Monday, July 30, 2018

SOR BAUJAN PART 6 DAMANSARA HEIGHTS

Oleh Halim Ambiya
Ini adalah urut takdir yang harus kujalani. Aku hanyalah wayang yang tunduk kepada Sang Dalang. Dan, Dia hanya berpihak kepada cerita yang dibuat sesuai kehendak-Nya, sama sekali tak dipengaruhi oleh keberadaanku atau siapa pun. Selamanya wayang tak punya pilihan. Tak ada ketidaksengajaan bagi-Nya. Semua adalah kesengajaan yang telah dibuat-Nya. Lalu, kita meraba dengan bahasa ketidakberdayaan sebagai hamba: “Ini tiba-tiba. Tak sengaja. Di luar dugaan.” Dan, beribu kata “kemungkinan” yang tak mempengaruhi alur cerita yang dimainkan Sang Dalang.
Aku belum berani membalas pesan Maryam. Menjawabnya hanya akan membuatku semakin masuk ke alam bawah sadar yang susah dihentikan. Lalu, kutinggalkan bangku stasiun Bangsar setelah sorot mata petugas berwajah India tampak memata-matai. Kulangkahkan kaki dengan perlahan. Dengan sisa-sisa Shalawat Nabi yang kubisikkan di lisanku. Aku berusaha menghibur diri dengan wajah lucu Sean, anakku saat kutimang-timang di beranda rumah. Namun tetap saja sesekali bayangan wajah Yasmin, Hanum dan Maryam muncul bergantian. Wajah mereka hadir begitu saja di setiap sudut jalan yang kulalui menggantikan poster-poster iklan.
Aku terus berjalan mengikuti kemana kakiku melangkah. Aku sukar mengingat arah mata angin bila bayangan sapu tangan merah jambu itu datang dalam alam bawah sadarku. Yang kurasakan, kadang aku berjalan, lalu berhenti sejenak, berjalan dan berhenti. Demikian seterusnya. Aku susah mengingatnya.
“Abang kat mana?”
“Abang!!!”
“Erik, are you OK? Where are you now?”
“Erik…Please…”
Pesan whatsapp datang bertubi-tubi. Yasmin berkali-kali menelpon. Lebih 5 kali panggilan tak terjawab. Aku terus berjalan kaki menuju apartemen menghindar dari bayangan sapu tangan merah jambu yang kembali mengusik ingatanku. Bayang wajah Hanum mulai menghilang saat kusadari tiba-tiba diriku berada di tempat yang pernah kuingat sebelumnya. “Rasanya aku mengenal tempat ini?” bisikku.
Aku tiba-tiba menyadari bahwa aku berada di sekitar hutan kota di Damansara Heights. Tapi aku tak tahu jalan keluar dari tempat itu. Aku juga tak sadar sudah berapa lama berjalan ke arah sini. Padahal jarak antara stasiun Bangsar dan apartemenku hanya 500 meter. 15 menit jalan kaki. “Aneh?! Mengapa aku sampai di hutan ini?” bisikku. “Sekarang sudah jam 10.00 malam. Aku sudah lebih dari 3 jam jalan dari Stasiun Bangsar,” pikirku heran.
Nafasku tersengal-sengal, naik turun daerah perbukitan dalam kegelapan aku berjalan. "Aku heran, bagaimana aku bisa berjalan dalam gelap di hutan ini?" bisikku. Sebenarnya, Damansara Heights itu di jantung KL, kawasan hunian elit. Lokasinya dekat dengan bekas rumah dinas Perdana Menteri Malaysia dulu, sebelum dibangun Putrajaya. Tapi, kawasan ini dikitari hutan kota yang sangat rimbun dengan pohon-pohon besar dan tua. Tak akan kita jumpai hutan kota seperti ini di sekitar Jabotabek. Monyet-menyet ramai bergelantungan seolah menyambut kehadiranku.
