Tuesday, July 31, 2018

SORBAUJAN PART 14 TARIKAN RUHANI

Oleh Halim Ambiya
Malam Jum’at yang syahdu. Mendengar suara indah bacaan Al-Qur’an Yasmin nan merdu. Alunannya menusuk kalbuku yang merambah malam. Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban (Maka nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan?) Berulang-ulang ayat ini menyelinap masuk ke dinding telinga, menyelusuri saraf hingga ke dasar jiwa. Yasmin benar-benar membaca dengan penghayatan yang dahsyat. Dia seolah sedang berdialog, mengadu kehadirat Ilahi, dengan kalam-Nya.
Siapa pun yang kalbunya hidup akan tersentuh bila membaca dan mendengar ayat ini. Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban. Ada tarikan ruhani yang meluluh-lantahkan perasaan sedih dan galau. Yasmin membacanya dengan tartil (perlahan), namun dengan irama Melayu yang bersahaja, cengkok khas Pulau Penang. Meskipun dia tak pernah belajar tentang nagham qur’an, tak mengenal sama sekali 8 nagham lagu bacaan Qur’an ala para qari terkenal, tapi bagiku bacaannya lebih menggetarkan jiwaku saat ini, disini, di rumah yang sedang diliputi duka dan kesedihan.
Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban. Kurasakan ini lebih alami, lebih masuk ke jiwa, sebab iramanya mengikuti tradisi turun-temurun yang pernah diajarkan orangtua dan guru ngaji di surau khas Pulau Penang. Lebih menyentuh kesadaran jiwa sebagai orang Melayu.
Ternyata memang benar, Al-Qur’an bukan hanya milik para penutur bahasa Arab, meskipun ia berbahasa Arab dan diturunkan di Arab. Karena, Al-Qur’an adalah bahasa jiwa, bahasa ruh para pemilik kalbu yang beriman. Siapa pun yang beriman kepada Al-Qur’an akan mendapatkan pacaran cahaya penerang jiwa dari-Nya. Pelita dari Sang Pemilik kalam, Sang Penggenggam jiwa hamba-hamba-Nya.
Beberapa kali lantunan suara “Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban” terdengar diiringi dengan getar tangis Yasmin, terbata-bata, dan sesenggukan menahan tangis. Aku juga seperti sedang menyaksikan rekaman komunikasi batiniah Yasmin melalui bacaan Qur’an itu.
Aku pun merasakan getarannya saat mendengar bacaan Al-Qur’an Yasmin. Merasakan seolah ayat-ayat itu ditujukkan buatku, diturunkan khusus untukku. Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban. Aku adalah Muhammad yang sedang berdialog dengan-Nya. Dan, aku tak mampu menjawab pertanyan-Nya sama sekali. Tak berdaya di hadapan-Nya, mengakui segala salah dan dosa di depan-Nya, menyadari keangkuhan dan kelalaian atas karunia yang telah diberikan-Nya kepadaku. 30 kali ayat ini diulang-ulang, seakan-akan menarik kesadaran untuk merenung berkali-kali. Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban. Berkali-kali Allah mempertanyakan, “Nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan?”
Aku sangat bersyukur mendapat karunia istri yang shalihah seperti Yasmin, permata jiwa yang membahagiakan. Tuhan telah menghadiahkanku malaikat cantik ini khusus buatku. Tak terasa air mata ini menetes hingga akhir Yasmin menyelesaikan bacaannya. Ayat-ayat penerang jiwa yang memberi keindahan malamku bersamanya.
Puji syukur kepada Allah, karena aku pernah berkesempatan belajar di pondok selama 4 tahun sehingga mampu memahami makna bacaan Al-Qur’an. Aku beruntung ajaran Kyai Makmun terasa bermanfaat mengiringi kehidupanku. Jujur kuakui, meskipun aku memahami bahasa Arab, tapi kadang ketersentuhan hati saat membaca atau mendengar alunan Al-Qur’an tak setiap saat bisa dirasakan. Rasaning rasa tak bisa dibuat-buat atau direncanakan oleh manusia. Rasa itu hadir sebagai anugerah-Nya yang gaib. Sebab tarikan ruhani seperti ini muncul sesuai kehendak-Nya. Dan, malam ini, Yasmin seperti mengajakku bertamasya secara ruhani melalui alunan bacaan Surah Ar-Rahman nan indah. Yasmin berhasil menggantikan posisi Hanum di hatiku dengan cara yang begitu memesona.
