Tuesday, July 31, 2018

SORBAUJAN PART 22 KEBEBASAN RASA

Oleh Halim Ambiya

Suara sirine mobil polisi terus memecah telinga. Membuat kebisingan di sepanjang jalan. Terasa seperti teror dan caci maki tak henti-henti. Bagiku ini seperti iring-iringan mobil jenazah. Aku seperti mayat terduduk kaku. Gerah, pengap dan menyesakkan dada. Dua orang polisi itu mengapitku rapat-rapat. Dengan keangkuhan baju seragam dan kuasanya, mereka bisa berbuat apa pun atas nama hukum. Aku seperti buronan paling dicari, layaknya kriminal paling berbahaya.

“Astaghfirullah… Aku bukan teroris. Aku tak bisa membayangkan jika Yasmin melihatku seperti ini,” bisikku dalam hati. Kuajak pikiranku melayang mengingat Yasmin dan mencari cara agar aku bisa segera bebas. Sekadar untuk mengingatkan kepada diriku sendiri bahwa aku belum mati. Aku masih bernafas, meski sangat pengap dengan tutup kepala hitam memuakkan ini. Aku bagai penjahat dungu. Ditendang dan dipukul agar tunduk. Diborgol dan diseret ke mobil dengan kepala tertutup. “Ya Allah… Apa yang sedang Kau-tunjukkan kepada hamba-Mu ini? Apa yang membuatku pantas menerimanya?” bisikku lagi.

Aku terbatuk-batuk. Susah bernafas. Asap rokok polisi di depanku seperti tersedot ke hidungku. Sarung wajah hitam ini makin menyiksaku. Tanganku terborgol ke belakang hingga sukar untuk mengusap hidung dan mulutku. Aku terus terbatuk-batuk dan benar-benar tersiksa.

“Buka saja lah!” perintah polisi di depanku tiba-tiba. Lalu, sejurus kemudian, polisi di sebelah kananku membuka penutup kepalaku dengan cepat.

“Alhamdulillah. Terima kasih,” kataku kepada mereka.

Kulihat nama di baju polisi yang merokok itu: Abdurrazaq. Ya…Abdurrazaq Asap namanya. Rokok ini justru menyelamatkanku dari penutup wajah memuakkan ini. Sejujurnya kuakui, sebenarnya aku lebih membenci penutup wajah ini daripada asap rokok polisi itu. Penutup muka ini membuat diriku tak ada harganya sama sekali. Aku seperti bukan manusia. Aku hanya seperti seonggok daging tak berguna. Dianggap hina. Tak bermartabat. Tak bernama. Tak berwajah.

Aku memberi senyum kepada polisi-polisi itu. Meskipun dibalas dengan senyum kecut penuh kesombongan. Hatiku cukup lega terbebas dari cadar teroris memuakkan ini. Untungnya, polisi juga manusia biasa. Mereka masih punya rasa kemanusiaan. Tak tahan melihatku terbatuk-batuk. Sepanjang perjalanan, mereka asyik mengobrol sesamanya. Sedangkan aku, hanya seorang tahanan. Adanya dianggap tiada.

“Tuan-tuan ini salah tangkap. Namaku Thariq Abdul Matin,” kataku membuka obrolan.

“Diam kau Kahar!” bentaknya. “Kau pasti punya banyak nama!” bentaknya lagi.

“Saya bukan Kahar Baharsyah. Bukan suami Maryam yang Tuan cari. Coba lihat kad (kartu) di wallet (dompet) saya. Istriku juga orang Malaysia,” kataku pelan.

“Diam!”

“Tuan salah tangkap.”

“Diam atau aku tutup lagi wajahmu!” bentak polisi bernama Abdurrazaq.

Tak ada gunanya berdebat dengan polisi dengan pangkat rendahan. Aku cukup mengikuti prosedur dan menghormati tugas mereka. Itu saja. Tak perlu menuntut hak di depan mereka. Lalu, polisi perokok itu menghirup rokok dengan bergaya. Tepatnya dengan gaya paling songong yang pernah dilakukan polisi di Asia Tenggara ini. Aku jamin, dia adalah orang paling sombong dan songong yang pernah kukenal. Dia membuat bulatan asap, melingkar ke arah mukaku. “Awak cakap saja nanti di pejabat!” bentaknya lagi.

“Baik,” jawabku sopan. Aku bersopan santun bukan karena takut. Tapi, kuhargai mereka yang sedang menjalankan tugas dengan ketidaktahuannya. Kuhadiahkan mereka sopan santun yang paling luhur. Kesantunan yang pernah dilakukan oleh seorang yang terzalimi.

