Monday, July 30, 2018

SOR BAUJAN Part 3 : TAFAKUR

Oleh Halim Ambiya
“Aku mengenal kamar ini,” bisikku dalam hati saat terjaga. Aku terbujur di kamar depan rumah Pak Kyai. Kamar yang sering digunakan untuk memijat beliau. Beberapa kali aku tidur di tempat ini. Terutama saat aku ditraktir menonton Liga Champion oleh Pak Kyai. Kamar khusus yang tak sembarang santri dibolehkan masuk. Sekaligus kamar termewah yang ada di pondok ini. Entah sudah berapa lama aku tak sadarkan diri.
Sayup-sayup kudengar suara menyadarkanku.
“Mungkin karena perut lapar. Dari pagi belum makan. Jalan panas-panasan. Nggak pakai peci,” kata seorang perempuan dari balik dinding. Dari suaranya aku kenal. Itu suara Ustazah Maryam. Dari situ aku baru menyadari mengapa saat ini aku berada di kamar ini.
“Ya Allah. Hanum…Hanum,” teriakku.
Prankkk… Tak sengaja kakiku menendang piring dan gelas. Aku berusaha bangkit dari tempat tidur. “Aku harus tahu kondisi Hanum sekarang,” kataku dalam hati. Tapi, sejurus kemudian kulihat Rizki dan Ustazah Maryam menerobos kamar. Menghalangi jalanku ke luar.
“Ohh.. Matin sudah bangun,” kata Ustazah Maryam.
Di Pondok ini hanya dua orang yang memanggilku dengan nama belakang; Hanum dan Ustazah Maryam. Tapi, keduanya memiliki alasan yang berbeda.
“Sudah. Kamu istirahat dulu,” ujar Rizki.
“Hanum. Hanum bagaimana?” tanyaku.
“Kamu tenang saja. Jangan pikir macam-macam dulu. Pak Kyai pergi dengan Ustaz Jamil. Tengok Hanum di RS Cilacap. Doakan saja, biar lekas sembuh,” tutur Ustazah Maryam.
“Keadaannya bagaimana, Bu? Parah nggak?”
“Kita masih tunggu telpon dari Pak Kyai.”
“Sejak tadi belum ada telpon?”
“Belum.”
Aku tak bisa memaksa Ustazah Maryam untuk bicara. Kulihat dia jujur. Memang belum ada berita terkini. Kabar sementara bus yang ditumpangi Hanum tabrakan. Pak Kyai mendapat informasi dari pihak kepolisian di Cilacap. Hanum luka parah. Ustazah Uswah kritis. Karena itu dia tergesa-gesa tadi meluncur ke sana. Semua orang di pondok ini masih menunggu kabar dari Pak Kyai. Pesawat telpon di ruang tamu ditunggui 2 santri putri. Sekadar berjaga-jaga kalau Pak Kyai telpon.
Aku mengeluarkan sapu tangan Hanum dari sakuku. Tak peduli lagi dengan Rizki dan Ustazah Maryam yang berada di kamar. Keduanya saling melirik lalu berpamitan pergi saat aku mulai mencium sapu tangan itu dalam-dalam. Kupejamkan mataku dan menarik nafas dalam-dalam. Aku memohon kepada Allah agar Hanum selamat. Tak kurang suatu apa. Untuk menenangkan batinku yang galau, aku bershalawat sebanyak-banyaknya:
“Allâhumma shalli wa sallim ‘alâ sayyidinâ muhammad wa’ala âli sayyidinâ muhammad. Qad dhâqat hîlatî adriknî ya rasûlallah” (Ya Allah berikanlah rahmat dan kesalamatan kepada Kanjeng Nabi Muhammad dan keluarganya. Aku telah tunaikan daya-upayaku, maka ketahuilah keadaanku ini ya Rasulullah)
Aku terus bershalawat. Berulang-ulang. Sambil kututupi mukaku dengan sapu tangan itu. Aku menghadirkan kesadaran batinku dengan shalawat sejadi-jadinya. Kugetarkan munajatku dengan washilah Rasulullah. “Ya Allah, hambamu yang bergelimang dosa ini memohon kepada-Mu. Ampunilah salah dan dosaku. Ampunilah aku dan Hanummu. Kekasihku dan kekasih-Mu. Berilah limpahan rahmat dan kesalamatan bagi kami dalam pelukan kelembutan cinta-Mu.”
***
Malam merambah pagi. Dalam ruang gelap-sepi. Aku mengambang di awan tak bertepi. Jiwaku melayang-layang tak henti. Hanum bahkan sama sekali tak ada di hati. Aku berhasil menghentikan ingatanku tentang Hanum. Namun, pikiranku menjadi sangat liar. Aku tak mampu mengingat Hanum lagi, kini yang kupirkan hanya aku; diriku sendiri. Aku dengan nama Thariq Abdul Matin.
