Monday, July 30, 2018

SOR BAUJAN PART 4: VORTEX

Oleh Halim Ambiya
Sapu tangan merah jambu ini laksana tabir Barzakh buatku. Setiap kali kucium aromanya, anganku melayang-layang. Menembus ruang dan waktu. Melesat ke dimensi lain. Menuju alam halus yang tak kumengerti. Tubuhku melesat terbang. Mengambang di awan. Lalu, meluncur cepat ke lubang gelap bak pusaran angin puting beliung. Seperti masuk dalam kumparan vortex. Jantungku serasa copot. Aku seperti dalam roller coster yang melaju cepat.
Kemudian, di titik keheningan yang paling dalam, saat kedamaian hati terasa di sekujur tubuh, aku bertemu dengan Putri Hanum di atas awan. Dia melambai-lambaikan tangannya. Tersenyum manis. Mengajakku terbang bersamanya. Dia tampak begitu anggun dan memikat dengan gaun serba putih. Mengambang di atas awan bak kapas. Pesona terasa meremukkan tulang belulangku. Tubuhku terasa dingin menyaksikan bidadariku di pelupuk mata.
“Hanum…Hanum,” teriakku. Aku memanggil sekuat-kuatnya. Tapi, senyumnya mengisyaratkan agar aku tetap tenang. Sorot matanya seolah memerintahkan aku untuk diam. Lidahku kelu. Tak mampu berkata apa-apa. Kemampuan bahasaku hilang begitu saja. “Dimana aku?! Alam apa ini? Mengapa bisa begini,” bisikku di lubuk hati yang paling dalam.
Entahlah, bagaimana aku harus menjelaskan. Dia terasa begitu nyata. Sangat dekat, tapi tak teraba. Dia mendekapku, tapi tak tersentuh. Dia terasa bersamaku, tapi tak terjangkau. Dekatnya tak bisa terindera. Kebersamaannya tak seperti kebersamaan antara tubuh dan pakaianku.
“Ah…Mungkin ini hanya mimpi,” gumamku.
Perlahan kubuka mataku. Lalu kucubit lenganku sendiri. “Aku merasakannya. Ini bukan mimpi lagi. Aku sadar. Aku sadar,” bisikku. “Dimana aku ini? Ini bukan kamar Pak Kyai. Tak ada ruang seperti ini di pondokku.
Aku mulai mengingat-ingat kapan terakhir kali aku sadar. “Hmmm. Aku sedang duduk di ruang tengah dalam rumah Pak Kyai, lalu aku tak tahu apa yang terjadi,” bisikku dalam hati.
“Alhamdulillah. Kamu sudah sadar,” kata Gus Kholid sambil menghampiriku.
“Aku dimana ini, Gus?”
“Di rumahku.”
“Koq bisa?!” tanyaku penasaran.
“Ceritanya panjang. Nanti saja. Kamu istirahat saja dulu.”
Aku memang pernah menginap di rumah Gus Kholid, tapi bukan di kamar ini. Sepertinya, ini kamar tamu keluarga Kyai Bahruddin. Beliau juga guru yang sangat aku kagumi. Namanya cukup disegani di daerah sekitar Goa Jatijajar, Kebumen. Aku banyak menimba ilmu dari beliau. Dan, hal yang paling kusukai adalah masjidnya, karena persis berada di lingkungan pariwisata Goa Jatijajar.
Tiba-tiba aku mendengar suara Pak Kyai Makmun sedang berbincang dengan seseorang.
“Itu suara Pak Kyai?”
“Benar. Lagi ngobrol dengan Bapakku.”
“Pak Kyai Makmun yang bawa aku kesini?”
“Iya.”
“Separah apa rupanya aku ini, Gus?”
“Hahaha. Kayak anak-anak,” jawab Gus Kholid sambil tertawa. Aku hanya menjawabnya dengan senyum sambil mulai menghimpun kesadaran satu per satu.
Sahabatku ini memang memiliki aura yang menenangkan. Wajahnya tampan dan bercahaya. Kulitnya bersih sawo matang. Kulihat dia yang paling ganteng di antara anak-anaknya Kyai Bahruddin. Aku cukup bersyukur dapat belajar bersama-sama dengan Gus Kholid di Pondok Pesantren Gading, Kroya. Pada saat yang sama, aku pun bisa ikut belajar ilmu hikmah dari Kyai Bahruddin, ayah Gus Kholid.
