Tuesday, July 31, 2018

SORBAUJAN PART 12 MELATI PUJAAN

Oleh Halim Ambiya
Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai berguguran. Tak ada tunas muda. Tanaman perdu berbatang tegak yang bisa hidup menahun itu seolah sedang merana. Tak mampu menahan terik mentari akhir-akhir ini. Jasminum Sambac itu merasakan apa yang dirasakan Yasmin Samad.
Yasmin, melatiku tersayang, kini bertambah sedih. Masalah semakin melebar. Kecantikan perempuan Melayu ini terhalang kemurungannya. Padahal, aku berani bertaruh dari atas Tanah Genting Kra hingga Pasir Gudang, Johor Bahru, Yasminku yang paling cantik rupawan. Namun, kali ini, bebannya semakin berat. Puspa bangsaku itu mulai layu. Lukanya meradang. Rahasia kejahatan Razi mulai menyebar di antara keluarga dan rekan kerja.
Yasmin memutuskan untuk berhenti kerja. Aku tak dapat melarangnya, sebab kutahu bisik-bisik teman kerja pasti terasa sangat menyakitkan. Sangat menghantui, dia dilecehkan oleh seorang Razi yang gila kuasa terhadap wanita. Kalau hanya sekadar bercerai mungkin bisa diselesaikan dengan pergi menjauh, pindah rumah, pindah kerja. Tapi, malangnya justru apa yang dialami Yasmin jauh dari itu. Dia harus merawat dan mencintai anak hasil perselingkuhan Razi dan Zahra. Yasmin merasa ditipu, dihina dan dikhianati berkali-kali. Tentu rasa sakit dan marahku tak sebesar apa yang dirasakan Yasmin. Aku tahu itu, sungguh menyakitkan.
Untungnya, dia masih menganggapku sebagai suami yang berdaulat. Suami yang bisa memberi kehangatan dan kedamaian saat perasaan-perasaan sakit dan sedih itu membuncah di hati. Aku bisa menjadi sandaran bagi keluh-kesah dan asa yang tertunda. “Aku ingin selalu bersama Abang dan Sean. Aku tak mau lagi bekerja di luar,” kata Yasmin meyakinkanku. Abah Samad pun mendukung kami dengan bijak. Ayah mertua yang benar-benar menjadi figur Bapak bagi kami. Aku sangat mengormati dan menyayangi. Sayangnya, aku tak berkesempatan untuk melihat ibu mertuaku, Mak Hasanah yang melahirkan melati indah pujaan hatiku. Aku menikahi Yasmin dua tahun sepeninggal beliau.
Dari cerita-cerita Abah Samad dan Bang Faizal, Yasmin mewarisi kelembutan hati ibunya. Kulihat ada garis-garis kecantikan yang sama dengan Mak Hasanah saat kubandingkan fotonya di dinding rumah. Abang Faizal satu-satunya saudara Yasmin. Aku bisa mengerti kemarahan Bang Faizal terhadap Razi yang telah melakukan pengkhianatan itu, sebab Bang Faizal sangat menyayangi adik satu-satunya. Aku masih ingat, ketika pertama kali aku putuskan untuk menikah sirri dengan Yasmin di Patani, Bang Faizal adalah orang pertama yang kami beritahu. Lalu, dia juga yang meyakinkan Abah untuk merestui hubungan kami. Alhamdulillah, akhirnya aku, Yasmin dan Abah bisa pergi jalan-jalan ke Patani, mengunjungi pondok kecil disana dan Abah menikahkan kami di tempat itu.
Bang Faizal pula yang memudahkan proses pernikahan resmi kami di Kuala Lumpur, 6 bulan setelah pernikahan sirri kami. Aku pun tak banyak mendapat kesulitan untuk mengurus birokrasi penikahanku di KBRI. Seolah-olah pernikahan kami begitu dimudahkan, semudah jatuh cintaku dulu kepada Yasmin. Aku adalah seorang kutu buku yang paling beruntung di seluruh Semenanjung Malaya.
Dulu, di masa proses perceraian Yasmin dengan Razi, dia sering berkunjung ke Perpustakaan Utama Universiti Malaya (UM). Dan, aku kala itu telah menjadikan perpustakaan seperti rumah dan arena bermain kegelisahan intelektualku. Setiap hari, aku membaca buku di perpustakaan itu untuk menyiapkan thesisku di UM yang berjudul The Influence of Imam Al-Ghazali’s Thoughts and Teachings in Southeast Asia (Pengaruh Pemikiran dan Ajaran Imam Al-Ghazali di Asia Tenggara). Di saat itulah aku menemukan kembang melati itu di perpustakaan. Harum baunya semerbab mewangi ke seluruh ruangan.
