Tuesday, July 31, 2018

SORBAUJAN PART 18 DERITA ZAHRA

Oleh Halim Ambiya

“Yasminku…Melatiku…” bisiku di telinganya.
“Kamu memang cantik. Bahkan, kamu sudah cantik sebelum kata cantik ditemukan.”
Aku membelainya mesra. Mengajaknya merenung tentang makna kebahagiaan agar dapat membuang rasa sedih dan derita. Dengan rasa syukur kita dapat merasakan indahnya jalan kebahagiaan, yang kadang harus ditempuh dengan berliku-liku. Karena, kebahagiaan akan terasa singkat jika dilalui tanpa perjuangan meraihnya. Maka, tak perlu menganggap perjuangan sebagai derita, kalau kita memahami perjuangan sebagai wadah bagi kebahagiaan itu sendiri. Dengan memahami semua itu jiwa kita akan selalu merasa bahagia. Sebagaimana kebahagiaan menjadi unsur yang dijanjikan keabadiannya oleh Sang Maha Abadi.
Yasmin seperti juga Hanum adalah dua sisi sayap kupu-kupu bagi perjalanan hidupku. Keduanya mewakili keindahan dan keserasian semestaku. Kecantikan Hanum mewarnai getar-getar jiwaku hingga kini. Begitu juga Yasmin, meskipun tak ada kata “cantik” yang melekat pada namanya, namun semerbab harum wanginya adalah bukti kecantikan itu sendiri. Bagiku, Yasmin adalah simbol kecantikan dan keharuman perjalanan hidupku. Ia sudah pun cantik, jauh sebelum kata “cantik” ditemukan Bangsa Melayu. Sungguh, aku sangat bersyukur atas anugerah ini. Yasmin dan Hanum adalah ruh keabadianku.
Aku katakan ini, sebab tak ada kematian bagi ruh. Usia ruhku, ruh Hanum, dan ruh Yasmin sebenarnya sama. Kita diciptakan di waktu yang bersamaan. Lalu terlahir sebagai manusia di waktu berbeda dan kembali kepada-Nya di waktu berbeda pula. Tuhan menciptakan barzakh sebagai batas ruang antara dimensi alam hidupku sekarang dan dimensi tempat Hanum bersemayam. Dan, di waktu bersamaan, aku masih bisa berhubungan dengannya dengan getar-getar jiwa yang merindu kepadanya. Ruhku, ruh Yasmin dan ruh Hanum bisa bersatu dalam satu waktu.
“Hidup kita ini hanya sekejap saja, sayang…Kita ini bagaikan hari-hari yang kita lalui. Tatkala satu hari hilang, maka hilang pula sebagian dari diri kita,” bisikku lagi. Aku menceritakan nasehat-nasehat indah Kyai Bahruddin di Jatijajar, saat aku merasakan keputus-asaan ditinggal mati Hanum. Kala itu, aku diajak Kyai Bahruddin menaiki lereng bukit di sekitar Goa Jatijajar. “Cobalah kau bertasbih membaca ‘Subhanallah’ sampai ke pohon itu,” perintah Kyai Bahruddin sambil menunjuk pohon beringin yang berdiri kokoh 50 meter dari tempatku berdiri. Lalu, aku pun berjalana sambil berdzikir seperti perintahnya, mengucap “Subhanallah” hingga sampai di pohon beringin. Setelah sampai, Kyai Bahruddin pun berkata lagi, “Sekarang, bertakbirlah hingga ke pohon mahoni itu!” Aku pun mengikuti perintahnya. Dan, sampai di pohon mahoni, beliau pun memerintahku lagi, “Sekarang, coba kamu beristigfar sambil berjalan mendaki hingga ke pohon trembesi itu!” Aku pun melakukannya, membaca “Astaghfirullah” dengan lisan dan hati sampai ke pohon trembesi. Sesampai di sana, kami duduk dan bercerita banyak hal sambil menikmati pemandangan perbukitan yang indah.
