Tuesday, July 31, 2018

SORBAUJAN PART 21 BUKAN SEKADAR KL

Oleh Halim Ambiya
Minggu pagi itu masih menyisakan pesan dan makna kata. Sebuah pengalaman mengasyikkan menelusuri belantara bahasa Melayu dari akar-akarnya. Rimba yang membuat para petualangnya terkagum-kagum. Pesan Cikgu Abdurrahman masih terngiang-ngiang: huruf-huruf itu ghaib. Tak ada satu huruf pun yang keluar dari mulut manusia tanpa kehendak-Nya.
Nasi lemak, kopi pahit dan teh tarik mengawali pagi kami tanpa terlelap. Seolah Encik Zaidi dan Mas DS menjadi kawan lama yang baru berjumpa. Aku semakin mengagumi cerita perjalanan Mas DS. Petualangannya mencari kebenaran kata membuatku iri. Bagaimana tidak, seorang muallaf, berketurunan Cina, punya perhatian luar biasa terhadap Al-Qur’an dari sisi kemukjizatannya pada simbol-simbol huruf dalam bahasa Arab. Riset semacam ini jarang dilakukan oleh sarjana-sarjana Timur Tengah. Dan, Mas DS melakukannya dengan gairah sains dan iman. Bagiku, menjelaskan pengalaman batin secara ilmiah dan filosofis, lalu menawarkannya sebagai sumber ilmu pengetahuan yang sah adalah hal yang sukar dilakukan. Sebuah studi yang cukup berani, brilian dan memancing kesadaran ruhani.
Mas DS berhasil membuktikan bahwa setiap huruf, baik model atau bentuk aksaranya pada setiap bahasa memiliki rahasia tersendiri dari hadirat Ilahi. Ini berlaku pada semua huruf dalam semua bahasa. Begitu juga pelafalan huruf dan gaya tutur para pengucapnya, semuanya tak bisa lepas dari kuasa Sang Maha Pencipta bahasa: Allah. Tak terkecuali nama orang. Tak ada satu nama pun yang tak diciptakan oleh Tuhan untuk makhluknya, meskipun kita mengenalnya melalui pemberian nama dari orangtua. Karena, hakikatnya tak akan ada satu huruf pun yang keluar dari mulut orangtua kita tanpa kehendak-Nya. Mas DS menyadarkan kepadaku bagaimana ayat-ayat Tuhan bekerja secara mistis.
Setelah sarapan tamu-tamuku berpamitan dan berjanji untuk bertemu lagi.
“Aku lupa…” kata Cikgu Abdurrahman sambil berdiri dan mengayunkan tongkatnya ke kanan dan ke kiri. Dia menghadap kepada orang yang salah. “Lupa apa, Cikgu?” tanyaku menghampirinya. Dia pun mencari sumber suaraku.
“Thariq…Maryam menitipkan salam untukmu.”
“Maryam?! Kenal dimana?”
“Ahhh. Akulah orang yang mengenalkan Maryam kepada Zahra dan Datuk Rustam.”
“Ohhhh…Begitu?!”
“Ceritanya panjang. Aku sudah mendengar semua cerita tentangmu, Cikgu Thariq.”
Aku berusaha bersikap biasa saja. Sambil kupapah berjalan keluar apartemen, Cikgu Abdurrahman terus bercerita tentang pertemuan pertamanya dengan Maryam. Ternyata Maryam dan Ustaz Kahar adalah tetangga flat-nya di Petaling Jaya, Seksyen 17. Maryam sudah menjadi pasien di bulan pertamanya di KL. Dia mengadukan masalah rumah tangganya kepada Cikgu Abdurrahman.
“Dia memerlukan bantuanmu, Thariq. Bukan aku,” bisik Cikgu Abdurrahman. “Awak tak perlu menghindar. Hadapi saja! Itu tugasmu. Bukan hanya Maryam, tapi suaminya juga. Jangan sampai Kahar tersesat terlalu jauh. Aku rasa, beban hidup yang membuatnya tergelincir pada pemahaman yang salah. Dia salah menafsirkan makna jihad,” bisiknya lagi.
“Baik, Cikgu,” jawabku. Rupanya Cikgu Abdurrahman sudah mengetahui duduk masalah yang dihadapi Maryam. Aku merasa bersalah beberapa kali menolak ajakan Maryam untuk bertemu. Semoga saja Kahar tidak terlibat terlalu jauh dengan kelompok radikal di Malaysia. Sebab, sistem keamanan di Malaysia lebih ketat daripada di Indonesia.
