Tuesday, July 31, 2018

SORBAUJAN PART 17 LAUTAN CINTA

Oleh Halim Ambiya
“Abang, Datuk Rustam meminta cucunya,” tutur Yasmin pelan dalam pelukanku. Aku sendiri dalam diam, melihat Yasmin dalam kesendirian yang buta, di antara isak tangis dan tubuh yang gelisah. Aku mendekap, lalu lebih dekat di hati seiring dengan detak jantung. Kudapati bayang dirinya menghilang saat lampu padam mengabarkan tentang luka yang bertambah kelam.
"Berusahalah untuk menerimanya, sayang. Ini adalah jalan yang terbaik. Inilah jalan yang telah dipilihkan Tuhan untuk kita, untuk Sean," bisikku.
"Mengapa penderitaan ini tak pernah berakhir Abang? Aku semakin tersiksa. Lagi dan lagi. Kapan ini berakhir?” tutur Yasmin lagi.
Aku tahu, dia tak sanggup hidup tanpa Sean di sisinya. Yasmin tak mau hidup tanpa mentari di hatinya. Semua hari akan terasa malam, semakin kelam dan gelap. Kadang, Yasmin dan aku hanya berharap pada purnama. Padahal purnama hanyalah khayalan saat kita berada di siang hari. Mentari adalah khayalan saat kita berada di malam hari. Purnama itu tak nyata, hanya pengganti, hanya pantulan cahaya. Sebetulnya ia adalah kegelapan yang sesungguhnya. Lalu, kita hanya terus berharap tiada henti.
Aku memeluknya dalam dekap kasih. Mengelus-elus jiwa yang sedang merana dan meronta. Naik-turun. Kadang kuat karena totalitas kepasrahan, kadang rapuh dalam bimbang kegaulauan tanpa harapan.
"Apalagi yang harus kujelaskan kepadanya?" bisikku. Aku tak menemukan kata untuk kukatakan kepada Yasmin. Peluk sayangku sudah mengisyaratkan banyak hal. Dan, diamku sudah menjawab semua pertanyaannya yang sudah ataupun yang belum terucap.
"Bagaimana kau mengharapkan mentari di malam yang gelap. Itu mustahil. Takdir selalu menuntut logika, selalu menghajatkan nalar. Kadang tersentuh akal dan terindera, kadang terlalu asing bagi keduanya. Lalu, rahasia-Nya bersembunyi di balik waktu. Maka, jangan pernah menentang-Nya. Ikuti saja iramanya, lalu bergoyanglah," bisikku dalam hati.
“Kau tak harus putuskan sekarang. Insya Allah, Datuk Rustam bisa mengerti,” kataku.
“Iya, Abang. Aku hanya sedih dan bingung. Aku sudah tak ingin lagi ada hubungan dengan Razi dan seluruh keluarga Datuk Rustam. Aku ingin mengubur semua duka ini. Aku ingin hidup bersamamu di Jakarta,” tuturnya manja.
“Insya Allah, nanti kita jalan-jalan yah. Kita bisa berlibur di Puncak.”
“Aku mau, Bang. Kita bisa tinggal disana sebulan atau dua bulan. Aku ingin menghirup udara baru.”
“Tapi, selesaikan dulu masalah hatimu disini agar kita pergi tak membawa beban. Kuatkan dulu hatimu sayang. Meskipun kita bisa berlibur di Bali atau Raja Ampat, jika hati kita masih menyimpan rasa sedih, putus asa, amarah, dan dendam, sama saja.”
Rupanya sudah ada pembicaraan tentang Sean antara Yasmin, Abah Samad dan Datuk Rustam mengenai nasib Sean. Tapi, Yasmin belum mau menceritakan semuanya. Aku tak mau memaksanya untuk bercerita. “Biarkan aku menunggu waktu. Semoga Allah membimbing dan menguatkan hati Yasminku, melatiku,” bisikku dalam hati.
Pada saat aku terbaring di rumah sakit, sebenarnya banyak kejanggalan yang kusaksikan, tapi belum semua dapat kutahu jawabannya. Aku masih bingung, mengapa Maryam dan Zenita saling mengenal? Mengapa tiba-tiba, Zenita menghubungi Maryam, bukan menghubungi Yasmin? Mengapa harus Datuk Rustam yang menghubungi Yasmin, bukan Zenita? "Biarlah, semua ada waktunya. Aku tak mau membuat Yasmin gelisah dengan pertanyaanku," bisik hatiku.