Sungguh kenangan yang sangat hebat dan membekas di hati. Aku baru menyadari ternyata cara Kyai Bahruddin ini pernah dilakukan Rasul dan para sahabat secara turun temurun. Beginilah cara mengajarkan bagaimana memahami waktu hidup di dunia yang hanya sekejap. “Beringin, Mahoni dan Trembesi adalah tempat-tempat persinggahan kita. Hidup kita di dunia seperti persinggahanmu tadi di bawah pohon mahoni. Hanya sekejap saja,” ungkap Kyai Bahruddin.
“Isilah ruang kosong dalam kalbumu dengan kesadaranmu mengenal-Nya, memuji kesucian-Nya, mengagungkan kebesaran-Nya, mendekati-Nya agar perjalananmu menjadi bermakna. Itu adalah hakikat waktumu sebagai hamba. Tanpa itu kau tak akan pernah memahami makna kehambaanmu kepada-Nya. Kadang kakimu terbentur batu atau tertusuk duri. Tanganmu lecet tergesek ranting-ranting tajam. Kulitmu gatal karena dedaunan. Itulah warna kehidupan yang sedang kau lalui. Tapi, sekali lagi kukatakan, hidupmu itu hanya sekejap saja,” tutur Kyai Bahruddin kala itu. “Jika kau kembali ke pondok, kau pasti masih mengingat tempat-tempat singgahmu tadi. Kau masih bisa membayangkan dan mengingat beringin, mahoni, dan trembesi ini,” tuturnya lagi.
“Anggaplah ini seperti tusukan duri di kakimu, sayang. Kau tinggal mencabut, lalu nikmati saja kerindangan dan keteduhan pohonnya di persinggahan kita kali ini. Nikmati saja, ambil indahnya,” bisikku sambil membelai rambutnya.
“Abang, bolehkah aku berjumpa dengan Kyai Bahruddin nanti?”
“Boleh sayang.”
“Jauh tak dari Jakarta?”
“Lumayan. Sekitar 400 km.”
“Jauhnya…Berapa lama?”
“Sekitar 7 jam perjalanan. Nanti kita naik kereta api saja dari Jakarta.”
“Dekat tak dengan Pondok, Abang?”
“Dekat. Kita naik kereta api dari Jakarta, turun di stasiun Kroya. Nanti kita singgah dulu di Pondok Gading. Bermalam sehari atau dua hari. Lalu, kita pergi ke Goa Jatijajar, tempat Kyai Bahruddin. Ini objek wisata yang bagus. Kita bisa naik motor dari pondok, melewati daerah Nusawungu dan Pantai Ayah, di selatan Kebumen.”
Aku terlalu bersemangat bercerita hingga tak menyadari Yasmin tertidur di pangkuanku.
***
Layaknya seorang mediator, aku menjadi orang tengah dalam konflik keluarga ini. Beberapa kali aku bertemu dengan Datuk Rustam dan Zahra. Secara pribadi, aku sudah menerima jika saatnya nanti Sean diambil Razi dan keluarganya. Namun, aku tetap harus menghargai keputusan Yasmin. Sebelum Yasmin mengatakan setuju, aku tetap membelanya. Aku harus berada di pihak Yasmin.
Untungnya, Datuk Rustam dan Zahra masih mau menunggu. Kita juga sama-sama sepakat untuk mencabut segala macam tuntutan hukum atas Razi ataupun Bang Faizal. Tapi, konflik ini tak akan bisa selesai tanpa keputusan Yasmin menyerahkan Sean kepada pihak mereka.
Aku tak mau terlibat terlalu jauh dengan perseteruan Zahra, Razi dan Datuk Othman. Tak mau ikut campur konflik mereka yang memalukan. Aku dengar dari Zahra bahwa dirinya masih dalam proses cerai dengan Datuk Othman. Tapi, persidangan perceraian mereka berlarut-larut. Ternyata proses persidangan mereka selalu “digantung.” Datuk Othman sengaja melambat-lambatkan prosesnya di Mahkamah Syariah. Sudah 4 tahun lebih belum juga usai.
