Tuesday, July 31, 2018

SORBAUJAN PART 16 BANJAR

Oleh Halim Ambiya

Aku melihat ketulusan di wajah Datuk Rustam. Kejujuran hatinya tampak jelas di mata dan sikapnya beberapa hari ini. Bersahaja dan tak dibuat-buat. Kini dia layaknya seorang gentleman, seperti yang pernah kukenal dari buku induk kebijaksanaan. Aku seolah memiliki dua orang ayah di Malaysia, Abah Samad dan Datuk Rustam. Setiap jam besuk, Datuk Rustam selalu menyempatkan diri menjengukku. Dia mencium tanganku dan kucium kembali tangannya. Perhatiannya terhadapku semakin besar, begitu juga rasa hormat dan keramahan sikapnya. Aku merasa damai mendapat anugerah cinta dari cara yang tak pernah kuduga sebelumnya.
“Thariq, anakku,” panggil Datuk Rustam.
“Saya, Datuk.”
“Sekali lagi saya minta maaf zahir dan batin,” ucapnya lagi dengan airmata yang telah mengering.
Wajahnya tertunduk layu. Aku benar-benar melihat penyesalan di wajahnya.
“Sama-sama, Datuk. Saya pun mohon maaf,” jawabku sambil menjabat tangannya erat.
Kami berbepelukkan. Suasana menjadi hening. Aku merasakan getar kasih sayang dari seseorang yang ingin menjalin persahabatan. Ungkapan tulus dari salah seorang tokoh Melayu yang dihormati. Dia memang seorang gentleman, mengakui kesalahan dan mengulurkan persahabatan. “Being a gentleman is all about how to carry yourself with respect and attitude” (Menjadi seorang gentleman adalah tentang bagaimana membawa dirimu sendiri dengan rasa hormat dan sikap yang baik). Datuk Rustam menanggalkan semua atributnya sebagai “datuk” di hadapanku. Dia melepas baju gelarnya dan berhadapan dengan aku layaknya seorang sahabat.
Datuk Rustam memang pribadi yang mengasyikkan. Tutur katanya lembut dan ramah. Meski wajahnya tampak menyeramkan, tapi budi bahasanya luar biasa. Ini tak seperti cerita Yasmin dan Abah Samad tentang beliau. Aku tak mau berspekulasi, yang penting, apa yang kurasakan saat ini, Datuk Rustam begitu bijak dan benar-benar mengasyikkan untuk diajak diskusi di masa-masa istirahatku di rumah sakit. Aku bahkan selalu terpancing untuk berdiskusi panjang lebar dengan beliau.
“Bagaimana keadaanmu?”
“Datuk, tak perlu khawatir. Aku sudah sembuh. Besok atau lusa aku sudah boleh pulang.”
“Alhamdulillah. Awak sudah sembuh. Tanganmu masih sakit kah?”
“Sudah tak sakit lagi, Datuk. Aku sudah sembuh.”
“Alhamdulillah. Saya sudah tak sabar nak bercerita dan berdiskusi tentang banyak hal dengan awak.”
“Saya pun sama, Datuk.”
“Saya mempunyai seorang guru yang berasal dari Sulawesi. Namanya Cikgu Abdurrahman. Beliau guru agama saya. Kalau bukan karena beliau, mungkin saya tak ada disini. Beliaulah yang menyadarkan saya. Saya pun sudah bercerita mengenai awak dan tulisan bahasa Sulawesi itu.”
“Bercerita tentang saya? Maksudnya, apa beliau mengenal saya, Datuk.”
“Tak mengenal secara fisik. Awak pun belum pernah jumpa. ”
Ternyata selama ini, Cikgu Abdurrahmanlah yang mengajarkan Datuk Rustam dan Razi tentang pelajaran Islam. Dia berperan sebagai guru spiritual bagi keluarga mereka. Menurut penuturan Datuk, Cikgu Abdurrahman banyak mengajarkan tentang ilmu batin, mengajarkan tentang makna dzikir, shalat khusuk dan kadang mengajarkan tentang suluk.