Dalam kesendiriaku, aku bertanya-tanya: Mengapa aku “ada”? Sejak kapan sebenarnya aku ada? Aku tak pernah merasakan kapan saat aku tiada lalu menjadi ada. Aku hanya begitu saja menjadi ada. Kupikir semua pun merasakan hal yang sama. Lalu waktu membuat lalai. Kita bahkan menghindari pertanyaan-pertanyaan jenis ini hanya untuk membuat pikiran menjadi nyaman. Padahal saat diingat lagi, kita masih belum mengetahui jawabannya. Kadang-kadang menyadari ada dan tiada. Terus silih berganti. Namun, tak pernah tahu kapan batas kita mulai merasakan menjadi ada.
“Aku sadar bahwa diri ini adalah Thariq. Aku menyadari bahwa namaku Thariq Abdul Matin saat usia 5 tahun. Saat aku disunat. Itu saja. Tak ada gambaran memori sebelum itu yang kuingat. Nama itu melakat begitu saja. Lalu kutahu nama itu pemberian ayahku,” bisikku dalam hati.
Pikiranku tak bisa dihentikan. “Lalu, dimana aku sebelum sunat? Dimana diri ini berada? Bukankah banyak yang aku lakukan sejak lahir hingga sunat? Jadi, dimana diriku waktu itu? Dimana kesadaran itu bersemayam?” pikiran terus mencari arti. “Pasti orangtuaku juga merasakan hal sama. Mereka tak minta dilahirkan dari rahim siapa. Tiba-tiba sadar di masa dewasa, bahwa kita adalah fulan bin fulan bin fulan. Lalu, kita pun akan menjadi tiada. Tubuh ini hilang. Sementara diri yang ada ini menjadi tiada. Lalu dimana kita saat kematian jasad? Bagaimana merasakan dan menyadarinya bahwa kita akan berada di ruang gelap?” aku terus bertanya-tanya.
“Barzakh itu apa? Kalau hanya untuk ditanya ‘Siapa Tuhanmu? Siapa Rasulmu?’ seperti yang terdapat dalam hadis, maka tak membutuhkan 15 menit untuk menjawab pertanyaan Malaikat. Lalu, apa yang terjadi? Kita diam saja? Bergerak seperti apa tubuh kita menjadi tanah? Bukankah kita bertahun-tahun di dalam tanah? Ratusan tahun? Kita disana. Ya kita disana. Tak tentu waktunya. Apa yang kita lakukan? Bagaimana? Apakah aku bisa melihat kehidupan yang sekarang? Apakah bisa melihat dan bertamasya? Ahhh. Gelap. Bingung. Tak habis pikir,” bisikku lagi dalam kesendirian.
Aku semakin bingung. Pikiranku semakin liar. Tak bisa dihentikan.
“Kalau nanti semua makhluk binasa. Dunia ini hancur lebur. Kita tak ada. Fisik kita hancur. Tak tahu ada dimana. Lalu, kita dimana? Keadaan kita seperti apa? Bagaimana? Dimana Thariq ini, yang ada dalam kesadaranku ini? Dimana akuku? Di alam mana? Melayang-layang? Seperti apa?”
“Kalau memang masuk surga, sampai kapan? Abadi? Bagaimana selama itu? Apa yang kita rasakan? Apa yang terjadi dengan setelahnya? Bagaimana gambaran neraka? Sampai kapan? Apakah ada alam lain setelah surga-neraka? Ya Allah aku bingung. Bagaimana ini? Pikiranku susah untuk dihentikan,” pikirku liar.
“Tidak!!!” Aku berusaha menghentikan pikiranku. Aku berontak. Seperti mau lepas. Seperti mau hilang kesadaran. Seolah masuk ke lorong gelap. Tubuhku seperti masuk ke dalam vortex. Seperti jatuh dari gedung pencakar langit. Namun susah dihentikan. Aku teriakkan dalam hati, “Allahu Allah…Allahu Allah.” Kusebut berulang-ulang, melepas pikiran-pikiran yang berseliweran yang menguasaiku. Kujaga di lisan dan pikiranku tetap nama “Allah.” Aku hilangkan selain-Nya. Selain Allah tak ada. Yang Ada hanya Allah. Aku terus teriakkan dalam batin: “Allahu Allah.” Aku berdiri dari pembaringanku. Berjalan kesana-kemari. “Astaghfirullah,” ucapku berulang-ulang menghentikan kenakalan pikaranku saat itu. Aku berhasil menangkan diri saat deru mobil Land Rover memasuki halaman rumah Pak Kyai.
“Alhamdulillah. Pak Kyai datang,” bisikku.
***
“Kamu belum tidur?” tanya Pak Kyai.