Sungguh menyedihkan, persidangan perceraian di negara ini menjadi ajang unjuk gigi kaum lelaki kuat. Mereka bersembunyi di balik hukum hanya untuk menunjukkan keegoan suami. Tak ada thalak tanpa persetujuan suami. Dengan ini sebenarnya suami menjadi pemegang palu keputusan untuk menghukum sang istri. Zahra adalah korban atas “kekakuan” hukum yang menimpa sebagian perempuan di Malaysia. Datuk Othman sengaja tak mau menceraikan Zahra agar dia bisa melihat wanita itu menderita.
Awalnya, aku pun menyalahkan perselingkuhan Zahra dan Razi. Tapi, setelah kutahu dan telusuri, ternyata keadaan memang membuatnya menjadi mungkin. Bagaimana tidak, seorang wanita muda dan cantik, dibiarkan “menggantung” tanpa status yang jelas. Secara hukum dia memang istri Datuk Othman, namun apa artinya status itu jika hanya digunakan untuk menghukum Zahra dalam kesendirian yang merana. Dengan ego kelaki-lakian orang berduit dan berkuasa seperti Datuk Othman, dia bisa menggunakan segala cara untuk mempertahankan Zahra di balik pasal-pasal karet. Nafkah lahir dan batin tak diberi selama berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun, lalu apa makna bagi pernikahan yang dipertahankan seperti itu?
Beberapa kali, Zahra menggunakan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang membela kepentingan perempuan di negeri ini, tetapi tetap saja tak mampu memenangkan dan mempercepat proses persidangan perceraiannya dengan Datuk Othman. Organisasi Sister in Islam memiliki segudang data kasus-kasus seperti Zahra di Malaysia ini. Kemapanan ekonomi, pencapaian pendidikan, dan kesejahteraan hidup tidak serta-merta menjadi ukuran kebijaksanaan seseorang dalam memahami hukum Islam dalam hal penikahan. Semuanya tampak kaku dan zumud di tengah keegoan kelaki-lakiannya. Berusaha mempertahankan “tradisi” hukum yang selalu menjadikan lelaki lebih dominan dan merasa lebih berhak atas hidup perempuan. Sungguh ironis. Hukum tidak dijadikan sebagai proses penyelesaian, tapi sebaliknya dijadikan sebagai penjara sekaligus “punishment” yang menyiksa bagi orang yang tak berdaya oleh keadaan.
“Aku bukan tak tahu masalah Razi dan Zahra. Tapi, Datuk Othman terlalu kuat,” tutur Datuk Rustam kepadaku di sudut ruang.
“Apakah Datuk sudah coba menggunakan jalur lain, selain hukum?” tanyaku.
“Sudah…Aku sudah beberapa kali berjumpa dengan Datuk Othman agar dia mau melepas Zahra, tapi dia terlalu sombong. Kau tahu sendiri, dulu waktu Razi menceraikan Yasmin, prosesnya cepat. Aku melarang Razi melambat-lambatkan, jika memang sudah keputusan bercerai tak dapat dihindari,” ungkapnya.
Kini aku paham bagaimana perdukunan marak di dunia modern. Seperti yang dilakukan Razi mengirim guna-guna kepada Yasmin dan juga kepada pihak Datuk Othman. Itu terjadi bukan karena dia tak memiliki akal sehat, tetapi karena butuh pelampiasan atas keputus-asaannya. Harapan Razi dan orang-orang jenis ini kandas oleh aturan hukum yang berbelit menjerat ketidakberdayaan.
Bagi Datuk Othman, bukan perkara besar untuk memberi nafkah uang setiap bulan bagi Zahra—sebagai tanda bahwa dia masih suaminya—namun apa arti nafkah jika ia hanya sekadar jeratan? Zahra masih sesekali diberi uang bulanan Datuk Othman, tapi itu hanya untuk menujukan dirinya di depan hakim bahwa dia masih suami yang sah dan berdaulat atas Zahra. Tapi, di luar itu Zahra hanya menjadi burung dalam sangkar. Hanya untuk dimiliki dan dilihat keindahannya. Sang burung tak pernah ditanya bahagia atau tidak, ingin keluar atau tidak dari sangkar itu. Ini adalah penzaliman atas diri wanita yang tak bisa dimaafkan.
