Monday, July 30, 2018

SOR BAUJAN PART 5: ZUR GHIBBAN TAJDAD HUBBAN

Oleh Halim Ambiya

“Assalamualaikum. Apa kabarmu, Bro?”
“Lama tak jumpa.”
“Sekarang tinggal dimana?”
Demikian isi pesan dari akun Merah Jambu di Facebook-ku. Aku tak begitu mengenal nama pengirimnya. Nama samaran Merah Jambu asing bagiku. Foto profilnya pun bergambar kucing. Terlalu banyak orang iseng di dunia maya. Aku tak memedulikannya. “Aku nggak kenal. Lebih baik menunggu dia mengenalkan diri,” bisikku dalam hati.
Aku cukup lelah menunggu Yasmin di sudut Starbuck Coffee, Mid Velley Megamall, Kuala Lumpur. Lebih dari satu jam dia terjebak macet di Jalan Tun Abdul Razak. Aku tak ada pilihan lain selain menunggu. Sebenarnya, ini salahku, mengapa tak kujemput saja dia tadi. Tapi, Yasmin terlalu memaksa, dia mau mengatur semua proses pemindahan apartemen sendiri. Dia bilang aku telalu lamban. Apalagi aku bukan orang sini, tentu lebih susah mengatur semua itu. Apa pun itu, Yasmin memang terlalu sayang kepadaku. Dia tak mau perpindahan ini mengganggu rencana perjalananku bolak-balik Jakarta-KL di dua bulan terakhir ini.
“Sekarang kamu sombong ya!”
Pengirim pesan ini sudah mulai sok kenal, sok dekat. Terpaksa kucari tahu siapa gerangan dia dengan menyelusuri profile Facebook-nya. “Kulihat tak ada foto pribadi. Hanya foto kucing dan beberapa bunga mawar. Jaringan perkawanannya pun sedikit. Tak ada yang berkawan denganku. Namanya Merah Jambu, tapi tak ada gambar buah jambunya,” gerutuku.
“Jangan-jangan akun bodong. Seperti gaya hacker kalau mau membajak akun FB,” bisikku lagi.
Yasmin pun datang dengan menutupi wajah lelahnya. Satu hal yang membuatku jatuh cinta dengan wanita asal Penang ini; dia selalu ceria. Walau dalam keadaan lelah, capek, terkena macet, Yasmin akan selalu memasang wajah bahagia, senang dan bergairah. Sejak perkawinan kami 3 tahun lalu di Patani, kami menjalani hidup dalam kebahagian yang tiada henti.
“Apa hadiah hari jadi perkahwinan kita sayang?” tanya Yasmin.
“Stttt. Rahasia. Jom kita makan,” kataku, lalu kugandeng tangannya erat.
Aku membawanya untuk makan malam di sudut kafe di Midvelley. Terbanyang masa-masa indah kebersamaan kami. Sungguh membahagiakan dan luar biasa. Kami menikah di usia yang telah matang sehingga tak pernah ada konflik besar antara kami. Setiap saat kami meramunya dengan keindahan. Kami menjadi koki hebat bagi rumah tangga kami sendiri.
Jauh sebelum masyarakat Indonesia mengenal Upin-Ipin yang jenaka, aku sudah lebih dulu mengenal idiom dan gaya jenaka tradisi masyarakat Melayu. Bahkan, aku penikmat keindahan sastra Melayu dan budayanya jauh sebelum melanjutkan kuliah di University of Malaya (UM). Aku juga pengagum film-film P Ramlee dan lagu-lagu Dato SM Salim. Tak ketinggalan, penyanyi favorit kami berdua, Sheila Majid. Lagu “Antara Anyer dan Jakarta” adalah lagu cinta kami.
Malam itu, hidangan tomyum seafood menjadi menu ulang tahun pernikahan kami. Tanpa sepengetahuanku, Yasmin pun memesan lagu kenangan “Antara Anyer dan Jakarta” hingga menambah romantisme jalinan hubungan kami. Aku menghadiahkan selendang tenun nan indah dari Baduy untuk Yasmin. Oleh-oleh petualanganku selama dua minggu di Kampung Cikatertawarna, Baduy Dalam.