Aku mendekati Yasmin dengan perasaan bahagia. Aku memeluknya erat. Kami menangis dalam peluk kasih yang sukar dijelaskan. Kami bahagia, lega dan merasa damai. Rasa syukur telah meluruhkan semua rasa sedih di hati kami. Syukur menjadi terapi jiwa kami malam ini.
“Terima kasih, sayang. Terima kasih melatiku, puspaku,” bisikku di telinganya.
“Sama-sama sayang,” jawabnya sambil melepas pelukannya. Lalu tiba-tiba aku melihat senyumnya yang agak aneh. Aku pun membalas senyumnya. Yasmin berdiri dan mundur beberapa langkah menghindariku.
“Mengapa Abang tersenyum macam itu? Tadi Abang menangis, sekarang senyum pula,” godanya.
Aku berdiri mendekatinya. “Tak ada apa-apa, sayang,” kataku pelan.
“Kenapa, Bang?”
“Tak ada apa-apa,” jawabku sambil mendekat.
“Ada apa, Bang?”
“Tak ada apa-apa. Abang hanya mau bagi tahu, ini malam Jum’at, sayang,” jawabku. Lalu, kuangkat tubuhnya ke bilik peraduan kami. Dan, aku tak perlu lagi menceritakan apa yang terjadi.
***
Aku berharap ini adalah Jum’at berkah. Di tengah konflik keluarga berkepanjangan dan drama kekerasan antara Razi dan Bang Faizal, aku tetap ingin berpikir waras dan berpikir dingin. Meskipun Kak Saidah meminta bantuan Datuk Harun untuk membela kasus penganiayaan terhadap Bang Faizal, namun aku tak mau terpancing. Aku tak bisa mencegah Kak Saidah dan keluarga yang lain untuk tidak memperkeruh keadaan. Aku hanya menantu asal Indonesia, yang tidak memiliki banyak akses di dunia pengacara atau premanisme. Yang kutahu jalan terbaik adalah berdamai. Tak perlu menggunakan jalur hukum untuk menyelesaikan masalah ini.
Mereka justru melupakan persoalan besar dalam kasus ini, yaitu masalah Sean yang melibatkan Razi, Yasmin dan aku. Namun, kini masalahnya menjadi lebar. Kasus pertama masih belum dapat tersentuh, justru mendapat masalah baru, masalah kekerasan dan penganiayaan antara kedua belah keluarga.
Sayangnya hingga hari ini Datuk Rustam belum juga mengjawab pesanku. Sejak pagi aku sudah mengirim pesan serupa, minta untuk bertemu dengan beliau, tapi lagi-lagi tak ada jawaban. Akhirnya kuputuskan untuk mendatangi kantor Datuk Rustam di Putra World Trade Center (PWTC). Yasmin sudah memberitahuku dimana lokasi persis kantornya.
“Sebesar kesadaranmu sebesar itu pula keuntunganmu,” bisikku dalam hati, sambil mengingat nasehat Kyai Makmun dahulu. Nasehat ini yang membuatku berani menghadapi masalah ini. Sebelum memasuki lift, aku kembali mengirim pesan kepada Datuk Rustam tentang kehadiranku di kantornya pukul 10.00. Meskipun dia tak menjawab, aku tetap akan mendatanginya.
Di sudut lobi kantornya yang mewah, aku disuruh menunggu oleh resepsionis. Aku telah jelaskan ingin bertemu dengan Datuk Rustam. Awalnya, petugas itu berusaha menolak kehadiranku karena bulan ada janji sebelumnya dengan Datuk, tapi aku berusaha meyakinkannya. Aku tunjukkan beberapa pesanku di whatsapp kepada petugas penerima tamu hingga dia tak mampu menolak kehadiranku saat itu.
Beberapa kali petugas itu masuk ke ruangan dalam, lalu kembali lagi ke ruang resepsionis. Namun, dia tak memberitahuku apakah aku disuruh menunggu atau disuruh keluar. Aku berusaha memahami. Mungkin Datuk Rustam sibuk. Ketika kutanyakan keberadaan Datuk Rustam, petugas itu menjawab memang beliau ada di ruangan. Tapi, beliau sedang sibuk dengan tamunya.
Setiap 15 menit aku bertanya kepada petugas itu, saat itu pula petugas menjawab: “Datuk masih sibuk. Belum bisa diganggu,” kata petugas itu. Hingga pukul 11.30, setelah menunggu 1,5 jam, petugas itu masih menjawab dengan jawaban yang sama. Akhirnya aku berpamitan karena harus segera berangkat ke masjid untuk shalat Jum’at. Kepada petugas itu, aku menulis pesan pendek yang kutulis pada secarik kertas.