Pada saat aku sedang berpelukan bersama Yasmin di ruang perawatan itu, tiba-tiba ada seseorang mengetuk pintu dan mengucap salam.
“Assalamu’alaikum,” ucap Zenita membuka pintu. Lalu, dia merasa kaget melihat Yasmin berada di ruangan itu. “Aneh, mengapa dia sekaget itu melihat Yasmin disini” bisikku dalam hati. Dia tampak bingung, seolah ingin keluar kembali dari ruangan.
“Oooh. Maaf, aku mengganggu,” kata Zenita.
Yasmin melepas pelukaku. Dia berdiri dengan angkuh. Menatap Zenita dengan sombongnya. Aku melihat sorot mata Yasmin yang membara dan buas. Wajahnya menyimpan amarah, merona membakar wajahnya. Memerah mewarnai deru nafas yang kencang. Ucapannya bergetar menahan geram. "Mengapa kau kemari? Apa maumu?” kata Yasmin, menuding ke arah Zenita.
Zenita menunduk. Dia menahan tangis. “Aku tak mengerti mengapa Yasmin bertindak tak sopan kepada Zenita. Bukankah dia selama ini sudah sangat membantuku. Zenitalah yang menahan pengeroyokan terhadapku. Dia pula yang membawaku ke rumah sakit dan mengurus semuanya,” bisikku dalam hati.
“Apa yang kaurencanakan? Apa yang sedang kau buat?" bentak Yasmin lagi.
"Maafkan aku, Yasmin. Aku bingung harus menceritakan darimana," jawab Zenita tertunduk lesu.
Aku tak paham apa sedang terjadi. Mengapa Yasmin semarah ini? Zenita masih diam membisu. Keduanya seperti sudah saling mengenal lama.
"Apa lagi yang akan kau ceritakan? Mengapa kau sejahat ini? Kita pernah satu sekolah. You are my roomate. Kau sahabatku yang paling aku percaya. Tega-teganya kau buat seperti ini padaku? Apa sekarang kau juga akan merebut suamiku lagi?”
“Tidak, Yasmin. Maafkan aku,” jawab Zenita tertenduk lesu. Dia tak berani menatap wajah Yasmin sama sekali.
“Apakah kau otak di balik semua kekejaman ini? Apa sebenarnya engkaulah yang menyuruh orang membunuh Abah dan Bang Thariq?"
“Tidak, Yasmin. Mustahil aku melakukannya,” jawabnya lagi, lalu menunduk lagi.
"Yasmin..Yasmin. Ada apa ini?" tanyaku penesaran. Aku ingin segera meredakan apa yang sedang terjadi. Baru kali ini, aku melihat tutur kata Yasmin tak sopan terhadap orang lain. Yasmin menangis. Jujur kuakui, wanita cantik ini tetap terlihat cantik meski dengan isak-isakan tangis kesedihan. Wajah dalam balutan kerudung berwarna biru itu semakin membiru.
"Abang tak tahu. Inilah Zahra, Abang. Ini dia yang merusak segalanya.”
"Zenita?!" Hmmm. Aku terdiam. Menarik nafas. Belajar memahami makna ini semua.
"Zenita itu Zahra, Abang. Zenita Zahra binti Sulaiman. Sean adalah darah dagingnya. Anak perselingkuhan antara Razi dan dia. Ini Zahra, Bang!"
“Aku bingung, Yasmin. Aku khilaf. Hingga Razi mengusulkan untuk menyerahkan anakku kepadamu, Yasmin. Ini rancangan Razi. Aku bingung harus berbuat apa. Bahkan, awalnya aku berencana untuk menggugurkan bayi dalam kandunganku,” tutur Zahra.
“Kau telah berbuat kebohongan untuk menutupi kebohongan. Harapkan pagar, pagar makan padi,” kata Yasmin.
“Aku akui, aku memang salah Yasmin. Aku bukanlah istri Razi, aku istri kedua Datuk Othman. Bagaimana kalau mereka tahu jika anak yang ada dalam kandunganku adalah anak Razi,” tutur Zahra.
