Monday, July 30, 2018

SOR BAUJAN PART 9 REMOTE CONTROL

Oleh Halim Ambiya
Rasanya tak ada yang lebih menyakitkan daripada dikhianati oleh orang yang kita cintai. Luka akibat pengkhianatan bisa menggerogoti bangunan cinta siapa pun. Mati seketika atau hidup bertahan dengan nafas tersengal. Ia tergantung daya tahan seseorang menghadapinya. Siapa pun tak akan mudah menerima keadaan seperti ini.
“Tidurlah sayang…Tidurkan badanmu, tidurkan pikiranmu!” bisikku sambil memeluknya di pembaringan.
Aku mulai iba melihat Yasmin. Setiap malam merasakan kegelisahan luar biasa. Beberapa kali mencoba membantu menenangkan, namun rasa sakit hati itu sudah semakin dalam, hingga di ruang bawah sadarnya pun Yasmin masih merasakan lukanya.
Kuiringi pelukan itu dengan bacaan shalawat. Aku membimbingnya agar mau bershalawat dan berdzikir denganku. “Aku juga merasakan kesedihan yang sama, sayang. Tapi, aku tahu, lukamu lebih dalam,” bisikku di telinganya.
Kulihat Yasmin mulai bersenandung dengan bacaan Shalawat Nariyah yang kuajarkan kepadanya setahun lalu. Namun sorot matanya masih mengambang di awang-awang. Tubuhnya tampak lemah.
“Abang, mengapa Razi tega berbuat macam itu?” bisiknya menghentikan bacaan shalawatnya.
“Tak perlu kau tahu alasannya. Itu hanya membuatmu semakin sakit, sayang. Berusahalah untuk melupakan masalah ini. Nanti, saat kita bisa kuat menghadapinya, kita selesaikan bersama,” jawabku.
“Dia berkali-kali mengkhianati dan berkali-kali pula aku maafkan,” katanya lagi.
Aku menghentikan shalawatku. Aku ingin mendengarkan semua keluh kesahnya.
“Ternyata dia berkali-kali selingkuh. Pertama dengan wanita asal Serawak, dia kembali lagi kepadaku saat wanita itu pulang ke daerahnya. Yang kedua berselingkuh dengan teman kerjanya, Roslinda, saat bekerja di Ipoh. Aku benar-benar dipermalukan Razi. Semua orang di kantor itu mengetahui kebejatan Razi terhadapku. Lalu, dia pun ada main dengan Zazkia. Aku pikir, hanya itu,” tuturnya sambil isak tangis.
“Sabar sayang. Kuatkan hatimu,” kataku sambil terus kuelus-elus kepalanya. Aku membiarkannya mengungkapkan isi hatinya selama ini.
“Aku pikir hanya itu,” katanya sambil kembali menangis. “Ternyata, dia juga berselingkuh dengan Zahra. Bahkan punya anak. Lalu, mereka buat drama luar biasa. Drama hebat Abang, drama hebat. Mereka pelakon pintar. Anaknya justru diserahkan kepadaku orang yang memberinya cinta dan maaf. Manusia macam apa itu? Zahra pun sama dia berkhianat kepada suaminya dan kepadaku. Zahra bermain dengan Razi saat suaminya di London. Lalu, anak mereka sama kita Bang. Kita yang merawat dan membesarkannya. Kita memberinya cinta, meskipun dia dalam buangan orangtuanya,” tuturnya.
“Apa yang harus aku lakukan, Abang. Aku putuskan bercerai dengan Razi sebab aku ingin menghentikan penderitaan. Tapi, ternyata tidak. Razi justru memasang bom berbahaya di rumah tanggaku. Dia bahkan memegang remote control dari jauh. Kapan pun dan darimana pun dia bisa meledakkannya. Sean, Bang. Anak yang kita cintai itu bom waktu, Abang, ” lanjutnya lagi.
“Aku tahu sayang. Tapi, siapa yang bisa menghentikan ini terjadi. Yasmin atau aku tak sanggup mengubah itu semua. Apa aku harus marah besar, lalu menantang Razi berkelahi, atau menyuruh orang untuk membunuhnya? Kalau Razi mati, lalu apakah masalah ini selesai? Apakah rasa sakit dalam hatimu bisa hilang begitu saja. Tidak sayang. Sekarang adalah saatnya kita berusaha melupakan. Lalu, kalau jiwa kita sudah kuat untuk menghadapinya, kita cari penyelesaian masalahnya. Sekarang, biarkan ini berlalu, biarkan…” kataku meyakinkan Yasmin.
