Tuesday, July 31, 2018

SORBAUJAN PART 15 KARUNIA ILAHI

Oleh Halim Ambiya
Aku terkapar. Meringkuk di sudut ruangan. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi menghantam tubuhku. Aku diinjak-injak bagai binatang jalang. Berkali-kali kata-kata maut dan sumpah serapah menggema di dinding ruangan, memantulkan resonansi kebinatangan mereka sendiri. Darah mulai bercucuran dari kepala, tangan dan kakiku. Kuteriakkan “Allahu..Allah” dengan teriakan yang tak pernah mereka dengar sama sekali. Dengan bisikan hati yang paling halus dan tak akan mampu terdengar oleh makhluk manapun. Aku membiarkan tubuhku jadi bulan-bulanan. “Tubuhku bukan milikku lagi. Ini hanya cangkang yang menyelubungi jiwaku. Tak ada lagi ‘aku’-ku, yang ‘ada’ hanya Dia: Allah. Mereka tak pernah melukaiku sedikit pun,” bisikku di sudut terdalam, di lapis paling halus dan tersembunyi dari kalbuku.
“Hentikan!” Teriak Datuk Rustam menerobos ruangan penyiksaan. “Keluar kalian!” perintahnya kepada pengeroyok-pengeroyok itu. “Panggil ambulan! Cepat panggil ambulan,” teriaknya lagi.
“Angkat! Angkat tubuhnya! Bawa ke ruanganku! Cepat, cepat!” perintah Datuk kepada seseorang berwajah India yang kujumpai di dekat lift. Lalu, menyusul seorang preman Melayu—orang yang memukulku di dekat lift—datang membantu mengangkat tubuhku di atas sofa. Aku tak melihat lagi para tukang pukul itu, mereka sudah keluar dari kantor Datuk Rustam.
Aku seolah berada di dalam goa yang gelap dan melihat objek di luar. Seperti melihat film yang menayangkan adegan tentang diriku sendiri. Aku melihat peranku sendiri. Aku merasakan antara diriku sendiri dan tubuh ini adalah sesuatu berbeda dan terpisah. Aku bisa melihat dengan begitu jelas. Semua detail episode itu terjadi di hadapanku. Aku tak merasa sakit sedikit pun. Diriku utuh, bukan diri ini yang mereka siksa, tapi hanya tubuh itu. Aku hanya melihat tubuhku dipikul, ditendang dan diinjak-injak. Tapi, bukan diri yang ini. Aneh.
Hingga tubuhku diangkat ke ambulan aku masih menyaksikan tubuhku menjadi pusat perhatian banyak orang. Datuk Rustam dan resepsionis yang tak kutahu namanya itu berada persis di sisiku, di dalam mobil ambulan yang kudengar sangat bising. Beberapa kali kulihat Datuk Rustam berdoa khusyuk. Sesekali mengusap luka di kepalaku. Dia menangis bercucur airmata. Seperti anak kecil. Kulihat resepsionis itu pun menyembunyikan tangisnya. Lalu, menelpon seseorang untuk menjumpainya di rumah sakit yang sedang dituju.
Kulihat Datuk Rustam berusaha berbicara kepadaku dengan memelas.
“Bertahanlah, Nak. Bertahanlah!” ucapnya sambil menggenggam tangan kananku. Dia menciumi jari-jari tanganku. “Maafkan aku Thariq. Maafkan aku, karena tak segera menjawab panggilanmu. Aku terlalu mengikuti hawa nafsuku sendiri. Aku terlalu ego. Sebenarnya, aku sengaja shalat jumat di belakangmu. Aku sangat penasaran. Meskipun sebanarnya aku telah melihatmu sejak di lobi melalui CCTV. Maafkan aku, Nak,” ucapnya.
“Aku memaafkanmu Datuk. Aku juga meminta maaf atas semua yang terjadi,” jawabku. Namun, sama sekali Datuk itu tak mendengar jawabanku. Kucoba keraskan suaraku, “Datuk Rustam…Datuk,” kataku agak keras, namun dia sama sekali tak mendengar. Aku merasakaan keanehan, mengapa dia tak dapat mendengar ucapku? Aku seperti ikan dalam akuarium yang melihat orang berbicara kepadaku dari balik kaca.
“Aku membaca pesanmu malam itu. Aku membacanya. Aku juga membaca pesanmu di secarik kertas itu,” katanya lagi.
“Tuk…Datuk..Datuk Rustam,” kataku. Aneh sekali. dia tak mendengarku. Meskipun aku bisa mendengar ucapannya dengan jelas.
