Monday, July 30, 2018

SORBAUJAN PART 10 BUKIT BINTANG

Oleh Halim Ambiya
“Aku tunggu di Bukit Bintang Café.”
“Ok.”
Aku segera keluar dari Central Market menuju Bukit Bintang. Sengaja aku memperlambat pertemuanku dengan Maryam agar bisa menguatkan hatiku. Berjalan menyelusuri kota, menembus kerumunan para pejalan kaki.
“Ahh. Aku masih punya waktu 45 menit untuk bertemu dia,” bisikku. Aku tak mau tampak terlalu bersemangat di depan Maryam. Aku harus terlambat dan membiarkan dia menunggu. Lagi pula ini bukan kencan. Ini hanya pertemuan bisa antara sesama sahabat. “Bukan Maryam yang membuat hatiku berdebar-debar. Tapi, orang yang pernah dekat dengannya membuat ciut nyaliku. Bagaimana jika saat aku bertemu dengan Maryam, tiba-tiba bayangan Hanum kembali menghantui? Hmmm,” bisikku lagi.
Aku berhenti sebentar di Jalan Pudu. Menarik nafas dalam-dalam. “Apakah aku harus lanjutkan?” tanyaku dalam batin. Aku merasa ragu untuk melajutkan. Terdetik dalam batin untuk membatalkan pertemuan ini.
“Abang, jadi nak jumpa Maryam?” tanya Yasmin di pesan whatsapp tiba-tiba.
“Hmmm. Jawab nggak ya?” bisikku ragu. Ternyata Yasmin masih mengingat jadual pertemuanku dengan Maryam hari ini, padahal aku memberitahunya 3 hari lalu saat dia sedang mencuci piring. “Ingatannya cukup kuat,“ bisikku lagi.
“Jadi, sayang.”
“Bila nak jumpa? Jam berapa? Kat mana?”
“Jam 4. Di Bukit Bintang.”
“OK.”
Aku kembali berhenti di depan Hospital Tung Shin. Rehat sejenak untuk mempertimbangkan. “Apakah waktuku sudah tepat? Apa aku sudah kuat?” bisikku lagi. Kalau ngobrol via telpon atau pesan whatsapp aku bisa menyembunyikan ekspresiku yang sebenarnya. Tapi, kalau bertemu langsung, apa aku sanggup menghindari bayangan Hanum yang bisa saja muncul di sisi Maryam? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu semakin berseliweran.
Sungguh ini membuatku tersiksa. Sukar melupakan masa lalu yang menyimpan banyak kenangan. Saat aku kuliah di Jakarta, setiap melihat mobil dengan kode polisi “R” saja, jantungku berdebar-debar. Padahal plat mobil “R” boleh jadi orang Banyumas, Purwokerto, Banjarnegara, tak berarti Cilacap kotanya Hanum. Tapi, anehnya setiap kali melihat plat mobil itu anganku melayang mengingat Hanum. Langsung membayangkan kehadiran Hanum keluar dari mobil itu.
Hal yang membuatku malu justru saat aku bertemu Hendra, klienku di Bintaro, tiba-tiba sekretaris kawanku datang menyodorkan berkas ekspedisi yang aku butuhkan. Tapi, kulihat wanita muda itu memakai baju yang mirip dengan pakaian Hanum dulu. Cara wanita itu tersenyum ramah dan menawarkan minum membuatku hanyut. Aku malah dianggap naksir wanita itu. Hendra bahkan membuatku semakin salah tingkah. “Dinda, bisa temani kami disini?” tanya Hendra kepada wanita itu. Aku berusaha menghindar dengan alasan macam-macam. Tapi, justru membuat Hendra semakin menganggap aku tertarik dengan stafnya. Untung saja, toilet di kantornya cukup nyaman, aku pura-pura sakit perut untuk menghindar dari wanita itu.
Beberapa kali Maryam menelpon, tapi tidak kuangkat.
“Matin, saya sudah sampai di Bukit Bintang,” kata Maryam melalui whatsapp.
“Kamu sudah jalan?”
“Tolong kabari ya?”
Aku belum mau menjawab. Kini aku berjalan mondar-mandir di depan Swiss Garden Hotel. “Ya Allah, beri aku kekuatan,” bisikku dalam hati. “Mengapa waktu 12 tahun tak cukup untuk membuatku kuat? Mengapa aku hanya mampu menghindar, tapi tak mampu menghadapi?”
