, lalu beranjak memeluknya.
Mereka pun saling berpelukan erat.
Sesaat kemudian…
“Sebelumnya, adakah yang hendak kamu tanyakan ?” ujar Habib usai mereka berpelukan.
Raden Mas Akoe mengangguk, “Apakah dengungan ini ?”
Habib tersenyum, “Tadi sudah kamu jawab, apakah kaca yang seakan gemerlap bintang ?”
“Rasa Sejati Diri ?”
“Iya Nurani, dibatas pengertian, nurani adalah rasa sejati diri, ketahuilah ada tiga tingkatan rasa,
yang  terluar adalah rasa jasadi, lalu rasa ruhani, masuk kedalam lagi jumpa rasa ruhani.
Panas  atau  dingin adalah contoh rasa jasadi, kalau rasa ruhani misalnya sedih atau gembira,
rasa nurani wujudnya seperti dengungan itu, bagaimanakah rasanya..?”
“Hmmm gimana ya..? berdengung saja begitu, hening dan agung….”
“He..he..rasa jasadi aja tidak bisa digambarkan, apalagi ini, namun benar katamu, dibatas kata
rasa nurani ya seperti itu, kalau kata para wali tanah jawa, apa yang kamu rasakan secara
nurani ini disebut Rasaning Alloh

Bersambung…. 
diambil dari http://nasehatabah.blogspot.co.id

Ila Ruhi Mas Andi Bombang..Al-Fatiha....

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...