Monday, July 30, 2018

SOR BAUJAN PART 8 ELEGI

Oleh Halim Ambiya
Pagi itu terasa berbeda. Benar-benar berbeda dari biasanya. Yasmin mengambil cuti. Sean dibiarkan bermain di rumah bersama Makcik Izzah. Aku tahu, semalam dia telah bertemu kembali dengan Razi, mantan suaminya. Meskipun dia berusaha menyembunyikan sesuatu, tapi aku sudah menangkap isyarat tak baik.
“Abang, I need to talk,” kata Yasmin sambil bercucuran airmata. “Aku tidak mengkhianatimu. Ini bukan salahku. Sebenarnya dari minggu lalu aku ingin bagi tahu Abang, tapi aku tak bisa. Aku juga kaget. Zahra berbohong. Dia mengarang cerita tentang Sean. Ini bukan salahku. Aku tak tahu sebelumnya.” katanya lagi dengan wajah memohon uluran maaf dariku.
Aku diam menunggu ungkapan jujur yang akan ditumpahkan di pangkuanku. Sambil menghimpun arti kesabaran yang pernah kupelajari dari guru-guruku dulu. Aku ingin mendengar pengakuan istriku dengan kesabaran yang diajarkan bumi bagi penghuninya. Seperti nilai-nilai kesabaran dalam kitab suci dan buku-buku kuno yang kupelajari sejak di pondok hingga di bangku kuliah, atau yang pernah kupungut dari majelis dzikir Kyai Bahruddin.
Yasmin berhenti berkata. Tubuhnya berlutut di hadapanku. Wajahnya disandarkan di pangkuanku. “Ada apa sayang, katakan saja,” desakku. “Aku sudah siap mendengar pengakuan jujurmu. Aku siap mendengarkan. Apa pun itu,” kataku lagi.
“Jika memang kamu mau jujur, katakan saja. Jangan kau tahan,” kataku.
“Sean is Razi’s son (Sean adalah anak Razi)” ungkap Yasmin.
Dorr!!! Kabar ini seperti timah panas yang menembus jantungku. Aku terkapar. Tergeletak. Rasanya ilmu sabar yang kupelajari dari kitab Ihya Ulumuddin mulai memudar. Dzikirku mulai rada-rada goyang. Naik-turun imanku kian cepat. Seiring dengan kecepatan nafsu menguasai diri. Sabar memang dibutuhkan pada pukulan-pukulan pertama mendengar musibah. Ia sangat dibutuhkan untuk mengendalikan hentakkan di awal cobaan menghantam.
“Ya Allah, izinkan aku mewarisi kesabaran Ayub, nabi-Mu yang penyabar. Berilah aku kekuatan kekasih-Mu, Muhammad, saat menghadapi haditsul-ifki di hari-hari yang memilukan. Berilah aku rasa kesejukan ampunan-Mu dan manisnya rahmat-Mu,” bisikku dalam hati.
“Setahuku, Razi tak punya anak. Mengapa tiba-tiba justru sekarang punya anak, dan anak itu adalah Sean, anak angkatku? Permainan apa lagi ini? Astaghfirullah,” bisikku dalam hati. Aku terus mengiringi tarikan dan hembusan nafasku dengan lafaz “Allahu..Allah.” Aku terus menjaga hawa-hawa jahat dalam pikiranku yang mulai menawarkan diri untuk mengambil alih, menawarkan kekerasan, menawarkan kemarahan, menawarkan keputusan cepat untuk mengakhiri sebuah penghianatan.
Aku terus berusaha mengendalikan tali kekang kuda liar yang ada dalam jiwaku. Kusiapkan tenaga besar untuk mengendalikan hentakan-hentakan keras nafsu kemarahanku. “Allahu..Allah” lafaz itu terus berusaha menguasai kuda liar yang menarik-narik ego kebuasan nafsuku.
“Jangan-jangan Sean sebenarnya anak dari hubungan Yasmin dan Razi?” bisik suara-suara nakal di pikiranku. “Lalu, mengapa Sean dipilih aku dan Yasmin sebagai anak angkat kami? Mengapa harus anak Razi? Mengapa tidak anak yang lain? Dimana Datuk yang konon ayah kandungnya? Berarti TKW yang dimaksud sebagai ibu Sean adalah bohong belaka?!” segudang pertanyaan mulai berhamburan mengisi ruang batinku dengan tiba-tiba.