Yasmin semakin memelukku kencang. Isak tangisnya masih susah dihentikan. “Rasanya, aku ingin mati saja. Aku ingin mati, Abang. Aku tak kuat menanggung rasa malu dan penghinaan ini, Bang. Aku sudah membuatmu sakit hati Abang. Maafkan aku Abang..Maafkan aku. Aku telah mengecewakanmu,” ucapnya dengan tangisan yang kembali mengeras.
“Sayang, ini bukan salahmu sayang…Ini bukan salahmu. Dan, ingat, jangan pernah putus harapan, sayang. Kita punya Allah. Ini adalah jalan yang sudah Dia dipilih. Kita tinggal melaluinya, lalu berusaha menikmati pemandangannya. Tak usah kau risaukan lagi. Hentikan pikiran semacam itu,” bisikku lagi mengeratkan pelukanku.
Yasmin melepas pelukanku. “Tidak, Bang!!!” Yasmin meronta dan meloncat dari tempat tidur. Dia memandangku penuh arti. Seperti ungkapan perpisahan. Aku melambaikan tangan, “Kemarilah sayang, duduklah bersama Abang,” pintaku.
“Tidak Bang!!! Lebih baik aku mati,” teriak Yasmin. Dia tiba-tiba berlari cepat keluar dari kamar menuju balkon.
“Yasmin,” teriakku. Aku berlari mengejar sekuat tenaga, namun Yasmin lolos dari tanganku. Dia berhasil keluar kamar. Aku mengajarnya ke arah balkon. Yasmin menabrak kursi di balkon apartemenku dan tersungkur. Saat dia berusaha berdiri, aku berhasil menangkapnya.
“Yasmin, jangan pernah kau lakukan ini!” aku membentaknya. Kali ini, aku ingin membuatnya mendengar. Yasmin harus membedakan antara rasa sedih dan pemberontakan besar terhadap Allah. Yasmin cukup kaget dengan reaksiku. Kulihat dia mulai menatap wajahku dan menunggu apa yang akan kukatakan. Aku hanya ingin dia memerhatikan penjelasanku. “Terdetik dalam hati ingin bunuh diri pun tidak boleh, apalagi sampai kau katakan! Apalagi sampai berusaha mencobanya, Ingat Yasmin! Siapa dirimu? Kau tak punya hak sedikit pun atas dirimu! Kamu bukan milikmu!” kataku sambil menuding telunjuk ke arah mukanya.
“Istighfar Yasmin, istighfar!!!” kataku agak pelan.
“Ingat…Cintaku kepadamu lebih besar daripada pengkhianatan yang pernah dilakukan oleh mantan suamimu. Kejahatan dia hanya mampu menggoyangkan daun-daunnya saja. Sama sekali tak menggoyangkan dahan dan rantingnya apalagi menggeser batang dan akarnya. Begitu juga rahmat Allah, sama sekali tak sebanding dengan nasib buruk yang menimpa kita hari ini. Kejahatan Razi hanya riak kecil di tengah samudera kasih sayang Allah. Maka, jangan pernah menganggap kematian yang kau minta adalah harga bagi seluruh kasih sayang yang pernah diberikan Allah kepada kita,” kataku.
Yasmin terdiam. Kulihat kesadarannya mulai memancar dari matanya. Ia tak lagi tampak bengong. Aku mulai melihat ada Yasmin yang kucintai, yang sebelumnya mendadak hilang pesona itu di wajahnya. Yasmin menunggu ucapanku. Nafasnya mulai teratur.
“Aku tak pernah rela, jika kau menginginkan kematian untuk mengakhiri penderitaan. Meski itu baru keluar dari mulutmu! Ingat kematian bukanlah akhir! Ia justru gerbang menuju negeri keabadian. Merindukan kematian karena kerinduan ingin berjumpa dengan Allah adalah benar, karena hakikatnya adalah merindukan perjumpaan kepada Allah. Kerinduan semacam itu memang harus dimiliki oleh setiap hamba. Tapi, mengingat kematian itu untuk memperbaiki hidup, bukan memutuskan kehidupan. Mengingat kematian berarti menyiapkan kehidupan sekarang dan untuk kehidupan setelah kematian nanti. Bukan untuk bunuh diri!” kataku.
Yasmin lunglai dalam pelukanku. “Mereka yang menginginkan kematian saat mendapat cobaan hidup adalah mereka yang telah keluar dari jalan Ilahi. Ingkar terhadap Tuhannya. Tak punya iman. Orang yang tak punya iman tak memiliki harapan kepada Allah. Padahal, Allah adalah sumber dari segala sumber harapan,” jelasku.