“Astaghfirullah…Dia melakukannya lagi,” bisikku sambil memalingkan mukaku dari asap itu. Kuanggap itu sebagai hiburan. Kujawab dengan senyuman seorang yang paling berbudi, meski tanganku terborgol. Berulang-ulang, hingga hisapan terakhir rokoknya, polisi itu masih berusaha menyemprotku dengan asap. Sedangkan, polisi lainnya hanya tertawa-tawa menyaksikan kejadian itu.

“Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini. Ampunilah polisi bernama Abdurrazaq ini. Ampuni dia, ya Allah. Dia tak tahu apa-apa. Dia hanya petugas rendahan yang tak punya kewenangan apa pun dalam kasusku ini. Mungkin karena itulah Kau-beri dia nama ‘Abdurrazaq.’ Kini dia sedang memberi rezeki asap dari-Mu,” bisikku dalam hati.

“Pakai lagi! Kita sudah sampai,” perintah Abdurrazaq kepada polisi di sampingku.

Aku sempat melirik ke arah jalanan dan bangunan gedung yang sedang dituju sebelum polisi itu kembali menutup mukaku lagi. Aku seperti binatang yang akan disembelih. “Hmmm. Ternyata, iring-iringan mobil jenazah ini menuju kesini? Aku mengenal tempat ini: Penjara Sungai Buloh,” bisikku dalam hati. Penjara ini pernah dihuni oleh Anwar Ibrahim (mantan wakil Perdana Menteri), Raja Petra Kamaruddin (editor Malaysia Today) dan juga Dr. Abdul Razak Baginda, dosen UM yang kukenal, terkait rekayasa kasus pembunuhan Altantuya. Aku harap akan ada proses penyelidikan lebih mendalam dan adil untukku. Tak mau bernasib sama seperti mereka. Aku tahu, mereka yang membawaku kemari bukan I.S.A. Mereka adalah polisi anti teroris. Aku berhak mendapatkan persidangan kalau salah tangkap ini berbuntut panjang.

Pandanganku gelap, karena kain penutup brengsek ini. Kalau aku memang penjahat, pasti lebih nyaman dengan kain penutup model ini. Bisa menyembunyikan wajah dan identitas asli. Tapi aku? Aku ingin identitasku yang sebenarnya diketahui orang lain agar mereka bisa menolongku. Aku bukan teroris yang mereka cari.

Aku digiring keluar dari mobil layaknya penjahat. Kudengar kerumunan orang di sekitar gedung. Aku harap itu adalah wartawan televisi yang bisa mengabarkan keberadaanku kepada Yasmin secepat mungkin. Penangkapan teroris pasti akan menjadi berita heboh. Tapi, harapanku sia-sia. Aku mendengar larangan seseorang memotret diriku. “Tidak. Jangan sekarang!” teriaknya. Aku mendengar perintah agar wartawan-wartawan itu menunggu dan berkumpul di ruangan khusus. Sedangkan aku digiring ke ruangan berbeda.

Kepalaku masih terus tertutup rapat. Tanpa lubang. Aku mengais nafas. Semakin gelap. Aku digiring ke dalam ruangan asing dengan tersengal-sengal. Terus berjalan tanpa bisa melihat. Terasa lebih dari 300 meter sejak aku diturunkan dari mobil, aku tak bisa melihat apa pun. Tak kujumpai suara-suara gaduh. Yang kudengar hanya suara berisik sepatuku dan sepatu dua polisi yang menggandengku. Lalu, kudengar suara langkah kaki mereka terhenti. Langkahku pun tertahan. Polisi di sampingku membuka tutup kepalaku perlahan. Aku diserahkan kepada penjaga yang bertugas di depan sel. “Astaghfirullah. Aku benar-benar ditahan,” bisikku dalam hati.

“Masuk!” perintahnya sambil mendorong tubuhku ke dalam sel.

Mereka tak mengharapkan jawaban apa pun dariku. Aku seperti kambing dungu. Penjaga dan dua orang polisi yang menggiringku meninggalkan aku setelah mengunci sel. Di ruangan ini aku dibiarkan sendiri. Kosong tak ada teman. Belum ada kunjungan siapa pun. Aku sama sekali belum diinterogasi polisi. Ruangan ini terisolasi dari penghuni yang lain. Mungkin aku dianggap paling berbahaya dari yang lain.