“Thank you, sweetheart,” ucapnya.
Peluk dan ciuman mesra Yasmin.
“Amboi cantiknya kain nih. Mereka buat sendiri kah?” tanyanya penasaran.
“Iya. Mereka gunakan alat tenun tradisional. Ini dibuat selama 15 hari oleh wanita-wanita suku Baduy.”
“Cantik. Pandai mereka buat.”
“Mereka punya lebih dari 30 motif kain selendang dan sarung,” jawabku bersemangat.
Yasmin sangat antusias dengan ceritaku tentang Baduy. Pokoknya, apa pun cerita tentang Indonesia, dia sangat menyukainya. Bukan karena suaminya berasal dari Indonesia, tapi karena dia memang menyukai pelajaran sejarah Melayu. Bahkan, pertemuan kami pertama kali pun karena sesuatu yang berkaitan dengan negeri tempat aku dilahirkan. Kami berebut buku karya-karya Pramudya Ananta Toer di Perpustakaan UM. Yasmin mengagumi Pram, Hamka, HB Jasin dan WS Rendra.
“Kanda…” ujar Yasmin tiba-tiba. Di sudut ruang kafe yang dihiasi cahaya lampu yang redup temaram.
“Ada apa, Dinda?” tanyaku. Dengan gaya romantis. Sambil menatap wajahnya yang sangat cantik.
“Walau rupamu tidak kukenali, tetapi lubang hidungmu tetap menjadi pujaan hatiku,” katanya.
Hahaha. Aku tertawa terbahak-bahak. Yasmin mengingatkan dialog Aziz Sattar dan P Ramlee dalam Film berjudul Bujang Lapok. Dialog ini pun sering menghiasi malam-malam kami di bilik peraduan kami, semenjak masa bulan madu 3 tahun lalu. Kami hafal dialog-dialog lucu dalam film P Ramlee.
“Wahai Dindaku yang cantik rupawan, kanda masih terbayang semasa kita bercengkrama di bawah sinaran lampu minyak,” jawabku menirukan kata-kata P Ramlee.
“Cut! Cut!!” teriak Yasmin sambil mencubit hidungku.
Kami kembali berpelukan, mengenang keindahan malam-malam itu dengan penuh syukur.
Untuk memperpanjang keindahan malam ini, Yasmin sudah menitipkan anak angkat kami, Sean (5 tahun) kepada Makcik Izzah. Demi mengenang malam-malam kebahagiaan kami berdua saja. Kami pun meninggalkan kafe itu diiringi dengan lagu manis dari Norah Jones:
“Come away with me in the night. Come away with me. And I will write you song (Ikutlah bersamaku malam ini. Pergilah denganku. Akan kutuliskan sebuah lagu untukmu)
Iramanya musik jazz ini mengantarkan kami ke apartemen di Bangsar. Sungguh suatu kenangan yang indah. Menapak tilas masa-masa kami menikah. Tiga tahun lalu, kita berjalan menggunakan bus di malam itu menuju Bangsar. Mengabadikan hubungan indah kita.
“Come away with me and we’ll kiss. On a mountaintop. Come away with me. And I’ll never stop loving you” (Ikutlah bersamaku dan kita akan berciuman. Di puncak gunung. Mari ikutlah bersamaku. Dan, aku tak akan pernah berhenti mencintamu)
***
“Zur ghibban tajdad hubban” (Kunjungilah sekali-kali agar menambah rasa cinta).
Pesan dari Merah Jambu kembali mengusik telpon genggamku. “Kalau dia menggunakan teguran seperti itu, bisa dipastikan dia anak pesantren. Atau boleh jadi orang yang mengenal bahasa Arab,” kataku dalam hati. “Ah, jangan-jangan salah satu kawan pesantrenku dulu. Siapa ya?”