“Siapa yang memberitahumu?” tanyaku penasaran.
“Razi. Dia ceritakan semua.
“Mungkin saja Razi bohong,” kataku,
“Dia sudah bersumpah. Bahkan siap untuk test DNA.”
“Astaghfirullah. Ampunilah dosa-dosaku, ya Rabb. Ampuni aku,” bisikku dalam hati, untuk memberi aba-aba agar aku bisa mempertahankan kendali tali kekang kuda liar yang jahat dalam diriku. Aku berusaha keras. Sungguh aku benar-benar meredam kemarahanku dengan berlaksa-laksa doa dan munajat.
“Lalu, mengapa dia buat skenario ini? Mengapa mengirim Sean dalam kehidupan rumah tangga kita?” tanyaku sambil menangis pelan. Aku berusaha mengendalikan caraku bertanya. Aku tetap mencintai Yasmin. Aku tak boleh sembarangan menuduh. Aku harus mendengar terlebih dahulu semua ceritanya. Aku tak boleh angkuh dan keburu nafsu mengambil keputusan dengan naik pitam.
“Razi balas dendam, sayang,” ungkapnya. “Dia ingin membuatku hancur,” katanya dengan suara keras diiringi dengan tangis.
Anehnya, tanganku tetap bergerak reflek mengelus-elus sayang kepala Yasmin. Aku tak bisa menyalahkannya. Aku geram dan marah besar terhadap ulah Razi. Tapi, aku tak bisa melibatkan Yasmin dalam perkara ini. Tak tahu, kekuatan cintaku kepada Yasmin begitu besar, hingga kasih sayang itu memberi pengendalian cukup hebat untuk menundukkan kuda liar dalam diriku ini. “Ternyata, Razi telah menanam ranjau dalam rumah tanggaku,” bisikku dalam hati.
“Aku tak bisa melepas wajah Sean dari selimut kasih sayangku. Ini bukan salah Sean. Tak ada kaitan dengan anak itu. Aku merasa punya hak untuk terus menyayanginya, apa pun yang terjadi. Tapi, apa mungkin, setelah peristiwa ini aku bisa mempertahankan rasa itu?!” bisikku lagi.
“Ternyata. Sean adalah buah dari perselingkuhan Razi. Biadab!!!” kata Yasmin dengan suara agak lantang. Aku terus mengelus-elus kepalanya. Aku tak bisa mendefinisikan lagi, itu elusan sayang, atau hanya reflek tanganku kepada wanita yang telah menjadi istriku selama 3 tahun.
“Dia ingin tunjukkan kepadaku bahwa dia tak terkalahkan. Bajingan itu itu ingin agar aku sendiri yang menelan pil pahit perceraian,” kata Yasmin.
“Dia gila cerai! Kaki cerai!” teriaknya lagi.
“Razi tega melakukannya karena dendam,” lanjutnya lagi.
“Sabar sayang. Jika memang benar semua ceritamu. Kita berada di pihak yang sama. Beri waktu aku untuk memahami gejolak hatiku saat ini, sayang. Percayalah sama Abang,” kataku menenangkannya. Di lubuk hati yang paling dalam, aku menangkap kejujuran di diri Yasmin. Aku bisa merasakannya. Aku berusaha menjadi orang bijak sebijaknya.
“Lalu, siapa sebenarnya ibu Sean?” tanyaku.
“Zahra, Abang… Zahra!” teriak Yasmin.
“Ternyata Zahralah istri simpanan Razi. Inilah yang membuat semakin menyakitkan. Zahra itu adalah kawanku, Abang. Kawanku sejak Sekolah Rendah,” katanya lagi.
“Sudah, tak perlu kau lanjutkan!” desakku. “Serahkan semuanya kepada Allah. Serahkan semuanya!” kataku sambil memeluknya. Aku tak ingin mendengar pukulan-pukulan ini menghantamku bertubi-tubi. Biarkan menunggu kesiapan jiwaku untuk mendengarkan semua cerita ini secara utuh.
Aku mengajak istriku shalat bersamaku malam itu. Shalat yang menjadi dialog rahasia kami kepada Allah Yang Maha membolak-balikkan hati. Shalat yang diharapkan menjadi penyaluran energi sabar dari segi tiga cinta Ilahi; aku, istriku dan Dia. Hanya itu yang bisa kami lakukan. Dan, jika ada kebohongan dari diri istriku tentang hal ini, aku tak akan sanggup menyelamatkan tubuhnya terbakar. Atau akan kubiarkan sendiri diriku menjadi abu.