***
Huhh… Ruangan ini tak akan bisa memenjarakan diriku. Ini tempat yang aman untuk berkhalwat. Lebih nyaman daripada kamar di pondokku dulu. “Alhamdulillah,” kuucap berulang-ulang. Mereka tak menjebloskanku di sel busuk seperti gambaran penjara di Alcatraz. Ini tak seperti Penjara Cipinang yang kukunjungi; pengap, pesing, dan kotor. Tapi, lebih mirip tahanan sementara di Bareskrim, Jakarta. Selnya cukup nyaman. Aku terus berusaha mencari sisi positif pikiranku. Kulihat ranjangnya bersih, tentunya untuk ukuran ranjang di penjara. Terdapat kipas angin di pojok ruangan. Satu sarung, satu handuk, dan satu sajadah terlipat rapi. Ahhh. Mungkin ini hanya sel sementara, untuk tahanan baru yang masih dalam proses penyelidikan atau persidangan. Aku tak begitu paham dengan sistem penjara di Malaysia.

Aku maafkan dua kecoa berjalan mondar-mandir di selku. Aku tak mau mengusir atau menangkapnya. Biarlah itu hanya sekadar binatang, penghuni paling berhak di tempat ini. Lalu, seekor cicak melotot di dinding. Mungkin merasa aneh melihatku. Pada bagian pojok, terasa agak lembab. Mungkin kamar sebelah adalah WC. Aku tak mau berteriak-teriak memanggil penjaga untuk sekadar minta izin berwudhu. Lebih baik segera kuputuskan tayamum untuk shalat ashar. Sebelum terlambat. Aku bisa minta dispensasi kepada Allah atas kondisiku saat ini.

Pokoknya, aku harus shalat sekarang. Aku beri nama shalat sunnah sebelum ashar ini sebagai shalat tahiyitussijn (shalat untuk menghormati penjara). Meskipun tak pernah dijumpai shalat tahiyitussijn dalam buku fikih manapun, aku beranikan diri untuk menamainya secara pribadi. Ini bukan untuk konsumsi umum. Bukan untuk membuat syariat baru. Aku merasa berhak untuk membuatnya lebih khusus untuk diriku sendiri. Meskipun kuniatkan sebagai shalat sunah qabliyah, namun di hati yang paling dalam, aku memang seperti sedang menghormati tempat khalwat para penghuni sel yang pernah melakukan shalat di sini.

Bukankah telah jelas diriwayatkan kullu ardhin masjidun (setiap hamparan tanah adalah masjid/tempat sujud) maka sel ini adalah masjidku saat ini. Masjid adalah tempat sujud. Fakta juga menunjukkan bahwa penjara adalah tempat bagi para pendosa. Ia juga menjadi tempat khalwat paling mengagumkan yang pernah ada. Di tempat seperti inilah dzikir, doa dan munajat seorang narapidana atau tahanan dilakukan dengan khusus. Banyak ulama besar melalui nasibnya di tempat seperti ini. Penjara menjadi tempat paling rahasia, paling pribadi, dan paling mengasyikkan bagi kebebasan ruh mengenal Allah. Dengan getar-getar kerinduan pada ampunan Allah, kepasrahan jiwa yang total dan tingginya harapan kepada Allah, aku akan dirikan shalat saat ini. Kujadikan sel ini sebagai masjidku.

Jeklek..Seorang petugas memasuki lorong yang menghubungkan dengan selku. Kuhentikan takbirku. “Aku ada kesempatan untuk meminta izin untuk berwudhu,” bisikku dalam hati. Aku tak jadi melakukan shalat sunnah qabliyah Ashar yang kuberi nama shalat tahiyitussijn ini sebelum wudhu.

“Encik, boleh tak saya nak ambi air wudhu,” teriakku kepada petugas.

“Boleh. Sekejap,” jawabnya datar.

Alhamdulillah. Aku diberi kesempatan berwudhu. Ternyata Tuhan tak rela melihatku shalat tanpa kesucian lahir. Petugas itu membuka selku dan menunjukkan kamar mandi yang berada di ujung lorong. Aku bersyukur untuk pesan Tuhan yang satu ini. Akan kuingat baik-baik petugas berbudi ini. Akan kudoakan secara khusus untuknya.