“Aku mohon kepada Puan agar menyerahkan pesan ini kepada Datuk,” kataku sambil menyerahkan secarik kertas kepadanya. Dengan sopan, petugas yang tak kulihat nama di bajunya itu menyatakan bersedia untuk menyampakan pesanku kepada datuk. Aku pun meninggalkan ruangan dengan perasaan sedikit kecewa. “Mereka belum tahu kekuatanku menunggu. Aku bisa kuat untuk menunggu 8 jam di kantor itu jika diperlukan,” bisikku dalam hati.
Aku segera menuju Surau Ar-Rahman yang berada di Aras 3 PWTC. Surau ini sangat besar dan nyaman. Meskipun namanya surau, tapi telah berfungsi sebagai masjid. Jamaahnya tentu tak sedikit, sebab gedung ini merupakan pusat bisnis dan perkantoran, serta menjadi tempat favorit untuk seminar dan perhelatan akbar yang sangat terkenal di jantung Kuala Lumpur. PWTC ini identik sebagai gedung UMNO, partai terbesar Malaysia, namun belakangan menjadi tempat publik yang disukai oleh masyarakat swasta atau pemerintahan. Aku memilih shalat jum’at di sini dengan harapan agar nanti, setelah shalat dan makan siang, aku bisa kembali ke kantor Datuk Rustam.
Aku memilih shaf yang terdepan untuk berdzikir dan membaca Al-Quran sambil menunggu shalat Jum’at dimulai. Aku berdoa agar hari ini mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Datuk Rustam. Misiku ini penting untuk dilakukan agar bisa meredakan situasi.
Khutbah dalam bahasa Melayu siang itu terasa menyejukkan hati. Khatib mengulas tentang perang terbesar manusia, yakni perang melawan hawa nafsu. Melawan hawa nafsu adalah jihad yang paling tinggi di antara jihad-jihad yang lain. Apalagi di zaman caci-maki dan hujat-menghujat menjadi status, di era semua pendiam menjadi tukang gosip, di masa media sosial menentukan nasib partai. Jihad melawan hawa nafsu memang sangat relevan disebut sebagai jihad terbesar. Namun, karena pemahaman yang keliru tentang makna jihad membuat umat terjebak kepada aksi kekerasan dan terorisme. Aksi bom bunuh diri bukanlah jihad, tapi merupakan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. Konsep hidup berbangsa dan bernegara telah dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW di Madinah. Di kota inilah, masyarakat Muslim dan non-Muslim hidup berdampingan. Ahlu-dhimmah (non-Muslim) mendapat jaminan keamanan penuh dari Rasulullah melalui perjanjian yang disebut Piagam Madinah. Demikian kurang lebih uraian hikmah Jumat di surau itu.
Setelah shalat Jum’at selesai ditunaikan, saat aku berusaha bersalaman dengan orang di samping kanan dan kiriku, mataku tertuju pada seseorang berbaju koko warna biru yang duduk persis di belakangku. “Subhanallah, aku melihat Datuk Rustam,” bisikku dalam hati. Dan, saat itu pula segera kuulurkan tangan untuk bersalaman. Aku tundukkan kepalaku sambil kusebut namanya pelan, “Datuk.” Dia mengangguk karena panggilanku. Mungkin dia tak mengenalku, tapi aku mengenal dirinya melalui foto-foto yang ditunjukkan Yasmin kepadaku. Umurnya jauh lebih muda dari Abah Samad. Wajahnya tampak berwibawa. Berkumis tebal dan berjenggot. Tubuhnya tinggi tegap. Kata Yasmin, wajahnya mirip WD Mukhtar, pemain film dulu. Aku berharap dia bisa kuajak bicara di masjid ini setelah shalat sunah kukerjakan.
Sayangnya, aku kurang beruntung. Saat aku selesai shalat sunnah, tak kulihat lagi Datuk Rustam di belakangku. Aku kehilangan jejaknya. Aku mencari ke seluruh arah, namun tak kujumpai Datuk berbaju warna biru itu. Akhirnya kuputuskan untuk pergi mencari makan siang. “Biarlah nanti kutemui dia di kantornya,” bisikku.