“Beliau bukan bomoh (dukun). Hanya guru agama. Tapi, beliau itu pandai menjelaskan makna-makna batin. Saya sangat menghormati beliau. Di usia saya yang sudah tua ini, saya banyak belajar dari Cikgu Abdurrahman. Saya pun ajak Razi untuk belajar mengaji dengan beliau.”
“Beliau kah yang ajarkan Datuk jimat dalam bahasa Walio?”
“Hahaha. Tidak…Tidak. Sebenarnya bukan dari beliau. Itu jimat daripada Atuk saya.”
“Oooh.”
“Saya tak pandai bahasa Walio. Hanya pernah dengar saja. Jimat yang dikirim Razi ke rumah Abah Samad itu punya saya, Razi curi. Dia tak tahu, itu bukan sihir, bukan santet. Saya hanya menyimpan saja sebagai kenang-kenangan dari leluhur saya. Saya tak paham sama sekali.”
“Ooooh I see.”
“Waktu awak hantar pesan ke whatsapp saya tentang nasihat agama dalam bahasa Walio, saya langsung meminta bantuan Cikgu Abdurrahman untuk menerjemahkan. Dia pula yang terjemahkan isi jimat itu. Saya malu setelah tahu maknanya. Betul-betul malu terhadap sikap Razi.”
Datuk Rustam menyodorkan secarik kertas yang pernah kukirim melalui resepsionis yang kutahu kini bernama Zenita, sebelum aku meninggalkan ruang lobi kantornya.
“Ini tulisan awak bukan?” katanya sambil membuka kertas tersebut:
“Datuk Rustam yang saya hormati. Saya datang ingin bersahabat. Ingin menyelesaikan konflik antara keluarga kita. Bahkan, saya juga bisa menjelaskan tentang makna Syuhudu al-kasrah fi al-wahdah. Syuhudu al-wahdah fi al-kasrah. Tujuannya agar Datuk tidak salah jalan dalam memahami ajaran Islam. Belajar hakikat harus melalui guru. Jimat yang dikirimkan ke rumah kami itu, bukanlah sihir. Itu ajaran hakikat diri. Salam.”
“Saya ingin berguru kepada awak. Saya malu. Sudah tua, tapi belum mengenal Tuhan. Belum mengenal diri sendiri,” ucapnya.
Datuk Rustam terus bercerita dengan penuh keakraban. Tulisanku ini yang membuatnya sadar bahwa konon, menurut Cikgu Abdurrahman, aku ini bukanlah orang sembarangan. “Karena itu, aku cari awak di surau. Tapi, waktu awak shalat sunnah, aku mendapat telpon dari Cikgu Abdurrahman. Jadi, aku keluar surau,” tuturnya. “Saya bertanya kepada Cikgu Abdurrahman tentang makna Syuhudu al-kasrah fi al-wahdah. Syuhudu al-wahdah fi al-kasrah. Beliau menguraikan sedikit, tapi beliau meminta aku untuk belajar langsung dari awak,” tuturnya lagi.
“Oooh itu. Maaf, aku hanya memancing Datuk saja.”
“Saya tahu, awak lebih pandai. Saya ingin belajar langsung dari awak.”
Syuhudu al-kasrah fi al-wahdah (Menyaksikan yang banyak pada yang esa). Maksudnya, kita sebagai makhluk yang berbilang ini menyaksikan bahwa wujud makhluk itu hakikatnya tak ada, yang ada hanya wujud Allah. Atau bisa juga dipahami bahwa wujud makhluk itu hakikatnya berada pada wujud Allah, tidak pada wujudnya sendiri,” kataku. Aku lihat Datuk Rustam serius mendengarkan penjelasanku. Seperti seorang murid yang khusyuk mendengarkan nasehat gurunya. “Syuhudu al-wahdah fi al-kasrah (Menyaksikan yang esa pada yang banyak). Maksudnya, kita menyaksikan yang esa dengan rasa kita sebagai hamba—sebagai makhluk yang berbilang jumlahnya— bahwa Allah adalah wujud pada segala yang wujud,” jelasku lagi.