“Istighfar, sayang. Istighfar,” bisikku. Yasmin pun mengikuti ucapanku. Kini dia mulai beristigfar secara perlahan. “Mohonlah ampunan agar jiwamu dibimbing oleh Allah,” kataku lagi.
“Kalbumu itu Baitullah, Rumah Allah!” kataku sambil menunjuk ke arah dada sebelah kiri, persis dua jari di bawah putingnya. “Hatimu itu adalah Rumah Allah. Ia adalah pusat pandangan Allah. Dan, tubuhmu adalah bangunan Ka’bahnya. Merusaknya berarti merusak Rumah Allah. Mengotori hatimu berarti mengotori Ka’bah dalam dirimu. Dan, jika engkau membunuh dirimu berarti engkau menghancurkan Rumah Allah!” kataku tegas menghujam telak ke jiwanya.
“Astaghfirullahal-azhim. Astaghfirullahal-azhim,” bisik Yasmin.
Aku mengangkat tubuhnya dan membawanya kembali ke kamar. Kubaringkan tubuh indahnya di atas tempat tidur. “Sayang, teruskan istighfarmu. Rasakan getar jiwa dan ragamu saat ini sebagai media keseriusanmu untuk memohon kepada Allah. Memohon ampunan, memohon perlindungan dan kekuatan jiwa untuk menghadapi semua ujian-ujian-Nya, “bisikku lagi.
“Kecuali jika kau anggap bahwa cintaku tak ada artinya. Jika kau anggap hubungan kita adalah sandiwara serupa. Maka, lakukanlah semaumu!” kataku.
“Tidak Abang!!! Maafkan aku…Maafkan aku,” kata Yasmin.
“Aku hanya ingin menyadarkanmu bahwa kita bisa menghadapi masalah ini dengan menguatkan hubungan cinta kita, sayang. Kita bisa melewatinya bersama-sama,” jelasku.
“Iya, sayang. Terima kasih kau telah menyadarkanku.”
Yasmin terus kubimbing dengan keindahan dzikir dan shalawat Nabi.
***
Malam kesedihan itu tiba-tiba menjadi malam sejuta kebahagiaan. Kami melaluinya dengan gemuruh liar yang bersumber dari Negeri Kenikmatan, yang membuncah tiba-tiba, lalu mengambang di awan. Kami terbang dan mencipta sayap masing-masing. Kadang tersengal-sengal, lalu meluncur deras mencari dahan dan ranting untuk sekadar singgah sebentar. Kemudian, saat bebuahan dan madu alami bisa kunikmati sekejap saja, kami pun kembali terbang ke angkasa untuk meraih kenikmatan lagi dan lagi.
“I love you, Erik. I love you like crazy,” bisiknya.
Yasmin mengecup mesra dan merontokkan semua duka malam itu. Kemesraan dan keintiman malam ini adalah terapi ruhani sekaligus media penghambaan kepada Sang Maha Cinta. Kami merasakan-Nya begitu dekat. Dia ada untuk kita. Dia bersama kita. Persembahan cinta malam ini untuk keabadian cinta yang kadang terlewatkan oleh deru ujian dari Sang Cinta.
Kami seolah merasa ada dan tiada. Di langit kebahagiaan, terbang mengawang. Dua tubuh dalam satu getaran yang sama. Dua jiwa dalam satu bahasa kenikmatan rasa yang sama. Aku, dia dan Dia, terasa menyatu dalam samudera kenikmatan tak bertepi. Aku sukar membahasakannya.
Ini adalah segitiga cinta yang dahsyat. Antara aku, Yasmin dan Dia. Hakikatnya cinta kami adalah cinta-Nya. Tak akan ada cintaku dan cinta Yasmin tanpa anugerah kesejatian cinta-Nya. Kami hanya hidup karena wujud cinta-Nya. Istri shalehah adalah ladang amal dan penghambaan. Melalui hubungan cinta, kami berasyik-masyuk merasakan getar-getar Ilahi yang begitu dekat dan nyata. Getarannya bisa dirasakan dari dalam jiwa, dari sekujur tubuh dan tetes keringat. Lahir dan batin terasa nikmat. Terlepas melangit. “Allahu..Allah.”
Kami mengawalinya dengan doa dan munajat cinta. Merasakannya dengan cinta. Mengakhirinya dengan cinta. Ini adalah wujud ibadah cinta kami kepada Sang Maha Cinta; sebuah rasa syukur atas nikmat cinta.
”Terima kasih, sayang. Terima kasih… I love you,” katanya.
“You are always welcome. I love you too, Sweetheart. Muahhh,” jawabku sambil melepas lelah.
---BERSAMBUNG PART 10---

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1666788330037761
https://www.facebook.com/halim.ambiya 

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...