Aku sering mengintipnya saat membaca buku. Wajah Yasmin benar-benar memberi gairah kesegaranku membaca dan melakukan riset kepustakaan di sana. Jika di perpustakaan ISTAC di Damansara aku mendapatkan kedalaman khazanah Islam dan samudra ilmu yang luas dan profesor-profesor hebat, di sini, di Perpustakaan Umum UM di Petaling Jaya aku mendapatkan keindahan sastra dan warna-warni bunga-bunga indah ilmu dan kehidupan.
Yasmin selalu berada di dekat rak-rak sastra Indonesia. Awalnya aku ragu untuk mengajaknya berkenalan. Tiga hari dan tiga kali pertemuan, aku sama sekali tak berani mengenalkan diri. Aku berlagak dingin dan cuek di depannya, padahal itu kulakukan untuk menutupi kegelisahanku. Namun, Tuhan menginginkan lebih dari itu.
Saat aku memerlukan bacaan ringan, setelah membaca tulisan-tulisan Prof Alattas, Drewes, Snouck Hurgronje dan beberapa jurnal kala itu, aku mencari novel-novel karya Pramoedya Ananta Toer. Semua koleksi karya Pram, lengkap di rak itu, sebuah pemandangan yang tak akan pernah terjadi di Indonesia di zamannya.
Karya Pram mendapat apresiasi luar biasa di negeri ini. Tak seperti di negeri asalnya. Dulu membaca karya Pram di Indonesia bisa dipenjara karena dianggap melanggar undang-undang subversif, tapi di negeri ini karya Pram adalah bacaan wajib mahasiswa sastra. Bahkan, beberapa cerpen Pram menjadi bacaan wajib pada buku ajar di sekolah menengah atas.
Saat aku menemukan buku “Nyanyian Sunyi Seorang Bisu” di sudut rak, tiba-tiba, ketika aku akan menarik buku itu, ada tangan putih halus mulus dengan jari-jemari nan lentik menarik lebih dulu. “Ledies first!” katanya setengah teriak. Gara-gara perebutan buku itu, aku jadi berkenalan. Dia pun mulai melirik bahan-bahan bacaanku kala itu. Dia bertambah tertarik untuk berdiskusi tentang sastra Melayu denganku. Sebenarnya, basic pendidikan Yasmin adalah keuangan, tapi kecintaannya kepada sastra terdorong saat belenggu rumah tangganya memuncak. Dia menemukan kebebasan, kejernihan akal, pengetahuan dan hikmah dari buku-buku sastra yang dibacanya, terutama sastra Melayu-Indonesia.
Sejak perkenalan itu, kami sering berbagi pengalaman. Dia sering bertanya banyak hal tentang Indonesia dan masalah-masalah agama Islam. Sedangkan aku, banyak bertanya tentang masalah ekonomi dan keuangan Malaysia dari mulutnya yang mungil. Kita saling berbagi. Berdiskusi di ruang perpustaan yang nyaman, sepi dan kadang romantis. Lalu, dilanjutkan untuk duduk-duduk santai di bangku taman yang asri, di kantin, di tepi danau kampus, di dekat hostel atau dimana pun di lingkungan UM yang bisa kita jadikan untuk “mojok.”
Untuk pertama kalinya dalam hidupku kala itu, aku mendapat hadiah sepeda motor baru dari seseorang yang baru dikenal selama sebulan. Seorang peri cantik Melayu yang mengagumkan. Sahabat diskusi yang mengasyikkan: Yasmin binti Samad.
“Terimalah sebagai buah tangan dari seorang sahabat,” tuturnya.
Waktu itu, aku masih belum percaya. Yasmin hanya sahabat, aku sama sekali belum mengutarakan isi hatiku kepadanya. Yasmin belum ditembak. Tapi, dia sudah memberi hadiah yang sangat bermanfaat buatku kala itu. Aku bingung harus bilang apa. Namun, berkali-kali Yasmin meyakinkan bahwa itu adalah hadiah tulus ikhlas dari seorang sahabat Melayu; “Perempuan Melayu Terakhir”-ku.
“Minggu lepas, aku tengok awak bekerja di kedai minyak,” tuturnya.
“Bila?”
“Hari Rabu. Waktu awak berlari-lari sambil membawa buku-buku. Aku kat situ, tengah beli minyak.”