“Betul. Cikgu Abdurrahman pun cakap macam itu. Tapi, beliau suruh saya untuk belajar langsung dari awak. Sebab, katanya ilmu hakikat macam ini tak boleh belajar seorang tanpa guru.”
“Betul, Datuk. Ilmu hakikat itu harus dipelajari dengan guru. Sebagai ilmu pengetahuan, memang boleh-boleh saja belajar dari buku, ceramah, internet, tapi untuk pemahaman lebih mendalam diperlukan guru pembimbing.”
“Ajarkan aku, Thariq. Aku sudah tua. Aku perlu bekal agama.”
“Insya Allah, Datuk. Kita sama-sama belajar. Saya pun hanya tahu sedikit saja. Saya pun bisa belajar banyak hal dari Datuk. Tujuan saya mengirim pesan itu agar Datuk tidak salah dalam memahami ajaran tasawuf. Tasawuf itu bukan klenik. Bukan mistis. Bukan khurafat. Tapi, ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah, untuk memahami makna batin dalam pelakasanaan syariat. Tasawuf itu tidak bisa lepas dari syariat. Tasawuf itu bukan ilmu bomoh, bukan perdukunan,” paparku.
“Terima kasih… Terima kasih,” katanya. Lalu, tiba-tiba telponnya berdering. Zenita menelpon Datuk, dia mengabarkan sudah sampai di rumah sakit. “Saya ingin mengenalkan Cikgu Abdurrahman kepada awak. Beliau sudah tiba di rumah sakit bersama Zenita. Beliau sendiri yang meminta untuk bertemu dengan awak,” katanya lagi.
“Ooooh.”
Beberapa saat kemudian Zenita dan seseorang berpakaian Melayu memasuki ruanganku. Lelaki tua berjenggot itu dituntun. Dia memakai kaca mata hitam. “Assalamu’alaikum, Abang Thariq,” ucapnya sambil berjalan ke arahku dengan dituntun oleh Zenita. “Wa’alaikum salam,” jawabku cepat.
“Ini Cikgu Abdurrahman, Thariq,” seru Datuk Rustam.
“Ohh. Silahkan, Cikgu.”
Aku melihatnya agak aneh. Dia tersenyum tak ke arahku. Wajahnya justru memandang ke arah samping kiriku. Apalagi saat dia mengulurkan tangannya, tangannya justru tak mengarah ke arah tubuhku. “Cikgu ini sepertinya tak melihatku,” bisikku.
Zenita menuntun tangan Cikgu Abdurrahman mendekat ke arah tangan kananku.
“Maaf, Thariq. Maaf, saya ini buta sejak lahir,” katanya. Ini cukup mengagetkanku. Jadi, selama ini orang yang mengajarkan Datuk Rustam dan keluarga adalah orang buta.
“Buta mata, tapi tak buta hati,” jawabku cepat dan meraih tangannya. Aku menarik dan mencium tangannya. Lalu, tiba-tiba, dia pun menarik tanganku dan mencium tanganku. “Hmmm. Aku tahu sekarang, mengapa Datuk Rustam mencium tanganku. Ternyata gurunya yang mengajarkan itu semua,” bisikku dalam hati.
“Alhamdulillah. Alhamdulillah. Aku bisa bertemu kamu, Thariq. Alhamdulillah,” ucapnya semangat. Lelaki ini bertubuh tinggi dan kurus. Wajahnya bercahaya. Aku merasakan energi besar yang menarik kuat saat dia menjabat tanganku. Ini seperti tarikan tangan Kyai Bahruddin. Atau seperti tarikatan tangan Ustaz Nur yang pernah mengajarkan aku tenaga dalam.