“Jangan terlambat!” kata Cikgu Abdurrahman lagi.
“Baik, Cikgu. Insya Allah, aku segera hubungi Maryam siang ini.”
Aku melepas tiga tamuku dengan rasa kantuk dan lelah. Kini harus tunaikan hak badanku untuk beristirahat. Sekadar menebus hutang tenaga begadang semalam suntuk. Yasmin sangat mengerti itu, dia segera menyeretku ke kamar. “Tidur, sayang! Jaga kesehatanmu!” pintanya.
***
Yasmin mulai membereskan bekas kamar Sean. Ruangan itu ditata-ulang. Dia menggeser foto-foto Sean dan menggantinya dengan foto-foto pernikahan kami. Seperti sedang mengharap kehadiran anak berikutnya dan mengubur ingatan tentang anaknya yang telah hilang. Kulihat dia memang bukan perempuan biasa. Yasmin tampak matang. Dia sangat sadar bahwa hidup bukan hanya deret angka dan hitungan matematik dalam jurnal keuangan, sebab logika Tuhan berbeda dengan logika manusia. Meskipun perencanaan telah disusun rapi, namun tak menjamin hasil akhir. Kehadiran Sean di rumah kami adalah buktinya. Dan, satu hal, perempuan Melayu ini memang pandai menghias ruangan. Aku benar-benar telah melihat suasana baru dalam sekejap. Kamar ini disulap menjadi seperti kamar bayi yang baru. Yasmin melakukannya sendiri, tanpa Makcik Izzah.
“Abang sudah siap?” tanyanya sambil melirik ke arahku saat aku mendekat.
“Sudah, sayang.” Aku semakin mendekat ke arahnya. Lalu, mengecup kuntum bunga melati wangi di hadapanku: Yasmin. Aku memeluknya sekejap. Membelai rambutnya yang hitam berkilau. “I love you, Abang,” bisiknya mesra. “I love you too, Yasmin,” sambutku.
“Bilik ini untuk anak kita nanti, sayang.”
“Aamiin. Moga Allah memberi kemudahan,” jawabku. Entah berapa kali Yasmin mendengar jawaban serupa itu. Saat terucap dari mulutnya bahwa dia ingin punya anak dariku, maka aku akan selalu menjawab: “Aamiin. Moga Allah memberi kemudahan.”
Ternyata kehadiranku di kamar itu hanya membuatnya lemah. Tak seperti tadi, waktu kulihat dia dari jauh. Yasmin justru tampak cengeng dalam pelukanku. Aku akui, tiga tahun menanti seorang anak bukanlah waktu yang sebentar. Apalagi bagi seorang istri, pasti mempunyai rasa harap berlipat-lipat. Aku pun sama, ingin melihat darah-dagingku sendiri di kamar itu. Namun, Tuhan telah mengulur waktu hingga sejauh ini.
Aku menangkap tangis, meski tanpa airmata.
“Jangan pernah berhenti bermunajat, sayang. Tak ada kata mustahil bagi Tuhan. Allah yang kita tuju. Tak ada yang lain,” bisikku. Aku ingin menyadarkannya, sebab beberapa saat tadi, aku menangkap kesan yang bimbang dari diri Yasmin. Dia tampak sedang bergumul dengan perasaan dan pikirannya sendiri. Namun tak menemukan jawabannya. Ini adalah tragedi manusia modern yang selalu gagal menemukan penyelesaian masalahnya di kepala mereka sendiri. Yasmin terlalu hanyut dengan pikiran tanpa kehadiran kalbu.
Kadang-kadang, dengan menyibukkan diri bekerja dan membersihkan rumah perasaan sedih bisa hilang begitu saja. Namun, Allah Maha Membolak-balikkan, tak semua getar hati berjalan lurus dan terkontrol. Perasaan sedih, galau, marah, benci dan dendam bisa muncul dengan atau tanpa sebab apa pun. Letupan-letupan itu yang harus dikenali dan dijinakkan dengan olah batin. “Jangan lupa dzikirmu, sayang,” bisikku lagi di telinganya. Yasmin hanya memeluk kencang, lalu mengusap-usap pundakku. “Kalbumu tak boleh kosong. Isi penuh dengan mengingat-Nya. Rasakan kehadiran-Nya. Jangan beri ruang sedikit pun nafsumu menghalangi pandanganmu kepada-Nya,” kataku lagi.