“Astaghfirullah. Aku ning sor baujan (aku di bawah pohon trembesi),” aku terheran-heran. “Ya Allah, ada apa ini. Apa yang sedang Kau tunjukkan?” bisikku lagi.
Di bawah pohon trembesi ini akhirnya aku mulai bisa menguasai diriku sendiri. Aku bisa mengendalikan sapu tangan merah jambu. “Hanum bagiku hanya sekadar mantan kekasihku, itu saja. Tak lebih dari itu. Dan, kini aku adalah suami dari Yasmin,” kataku tegas dengan penuh kesadaranku. Kata-kata sejenis ini menjadi simpul ingatan ketika aku mulai sadar dari halusinasi Hanum. Aku berusaha menanamkan dalam kesadaran bawah sadarku bahwa Hanum bukan siapa-siapa.
Aku benar-benar tersesat. Sekarang berada persis di bawah pohon trembesi (samanea saman) di seberang kampus ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), sebuah kampus yang paling aku kagumi di Malaysia. Disinilah aku banyak bertemu dengan profesor-profesor hebat dari penjuru dunia. Dan lagi-lagi, aku selalu diingatkan dengan pohon trembesi itu. Anehnya harus malam-malam. Tak pernah terjadi sebelumnya. Ini bukan Indramayu, bukan pula Kebumen. Aku pasti dianggap orang gila bila tiba-tiba dijumpai orang ada di tempat ini. Atau salah-salah aku bisa ditangkap Polisi Diraja Malaysia. Ini Kuala Lumpur, bukan Jakarta. Orang aneh sepertiku bisa dituduh macam-macam. Bisa saja aku dituduh TKI ilegal yang sedang keluar-masuk mencari tempat persembunyian.
“Ya Allah, apa yang sedang Engkau tunjukkan?! Berilah hamba kekuatan untuk mengetahuinya.”
Aneh memang. Aku tak habis pikir. Pohon trembesi ini seperti mempunyai kekuatan magis hingga menarikku kesini. Ini adalah tiga pohon trembesi yang menarik perhatianku seumur hidupku. Pertama pohon trembesi yang terkenal dengan sebutan Buyut Mangun di desa Bugis, Kabupaten Indramayu, tempat kelahiranku. Kedua pohon trembesi di daerah Jatijajar, Kebumen, beberapa meter dari rumah Kyai Bahruddin, tempat aku menimba ilmu hikmah. Dan, ketiga pohon trembesi di seberang kampus ISTAC di Damansara Heights, tempat aku melanjutkan kuliah dan menikah. Ketiganya menjadi saksi perjalanan hidupku. Aku pernah meminum air dekat ketiganya, mempunyai kedekatan dengan orang-orang sekitarnya, serta menghirup udara segar di sekitarnya dengan cara yang menggugah kesadaran batinku. Di bawah tiga pohon trembesi itulah aku banyak mendapatkan pelajaran berharga dengan caranya.
Hanya dengan melihat lambaian dedaunannya saja aku sudah merasa senang. Apalagi mencium bau khas cangkang dan biji trembesi yang berserakan di bawahnya, aku sudah merasa seperti pulang kampung. Hubungan khususku dengan pohon trembesi menjadi rahasia tersendiri. Di setiap ranting dan cabang ketiga pohon trembesi itu seolah merekam setiap detak jantung dan bisikan hatiku saat berada di bawahnya.
Aku sama sekali tak mendewakan pohon ini. Sama sekali tidak. Aku bukan penganut pagan. Tapi, trembesi ini menjadi saksi sejarah bagi seluruh hidupku. Ini seperti pohon bidara di alam sana, alam tempat takdir digariskan untuk semua makhluk.
“Aku harus segara pulang. Hari sudah larut malam,” bisikku. Setelah genap kesadaranku, kuucapkan salam perpisahan kepada trembesiku dan berjanji akan bertemu kembali besok. Aku percepat jalanku menuju apartemen.