“Benar. Ini orangnya. Benar…”
“Hahaha. Benar apa, Cikgu?” tanyaku penasaran. Datuk Rustam pun mendekat, sedangkan Zenita mundur teratur.
“Suaramu, Thariq.”
“Suaraku? Ada apa dengan suaraku?”
“Itu, suaramu,” jawab Cikgu Abdurrahman. Lalu, dia kembali memegang tanganku, meraba dan bahkan menciumnya lagi. “Alhamdulillah. Ini memang benar-benar kamu, Thariq,” katanya lagi.
“Maksud Cikgu?” tanyaku penasaran.
“Aku pernah bertemu denganmu dalam mimpi,” jawabnya lagi.
Aku baru ingat siapa orang di hadapanku ini. Dengan cara seperti itu Cikgu mengenaliku. Jika penyandang tunanetra bermimpi, maka mimpinya akan berupa suara, penciuman atau sentuhan. Seorang yang buta sejak lahir tak akan punya memori tentang warna dalam otak dan bawah sadarnya. “Subhanallah. Dia mengenaliku dengan cara yang luar biasa,” bisikku dalam hati.
“Subhanallah…Benar,” katanya lagi. Cikgu itu meraba wajahku. Lalu mencium keningku. Aku merinding dibuatnya. Aku juga merasakan sesuatu keanehan luar biasa dari orang ini. Tiba-tiba, jantungku berdetak agak cepat, lalu membawaku pada kesadaran dzikir. Sejak dia menyentuh tanganku, hatiku tak bisa lepas dari ucapan “Allahu Allah” dalam hati. Kehadirannya di tempat ini seolah memaksaku untuk mengingat Allah. Aneh. Seperti ada kekuatan yang menarikku. “Subhanallah…Hebat sekali orang ini. Dia memiliki daya pikat luar biasa. Diamnya saja mengingatkan aku kepada Allah,” bisikku dalam hati.
“Alhamdulillah. Sekarang tugasku sudah selesai. Datuk Rustam…Datuk,” kata Cikgu Abdurrahman kepada Datuk Rustam. “Ini dia orangnya. Kamu harus belajar dari dia langsung,” katanya lagi.
“Baik, Cikgu,” jawab Datuk Rustam.
“Belajar, apa Cikgu? Saya tak pandai,” kataku.
“Kamu tak perlu merendahkan diri. Aku tahu siapa kamu. Kamu pernah belajar di pondok. Mengaji filsafat, tasawuf pula. Awak sudah lengkap. Aku pun nak belajar dari awak. Banyak yang mau kutanyakan kepada awak,” kata Cikgu Abdurrahman.
Aku tertawa mendengar ucapan Cikgu Abdurrahman.
“Cikgu berasal dari Sulawesi?”
“Betul, dari sebelah ibu Sulawesi. Ibuku berasal dari Buton. Tapi, ayahku orang Banjar. Keturunan puak (suku) Buton dan Banjar. Ibuku dibunuh tentara Jepun (Jepang), tapi ayahku jaguh (pahlawan) Malaysia tahu,” tuturnya.
Ibu Cikgu Abdurrahman berketurunan Buton, dulu sering berbicara dalam bahasa Walio. Tapi, ayahnya bersuku Banjar. Keturunan diaspora suku Banjar di Malaysia memang mewarnai Melayu Malaysia. Tersebar di negeri Perak, Johor Bahru, Selangor, Kedah, Negeri Sembilan, Sabah dan Serawak. Cikgu Abdurrahman adalah generasi ketiga dari kedatangan suku Banjar di tanah Semenanjung. Keberanian “urang” Banjar terkenal dalam sejarah Malaysia. Mereka berkontribusi besar pada kerajaan. Ketika 1945-an Jepang menyerah kalah dari tentara Sekutu, Malaysia menghadapi ancaman komunis Cina. Etnis Melayu bergolak menghadapi ekspansi komunis yang bertentangan dengan paham, agama dan ideologi masyarakat Melayu. Masyarakat Melayu banyak yang menjadi korban kebengisan komunis di negeri itu.