***
Siang menjelang sore aku berencana untuk pergi ke Pustaka Indonesia, toko buku langganan di Jalan Masjid India. Sebagai penggemar buku-buku Indonesia tempat ini memang layak dikunjungi. Tumpukan buku-buku import dari Indonesia sering kali membuat kami tergoda. Melalui buku-buku popular terbaru, aku dan Yasmin sering mengintip khazanah kesusastraan Indonesia dan Malaysia. Seperti juga jalan cinta kami, kami disatukan oleh keindahan dan kedalaman makna sastra dalam alam pikiran Melayu.
Kuberitahu Yasmin bahwa aku ada janji bertemu Maryam dan Ustaz Kahar di sekitar Jalan Masjid India, jadi bisa sekalian “nongkrong.” Bagiku itu hanya pertemuan biasa, tak perlu ditutup-tutupi, apalagi Maryam didampingi suaminya.
“Jemput Maryam kemari, Bang,” kata Yasmin.
“Insya Allah,” jawabku.
“Tapi, jemput dalam bahasa Malaysia, ya? Bukan Indonesia,” canda Yasmin sambil tertawa-tawa. “Abang tak perlu menghantar Maryam,” katanya lagi.
“Baik, Puan,” kataku sambil membalas kelakarnya. Kata “jemput” dalam bahasa Melayu Malaysia itu bermakna “undang”, bukan berarti “menjemput” seperti dalam bahasa Indonesia. Lalu, ketika ada tulisan “Jemput Naik” di pintu taksi di Kuala Lumpur, itu berarti “Silahkan naik.” Bukan berarti kita dijemput taksi itu. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kerap kali kita jumpai bahasa yang jarang digunakan dalam bahasa resmi dan keseharian masyarakat Indonesia, tapi justru dijumpai sangat populer di masyarakat Melayu Malaysia. Begitu juga sebaliknya yang terjadi di Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Sebagai contoh, kata “sulit” itu biasa diartikan “sukar” atau “susah” oleh masyarakat kita. Namun, masyarakat Malaysia sering menggunakan kata “sulit” dengan arti “rahasia.” Kata “sulit” biasanya tertera dalam amplop surat atau dokumen resmi kerajaan. Contoh lain, kata “senarai” jarang sekali digunakan oleh masyarakat kita, sebab kita lebih sering menggunakan kata “daftar.” Padahal, di kedua kamus tersebut (KBBI dan Kamus Dewan), kata “sulit” dapat berarti “sukar, susah atau rahasia.” Begitu juga kata “senarai”, diartikan sebagai “daftar.” Begitulah cara bahasa bekerja menunjukkan bentuk keragaman pengguna dan perbedaan geografisnya.
Untuk mempercepat sampai ke Jalan Masjid India, aku tak gunakan mobilku. Lebih cepat menggunakan LRT, lebih santai tanpa beban mencari tempat parkir. Bisa bepergian sambil baca buku. Cukup menaiki LRT dari Bangsar dan berhenti di stasiun Masjid Jamek, lalu berjalan kaki menyusuri trotoar dan menyeberang. Aku berharap bisa bertemu juga dengan Kahar, seperti yang dijanjikan Maryam.
Ketika aku keluar dari stasiun LRT Masjid Jamek, tiba-tiba kulihat Maryam sudah berdiri di ambang gerbang. Dia sendirian tanpa Kahar. Dengan wajah mesam-mesam dia melambaikan tangan ke arahku.
“Mana Ustaz Kahar?”
“Dia tunggu di kedai kopi.”
“Dimana?”
“Dekat Masjid India.”
“Mengapa kamu jemput aku disini?”
“Ahhh. Nggak sengaja. Jangan GR dulu,” timpalnya.
Aku tahu dia berbohong. Tapi, demi sopan santun aku tak mau bertanya lagi. Segera kuajak dia menyeberang jalan. Dan, lagi-lagi, aku harus rela bertoleransi, membiarkan tanganku digandeng. Aku berharap malaikat pencatat amal tak lagi bertugas di KL. Jujur, meski dalam hati ada pemberontakan kecil, tapi di sudut hati yang paling dalam aku merasa senang menggandeng Maryam menyeberang jalan. Karena itu, aku imbangi dengan “istighfar” dalam hati yang kuucapkan malu-malu kucing—istighfar basa-basi yang diucapkan oleh hamba yang tak berdaya.