Rupanya Yasmin menyaksikan peristiwa sedihku hari itu. Aku terlambat datang ke pom bensin di Jalan Universiti, tempat aku magang. Karena, aku harus membawa tumpukan buku dari perpustakaan yang begitu banyak. Bos Indiaku marah-marah di depan pelanggan. Aku cukup malu karenanya. Ternyata, Yasmin berada disana menyaksikan peristiwa itu.
“Bukankah awak dapat beasiswa dari kerajaan?” tanyanya.
“Dapat, tapi kurang buat belanja,” kataku sambil tertawa-tawa.
Aku memang mendapat kesempatan magang di tempat itu karena mendapat rekomendasi dari seorang dosen sastraku. Seperti juga mahasiswa Indonesia yang lain, kuliah sambil bekerja adalah hal lumrah. Kadang kami mengajar private, menjadi asisten dosen, menjaga toko dan lainnya. Pokoknya, mendapat uang saku lebih dari beasiswa yang kami dapat.
Motor hadiah itu akhirnya menjadi motor bersama kami. Yasmin lebih sering memboncengku kemana-mana daripada menggunakan mobilnya sendiri. Kami memiliki weekend yang lebih seru. Aku mengutarakan cintaku justru di tepi jalan, saat motorku bocor dan harus menuntunnya ke arah pom bensin. Tak akan dijumpai tukang tambal ban di Malaysia. Setiap kali ban dalam bocor, maka kita harus segera menelpon bengkel untuk mengirim orang mengganti ban. Sayangnya saat itu, nomer bengkelku hilang. Aku harus berjuang mendorong motor itu, sedangkan Yasmin berjalan mengikutiku dari belakang.
Aku tak melihat muka sedih Yasmin atau marah menyalahkan aku saat ban motor itu bocor. Dia justru merasa senang melihatku berkeringat mendorong motor di perbukitan kampus UM yang melelahkan. Saat itu, kutahu bahwa aku harus mengutarakan cintaku. Itu adalah waktu yang paling tepat dan mudah untuk diabadikan bagi jalan cintaku.
Maka, kuhentikan dan kusandarkan motorku sebentar, sambil menunggu Yasmin yang berjalan di belakang. Aku menepi ke sisi jalan, di bawah pohon beringin yang rindang.
“Yasmin, aku ingin mengatakan sesuatu?” kataku serius.
Yasmin masih terengah-engah karena berjalan di terik mentari UM kala itu. Tapi, dia mengerti keseriusanku waktu itu.
“Ada apa?” katanya sambil tersenyum manis.
Aku menarik nafas panjang, mendekat ke arahnya. Tak memedulikan mobil-mobil melaju di jalan itu. Aku tak peduli sorot mata liar orang dari ujung jalan. Kupikir, ini hakku untuk memilih. Ini hakku untuk menentukan mimpi. Ini hakku untuk mengutarakan cintaku kepada melati indah di bawah pohon rindang.
“Maukah kau menjadi pacarku,” kataku.
“Yes! Yes!!” Jawab Yasmin tiba-tiba. Tak kusangka, Yasmin berjingkrak-jingkrak seperti anak ABG mendengar pertanyaanku. Awalnya, aku merasa seperti dilecehkan, seperti ditolak Yasmin. Tapi, ternyata tidak. Itu adalah jawaban yang sebenarnya.
“Aku jadi pacar. Pacar orang Indonesia. Aku jadi pacar. Yes! Yes!” katanya lagi sambil senyum-senyum. Kita memang sama-sama sudah dewasa. Aku sudah berumur 29 tahun dan Yasmin adalah janda berumur 27 tahun. Tak sulit untuk mengutarakan suka dan cinta kepada orang lain di usia kita. Tapi, yang membuat Yasmin girang adalah kata “Pacar.” Sebuah kata yang hanya dia dapatkan di film-film Indonesia yang menyebar di sini. Tapi, kata “pacar” tak akan mudah dijumpai dalam perbendaharaan kata remaja atau masyarakat di Malaysia. Yasmin suka dengan kata itu.
“Aku sudah menjadi pacar kamu, sejak kita berebut novel Pram,” katanya dengan tersenyum.
Aku tak mungkin bisa melupakan masa-masa pacaran dulu. Kenangan indah antara kami. Masa dimana kami menyongsong harapan dan meniti jalan menuju bahtera rumah tangga. Yasmin yang dulu sering murung karena kegagalan rumah tangganya seperti mendapat angin segar perubahan dengan kehadiranku. Namun, kemurungan 3 tahun lalu, kini kulihat lagi di wajahnya. Yasmin tampak sedih, seperti kesedihan dan kesendiriannya dulu saat bercerai dengan Razi.