***
Aku bergegas menuju Damansara Heights. Aku ingin melupakan barang sejenak berita buruk yang menimpaku saat ini. Tak sabar ingin berteduh di bawah pohon trembesi disana. Rasanya ketenangan batinku di bawah pohon itu. Suasana tenang di bawah trembesi itu menjadi tarikan ruhani tersendiri. Angin sepoi-sepoi menerpa tubuh. Bau tanah liat basah dan tangkai-tangkai lapuk. Diiringi dengan suara-suara kicau burung-burung yang meloncat dari satu dahan ke dahan lainnya. Sungguh suasana yang dapat menyentuh ke dasar hati, suasana batin yang jernih, batin yang bebas dari penderitaan dan kepedihan.
Aku ingin merasakan saat-saat indah di waktu kecil dahulu, ketika berada di sekitar Buyut Mangung, pohon trembesi raksasa berdiameter lebih dari 5 meter kebanggaan desaku. Di tempat yang dianggap angker itu berdiri kokoh pohon trembesi raksasa berusia ratusan tahun. Lingkungannya sangat sejuk dan lembab. Pohon raksasa yang dulu menjadi arena bermain dan persinggahan para petani dari sawah dan ladang. Aku masih ingat,di kawasan itu pula terdapat 4 pohon trembesi lainnya, tapi lebih kecil, kira-kira berdiameter sekitar 3 meter mengelilingi trembesi raksasa. Aku sering bermain petak umpet di sela-sela akar trembesi yang melintang kokoh.
Aku benar-benar merindukan suasana itu. Rasanya damai dan tenang berada di bawah pohon itu. Aku ingin merasakan keindahan masa-masa indah 30 tahun lalu. Di atas tanah leluhur kami itu, aku menyimpan impian-impian aneh. Rasanya sama seperti waktu aku mendamaikan hati setelah kematian Hanum di Jatijajar, di bawah pohon trembesi bersama Kyai Bahruddin.
Kuala Lumpur, seperti juga Singapura dan Bangkok, merupakan objek menarik buat mereka yang suka dunia fotografi. Begitu juga aku, berjalan-jalan ke Damansara Heights, mendekat ke trembesi kesukaanku sambil membawa kamera, sekadar untuk memanjakan hobi foto-foto dan menghilangkan kesedihan di hati. Di sini aku menemukan sejumlah tanaman hidup berdampingan dengan realitas kehidupan metropolis yang keras. Kupikir, Kuala Lumpur dan Lembah Klang adalah tempat terbaik untuk melihat keindahan flora dan gedung pencakar langit tumbuh beriringan. Di setiap sudut kota, kita akan menjumpai taman-taman indah nan menawan. Ini mirip dengan model kota-kota di Inggris. Biar kuputuskan saja bulan depan tak perlu balik ke Jakarta untuk mengurus bisnisku. Aku ingin menyelesaikan dulu masalah ini disini, di dekat pohon trembesi di Damansara Heights.
Tempat ini masih asri. Aku masih sering melihat kawanan monyot-monyet bergelantungan di beberapa kawasan elit yang rimbun dengan pepohonan. Tak jarang burung-burung kutilang, kepodang, tekukur, jalak, cucak rowo dan burung-burung berkicau indah lain hinggap dari ranting-ranting pepohonan, bahkan sering terbang rendah memasuki kawasan perumahan dengan aman. Pemandangan seperti ini jarang dijumpai di Jakarta. Sebab, penduduk Jakarta adalah musuh bagi burung-burung liar yang berkicau di alam. Jakarta hanya menjadi pasar bagi burung dalam jeratan sangkar. Aku tak ubahnya burung dalam sangkar jika aku balik ke Jakarta di saat-saat seperti ini.
Sengaja aku membawa kamera dan berpakaian seperti pecinta alam ketika memasuki Damansara Heights di pagi hari. Agar aku lebih aman dan tidak mencolok mata bagi warga di sekitar hunian elit disana. Aku ingin bermanja-manja dengan alam, mendekati pohon trembesi yang menyadarkan aku tentang makna hidup dan kehidupan.