***
“Abang!!” teriak Yasmin.
“Sudahlah. Abang penat,” kataku cuek.
Mata lelah dan muka kusamku cukup menjadi jawaban atas semua pertanyaan Yasmin malam itu. Kekhawatirannya sudah terobati dengan kehadiranku. Meski jiwaku tak bersama ragaku saat itu. Pertanyaan apa pun malam itu tak dianggap relevan. Kehadiranku sudah lebih dari cukup untuknya.
Aku siram sisa-sisa peristiwa aneh malam ini dengan kucuran air. Aku mandi malam itu agar bisa merontokkan semua kebingunganku. Sekaligus menjadi kucuran syukur atas petunjuk aneh yang baru saja kulalui. “Besok aku kesana lagi.”
Setelah shalat kutunaikan malam itu, kembali kuajukan transaksi kematianku kepada Allah malam ini: “Bismika Allâhumma ahya wa bismika amût” (Ya Allah atasnamamu aku hidup dan atasnamamu aku mati).
“Ya Allah, aku serahkan hidup dan matiku kepada-Mu ya Allah. Engkaulah yang menggenggam setiap jiwa manusia yang masih hidup saat dalam tidurnya. Aku serahkan jiwa ini kepada-Mu. Ampunilah semua dosa-dosaku, ampunilah dosa kedua orangtuaku. Peluklah aku dalam limpahan kelembutan kasih sayang-Mu.”
Kuiringi rasa kantukku dengan Al-Fatihah, An-Nas, Al-Falaq dan Al-Ikhlash, serta berulang kali aku beristighfar memohon ampunan-Nya. Dengan doa, dzikir, dan munajat sebelum tidur seperti ini aku selalu bisa merasakan ketenangan dan kedamaian hati. Ilmu ini aku pelajari dari Kyai Bahruddin dulu 12 tahun lalu. Waktu sebelum tidur seperti ijab kabul atau serahterima jiwa kita kepada Allah. Sebab, saat tidur jiwa-jiwa manusia dalam genggaman-Nya. “Maka rasakan dirimu dalam genggaman-Nya. Jika kau ditakdirkan mati, maka selamanya jiwamu bersama Allah. Jika kau ditakdirkan hidup, maka jiwamu akan dilepaskan kembali dari tangan-Nya,” itu kata Kyai Bahruddin kepadaku dahulu.
***
“Abang dari mana semalam?” desak Yasmin.
“Dari ISTAC.”
“ISTAC?” tanya Yasmin kaget.
“Ya. Kenapa?”
“Abang jumpa siapa?”
“Tak ada.”
“Habis tu?”
“Tak ada.”
“Abang kenapa nih?”
“Abang tak nak cerita.”
Yasmin masih bertanya-tanya. Agaknya dia masih menyimpan segudang pertanyaan lagi. Tapi, dari caraku menjawab membuatnya bertambah bingung. Aku menutupi wajahku dengan The New Straits Time. Aku terus melanjutkan bacaanku pagi itu. Cukup lama Yasmin menunggu aku buka mulut.
“Abang menyembunyikan sesuatu. Aku tahu.”
Aku diam.
“Abang, jam berapa di ISTAC?”
Aku diam sejenak, lalu kujawab, “Aku tak ingat. Aku tiba-tiba ada kat ISTAC.”
“Kenapa Abang tak ingat?”
“Tak tahu. Abang tak ingatlah.”
Aku kembali diam. Tak mau diganggu. Aku tatap matanya. Dia salah tingkah. Aku jadi bingung, sebenarnya dia atau aku yang menyembunyikan sesuatu? Kini suasana menjadi berubah. Aku menangkap sesuatu yang lain di mata Yasmin pagi ini. “Mengapa dia begitu ingin tahu tentang ISTAC,” bisikku dalam hati. Aku biasa pulang larut malam. Apalagi kalau aku mengikuti Saturday Night Lecture. Aku kenal banyak mahasiswa ataupun dosen di sana. Bahkan, perputakaan ISTAC adalah tempat paling favorit buatku. “Semalam memang aku di sekitar ISTAC, tapi hanya di seberang jalan kampus. Di hutan kota, tidak di dalam kampus,” bisikku dalam hati.
