Monday, July 30, 2018

SOR BAUJAN Part 1 : MAHKAMAH

Oleh : Halim Ambiya
Wajah Kyai Makmun tampak angker. Tarikan nafasnya tak seperti biasanya. Caranya duduk dan meneguk kopi pun berbeda. Pagi itu seolah angin berhenti bertiup. Beranda rumahnya menjadi neraka bagiku. Aku menangkap kekecewaan luar biasa di wajahnya. Secangkir kopi di atas meja menjadi saksi kegelisahanku. Hmmm. Aku akan disidang. Pak Kyai marah besar.
Detik-detik mendebarkan. Persidangan yang menyiksa batin. Menghinakan. Menyedihkan. Dan, mempermalukan diriku sendiri. Aku akan dihukum oleh orang yang sangat kukagumi. Aku semakin menundukkan kepalaku. Aku kosong. Hampa. Galau. Sama sekali tak mampu menatap matanya. Hingga tak terasa air mata ini mengalir deras. Meski mulutku terkunci rapat. Aku hanya bisa menunggu dan menunggu. Keputusan apa pun akan kuterima. Ini salahku. Ini dosaku. Titik.
Aku tak mampu membayangkan kekecewaannya. Rasanya tak layak duduk berhadapan dengannya. Merasa kotor berlumpur dosa. Beliau adalah guruku. Pembimbing ruhaniku. Dialah pengganti orangtuaku di sini, di tempat ini. Perlahan, saat arah mataku tertuju ke bawah, kulihat Pak Kyai mengibas-ngibas kain sarungnya. Untuk beberapa lama, aku masih menunggu. Di atas kursi lapuk, kusam dan berdebu. Di beranda depan rumah Pak Kyai itu Mahkamah Pondok sedang berlangsung. Ratusan mata santri mengintai dari balik ruang asrama. Ada yang pura-pura berjalan keluar asrama, ada yang berhamburan ke dapur hanya untuk melihat peristiwa itu. Ada pula yang mengintip dari sudut Masjid Darurraskhin. Aku merasa terhina. Tak berdaya.
Tak seperti persidangan lain. Persidangan kali ini harus Pak Kyai sendiri yang memutuskan. Jika melanggar aturan ringan cukup disidang oleh santri senior. Hukumannya paling banter kepala digundul, disuruh membersihkan WC atau disuruh naik ke atas pohon sambil menghafal ayat-ayat Al-Quran. Kalau melanggar bahasa, cukup bagian pengajaran yang menghukum. Jika dilakukan santri senior cukup disidang oleh ustaz pengasuh santri. Namun, yang kulakukan sudah kelewatan. Pelanggaran berat. Tak termaafkan. Kesalahanku tak bisa diselesaikan di tingkat santri senior ataupun ustaz pengasuh. Keputusannya mutlak di tangan Pak Kyai.
“Ehmmm.”
Pak Kyai berdehem. “Mungkinkah ini pertanda beliau akan mulai bicara?” bisikku dalam hati. Sudah lama kutunggu, tapi tak kudengar ucapan Sang Kyai bertubuh tinggi besar itu. Aku semakin gelisah. Pasrah. Bingung. Sedih.
Suara detak jarum jam dinding mulai kudengar. Pertanda keheningan bermula. Sepi. Senyap. Menunggu waktu. Lalu, tiba-tiba kudengar beliau bicara: “Anakku, perjalananmu masih sangat panjang,” tuturnya sambil menarik nafas. Bergetar. Bernada pelan. Sorot matanya tertuju ke arahku. Sangat serius. “Kamu sudah tidak bisa dididik disini. Sudah tidak bisa. Sekarang aku serahkan ke pendidikan orangtuamu lagi. Kamu harus bertanggungjawab atas kesalahanmu. Kamu pasti tahu. Aku kecewa,” ucapnya lirih.
Duarrrr!!! Ini seperti guntur yang kilatannya kuketahu sebelumnya. Air mataku kembali mengalir. Kini mulutku mulai terbuka. Tak kuasa menahan tangis. Hatiku bergolak menerima tamparan ini. “Aku diusir dari pesantren. Sekarang. Saat ini juga. Aku tak tahu. Apa kata ibuku nanti?! Bapakku pasti marah besar,” bisikku dalam hati.