Aku seperti sedang menonton telenovela. Perselingkuhan dibalas dengan perselingkuhan. Dosa ditutupi dengan dosa. Kebohongan ditutup dengan kebohongan. Semua menjadi lingkaran setan yang mengerikan. Dimanakah letak kebahagiaan yang mereka cari? Bagaimana mereka memahami nafas-nafas cinta dalam bahtera rumah tangga. Pergaulan bebas telah mengotori nama cinta dengan syahwat. Cinta tercemar karena nafsu dan ambisi. Nilai-nilai kesejatian cinta mulai sukar dicari dalam kamus manusia zaman sekarang. Kemapanan ekonomi bukanlah simbol bagi kebahagiaan hidup. Bahkan, kadang kekayaan justru mengusir nilai kebahagian dari jiwa pemiliknya. Kecantikan bisa dibeli. Kenikmatan sesaat bisa dicari. Semua bisa dilakukan dengan telunjuk pemilik harta. Mereka pikir, kepuasan seks adalah puncak kebahagian tertinggi.
Bagiku, kadang-kadang sikap diam adalah kemarahan yang paling memuncak. Kadang teriakan tak bisa mewakili rasa marah yang tinggi. Bahkan, untuk sebuah penzaliman, kadang kita tak memerlukan pembelaan makhluk. Sebab, saat orang terzalimi, meski mulutnya terkunci, tapi jiwa dan raganya telah mendapat jaminan pembalasan-Nya. Tuhan adalah pemberi garansi yang tak pernah ingkar janji.
Aku, seperti juga Yasmin pasti menyimpan luka yang dalam. Tapi, sanggupkah aku memperlakukan Zahra seperti Yasmin memperlakukannya? Tidak. Aku hanyalah orang asing, seperti juga dia bagiku. Kejahatan apa pun yang dilakukan orang asing, tidak akan lebih kejam daripada kejahatan orang terdekat kita. Pengkhianatan dapat melukai berlapis-lapis lebih dalam. Yasmin pasti sangat merasakan sakit hati luar biasa karena kejahatan Razi dan Zahra terhadap dirinya.
Aku masih membiarkan Yasmin meluapkan emosinya saat kulihat Zahra terus menangis. Dia terus tertunduk. Kemarahan Yasmin terhenti sesaat, saat seorang dokter dan perawat memasuki ruangan. Zahra bergegas mengusap airmatanya, lalu berdiri di sudut ruangan. Sedangkan Yasmin, tampak kesusahan membendung tangis. Dia tak mampu menyembunyikan tangisannya setelah melepas semua kekesalannya pada Zahra.
"Puan tak usah risau. Suami Puan sudah sembuh. Hari ini sudah boleh balik," kata dokter sambil memeriksaku.
"Terima kasih, dokter," jawab Yasmin kaku. Dokter itu tak tahu jika tangis Yasmin kali ini bukan untuk luka di tubuhku, tapi karena luka di hatinya yang kembali menganga saat berjumpa pelakunya. Dokter itu seperti menangkap pemandangan aneh. Sebab, beberapa kali dia melirik ke arah Zahra yang juga ikut menangis.
Setelah dokter dan perawat itu keluar dari ruangan, wajah kegarangan Yasmin mulai tampak kembali. "Pergi kau dari sini! Pergi! Untuk apa kau disini, kau hanya membuatku tambah sakit," bentak Yasmin.
"Maafkan aku, Yasmin. Maafkan," jawab Zahra.
"Pergi!"
Yasmin mengusir Zahra dari ruangan. Aku heran, mengapa Datuk Rustam tak membicarakan masalah Zenita kepadaku? Lalu, apa yang disepakati antara Yasmin, Abah Samad dan Datuk Rustam kemaren? Aku pikir masalah ini sudah selesai. Hmmmm. Aku memang baru mengetahui bahwa Zenita atau Zahra adalah anak dari Sean. Tapi, apakah juga Datuk Rustam mengetahuinya? Siapa yang bisa menjelaskan ini?!
Zahra pun mulai berkemas, meletakan kue dan bebuahan untukku di atas meja, lalu berjalan melangkah mendekati pintu. Dia tak sanggup berkata apa pun lagi kepada Yasmin. Dia hanya mampu mengatakan, "Maafkan aku...Maafkan aku." Sepertinya, Zahra sama sekali tak punya nyali untuk menghadapi Yasmin.
"Tunggu!" teriakku.
"Untuk apa, Bang?" tanya Yasmin.
"Jangan pergi dulu," kataku sambil berusaha duduk dari pembaringanku. Yasmin berusaha menolong. "Kemarilah, Zahra," pintaku pelan. “Kemarilah!” kataku sambil memandang wajahnya. Tapi, Zahra masih berdiri saja di depan pintu.
"Kenapa Abang tahan dia? Apa untungnya dia disini?"