Dia tertunduk saat kutatap agak lama tepat di matanya. Sepertinya justru dia yang menyembunyikan sesuatu dariku. Pakaian yang dia kenakan justru tak seperti biasanya. Dandanannya berbeda. Lipstiknya pun agak tebal. Kini aku menatapnya buas, menelanjangi tubuh dan gerak-geriknya dengan pandangan seorang lelaki dewasa yang cemburu.
“Abang…” katanya lagi.
Aku tatap matanya sekali lagi. Dia mengalihkan pandangannya.
“Kamu darimana semalam?” tanyaku. Aku beranikan diri bertanya balik dengan kesungguhan rasa ingin tahuku.
“Aku…”
“Hmmm. Tak perlu kau lanjutkan.”
“Abang…Aku. Aku bertemu dengan Razi kemaren. Kita hanya berbincang.”
Aku diam. “Mengapa Tuhan begitu mudah membolak-balikkkan hati hambanya?” bisikku dalam hati. “Mengapa semudah itu Yasmin mengaku telah bertemu dengan Razi, mantan suaminya,” tanyaku dalam hati.
“Abang. Maafkan Yasmin,” ucapnya pelan sambil memelukku. “Kita hanya berbincang. Percayalah, Bang. Sudah berkali-kali dia hubungi aku via Facebook. Aku bertemu justru untuk menghentikannya. Berkali-kali dia telpon dan whatsapp tak tak pernah aku jawab.” Yasmin menjelaskan pertemuannya hanya sebagai bekas suami, tak lebih dari itu. Hanya pertemuan sesama kawan lama. Razi mengembalikan bekas pemberian Yasmin, demikian pula sebaliknya.
Aku kembali diam.
“Abang. Aku mohon maaf. Aku baru sekali itu saja jumpa Razi kat ISTAC siang kemaren. Kita orang jumpa kat kantin,” ujarnya.
“Oke, tak apa. Tak masalah,” jawabku. Sambil tetap bingung. Mengapa pada saat aku sedang galau tingkat dewa memikirkan sapu tangan merah jambu, pada saat yang sama aku dibalas dengan pertemuan Yasmin dan Razi? Sebagai suami tentu punya hak untuk tahu. Bertemu dengan mantan pasti akan membuat siapa pun bertanya-tanya. “Sebenarnya aku bersyukur kini Yasmin sudah berani bertemu Razi. Itu berarti dia sudah memaafkannya. Aku justru tertantang, apakah cinta Yasmin kepadaku sekuat cintanya kepada Razi dahulu,” kataku dalam hati.
“Kalau aku nak curang, kita tak akan bertemu di ISTAC,” bisiknya lagi sambil terus mendekapku manja. “Aku janji, lain kali aku akan bilang sebelum bertemu Razi,” katanya lagi meyakinkanku.
“Siapa yang bagi tahu aku bertemu Razi di ISTAC?” desaknya.
“Tak ada. Tak seorang pun.”
“Abang bagi tahulah, siapa spy aku? Abang cemburu ya?” katanya sambil melepas pelukannya dan mencubit perutku.
“Abang tak tahu sayang. Abang tiba-tiba saja ada dekat ISTAC.”
“Aneh!”
“OK.We discuss later. I love you,” kataku, lalu bergegas menyiapkan berkas untuk pergi ke Port Klang pagi itu.
“I love you too.”
Aku yakin Yasmin masih belum percaya sepenuhnya. Begitu juga aku.

---BERSAMBUNG PART 7

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1662624873787440
https://www.facebook.com/halim.ambiya

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...