Aku tak sempat menjawab. Keretaku sudah datang. Aku harus bergegas naik dan siap berdesak-desakkan hingga Bangsar. Aku tak biasa menjawab telpon atau pesan whatsapp saat sedang berdiri bergelantungan di LRT (Light Rapid Transit). Hari Senin di jam 5 sore adalah masa berdesak-desakkan di kereta.
“Kaifa haluk, Akhi Matin (Apa kabarmu, saudaraku Matin,” tanyanya lagi.
Aku membacanya sambil berjalan ke luar dari Stasiun Bangsar. “Siapa gerangan. Ini sudah dipastikan kawan pondokku dulu, sebab dia menggunakan sapaan seperti itu. Tapi, di pondokku dulu jarang orang memanggil dengan nama belakangku. Hanya dua orang kawan pondokku yang memanggilku dengan panggilan Matin. Sebagian besar memanggilku Thariq atau memanggil dengan nama kecilku Erik,” bisikku. Maka, demi sopan santun, segera kujawab pesannya.
“Alhamdulillah, khair (baik). Maaf, siapa ini?” tanyaku.
“Aku temannya Hanum. Masih ingatkah?”
Jatungku berhenti berdetak. Kuhentikan langkahku sejenak dan mencari tempat duduk terdekat di stasiun itu. Pesan itu sangat menggangguku. Aku merantau hingga ke Negeri Jiran untuk menghilangkan bayang-bayang nama itu. Setelah lebih dari 12 tahun, kini tiba-tiba namanya mengusik diriku. Siapa gerangan alumni Pondok Gading yang memancing-mancing memoriku itu.
“Maaf, siapa ini?” tanyaku. Namun, lebih dari 2 menit kutunggu, dia tak menjawab. Padahal aku tahu, dia masih online. “Alumnus Pondok Gading ya?” tanyaku lagi. Namun dia tak segera menjawab. Kulihat di pesan Facebook itu dia tengah menulis pesan. Tapi, sudah sekian lama tak juga muncul.
Di Facebook, jaringan perkawananku dengan kawan-kawan hanya sedikit. Aku selektif memilih kawan. Agar aku bisa melupakan nama Putri Hanum, maka kuhindari orang-orang yang pernah mengenalnya membicarakan tentang dia.
“Aku Maryam,” jawabnya.
Aku tak langsung menjawab. Bukan karena Ustazah Maryam, tapi orang di balik itu yang membuatku membisu. Ingatku tak lagi kepada sosok Maryam, tapi kepada Hanum. Bayangannya langsung menghalangi pandanganku. Stasiun Bangsar tiba-tiba lenyap dari pandanganku. Aku seperti sedang duduk di pojok kolam ikan di samping Masjid Darurrasikhin, di pondokku dulu. Kulihat kawan-kawanku berlari-lari berlomba berebut kamar mandi. Siapa cepat, dia yang lebih dulu mandi. Beberapa santri masih asyik bermain takraw di depan masjid.
Di sudut yang paling tersembunyi, aku melihat Putri Hanum sedang membantu memasak di dapur umum. Dia mengenakan baju berwarna jingga, dengan kerudung bermotif bunga yang memikat. Ini adalah sudut penglihatanku 12 tahunan yang lalu. Aku mengaguminya saat dia menghafalkan bait-bait pelajaran Mutha’laah. Getar suaranya sungguh menggodaku. Kelembutan hatinya benar-benar melekat di hatiku. Aku seperti sedang menonton sebuah film yang memutar satu episode kehidupan tentang Putri Hanum di Pondok Gading.
“Ya Allah… Mengapa Kau ingatkan aku lagi? Sungguh, aku bahagia hidup bersama Yasmin. Maka, berilah aku kekuatan untuk melaluinya.”
Aku masih tersesat di Stasiun Bangsar malam itu. Tak tahu jalan pulang. Tubuhku lemas. Pikiranku kacau. Persis seperti yang pernah kualami di Pondok, sejurus setelah mendengar kematiannya yang tragis.
---BERSAMBUNG PART 6---
 https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1660656267317634
https://www.facebook.com/halim.ambiya 

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...