“Aku ingin menimang cucuku. Maafkan anakku Razi yang jahat. Aku gagal menjadi ayah yang baik, aku tak mampu menjadi datuk yang baik bagi cucuku. Aku menyesalkan kelakuan Razi pada Yasmin. Tapi, aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku terlalu memanjakan Razi, sekarang aku menanggung akibatnya. Ini semua ulah Razi dan kawan-kawannya. Aku tak pernah mengizinkan Razi mencelakan kamu. Jika nyawamu tak terselamatkan bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkan ini?” katanya lagi.
Aku hanya mendengarkan semua keluh-kesahnya. Menjawab pun percuma, dia tak bisa mendengar ucapanku. Aku cuma merasa heran mengapa secepat itu dia tiba-tiba menjadi pelindungku. Bagiku, alasan yang dia ungkapkan tadi belum semuanya dapat menjawab keingintahuanku. Mengapa tiba-tiba lelaki bergelar datuk ini begitu perhatian? Dimana wibawa dan kebesaran namanya, mengapa begitu lembut jiwanya hingga mudah mengakui semua kelemahannya di hadapanku? Pasti ada sebab lain yang lebih besar hingga membuat dirinya menunjukkan kehinaannya di depanku.
“Aku juga bingung, mengapa ini terjadi. Aku tak tak tahu mengapa aku bisa sekhawatir ini. Pesan whatsapp-mu hingga terbawa mimpi dan membuatku semakin tersiksa. Aku sama sekali tak mengirim guna-guna ke rumah Abah Samad. Sama sekali tidak. Itu semua ulah Razi. Itu bukan mantera sihir. Betul menurutmu, itu hanya warisan turun-temurun leluhurku. Bahkan, aku tahu apa arti tulisan itu,” paparnya lagi.
Aku tersenyum menyaksikan adegan ini. Seolah-olah beberapa rahasia mulai terungkap, meskipun belum semuanya. Aku bisa mendengarkan ucapan Datuk Rustam meskipun pelan, di antara tangisnya. Bahkan, aku mampu mendengar ucapannya meskipun tak kulihat lisannya bergerak.
“Thariq, aku seperti menemukan orang yang selama ini aku cari. Orang yang begitu mudah membuat orang lain berubah pikiran. Ini aneh. Di usiaku ini, aku baru menyadari bahwa orang seperti dirimu ada. Aku pikir hanya ada dalam dongeng saja,” lanjutnya.
Aku tambah bingung. Sebenarnya dia ini ngomong apa? Mengapa dia menganggapku seperti itu? Apa yang membuatnya tersadar. Hmmmm.
***
Aku mengambang di atas langit yang biru. Semua biru. Aku dalam biru. Mengapung melayang-layang di udara. Terasa damai dan sangat tenang. Awan berarak menyelimutiku. Tak terasa ada hembusan angin, tapi tetap terasa sejuk. Tak ada suara apa pun, lengang. Senyap. Lalu, aku turun mengambang dalam posisi terbaring. Kulihat permadani hijau membentang hingga ufuk. Tiba-tiba aku terhentak seperti dalam pesawat yang akan lending. Lesssss. Begitu terasa tarikannya.
“Huhhh. Kemana Datuk tadi?” bisikku pelan. “Mengapa kepalaku dibungkus perban? Hmmm, apa ini? Mengapa tanganku terasa terganjal benda agak keras. Hahh, tanganku di-gips?!” Aku menggerak-gerakan tangan dan kakiku pelan-pelan. Kulirik kesana kemari. Aku merasa sakit saat kugerakkan tangan dan kakiku, maka kupilih diam.
Tiba-tiba, sayup-sayup kudengar suara wanita membaca Surah Yasin. “Hmmmm. Aku pernah mengenal jenis suara seperti ini,” bisikku dalam hati. Aku kini mulai menyadari bahwa diriku berada di rumah sakit. Ternyata aku tak sedang bermimpi. Aku mulai mengingat semua kejadian dari awal pengeroyokan di kantor Datuk Rustam hingga aku dibawa ke ambulan.
Aku melirik ke arah kananku. Ternyata seorang wanita sedang membaca Surah Yasin di sudut ruangan. Aku memang mengenalnya, sangat mengenalnya.
“Saya belum mati. Kenapa kamu baca Yasin?” tanyaku.
“Alhamdulillah. Matin sudah sadar. Sudah sadar,” kata Maryam mendekat ke arahku. “Alhamdulillah,” ucapnya lagi sambil tersenyum manis kegirangan.