“Belum, Pak,” jawabku sambil kutunggu berita darinya. Kulihat waktu menunjukkan pukul 2.30 dini hari.
Ustaz Jamal berjalan ke arah kantor. Pak Kyai tak langsung masuk ke dalam rumah. Beliau duduk di beranda depan. Aku mengambil posisi tempat duduk yang agak jauh. Sambil terus kutundukkan kepalaku.
“Aku bingung. Aku ini orang yang sudah diusir. Tapi, mengapa aku merasa berhak untuk mendengar berita darinya? Mengapa aku seberani ini? Siapakah aku ini. Aku hanya santri. Hanya teman Hanum dalam kasus ini. Bukan tunangan. Bukan suami. Apa hakku duduk menunggu,” bisikku dalam hati. Namun, aku merasa berani menghadapi ini, karena tak kulihat penolakan di wajah Pak Kyai. Dia malah tampak tenang. Wajahnya bersih bersinar dari kilatan cahaya malam.
Sejurus kemudian beberapa ustaz pun datang. Kulihat Ustaz Kohar juga ikut datang berkumpul. Dia melirikku dengan tatap mata tak sedap. Aku tak ambil pusing. Pokoknya, aku ingin mendengar kabar yang dibawa oleh Pak Kyai.
Pak Kyai berdiri. Lalu memecah sunyi, “Baiklah. Ustaz-ustaz tunggu disini dulu. Nanti Ustaz Jamal yang jelaskan.” Beliau berjalan ke arahku, lalu menepuk pundakku, “Ayo. Kita di dalam,” katanya.
Aku disuruh duduk di ruang tengah. Aku siap menerima berita apa pun. Aku merasakan Pak Kyai akan memberi kabar yang belum pernah kudengar sebelumnya. Kabar kepastian yang belum terjelaskan tadi siang.
“Kamu harus kuat,” katanya sambil menudingku. “Jangan berani-beraninya menantang Allah! Jangan pernah menolak kehendak-Nya,” ucapnya lagi dengan suara bergetar. “Kamu tidak mensyukuri nikmat itu kufur. Kamu takut besok mau makan apa juga kufur. Untuk menjadi kafir, seseorang tak perlu meninggalkan agamanya. Urut takdir itu sudah ditentukan. Jodoh sudah ditentukan. Kematian pun sudah ditentukan. Kalau kamu mengiba dan meratap kehendak-Nya sama saja dengan menantang Allah. Kamu seperti menapar muka-Nya,” katanya.
“Kamu harus berani menerima keadaan ini. Hanum dipanggil oleh Allah dengan cara yang sudah dikehendaki-Nya. Begitu juga Ustazah Uswah.
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun,” kataku pelan. Aku hanya diam. Sambil terus berdzikir dalam hati memanggil nama Allah agar utuh kesadaranku. “Allahu Allah.”
“Keduanya tidak bisa tertolong. Tak ada satu makhluk pun yang bisa menghalangi kehendak Allah. Dia berkuasa penuh memutuskan kapan seseorang meninggal. Kita ini hakikatnya hanya wayang. Kita hanya hamba yang menjalankan urut takdir Gusti Allah,” ungkapnya dengan airmata mengalir.
Airmataku telah kering. Sungguh aneh, kini justru aku merasa kuat untuk mendengar semua wejangannya. Pak Kyai justru yang menangis. Aku menerima berita duka ini dengan ikhlas. Aku sudah siap menerimanya.
“Ingat, Nak,” kata Pak Kyai sambil mengelus kepalaku. “Aku menghukum kalian bukan karena benci. Aku menghukum kamu berdua karena rasa sayang. Ini bagian dari caraku mendidikmu. Tapi, Allah menakdirkan lain. Ikhtiarku dianggap cukup. Hari ini Hanum dan Ustazah Uswah terkena kecelakaan. Bukan hanya kamu yang bersedih, tapi aku dan seluruh warga pondok pun berkabung. Seluruh keluarga Hanum dan Ustazah Uswah pun sama” ungkapnya lagi.
Aku tetap diam.
“Hadirkan terus kalbumu bersama Allah. Hidupkan kalbumu, hidupkan. Jangan hentikan dzikirmu karena ganguan nafsu dan pikiranmu,” katanya lagi.
Aku membisu.
“Hakikatnya kita ini hanyalah wayang. Kita ini tak ada. Kita adalah makhluk yang fana. Wujud kita ini bisa sirna. Hanya Allah yang Wujud,” lanjutnya.
Sunyi.
“Tanamkan terus dalam kesadaran kalbumu, Lâ ilaha illallâh (Tak ada tuhan selain Allah),” pungkasnya.
Aku tak ada.
----BERSAMBUNG PART 4----
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1659085764141351
https://www.facebook.com/halim.ambiya 

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...