“Bismillahirrahmanirrahim.” Akhirnya, setelah mengumpulkan kekuatan, aku pun bergegas menuju Bukit Bintang. Mempercepat jalanku agar tidak terlalu lama Maryam menunggu. Aku bershalawat sepanjang trotoar di Jalan Pudu, terus menelusuri Jalan Alor. Aku tak peduli lagi apa yang terjadi nanti saat bertemu dengan Maryam. Namun, ketika aku melintas dekat Kuala Lumpur Baptist Church, tiba-tiba aku mendapat telpon dari orang tak dikenal.
“Hai Indon. Bila awak nak hantar Sean ke rumah?” tanya sesorang dengan dialek khas Melayu. Aku tak begitu paham apa maksudnya. Aku masih terdiam, siapa orang ini. “Maaf, siapa ini?” tanyaku.
“Aku Razilah. Tak tahu konon. Janganlah pura-pura tak tahu!” katanya kasar.
“Ohhh. Awak Razi ke?” tanyaku tegas saat kutahu dia adalah Razi. Aku muak dengan orang Melayu yang tak tahu budi bahasa. Tak sepatutnya dia bicara semacam itu. Ini bukan orang Melayu yang punya sopan santun. “Orang Melayu yang waras tak macam itu,” bisikku dalam hati.
“Bila awak nak jumpa saya? Sekarang? Awak kat mana?”
“Hello..Hello…”
Tak ada jawaban. “Ini teror. Kalau dia berani menggertak aku seperti itu apalagi dengan Yasmin? Dia pasti mengancam macam-macam,” bisiku.
Segera aku menelpon Yasmin memberitahukan Razi menelponku. Dia cukup kaget dan penasaran dengan ceritaku. Tapi, menurut Yasmin itu bukan nomer telpon yang biasa dipakai Razi.
“Hmmm. Geram aku. Berarti dia menyuruh orang ugut (mengancam) Abang,” jelas Jasmin.
“Dia sekarang ada di Bangkok, Bang. Aku pun tengah cari dia. Bang Faizal bantu kita untuk selesaikan masalah kita,” kata Yasmin lagi.
“Kenapa awak minta bantuan Bang Faizal?”
“Aku sudah tak tahan, Bang.”
“Iya, tapi mengapa awak libatkan Bang Faizal?”
“Bang Faizal itu abangku, dia akan membela kita Abang.”
“Tapi, Bang Faizal itu emosional, tak terkontrol, sayang. Aku takut masalah ini bertambah besar.”
“Aku sudah tak peduli, Bang.”
“Bang Faizal itu tentara sayang. Dia keras orangnya.”
“Sudahlah, Bang. Percaya sama aku. Insya Allah, ini cara yang terbaik.”
Aku pikir Yasmin sudah tidak bisa dibendung. Menurutku, Bang Faizal itu bisa memperumit keadaan. Dia dan kawan-kawannya bisa main kasar. Dan, kalau itu terjadi, Razi dan keluarganya pasti tak akan tinggal diam. Razi itu anak datuk yang disegani.
Aku segera menelpon Bang Faizal untuk meredam suasana. Tak nomer telponnya tak bisa dihubungi. “Ini akan menjadi konflik antar keluarga yang bertambah hebat. Hmmm. Padahal, kalau aku bisa bertemu dulu dengan Razi baik-baik, mungkin bisa dicarikan solusinya,” keluhku dalam hati.
Setelah menelpon Bang Faizal berkali-kali tak dijawab, kuputuskan untuk menemui Maryam dulu. “Syukurlah, gara-gara masalah ini, aku justru merasa ringan untuk bertemu Maryam. Sekarang bagiku masalah ingatan terhadap Hanum dan pertemuan dengan Maryam bukan masalah berarti. Agaknya Tuhan sedang membantu menyelesaikan masalah dengan masalah yang lebih besar,” bisikku.
***
“Assalamualaikum, apa kabar?”
“Alhamdulillah, baik. Kamu bagaimana?”
“Alhamdulillah.”
“Kamu tambah ganteng, Matin. Kelihatan tambah matang.”
“Matang, emang buah?”
“Benaran. Kamu tambah kelihatan berwibawa.”
“Kamu juga tambah cantik. Maaf menunggu lama ya.”
“Nggak apa-apa. Akhirnya, kita bisa ketemu juga di sini.”
Basa-basi kami berjalan hanya beberapa saat. Bang Faizal menelpon balik. Aku segera meminta izin kepada Maryam untuk menerima telpon sambil berjalan menjauh dari meja kami.
“Yasmin cakap, Razi telpon awak?”
“Betul tadi ada telpon, dia mengaku Razi. Aku tak tahu suara Razi macam mana.”