Kami berjalan berdua menyusuri trotoar menuju Jalan Masjid India. Kulepaskan tangannya, kami hanya berjalan beriringan. Maryam menunjuk kedai kopi yang ditunjuk. Tampak tak seperti kedai kopi biasa, ini lebih seperti kafe. Kami memasuki kafe itu berdua, lalu mataku menyapu bangku-bangku kosong. Tak kulihat wajah Kahar. Yang tampak hanya dua orang lelaki pelayan kafe. Salah satu pelayan menyambutku dengan logat Melayu yang agak medok. Tampak sekali, pelayan kafe ini orang Jawa.
“Dimana, Ustaz Kahar?”
“Ah…Mungkin sedang ke toilet,” jawab Maryam. “Kita duduk sebelah sana saja, yuk!” katanya sambil menunjuk ruangan ber-AC. Ruangan itu ditutup dengan kaca gelap. Samar-samar kulihat tak ada orang di dalamnya.
“Tapi, aku kan perokok?!”
“Untuk kali ini saja, kamu nggak usah merokok,” kata Maryam sambil menarik lenganku.
Aku mengalah.
Maryam memesan untukku kopi Aceh dan goreng pisang. Lalu, berkali-kali dia menelpon Kahar di depanku, namun berkali-kali pula tak ada jawaban. Setelah 15 menit kami menikmati kopi, Kahar tak kunjung datang. Aku berusaha berdamai dengan perasaanku saat ini, tapi jika berlama-lama aku di ruangan ini tak baik dilihat orang. Tak banyak yang harus aku obrolkan dengan Maryam. Aku ingin langsung bertemu dengan Kahar, langsung ke pokok masalahnya. Sebagai alumni pondok, sebagai santrinya, dan sebagai sahabat, aku berhak memperingatkannya. Kalau memang nanti terjadi debat kusir, aku sudah siap dengan banyak amunisi. Bagiku, alumni pondok pesantren yang ikut gerakan radikal adalah mereka yang berkiblat pada ketololan besar. Pondok pesantren bukan pencetak kaum teroris. Negeriku dibangun oleh ulama dan kaum santri. Aku masih ingat ucapan Kyai Makmun, “Jika ada alumni jadi teroris, berarti itu kecolongan. Pondok adalah kawah candra dimuka bagi ilmu dan peradaban Islam. Bukan sarang para mujahid konyol.”
“Kalau 10 menit lagi Kahar tak datang, aku pergi ke toko buku dulu ya?”
“Tunggulah sebentar. Dia pasti datang.”
Kulihat di matanya, dia merasa senang Kahar tak datang. Aku curiga dia berbohong.
“Maaf, apa benar kamu bersama Kahar?”
“Astaghfirullah…Benar. Dia memang sama aku dari tadi. Tunggu saja sebentar.” Jawabannya seperti membentak. Kini kutahu, dia tak sedang berbohong. Sesekali aku melongok ke arah pintu untuk melihat kalau-kalau Kahar datang. Tapi, ternyata kafe ini semakin ditinggalkan tamu.
Obrolan basa-basiku dengan Maryam pun sudah terasa tak nyaman. Kopiku pun hampir habis. Sudah tak ada lagi alasan aku berlama-lama di tempat ini. Samar-samar kulihat beberapa orang laki-laki bertubuh tegap memasuki kafe. Tak kulihat wajah Kahar bersama mereka.
“Maaf, aku bukan tak mau menunggu,” kataku sambil berdiri. “Aku jalan dulu yah..” kataku lagi. Kulihat Maryam kecewa. Aku melambaikan tangan kepada pelayan untuk meminta bill. Namun, tiba-tiba Jebrrattt. Tiga orang bertubuh tegak lari mendobrak pintu ruang ber-AC. “Polis! Polis!!!” teriaknya. Mereka menodongkan pistol ke arahku dan Maryam. Aku sangat kaget. Maryam shock. “Allah” teriakku sambil mengangkat tangan.
“Ada apa ini? Apa salah saya Tuan?”