***
“Kamu tak perlu pulang dulu ke Indramayu. Tenangkan saja pikiranmu disini. Belajar langsung dengan Kyai Bahruddin. Bantu Pak Kyai mengurus masjid,” kata Pak Kyai Makmun.
“Iya. Disini dulu. Menggantikan Gus Kholid. Kamu anakku juga,” kata Kyai Bahruddin.
Aku menunduk setuju. Bagaimana mungkin aku sanggup membantah dua orang yang aku segani? Pak Kyai Makmun telah mendidikku selama 4 tahun di Pondok Gading. Sedangkan Kyai Bahruddin adalah ayah dari sahabatku Gus Kholid, beliau telah menjadi guru pembimbingku selama ini, mengajarkan aku banyak tentang dzikir dan hikmah kehidupan. Kalau aku tinggal disini, bisa belajar langsung dengan Kyai Bahruddin. Ini kesempatan emas.
“Kuatkan jiwamu! Sekarang kamu dalam bimbingan langsung Kyai Bahruddin. Setelah kuat, silahkan turun gunung. Bahkan, aku berharap kamu bisa melanjutkan kuliah. Aku punya harapan besar kepadamu,” kata Kyai Makmun. “Jadikan peristiwa ini sebagai pelajaran hidup. Jangan terpedaya oleh nafsumu. Kuasai, kendalikan baik-baik,” lanjutnya lagi.
Harus dengan apa aku berterima kasih kepada guru-guruku ini. Pak Kyai Makmun mengantar langsung ke sini. Lalu, Kyai Bahruddin menganggapku seperti anaknya sendiri. Mereka mengajarkan aku makna ikhlas dan tingginya kasih sayang. Meski aku bukan anak biologis dari mereka, namun aku begitu membapakkannya. Ada ikatan batin yang sukar dijelaskan akalku. Pasti ada tujuan lain Kyai Makmun mengantarkan langsung ke rumah Kyai Bahruddin. Ini berarti, aku memang telah diusir dari Pondok Gading, tapi Pak Kyai justru memindahkanku ke pondok Kyai Bahruddin untuk memperdalam ilmu yang lain. Rasanya, ini bukan lagi pengusiran. Bukan pula hukuman. Aku menganggapnya sebagai hadiah kenaikan kelas bagi pendidikan ruhaniku yang sedang galau.
Kesadaranku belum utuh. Aku masih belum bisa mengingat rincian kejadian mengapa aku berada di rumah Pak Kyai Bahruddin. Masih rumit untuk disambung-sambungkan. Apakah aku dianggap sudah gila? Mengapa Pak Kyai Makmun berubah pikiran hingga mengirimku kemari? Apa yang terjadi saat aku mendengar berita kematian Putri Hanum? Apakah aku membuat repot semua orang di pondok? Apakah Pak Kyai Makmun sudah memberi kabar orangtuaku? Aku tak tahu.
Gus Kholid belum menceritakan peristiwa kemaren. Sayangnya dia harus pulang ke Pondok Gading menemani Pak Kyai Makmun pulang ke pondok. Sementara aku ditinggal sendiri di kamar ini.
***
Aku sadar bahwa kematian bukanlah tragedi. Kematian adalah sebuah kepastian yang tak bisa dihindari oleh siapa pun. Kita hanyalah makhluk yang fana. Mengingkari datangnya kematian adalah pengkhianatan terhadap diri sendiri. Melalaikannya adalah sebuah kemunafikan.
Aku tak mampu mengendalikan diriku sendiri saat mendengar berita kematian Hanum bukan karena aku menolak takdir-Nya. Aku justru ingin berdamai dengan kematian. Aku bahkan ingin menukar nyawaku dengan kematiannya. Atau mati bersamanya. Begitu juga saat anganku melayang, saat memegang dan mencium sapu tangan merah jambu milik Hanum, aku tiba-tiba saja melayang-layang. Aku tak bisa menjelaskan secara ilmiah. Jiwaku langsung tersedot pada kekuatan di balik sapu tangan itu.