Setelah menyelesaikan makan siang, aku segera pergi menuju kantor Datuk Rustam. Melewati tempat parkir dan berjalan menggunakan tangga darurat. Berharap agar lekas sampai. Namun, saat aku berjalan ke arah lift, tiba-tiba ada 2 orang berjalan mendekatiku dari arah kantor Datuk Hasyim. Satu di antaranya adalah seorang berwajah India, menggunakan pakaian rapi dengan dengan jas hitam. Kelihatannya dia seperti pengacara, sebab di Malaysia ini profesi pengacara lebih banyak didominasi kaum keturunan India. Sedangkan seorang lainnya adalah orang berwajah Melayu. Wajahnya mengisyaratkan kebengisan, dengan beberapa tato di lengan dan leher.
“Awak nak pergi mana?” bentak seorang Melayu.
“Pejabat (kantor) Datuk Hasyim,” jawabku tenang.
Lelaki India itu seolah memberi isyarat tentu kepada preman bertampang Melayu di sebelahnya.
“Lebih baik awak pergi!” bentaknya lagi.
Aku sudah menduga, mereka adalah orang suruhan Datuk Rustam. Di gedung seluas ini, tak mungkin orang bisa langsung mengenaliku. Pasti mereka sudah melihat tampangku tadi sewaktu di lobi kantor mereka. Tapi, mereka sengaja mengancamku di luar kantornya. “Mengapa mereka harus menyambutkan semacam ini? Bukankah aku datang dengan baik-baik,” bisikku dalam hati
“Maaf, aku berharap dapat berjumpa Datuk Rustam sekarang juga. Ini sangat penting,” kataku memohon.
“Tak payahlah! Awak siapa?” tanyanya kasar.
Aku jelaskan bahwa aku adalah suami Yasmin, mantan istri Razi. Aku datang baik-baik ingin menyelesaikan masalah konflik antara keluarga.
“Oooh. Awak Indon ya?!” kata lelaki Melayu itu keras.
Lalu, dengan cepat, tangannya memukul wajahku, tepat mengenai bagian kiri atas mulutku. Buggg! Aku rasakan tak begitu sakit, tapi sepertinya aku merasakan asin darah di mulutku. Aku berusaha menahan diri. Aku jelaskan bahwa kehadiranku hanya ingin berdamai. Ingin meminta bantuan Datuk Rustam untuk menghentikan perseteruan ini dan memohon maaf atas nama keluarga karena telah mencelakakan Razi.
Lelaki itu mencibirku penuh kebencian. Aku sangat paham itu. Sebab bukan rahasia umum, sebagian besar masyarakat Melayu yang tak terdidik dan tak punya sopan santun pasti akan berbuat semacam ini jika berada di posisinya. Kata “Indon” atau “Muka Indon” sering menjadi bahan cemooh mereka terhadap orang Indonesia. Mereka menganggap lebih superior. Orang Indonesia dianggap sebagai orang yang lebih rendah daripada bangsa mereka. Pembantu rumah, kuli bangunan dan pekerja-pekerja pabrik asal Indonesia di Malaysia merupakan bukti nyata yang memperkuat anggapan mereka.
Ini kali pertama aku mendapat perlakukan semacam ini. Aku memang berhadapan dengan seorang preman yang sengaja dipasang untuk mencari keributan. Sejak kuliah di sini, aku tak pernah mendapat kekerasan atau ancaman dari mahasiswa Malaysia sama sekali. Kampus bukan tempat premanisme. Begitu juga dalam pergaulan bisnisku. Aku tak pernah mendapat perlakukan kasar dari orang Malaysia, baik itu keturunan Melayu, India ataupun China. Mereka profesional dan sudah terbiasa dengan perbedaan suku, bangsa, agama dan warna kulit. Apalagi dalam keluarga besar Abah Samad, aku justru sangat dihormati, sebab aku satu-satunya anak menantu asal Indonesia dan dikenal sebagai anak pondok. Aku bahkan sering menjadi rujukan semua pertanyaan mereka seputar agama.
Sorot mata keangkuhan lelaki itu berusaha menundukkan nyaliku di depannya. Tapi, aku bersikap biasa-biasa saja. Aku tak meminta ampun atau memelas di depannya. Aku berusaha menganggapnya sederajat dan tak merasa terganggu dengan pukulannya tadi. “Tolong, Encik. Saya hanya nak jumpa dengan Datuk Rustam. Bukan nak macam-macam,” kataku baik-baik. Namun, tubuhku didorong ke sisi dinding dengan tangannya yang kekar. Aku berusaha menghindari dari kekerasan mereka. Meski caci-makinya tak terhenti, tapi aku tak terpancing. Aku tak menunjukkan sikap menantang di depannya. Aku yakin ini bisa diselesaikan. Jika Datuk Rustam mau, apa susahnya untuk membuat kekerasan serupa terhadapku, seperti yang dilakukannya kepada Bang Faizal.