***
Yasmin ingin memulai membuat bisnis online sendiri agar bisa selalu bersama Sean. Masa-masa bersama Sean dirasakan sebagai masa terakhir. Yasmin ingin agar kelak ketika kemungkinan buruk terjadi, dirinya sudah siap. “Kalau tiba-tiba Razi mengambil Sean dariku aku sudah siap,” katanya. Dia mulai menyibukkan diri dengan membuat web, blog, facebook, twitter, instagram, path, dan wattpad. Semua dikerjakan sendiri. Dengan bekal pengalaman menjadi manager keuangan, Yasmin mulai membuat perencanaan-perencanaan bisnis online dengan matang. Mencari produk yang tepat, menjaring klien, menyiapkan packing dan pengiriman. Praktis, rumah kami menjadi kantor sekaligus gudang baju muslimah yang dikelolanya.
Yasmin bekeja sama dengan beberapa kawan terpercaya untuk membuat boutique online. Dia memberi nama Puspa Boutique. Aku berharap kesibukan barunya bisa membuatnya move on. Aku tak ingin melihat Yasmin terus bersedih. Biar bagaimana pun, masalah Razi harus diselesaikan dengan baik. Jangan sampai membuat luka baru dan meradang lama.
Sayangnya, melibatkan orang lain dalam masalah rumah tangga kadang justru menjadi bumerang tersendiri. Aku dan Yasmin tak mampu menghentikan amarah Bang Faizal. Kini, Bang Faizal beberapa kali mendatangi keluarga Razi, seperti menteror. Aku berinisiatif untuk menghubungi Datuk Rustam, ayah Razi. Tapi, sudah berkali-kali telponnya tak diangkat. Aku berharap, aku bisa mengambil jalan damai yang lebih kekeluargaan. Meskipun aku harus memelas dan merendahkan diri di depan mereka. Bagiku, itu adalah harga yang harus aku bayar untuk menjaga keutuhan rumah tangga dan menghindar dari konflik yang berkepanjangan.
“Abang tak perlu jumpa Datuk,” cegah Yasmin.
“Aku ingin meredakan masalah ini, sayang,” kataku kepada Yasmin.
“Bagaimana Abang jelaskan kepada Datuk Rustam?”
“Aku akan jelaskan semuanya. Aku yakin, sebagai orangtua, dia adalah orang yang bijak. Aku percaya Datuk Rustam adalah jalan kita menyelesaikan masalah ini.”
“Tapi, beliau itu orangnya keras juga.”
“Tak apa, akita harus coba.”
“Terserah Abang saja lah. Aku tak nak ikut campur. Aku malas nak cakap dengan keluarga Razi lagi. Sudah lama sakit ini.”
Aku berniat untuk mengunjungi rumah Datuk Rustam atau bila perlu menjumpai beliau di kantornya. Tapi, rupanya aku terlambat. Bang Faizal menelpon Yasmin dari Ceras. Dia memberitahu bahwa dirinya telah berhasil menemui Razi.
“Abang!” teriak Yasmin di telpon. Aku hanya mendengar suara Yasmin membentak Bang Faizal. Wajah Yasmin memerah mendengar cerita Bang Faizal di ujung telpon.
“Abang jangan buat gaduh. Sudahlah Bang, ini masalah aku!” kata Yasmin lagi.
KL menjerit. Aku dan Yasmin tak mampu menghentikan Bang Faizal berbuat kasar. Razi babak belur digebuk Bang Faizal. Pasti Datuk Rustam murka. Akan ada teror antara masing-masing keluarga. Entah sampai kapan ini berakhir. Rencanaku untuk meminta bantuan Datuk Rustam pasti akan menuai jalan buntu.
Aku memang tak boleh berharap kepada makhluk. Karena hanya bisa melahirkan kekecewaan demi kekecewaan. Aku harus tetap berharap kepada Allah, satu-satunya pemberi harapan yang tak pernah ingkar janji. Hasbunallâh wa ni’mal-wakîl ni’mal mawlâ wa ni’man natsîr (Cukuplah Allah saja bagiku dan Dia adalah sebaik-baik pelindung).
***
Beberapa kali Maryam menelponku. Berpuluh pesan whatsapp aku terima darinya. Ini seperti teror terhadap diriku yang sedang banyak masalah. Dia seolah tak mau peduli dengan masalah yang sedang kuhadapi. Beberapa kali kulihat Yasmin mengintip-ngintip handphone-ku karena curiga. Meski dia tak berusaha bertanya kepadaku, namun kutahu dia tak merasa nyaman dengan kehadiran Maryam. Aku sudah berusaha menjelaskan agar bersabar, aku tak bisa setiap saat menemuinya. Istri dan anakku pun punya hak yang harus kupenuhi. Aku punya pekerjaan yang tak bisa ditinggal. Tapi, Maryam begitu egois seolah punya hak atas diriku.