Ucapan Pak Kyai menampar. Menusuk hatiku. Menendang keberadaanku. Melebihi tamparan keras di pelipis setahun lalu saat aku terlambat shalat shubuh. Ini berbeda. Kata-katanya membanting-bating tubuhku. Melempar kesadaranku. Tak ada lagi harapan aku menghirup udara pesantren. Tamat riwayatku disini. Aku tak diakui lagi sebagai santrinya.
“Aku minta maaf, Pak Kyai,” jawabku sambil sesenggukkan.
“Aku sudah maafkan kamu. Sekarang bukalah lembaran baru hidupmu. Buktikan bahwa kamu bukan sampah. Buktikan bahwa kamu anak yang berguna. Jangan ulangi lagi kesalahanmu. Medanmu di luar jauh lebih berbahaya. Jadikan peristiwa ini sebagai pelajaran. Ingatlah pesan bapakmu ini,” sambung Pak Kyai dengan suara parau.
Aku menangis sejadi-jadinya. Aku telah mengecewakan. Hidupku terasa hancur. Aku diusir oleh orang yang paling aku hormati. Aku diusir dari pondok yang telah mendidikku selama 4 tahun. Aku terusir. Tak berguna. Aku adalah anak yang tak tahu diri. Kyai adalah sentral figur bagi santri, namun aku berkhianat. Merusak amanah yang diberikannya.
Tubuhku seolah mengambang. Kursi yang kududuki pun ikut mengapung. Sorot mata ku kabur. Pandanganku mengambang tak tahu arah. Saat kesadaranku belum genap. Tiba-tiba Pak Kyai berdiri di hadapanku.
“Aku akan selalu memantau keadaanmu dari jauh. Sebagai orangtua, aku ingin mendengar kabar baik tentang kamu nanti. Aku masih punya harapan kepada kamu. Jadi, jangan kecewakan lagi. Buatlah aku bangga,” katanya pelan sambil mengulurkan tangannya yang kekar. Aku jabat tangannya, aku cium tangannya dengan derai airmata. Aku berusaha memeluk tubuhnya. “Maafkan aku, Pak. Maafkan aku,” bisikku sambil memeluk erat tubuhnya. “Jadikan ini sebagai pelajaran. Ustaz Jamal akan mengurus semua. Dia yang mengantar kamu pulang,” katanya sambil melepas pelukanku. Beliau lalu berjalan pelan masuk ke rumahnya.
Sejurus kemudian, Ustaz Jamal menghampiriku sambil membawa sepucuk surat. “Sudahlah. Saya tunggu kamu di kamar. Saya akan mengurus ini sebentar,” katanya, lalu meninggalkan aku sendiri di kursi itu.
Aku hanya bisa berdoa sejadi-jadinya, “Ya Allah, berilah aku kekuatan.” Tubuhku limbung, lunglai, tak berdaya menyaksikan kekecewaan Pak Kyai karena kesalahanku.
Dengan sisa-sisa nafas dan tenagaku, aku berjalan meninggalkan rumah Pak Kyai. Ratusan mata menatapku. Mereka menyimpan marah, sedih, atau bahkan cemooh dan hinaan. Kesalahanku memang tak bisa dimaafkan. Aku terima. Aku bertanggung jawab. Dan, aku akan jalani penebusanku. Rasa maluku melebihi rasa malu Yudistira, yang tak berdaya menjaga Drupadi. Ini bukan lagi salah Kurawa. Aku bertanggung jawab atas dadu kehidupan yang kupermainkan sendiri. Episode hukuman dan ramalan Krishna terjadi di depan mataku. Aku hanyalah wayang yang tak berdaya. Aku hanyalah hamba yang berlumpur dosa.
Jauh di lorong tergelap dan terdalam di batinku, aku membisikan doa-doa Khidir: “Yâ man la yusyghiluhu sam’un ‘an sam’in, yâ man la yughlithuhul-masâ’il, yâ man la yubarramu bi ilhâhil-malhîn, adziqnî burda ‘afwika wa halawata rahmatika” (Wahai Dzat yang tak pernah terganggu pendengaran-Nya dengan pendengaran apa pun. Wahai Dzat yang tak pernah salah dalam memberi kepada para peminta. Wahai Dzat yang tak pernah bosan terhadap para pemohon yang selalu meminta-minta. Berilah aku rasa sejuknya ampunan-Mu dan manisnya rahmat-Mu)”
---BERSAMBUNG PART2---
https://www.facebook.com/search/str/%23sorbaujan/stories-keyword/stories-public
https://www.facebook.com/halim.ambiya

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...