Kurasakan ini berulang-ulang. Setiap kali kucium sapu tangan ini, saat itu pula aku bertemu Hanum. Sungguh, sesuatu yang sukar dijelaskan oleh akal sehat.
Malam ini, aku beranikan diri untuk membuka surat Allahu yarham Putri Hanum yang dititipkan melalui Ustazah Maryam kemaren.
“Subhanallah. Ini bukan suratnya, tapi surat yang pernah kutulis untuknya,” bisik hatiku. “Surat ini hanyalah kutipan syair dari Bahisah Al-Badiyah (w 1337 H) dari pesisir Iskandariyah, Mesir. Aku kirimkan untuknya, karena dia layak menerimanya. Dialah gadis pantai pesisir laut selatan yang paling layak menerimanya,” aku mulai menerawang wajahnya. “Ya Allah, ampunilah dosa dan kesalahannya. Terimalah amal ibadahnya. Dekaplah ia dalam pelukan kasih-sayang-Mu.”
Aku membolak-balikkan kertas itu berkali-kali. Ini adalah surat pertama yang kukirimkan untuknya. Syair ini sama-sama kita pelajari di kelas. Sebagian santri akhir menghafal bait-baitnya. Dengan kesadaran penuh, aku menulis itu sebagai hadiah. Aku hanya menulis sesuai syair, tak menambah atau menggubah sedikit pun. Namun, dari situ aku berhasil menangkap sinyal jawaban darinya. Untuk pertama kalinya, aku tahu bahwa dia pun punya getar cinta yang sama denganku. Meskipun syair itu adalah ungkapan orang lain, karya sastra orang lain, namun Hanum berhasil menangkap pesan di balik surat yang kukirimkan.
'Azizatii ya sayyidata Balsam...
Uhayyiki…walau lâ burûdatul bahri la-l-tahabtu ilaiki syauran
Walaula tashaburi lathirtu ilaiki hubban
Wa inni lam yunsini shafâu-s-samâ' shafâu wuddiki wala riqqah nasim riqqah hadistiki, innamâ syajanii wa dzkaranî wa lam akun nâsian
Duhai kekasihku, Tuan Putri Balsam.
Kukatakan kepadamu, kalaulah bukan karena dinginnya air laut, maka aku telah datang kepadamu dengan penuh kerinduan.
Kalau bukan karena kesabaranku, aku telah terbang menggapaimu dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang.
Jernihnya langit tak sejernih cintamu, indahnya hembusan angin tak seindah ucapanmu
Sungguh, semua itu membangkitkan selalu kerinduanku kepadamu. Tak akan pernah terlupakan.
Habibatî,
Laitaki kunti ma'i taraina thabî'ata bijamâliha
Taraina-l-bahr yazkharu ka-rra'di,
Wa al-amâwaj tatalâdhamu zarafât wa wihdanâ.
Shafâun fi-ddahri wa shafâ' fi-ssamâ'i kaannahumâ qalbana
Wa tasma'ina taghrida-th-thuyur wa hafiifa-l-asyjâri.
Innaha-la'amartuki-manâdhiru tulhi-l-mar'a.
Walakin hayhâta limistli antalhawa, wa hiya ta'alimu mâ yukinnuhu-d-dahru wama yukhbiuhu-l-lailu wa nnaharu
Taqabbalî minnî ahhar qubulatî wa awfaru asywaqî
Duhai Kekasihku…
Andai kau bersamaku, engkau dapat melihat indahnya pemandangan
Engkau dapat melihat lautan menggelegar layaknya petir
Dan, gulungan ombak saling berhantaman
Jernihnya lautan sejernih langit, begitu juga hati kita
Kau dapat mendengarkan indahnya kicau burung dan lambaian pepohonan.
Sungguh, itu adalah pemandangan yang membuat tiap manusia terlena.
Tapi, aku tidak mungkin terlena, karena aku mengetahui apa yang tersembunyi di dalam waktu, dan apa yang tersembunyi di saat siang dan malam.
Terimalah salam hangat dan rindu beratku.
-----BERSAMBUNG PART 5-----
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1659662020750392
https://www.facebook.com/halim.ambiya

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...