Dua orang melabrakku, menindih hingga membuatku jatuh ke lantai. Tanganku diplintir ke belakang, lalu secepat kilat seseorang telah memasang borgol kedua tanganku. Buku yang kubawa ditendang. Seorang lagi menggeledah baju dan celaku. Aku melirik ke arah Maryam. Dia pun sudah terborgol. Dia bertanya-tanya, bingung dan menangis. “Tuan..Tuan…Apa salah aku?” teriak Maryam.
“Polis…Polis.” Terdengar suara itu di seluruh ruangan kafe. Lebih dari sepuluh orang berpakaian polisi Diraja Malaysia mulai berdatangan memenuhi seisi ruangan. Mereka menggeledah sudut-sudut kafe. Kulihat ada beberapa polisi dengan pakaian anti peluru di luar kafe.
“Apa nama awak?” bentak polisi.
“Mar..Mar..Maryam,” jawabnya sambil terbata-bata.
“Awak ditangkap!”
Polisi itu tidak menayaiku. Dia hanya menunjuk ke arah polisi yang meringkusku, lalu berkata “Bawa!” Aku dan Maryam digiring ke ruang sebelah, di dekat kasir. Puluhan mata memandang ke arah kami. Bunyi sirene semakin memekakan telinga. Peristiwa ini begitu cepat. Terjadi begitu mudah dalam sekali serbuan. Aku bahkan tak bisa mengingatnya secara rinci.
Tiba-tiba seseorang berpakaian polisi mendekatiku. Dia menutup kepalaku dengan kain hitam. Sejurus kemudian, Maryam pun diperlakukan sama. Aku masih mendengar teriakan dan tangisnya, meski jarakku dengannya agak jauh.
Kudengar bisik-bisik orang di dekat kafe, “I.S.A…I.S.A... Polis tangkap teroris.”
Hmmm. Kini kutahu siapa yang menangkap aku dan Maryam. Ini adalah devisi khusus Kepolisian Kontra-terorisme Malaysia. Lengkap sudah penderitaan. Aku dan Maryam digelandang ke luar kafe dengan kepala tertutup. Seperti adegan film Hollywood, kami pasti menjadi bulan-bulanan mata-mata orang yang menganggap kami sebagai penjahat, sebagai teroris yang harus dibasmi.
Aku tahu, jauh sebelum isu terorisme marak terjadi dan menjadi persoalan global semua negara, Malaysia telah menetapkan undang-undang Keamanan Dalam Negeri yang lebih dikenal dengan istilah I.S.A. (Internal Security Act), yang bisa menangkap sembarang orang tanpa proses hukum atau pengadilan. Undang-undang ini dihapus April, tahun 2012, karena mendapat protes keras, sebab sering digunakan untuk menyingkirkan lawan politik penguasa. Polisi anti-teror Malaysia ini setali-tiga uang dengan I.S.A., meski dengan tugas yang lebih khusus. Tak akan ada yang selamat melawan I.S.A. ketika itu. Namun, kali ini, aku hanya menyisakan harapan terbesarku hanya kepada Allah. Meskipun dompet dan telponku dirampas. Milik Maryam pun sama. Tak ada pengacara untuk kami, walaupun mereka sempat membuka dompetku dan membaca nama pada dokumenku, tapi mereka sama sekali tak konfirmasi apa pun kepadaku. Aku hanya bisa menunggu apa yang akan mereka lakukan berikutnya.
“Cikgu Abdurrahman benar. Aku terlambat,” bisikku dalam hati.
Ini bukan sekadar KL yang kukenal, namun bagiku ini adalah kesaksian atas perjalanan nasib yang harus kujalani. Aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Meskipun kutahu sebenarnya mereka pasti sedang salah tangkap. Mereka pasti menyangka aku adalah Kahar. Aku tak mau berharap kepada makhluk, berharap kepada selain Allah hanya membuatku kecewa: “Allahu..Allah.”
Kasihan Maryam. Aku bungkam. Semua tampak gelap.
Aku hanya bisa menyebut “Allahu..Allah” dalam hati, lalu sesekali aku mengingat Yasmin dan Maryam silih berganti. Aku dimasukkan ke dalam mobil pengap dengan jok mobil yang keras. Aku dijaga kanan, kiri dan dapan. Aku tak tahu, apakah Maryam semobil denganku atau tidak. Semua terasa gelap. Hanya nafasku sendiri yang kudengar, suara lain tak kupedulikan lagi. “Allahu..Allah,” kupenuhi hatiku dengan dzikir. Aku tak lagi mengingat makhluk apa pun.
BERSAMBUNG PART 22

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...