Ashar, Maghrib dan Isya-ku menjadi pengalaman luar biasa. Setiap saat selalu menunggu waktu shalat berikutnya. Tak ubahnya seperti diri kita hidup di dunia ini. Dunia adalah penjara bagi seorang Mukmin. Lalu, melalui shalat dan dzikir seorang Mukmin akan merasa bebas, menggapai kedamaian batin yang begitu luas, tak terbatas. Begitu dalam, melebihi kedalaman tujuh samudera. Jiwaku merasa begitu bebas justru saat aku sendiri, di tempat ini, di sudut paling rahasia, antara aku dan Dia.

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Lî ma’llahi waqtun lâ yasau’ fîhi malakun muqarrabun walâ nabiyyun mursal” (Aku punya waktu khusus bersama Allah; dimana malaikat terdekat dan nabi yang diutus pun tidak akan memilki kesempatan ini.” (HR Ibnu Rahawaih). Sekarang adalah waktu khususku bersama Allah. Waktu rahasia antara aku dan Dia. Sangat personal dan begitu pribadi. Tak ada anak atau istri. Tak ada polisi dan penjaga. Tak ada satu orang pun yang menyaksikan rahasia batinku saat ini. Hanya antara aku dan Dia. Kujadikan penjara ini sebagai washilah perjamuan suci yang sangat rahasia.

Aku jadikan sel ini sebagai masjidku saat ini. Kuramba malam dengan gemuruh dzikir. Kadang dzikir jahr (keras), kadang sirr (rahasia). Suluk yang pernah diajarkan Kyai Bahruddin kulakukan di tempat ini. Hanya itu yang bisa kulakukan. Kuajak cicak, nyamuk dan kecoak-kecoak itu bertasbih bersamaku. Kadang, aku menggunakan ilmu cicak untuk berburu menangkap nyamuk. Malam menjelang pagi, aku diam, hening tak bergerak, lalu “Happ!” kutangkap getaran dzikir membuncah di dada. Menangkap tanda yang sukar dijelaskan. Kilauan cahaya memesona jiwa. Seolah memberi jawaban atas tafakurku pagi itu.

Sungguh, sebenarnya mereka tak memenjarakan aku. Mereka justru membebaskan jiwaku di sini. Di tempat ini. Sendiri. Aku hanya bersama-Nya, merasakan kebebasan rasa; Rasaning rasa. Di sudut pagi menjelang subuh, aku tiba-tiba mengingat Hadis Qudsi yang pernah kupelajari dari Kyai Bahruddin di pondok dahulu. Hadis ini pernah diriwayatkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mawâizh fi Al-Ahâdis Al-Qudsiyyah: “Aku bersaksi kepada diri-Ku sendiri bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Aku. Tiada sekutu bagi-Ku dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Ku. Siapa yang tak ridha terhadap qadha-Ku, tak sabar atas ujian-Ku, tak mensyukuri nikmat-Ku, dan tak puas dengan pemberian-Ku, maka carilah tuhan lain selain Aku.”

Aku bersaksi, ya Allah. Mustahil ada tuhan lain selain-Mu. Hadis ini benar-benar menamparku. Mengingatkan aku pada kesadaran batin yang paling dalam. Tak mungkin aku menyekutukan-Mu. Aku ridha terhadap semua ketetapan-Mu. Aku ikhlas menjalaninya. Berusaha sabar menghadapi semua ujian-Mu. Bersyukur atas semua pemberian-pemberian-Mu,” bisikku dalam hati. Pesan subuh ini terus kutanamkan dalam batin. Hingga saat Ashar berikutnya menjelang, aku masih terjaga dengan kalimat ini.

Aku sama sekali belum diperiksa. Tak ada petugas yang datang. Tak ada panggilan sama sekali. Aku hanya mengikuti rutinitas yang ada di lorong ini, sesuai instruksi penjaga. Yasmin pasti belum tahu apa yang sedang terjadi. Aku juga tak tahu nasib Maryam sekarang. Apakah dia juga ditahan di Penjara Sungai Buloh atau di Penjara Wanita Kajang? Aku hanya menunggu waktu. Menanti keajaiban anugerah Allah yang lain. Hingga di malam berikutnya, polisi yang menangkapku sama sekali belum mengenal namaku: Thariq Abdul Matin.

Malam semakin hening
Senyap merambah
Sepi dalam damai
Detak jarum jam terus berputar
Mencipta tanda nasib
Sungguh, mahakarya luar biasa!

Aku tak memilih warna
Hanya berharap indahnya
Sejatinya bukan gambarku
Meski kadang tampak gelap
Namun cahaya-Mu tetap Ada

--BERSAMBUNG--

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...