Namun, satu hal yang tidak diperhitungkan oleh kaum Komunis Cina ketika itu, yakni keturunan Bajar di Tanah Semenanjung. Masyarakat Banjar mengusung jihad melawan komunis. Di wilayah Sungai Manik dan Batu Pahat, Johor, masyarakat Banjar melakukan perlawanan dahsyat membumihanguskan kaum komunis hingga ke akar-akarnya. Masyarakat Banjar menjadi simbol perlawanan dan simbol eksistensi bangsa Melayu Malaysia. Hingga kini, mereka mendominasi dalam hal politik dan pemerintahan, perdagangan, pertanian, militer, agama, dan pendidikan. Banyak tokoh-tokoh Malaysia berketurunan Banjar di negeri ini. Seperti juga keturunan Mandailing, Minang, Jawa, Aceh, Bawean (Madura), dan Bugis, mereka merupakan bagian dari suku-suku yang menopang pembangunan di Malaysia.
Kebanyakan suku Banjar di Semananjung Malaya berasal dari keturunan Banjar Pahuluan. Lebih dari satu juta penduduk di Malaysia bersuku Banjar ini. Mereka menyebar di Batu Pahat, Kluang, Air Itam, Felda Chini, Felda Keratong, Bukit Pelandok, Tanjong Karang, Sungai Besar, Sabak Bernam Bagan Datuk, Kulim Bandar Bahru, Tenom hingga Tawau.
“Sekarang kita sudah saling mengenal. Kita ini bersaudara. Selesaikan masalah baik-baik. Alhamdulillah, kita dapat ambil hikmahnya sekarang. Aku dan Datuk Rustam bisa menjadi muridmu. Aku sudah melihat semua tentang dirimu dalam mimpi. Kamu adalah orang yang bisa mengajarkan kami tentang agama. Aku ini buta, tapi aku tak tuli. Aku bisa merasakan siapa engkau. Kamu dapat mengajarkan kami tentang agama Islam, tentang tasawuf yang sekarang ini ditinggalkan orang. Padahal, datuk-datuk kita dulu belajar tasawuf. Sejak zaman dahulu lagi, mereka sudah belajar tasawuf Imam Al-Ghazali. Tapi, budak-budak zaman sekarang ini tak mengenal beliau. Mereka tak kenal Hamzah Fansuri, tak kenal Abdussamad Al-Palimbangi, tak kenal Dawud Alpathani. Mereka tak mengenal Syekh Khatib Syambas. Tak tahu Syekh Yusuf Makasari. Ini tugas awak,” tuturnya. “Aku sudah tua. Buta lagi. Tak tahu harus mengajarkan apa. Awak lebih pandai,” ucapnya lagi.
Kulihat Zenita tak ada di ruangan. Dia pergi tanpa pamit. Saat Yasmin datang menjenguk kami, dia sudah tak ada. Kulihat Yasmin sudah mengenal Cikgu Abdurrahman. Mereka tampak begitu akrab. Wajah Yasmin kelihatan gembira bertemu dengan Cikgu itu.
“Alhamdulillah, Yasmin. Aku sudah bertemu dengan suamimu. Alhamdulillah. Kamu bertuah. Kamu bertuah mempunyai suami Thariq,” ucap Cikgu Abdurrahman.
Aku hanya tersenyum menyaksikan mereka. Orangtua ini benar-benar memancarkan cahaya yang sukar kujelaskan. Hatiku terus berdzikir tanpa henti saat kutatap wajahnya. Ini tarikan ruhani yang tak biasa.
---BERSAMBUNG PART 17---
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1680096348706959
https://www.facebook.com/halim.ambiya 

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...