“Tolong aku, Matin!”
“Masak kamu tega. Kahar sudah seminggu tak pulang-pulang.”
“Tolong aku. Aku butuh teman curhat.”
Sederet pesan Maryam masuk ke handphone-ku. Aku biarkan beberapa lama, aku masih sibuk mengurus dokumen pengambilan barang di Port Dickson. Bolak balik custom bea cukai dan karantina pasti melelahkan. Aku juga tak boleh salah memilih perusahaan ekspedisi. Pesan seperti itu jelas mengganggu, apa lagi kalau dibaca Yasmin.
“Kamu tega!”
“Kawan macam apa kamu?!”
“Tolong mengertilah, aku tak punya siapa-siapa di KL ini.”
“Apakah menurutmu aku bercerai saja? Aku sudah muak. Aku sudah tak tahan lagi. Sakit, sakit banget.”
Maryam terus mengirim pesan dan kadang menelpon di jam kerja berkali-kali.
“Please…Be patient (Tolong bersabarlah)” jawabku singkat.
“Tak mungkin aku mengajarkanmu tentang sabar,” kataku lagi.
“Hmmm. Sampai kapan? Kamu nggak ada waktu buat temanmu sama sekali?”
“Sorry, I’am too busy rightnow (Maaf, aku terlalu sibuk sekarang)
Ternyata penjelasanku sama sekali tak menghentikan gangguan Maryam kepadaku. Aku sudah jelaskan bahwa aku tak bisa bertemu dan tak bisa menjanjikan kapan waktunya. Bagiku, dia tetap teman, tapi bukan berarti bisa seenaknya saja mengaturku. Aku harus adil membagi waktu untuk pekerjaan dan keluarga. Aku bukan konsultan psikologis atau psikiater. Masalahku justru kadang lebih berat dari itu semua. Maryam tahu itu, tapi dia tak mau mengerti.
“Maryam sahabatku, aku benar-benar merasa terganggu! Mungkin ini adalah pesan terakhirku untukmu. Jika kamu beruntung, aku akan menghubungimu nanti, saat waktu senggang.”
“Hmmm. Pesan terakhir? Kamu sudah nggak mau berkawan lagi? Jahat kamu! Kamu tega!”
Akhirnya, saat waktu senggang menunggu klienku di lobby Hotel Grand Lexis Port Dickson, aku menulis pesan penting untuk Maryam:
“Dawil-ghadhab bil-shamti
(Obati marahmu dengan diam)
tsamratul-iman al-fawz bil-allahi ta’ala
(Buah iman adalah “keberhasilan” menemukan Allah Ta’ala)
wa tsamratul-ilmi ma’rifatullah ta’ala
(Dan, buah ilmu adalah mengenal Allah Ta’ala)”
Kulihat dia langsung membaca pesanku. Lalu berusaha menulis jawaban. Tanpa menunggu balasannya, aku segera mengetik penjelasan maksud dari pesanku tadi.
“Aku berharap kau bisa memahami nasehat Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili ini. Karena, kadang-kadang, diam adalah penyelesaian masalah yang terbaik. Itulah makna sabar yang sesungguhnya. Sabar adalah ruh bagi makna diam. Sabar bukan hanya berarti nrimo (menerima), tapi juga gerak untuk melangkah. Tapi, dengan berusaha diam, kamu akan menemukan wujud “ada”-nya diri ini dan melihat “gerak” kuasa-Nya: sadar akan adanya Allah dan merasakan gerak kehendak-Nya. Lalu, melalui iman dan ilmu kelak kau akan mendapat secercah cahaya dalam diammu. Maka, gunakan iman dan ilmumu dengan benar! Aku bukan sandaran atas harapan-harapanmu. Temukan itu dalam dirimu sendiri! Anggap saja ini pesan terakhirku. Mengertilah sahabatku. Salam.”
Setelah kupastikan dia membaca pesanku, aku segera memblokir telpon, whatsapp, dan facebooknya. Kupikir ini yang terbaik. “Bismillah. Semoga dia dapat pencerahan. Aku akan menghubunginya nanti saat longgar,” bisikku.
---BERSAMBUNG PART 13---
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1671500296233231
https://www.facebook.com/halim.ambiya 

2 comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...