“Bagi saya nomer telponnya.”
“Abang, please. Slowly…” Aku meminta Bang Faizal untuk menahan diri.
“Awak tenang sahaja. Abang tak akan tinggal diam. Nyawa Abang jadi taruhannya.”
“Abang, terima kasih sudah membantu. Tapi, ini masalah aku dan Yasmin. Aku tak mau masalah ini menjadi besar.”
“Siapa yang buat masalah ini jadi besar?! Ini ulah Razi biadab. Dia orang pikir awak seorang saja kat Malaysia. Ingat, Erik, sepanjang Abang masih hidup, tak boleh ada orang yang menyentuh awak. Tak boleh ada orang yang berbuat jahat kepada awak. Awak adikku, awak suami adikku. Aku tak boleh diam. Mentang-mentang dia anak datuk nak buat seenak perutnya sahaja. Langkahi dulu mayatku, kalau nak coba-coba buat jahat kepada keluargaku. Aku nak buat perhitungan dengan Razi.”
Bang Faizal justru berbalik memarahiku. Dia benar-benar ingin mencari Razi. “Ini bukan masalah awak seorang. Tapi, masalah Yasmin, masalahku juga. Masalah keluarga kita,” kata Bang Faizal sudah naik pitam. Aku tidak bisa membayangkan jika dia bertemu dengan Razi. Pasti bisa terjadi perkelahian. Bang Faizal ini berumur 55 tahun lebih, dia ambil pensiun dari tentara setelah 30 tahun mengabdi, tapi jiwanya masih seperti anak muda, masih sering kumpul bareng gengnya. Wajahnya seram berkumis, kulit agak gelap dan bertubuh gempal. Siapa pun pasti takut kalau dia marah.
Aku keluar dari kafe itu agar pembicaraanku tak mengganggu Maryam dan tamu-tamu lain di tempat itu.
“Bagi nomer telpon dia!” pintanya.
“Saya sudah telpon dah, tapi dia tak angkat lagi,” jawabku.
“Bagi sajalah nomer telponnya!”
“Kalau nomer telpon palsu pun Abang nak telpon ke?”
“Awak tenang. Saya mahu lacak dia kat mana?”
Akhirnya, aku pun memberi nomer telpon asing yang mengaku sebagai Razi. Aku benar-benar meminta Bang Faizal untuk tidak bertindak gegabah. Dia ingin meminta bantuan kawannya di provider telpon untuk mencari tahu kordinat si penelpon gelap tadi.
Aku segera masuk kembali ke dalam kafe dan berusaha menutupi masalah ini di depan Maryam. Seolah tak terjadi apa-apa. Namun, cara dia memandangku, dia seperti ingin tahu.
“Ada masalah apa? Kamu tampak tegang banget?”
“Nggak ada apa-apa. Hanya urusan bisnis biasa.”
“Kamu bohong. Aku bukan anak kecil, Matin. Aku bisa melihat masalahmu yang besar.”
“Sudahlah. Lupakan saja. Tadi, kita ngobrol sampai mana?” tanyaku sambil senyum-senyum dengan akting seperti aktor Hollywood. Lalu memesan kopi Aceh dan menghisap rokokku.
Maryam terdiam. Dia menatapkan dalam-dalam. Aku berusaha menghindari sorot matanya dan menghisap rokok.
“Sampai mana tadi?” tanyaku lagi.
“Tidak. Aku lihat kamu punya masalah besar. Kalau memang kamu harus pergi, nggak apa-apa. Kita bisa lanjutkan nanti,” tutur Maryam.
“Ah masalah biasa. Namanya juga bisnis.” Aku tak mau acara temu kangen ini berujung dengan curhat tentang masalah rumah tanggaku. Kalau Maryam curhat silahkan saja, tapi aku tidak.
“Aku tahu gayamu sejak dulu. Kamu menyembunyikan sesuatu. Aku lihat tadi, caramu menelpon kelihatan banget tegang.”
“Ada apa? Boleh aku tahu?”
Setelah berkali-kali bertanya tak dijawab, Maryam pun akhirnya mengalihkan pembicaraan. Kini dia bercerita tentang perjalanannya hingga sampai ke Kuala Lumpur. Dan, hal yang sangat mengejutkan, ternyata dia adalah istri dari Ustaz Kahar, guru yang dulu selalu berperan antagonis terhadapku di pesantren. Sayangnya, setelah 8 tahun menikah, Maryam belum mempunyai anak.
----BERSAMBUNG PART 11-----

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1669285986454662
https://www.facebook.com/halim.ambiya 

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...