"Zahra, kemarilah. Aku ingin bicara," pintaku meyakinkan Zahra. Aku tak memedulikan ucapan Yasmin. Aku hanya mengelus pundak Yasmin pelan. “Tenang sayang. Sabar, Abang nak cakap sekejap,” bisikku pada Yasmin.
Awalnya Zahra ragu, tapi berkali-kali aku berusaha meyakinkannya agar tak pergi dulu. Kuminta dia menarik kursi dan duduk dekat pembaringanku. "Aku ingin masalah ini selesai di sini, di ruangan ini sekarang juga. Atau minimal kita mulai berterus-terang. Saling membuka diri," kataku kepada Yasmin dan Zahra.
"Aku tak ingin menyisakan rasa marah dan kebencian, yang kelak bisa membesar di luar sana. Aku ingin orang yang aku sayangi hari ini, saat ini, mau bersamaku mendengarkan penjelasan Zahra," bisikku kepada Yasmin.
"Tidak Abang! Tidak! Aku belum mampu memaafkan Zahra," jawab Zahra melepaskan tanganku.
"Aku tak memintamu memberi maaf saat ini juga sayang. Aku hanya memintamu untuk mendengarkan Zahra untuk sekali ini saja," kataku pelan. “Please, biarkan Zahra bicara,” pintaku kepada Yasmin. “Please, I beg you, wait a while…Let her talk about Sean, her son, her blood, (Aku mohon kepadamu, tunggu sebentar. Biarkan dia bicara tentang Sean, anaknya, darah dagingnya)” pintaku kepada Yasmin.
Yasmin menangis. Kini dia menunduk lalu berusaha memelukku lagi. "Sayang, aku mohon dengarkan dulu penjelasannya dengan hatimu. Hatimu sebagai seorang wanita. Hati sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu, sebagai seorang sahabat perempuan Zahra," bisikku lagi.
Kini Yasmin dan Zahra sama-sama menangis. “Aku yakin. Haqqul yaqin, di lubuk hati yang paling dalam. Kalian masih saling menyangi,” kataku tegas hingga membuat tangis keduanya menjadi lebih menggema. Lalu, ketegangan demi ketegangan mulai larut dalam diam.
"Kita memang harus mendengarkan penjelasan Zahra. Selama ini kau hanya dengar penjelasan dari Razi. Bagiku ini salah besar. Zahra adalah ibu dari Sean. Dia yang paling berhak atas Sean daripada kita, daripada Razi sekalipun," kataku lagi. Kulihat, Zahra semakin mendekat ke arah Yasmin.
“Buang jauh-jauh ego kalian berdua. Selama ini ego kalian yang membuat ini semua terjadi. Kalian sahabat dekat, tapi tak mampu berkomunikasi dengan baik. Kalian saling menutupi. Padahal kalian berdua sebenarnya adalah sama-sama korban dari suatu keadaan. Kalian korban dari hubungan dengan Razi. Apakah kau sanggup memutuskan persahabatan kalian di dunia yang hanya sesaat, lalu kalian melupakan persahabatan abadi di akhirat? Apakah kalian kelak di akhirat akan saling menghujat, saling memasukkan sahabat sendiri ke neraka? Sanggupkah kalian lakukan itu?”
Aku tak ingat lagi kapan Yasmin dan Zahra saling berpelukan dan menangis sejadi-jadinya.
“Masalah ini sudah terjadi. Kalian sedang tenggelam di tengah lautan. Jangan kau tanya basah atau tidak! Jangan pula kalian saling menyalahkan! Mestinya kalian saling bertanya, ‘bagaimana cara berenang ke tepian?’” lanjutku lagi.
“Lautan cinta Ilahi begitu luas. Jangan pernah kau bandingkan kesucian cinta sesamu dengan samudera cinta Ilahi, karena sebenarnya kalian hanya merasakan cipratannya saja. Maka, apa yang kau banggakan dengan keteguhan cintamu itu di hadapan Allah. Kita ini kotor. Pendosa yang bengal. Tiap hari kita melakukan dosa, dan berkali-kali kita memohon ampun. Lalu, mengapa saat dirimu salah, saudaramu salah, kau berusaha menjadi “tuhan” yang sombong dan angkuh? Tak mau saling memaafkan. Seolah-olah kau lebih hebat daripada Tuhan yang setiap saat memaafkan hamba-Nya,” kataku kepada Yasmin dan Zahra.
Keduanya masih terus berpelukkan dalam diam perenungan.

---BERSAMBUNG PART18

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1681083141941613
https://www.facebook.com/halim.ambiya

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...