Tangan lelaki itu mencengkram kerah bajuku dan berusaha menekan leherku dengan tangan yang cukup keras. Aku masih berusaha menahan diri. Padahal, dalam hitunganku, seper-sekian detik, aku bisa lebih cepat menundukkan lelaki di depanku ini. Aku masih mengusai beberapa jurus Tapak Suci saat belajar di pondok. Tapi, demi sebuah niat baik, aku tak mau lakukan. “Please.. You have no right to do this,” kataku kepada lelaki itu, lalu melirik ke arah sebelahnya, seseorang lelaki berwajah India. Sejak tadi dia hanya menyaksikan, tak ikut bicara atau menekanku sama sekali. Aku tatap wajahnya sekali lagi, “Please” kataku.
Tiba-tiba, lelaki India itu menepuk punggung kawannya. Dengan sekali isyarat, dia meminta kawannya melepas cengkramannya. Lalu, sejurus kemudian dia menjauh dariku dan menelpon seseorang. Aku dibiarkan berhadap-hadapan dengan preman Melayu satu ini. Bau alkohol dari mulutnya membuatku muak, tapi aku berusaha menahan diri. Kulihat dia hanya mengandalkan badan yang besar, tetap dari cara dia memukulku tadi, dia bukan jenis petarung hebat. Dia hanya preman biasa berbadan besar. Itu saja. Dan, sekarang dia masih “petantang-petenteng” di depanku saat ini.
Aku pikir, kalau mereka menjumpaiku di tempat lain, tidak di tempat ini, mungkin ceritanya berbeda. Sebab, PWTC bukanlah tempat sepi. Banyak mata memandang. Banyak polisi di sudut gedung. Ini adalah gedung tempat orang-orang kuat Melayu berkumpul. Tak mungkin mereka berani menganiayaiku di tempat umum seperti ini. Hanya orang bodoh yang berani melakukannya.
Kemudian, dari arah kantor Datuk Rustam, seorang resepsionis wanita yang tak kutahu namanya itu berlarian ke arah seseorang berwajah India. Aku tak mendengar percakapannya. Aku masih berhadap-hadapan dengan preman yang satu ini. Dia tak mengizinkan aku bergerak. Aku bergeser ke kiri, dia mengikuti. Aku ke kanan, dia pun menghalangiku ke kanan. Lelaki ini pandai memancing emosiku.
Resepsionis pun menghampiriku.
“Encik Thariq ditunggu Datuk Rustam di kantor,” kata perempuan yang tak kuketahui namanya itu.
“Alhamdulillah, terima kasih,” jawabku gembira. Aku dilepas begitu saja oleh dua orang itu. Kini aku berjalan diiringi dengan resepsionis itu.
“Maaf, sudah menunggu lama,” katanya lagi.
“Tak apa-apa. Pasti beliau sangat sibuk,” jawabku.
Aku dipersilahkan memasuki kantor Datuk Rustam yang cukup besar. Tampak jelas ini bukan perusahaan sembarangan. Tampak sangat mewah dan berkelas, lebih mewah daripada yang kulihat di lobi. Dalam hati aku bersyukur, mungkinkah ini saatnya aku menyelesaikan masalah dengan Datuk Rustam? Mungkinkah saatnya aku merendah dan memohon kepada seseorang yang telah mencelakakan Bang Faizal? Apakah aku ingin berdamai dengan keluarga Razi yang telah membuat Yasmin menderita, dan menjadikan Sean sebagai barang rebutan? Apakah ini jalan yang terbaik? Apakah semudah itu Datuk Rustam mengikuti saranku?
Aku dipersilahkan masuk ke salah satu ruangan yang berada di paling ujung. “Sepertinya ini bukan ruangan, Datuk Rustam. Ini lebih sempit. Mengapa aku dibawa kemari?” bisikku dalam hati. Lalu, tiba-tiba seseorang mendorongku keras ke dalam ruangan. Gubrakkkk. Aku tersungkur. Kepalaku terbentur meja. Belum sempat aku menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba aku diserang oleh beberapa orang secara membabi-buta. Sepertinya ada 3 bayangan orang berkelebat memukul, menendang, dan menginjak-injak seluruh bagian tubuhku di ruangan sempit itu. Pandanganku gelap. Mulai terasa kunang-kunang. Bumi berputar-putar tak terkendali. Aku hanya mampu menyebut, “Allahu..Allahu.”
---BERSAMBUNG PART 15--
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1674064122643515
https://www.facebook.com/halim.ambiya 

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...