Meskipun Zahra tak mempersoalkan harta suaminya sama sekali, tetapi dalam kamus Datuk Othman tidak ada gugatan cerai (khulu’) dari seorang istrinya yang bisa diterima. Dia justru bersembunyi di balik pasal “kelaki-lakian” dengan mempersoalkan harta sepencarian. Dari sinilah sebenarnya Datuk Othman membuat proses perceraian mahkamah menjadi berlarut-larut. Dia seperti bersumpah bahwa tak akan ada shighah taklik thalak (pernyataan menerima untuk menceraikan istrinya) yang akan keluar dari mulutnya untuk Zahra. Apalagi kalau dia dan pengacaranya tahu bahwa sebenarnya Zahra mengandung karena telah berzina dengan Razi, maka pasti akan bertambah runyam. Aku melihat bukan salah undang-undang perceraian di Malaysia, tapi salah pribadi-pribadinya yang hanya mementingkan syahwat dan dominasi kelaki-lakian. Hukum hanya menjadi kamuflase semata.
“Serba salah. Sudah lebih dari 4 tahun Zahra digantung macam ini. Aku juga sangat kasihan,” tutur Datuk Rustam lagi.
Aku jadi berpikir, apakah dosa zina yang dilakukan Razi dan Zahra juga kelak akan ditanggung Datuk Othman di akhirat nanti? Bukankah dia juga berkontribusi besar terhadap perbuatan maksiat yang dilakukan istrinya pada masa perceraian yang memakan waktu bertahun-tahun lamanya? Bukankah nafkah lahir dan batin adalah persyaratan mutlak bangunan keluarga mengapa masalah harta pencarian menjadi begitu rumit untuk disepakati bersama?
Perceraian benar-benar menjadi sesuatu yang halal tapi sangat dibenci Tuhan. Aku telah menyaksikannya pada kasus Zahra. Aku menyaksikan kasus-kasus serupa terjadi, seperti bola salju menggelinding dengan kompleksitas masalah yang beragam. Setiap 10 menit terdapat satu kasus perceraian di Malaysia. Sungguh ini merupakan hal yang memilukan. Puluhan ribu angka perceraian per tahun terjadi di negeri ini, menambah panjang deret derita perempuan-perempuan Melayu dalam kasus perceraian.
“Aku ingin menimang-nimang cucu, bermain bersama di usiaku yang sudah tua ini. Tapi, ternyata tak mudah. Razi adalah anakku satu-satunya. Sekarang, saat kuketahui aku mempunyai cucu dari Razi dan Zahra, aku tak dapat memilikinya,” ucap Datuk Rustam hingga berlinang airmata.
“Datuk, engkau sudah memilikinya. Ini hanya masalah waktu saja. Insya Allah, kelak Yasmin pun akan setuju. Tapi, ini perlu waktu,” kataku meyakinkannya. “Ini masalah waktu saja. Lagi pula, bagaimana Datuk menyembunyikan nama ibunya? Bukankah ini juga akan menambah panjang proses mahkamah?” tanyaku.
“Betul. Aku pun bingung. Namun, pasti kami akan merahasiakan dulu siapa ibu Sean. Sebab, jika Datuk Othman tahu itu adalah anak Razi dan Zahra, pasti dia akan buat macam-macam,” ungkapnya.
“Apakah waktu Datuk bertemu dengan Datuk Othman memberi tahu bahwa anak Datuk ingin menikahi Zahra?” tanyaku lagi.
“Itulah masalahnya. Aku sudah bagi tahu bahwa Razi menyukai Zahra dan berharap agar beliau cepat-cepat menceraikan Zahra. Aku bertemu Datuk Othman sebagai seorang sahabat, sama-sama Melayu, sama-sama kawan seperjuangan, tapi tak mudah membujuk beliau ini. Mungkin beliau pun merasa sakit hati dengan Zahra. Boleh jadi, beliau pun sudah tahu kalau Zahra itu punya anak. Sudah 1 tahun ini aku tak punya alasan lagi untuk membujuk Datuk Othman. Serba salah bagai makan buah simalakama,” tuturnya.
---BERSAMBUNG PART 19---
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1682439731805954
https://www.facebook.com/halim.ambiya

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...