“Kenapa kamu disini?” tanyaku. “Mana Yasmin?” tanyaku lagi.
“Sudahlah, nanti aku ceritakan.”
“Mengapa kamu baca Yasin, aku kan belum mati?”
“Kamu lama nggak sadar-sadar. Jadi, aku baca saja surah Yasin.”
“Kamu salah, mestinya jangan baca Yasin kalau aku belum mati.”
“Sudahlah, jangan mengajakku berdebat. Kamu istirahat dulu. Kata dokter, jangan banyak bergerak.”
“Aku serius. Mestinya jangan baca surah Yasin.”
“Lalu, harusnya baca surah apa? Buktinya aku baca Yasin lalu sekarang kamu jadi bangun.”
“Berapa kali kamu baca Yasin?”
“Ini yang ketujuh.”
“Hmmm. Harusnya kamu baca Surah Ar-Ra’d. Coba kalau tadi kamu baca surah itu, aku tak perlu berlama-lama.”
“Apa dasarnya?”
Penjelasannya ada di kitab Al-Adzkar An-Nawawi.
“Hmmm. Nanti kita lanjutkan diskusinya. Aku harus telpon Zenita dulu.”
“Siapa Zenita itu?”
“Itu loh, resepsionis yang kerja di kantor Datuk Rustam.”
“Oooh.”
Sementara Maryam menelpon Zenita, aku mulai mengumpulkan sisa-sisa kesadaranku. Kulihat resepsionis yang sekarang kutahu namanya Zenita itu memasuki ruangan. Disusul pula oleh kehadiran Datuk Rustam.
“Bisa minta tolong telponkan Yasmin,” pintaku kepada Maryam.
“Aku tak tahu nomernya,” jawab Maryam.
“Alhamdulillah sudah bangun,” ucap Datuk Rustam menghampiriku. Dia mengusap kepalaku pelan. “Nanti saya bawa Yasmin kemari. Lebih baik awak istirahatlah dulu,” katanya lagi. Beberapa saat kemudian Datuk Rustam pun berpamitan untuk menjemput Yasmin.
Sepeninggal Datuk Rustam, kulihat Maryam dan Zenita tampak kikuk. Apalagi Zenita yang tampak bingung, berjalan kesana kemari di ruangan. Dia seperti menyembunyikan sesuatu. Beberapa saat kemudian, dia pun meninggalkan aku dan Maryam di ruangan itu.
“Sudahlah, daripada bengong, lebih baik kamu baca Surah Ar-Ra’d saja,” pintaku kepada Maryam.
“Kenapa sih, dari tadi surah itu lagi itu lagi,” kata Maryam.
“Hmmm. Ya sudah kalau nggak mau,” jawabku sambil kututup lagi mataku. Rasanya, aku ingin kembali tidur. Detak jarum jam terdengar agak nyaring menggema ke seluruh ruangan perawatanku. Aku kangen Yasmin dan Sean. Aku benar-benar merindukan keduanya saat ini. Aku merasa tak nyaman berada di ruangan ini bersama Maryam. Jika Yasmin datang tentu akan membuatnya curiga dan bertanya-tanya mengapa justru Maryam yang harus menemaniku di sini, di ruangan ini. “Hmmm. Ada-ada saja. Tak baik Maryam malam-malam ada disini. Mengapa dia tak bersama suaminya saja? Apa aku minta dia untuk keluar saja dari sini?” bisikku lagi.
Maryam pun akhirnya duduk kembali di sudut ruangan. Lalu, membaca Surah Ar-Ra’d seperti yang kuminta. Suara Maryam cukup merdu. Bacaannya sangat fasih. Tak percuma dia belajar di pondok. “Tapi, ah…Aku kangen suara bacaan Al-Qur’an Yasmin. Lebih menusuk ke jantungku,” bisikku. Aku berusaha mengalihkan suara Maryam dari telingaku dan menggantikannya dengan suara Yasmin. Tapi, ternyata susah juga melakukannya.
Dalam hitunganku, kepergian Datuk Rustam untuk menjemput Yasmin memakan waktu cukup lama. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengannya. Aku berharap Yasmin dan Abah mau mendengarkan penjelasan Datuk Rustam dan mau memaafkannya. Inilah saatnya masing-masing mau membuka diri, mengakui kekhilafan masing-masing, lalu berusaha menyelesaikan masalah dengan baik-baik.
“Ya Allah berilah kami rasa kesejukan ampunan-Mu dan manisnya rahmat-Mu. Bimbinglah jiwa kami tetap di jalan-Mu. Berilah anugerah kesabaran di hati kami dengan kelembutan kasih dan cinta-Mu.”
***
“Abang,” teriak Yasmin berlari dari arah pintu ruangan menghampiriku yang masih terbaring. Dia langsung mendekatiku, mencium pipiku dengan lembut. Dia mengusap kepalaku yang diperban gulungan kain.
“Tak perlu menangis sayang. Abang tak apa-apa. Hanya luka ringan saja,” kataku sambil senyum canda. “Abang tak apa-apa, sayang,” kataku sambil tersenyum gembira memandang wajahnya yang cantik.
Kulihat Datuk Rustam pun memasuki ruangan. Lalu, memberi isyarat kepada Maryam yang berdiri kaku di sudut ruangan untuk meninggalkan kami berdua.
“Terima kasih, Datuk sudah bawa Yasmin kemari,” kataku.
“Sama-sama. Kita keluar dulu sekejap,” jawabnya sambil menundukkan kepala sebagai tanda keramahan. Kami pun menunduk sebagai tanda sopan santun. Tapi, pada saat langkahan kaki Maryam mendekat ke arah pintu keluar, tiba-tiba dia berbalik dan berjalan menuju Yasmin.
“Yasmin, kenalkan. Aku Maryam, kawan Matin,” ucapnya sambil terbata-bata, lalu mengulurkan tangan. Sejurus kemudian, keduanya langsung berpelukkan. Aku tak ingat, siapa yang lebih dulu mengajak untuk saling berpelukkan. Bahasa perempuan yang susah untuk dimengerti. Mereka tampak seperti dua sahabat lama yang baru bertemu puluhan tahun.
Maryam dan Datuk Rustam pun meninggalkan kami berdua. Suasana menjadi sepi. Aku mendapat belaian mesra dari Yasmin. Saat airmatanya kembali berlinang, segera kukatan: “Aku sehat wal afiat. Ini hanya luka ringan saja. Besok insya Allah aku bisa pulang.” Lalu, aku bertanya-tanya tentang Sean. Apakah dia masih dalam keadaan tidur saat ditinggal di rumah bersama Abah. Tak lupa bertanya tentang Datuk Rustam yang datang ke rumah menjemput Yasmin.
“Datuk sendiri yang datang menjemputmu?”
“Betul.”
“Alhamdulillah.”
“Tak perlu cerita sekarang. Lebih baik Abang istirahat.”
“Abang dari tadi siang istirahat. Sekarang Abang nak dengar cerita awak.”
Yasmin duduk persis di sebelah pembaringanku. Lalu mencium pipiku lagi dan lagi. Dia menempelkan pipiku terus, dengan tangan lembut mengelus-ngelus lenganku pelan.
“Terima kasih, Abang. Terima kasih. Akhirnya Abah dan Datuk Rustam bisa saling memaafkan. Baru pertama kali aku melihat keduanya saling berpelukan dan menangis. Moga ini menjadi awal yang baik,” bisiknya di telingaku.
“Alhamdulillah. Sama-sama, sayangku.”
“Abang hebat. Aku bangga memilikimu, Bang,” tutur Yasmin, lalu mencium keningku dalam-dalam. “Abang berhasil menyadarkan Datuk. Dia sekarang dipihak kita, Bang. Alhamdulillah. Abang benar, bukan dengan kekerasan masalah ini bisa diselesaikan. Tak semua orang mampu melakukan ini. Abang telah mengajarkan kami tentang indahnya kasih sayang. I love you so much.”
“Aamiin. Semoga Allah meridhai jalan yang kita pilih sayang.”
Aku meminta izin kepada Yasmin untuk melakukan shalat. Aku ingin merayakan saat-saat indah ini dengan shalatku malam ini, sebagai tanda syukur kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala, atas semua nikmat yang diberikan kepadaku, atas semua mimpi-mimpi indah yang kualami, atas semua anugerah yang kurasakan dan kusaksikan.
“Ya Allah, terima kasih atas jamuan cinta-Mu malam ini. Rangkaian perjalanan batin yang dahsyat, yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Keindahan pesona alam-alam-Mu yang mengagumkan. Peristiwa-peristiwa batin yang menggetarkan. Aku tak akan bisa melupakan keagungan rahmat-Mu yang begitu jelas kusaksikan. Subhanâllah wal-hamdulillâh wa lâ ilaha illâhu Allâhu akbar (Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, dan tidak ada tuhan selain Allah, Allah Mahabesar).”
BERSAMBUNG PART 16
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1674922715890989
https://www.facebook.com/halim.ambiya 

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...