Meski ,banyak orang menyebut pohon ini dengan nama Trembesi, Ki Hujan, Pohon Hujan, atau orang Barat menyebutnya dengan nama Rain Tree, namun aku lebih suka menyebutnya dengan nama Baujan. Aku merasakannya lebih dekat di hati, sebab itu adalah bahasa ibuku. Dan, ungkapan kata “Sor-Baujan” seolah lebih populer di hatiku daripada istilah lain. Dalam bahasa Jawa Indramayu dan Cerbonan, kata “Sor” berarti bawah, “Baujan” berarti trembesi. Nama Baujan begitu melekat di hatiku sebagai anak kelahiran desa kecil di perbatasan Kabupaten Indramayu dan Subang. Nama Baujan pun sering disebut dalam tembang-tembang tarling, sandiwara, sintren, wayang kulit, wayang golek, dan kesenian khas di daerahku. Sering pula menjadi kata menarik untuk wangsalan (berpantun) dalam bahasa khas Jawa Indramayu.
“Pasar Bangkir Sor Baujan, keaniaya nasibe badan” (Pasar Bangkir di bawah pohon trembesi, teraniaya nasib diri ini)
Wangsalan seperti ini sangat populer di daerah Indramayu, Cirebon dan sekitarnya. Sinden “Dermayon” seperti Carinih, Dariyah, Jayana dan Itih S sering mempopulerkan lirik-lilir “Sor Baujan” dalam lagu daerah kami. Hingga hari ini, Pasar tradisional di desa Bangkir masih bertahan, bahkan memang posisinya tetap berada ning sor wit baujan (di bawah pohon trembesi). Pantun “Pasar Bangkir Sor Baujan” itu menggambarkan bagaimana seseorang yang nelongso, sedih, dan meratapi nasib badan karena cobaan dan ujian hidup yang bertubi-tubi. Persis seperti kesedihan yang kurasakan hari ini.
Aku terus berjalan melalui rimbunan pohon-pohon tropis yang besar dan tinggi di sekitar Damansara. Sungguh suasananya terasa seperti wajah desaku 30 tahun lalu, desa yang dulu dikenal sebagai Desa Seribu Baujan. Pohon-pohon trembesi di desa kami layaknya seperti tugu-tugu monumen kesuburan desa. Desa kami dikelilingi 5 anak sungai, dari sumber air sungai Cipunagara nan berlimpah. Dari desa kamilah, air waduk kali Salamdarma mengairi puluhan ribu hektar sawah di daerah Subang dan Indramayu bagian barat.
Sayangnya, wajah desaku sudah jauh berubah. Buyut Mangun sudah ditebang. Kami tak lagi mempunyai baujan kebanggaan. Padahal, biasanya Baujan dijumpai di halaman balai desa, kantor kecamatan, masjid, hingga perkuburan di daerah kami. Pohon ini memiliki keistimewaan karena bentuknya yang menarik dan mudah dikenali karakteristik dahannya yang berbentuk payung. Baujan memang cocok menjadi pohon penyejuk di perkebunan atau taman. Dan, yang luar biasa lagi adalah bahwa Baujan itu mampu menyerap CO2 puluhan kali lebih besar daripada pohon lainnya. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan pohon jenis ini?! Pohon yang menyumbang banyak oksigen untuk alam di sekitarnya, sangat bermanfaat bagi eksosistem. Konon, jika Baujan itu memiliki diameter tajuk hingga 15 meter. Ia mampu menyerap 28,5 ton karbondioksida setiap tahunnya. Baujan jelas pohon yang sangat besar manfaatnya bagi ekosistem kita, sebab jika dibandingkan dengan pohon biasa yang rata-rata mampu menyerap 1 ton CO2 dan dalam 20 tahun masa hidupnya.
Baujan yang tua pasti selalu rindang. Pohon ini bisa mencapai ketinggian rata–rata 30–40 meter, lingkar pohon sekitar 4,5 m dan mahkota pohon mencapai 40–60 m. Bentuk batang Baujan itu tidak beraturan, kadang tampak bengkok, seperti gelembung besar. Daunnya pun majemuk, mempunyai panjang tangkai sekitar 7-15 cm. Tapi biasanya, Baujan yang sudah tua berwarna kecoklatan dan permukaan kulit sangat kasar dan mudah terkelupas. Dulu, aku sering menggunakan kulit Baujan sebagai “kambang kampul” atau penanda pada kenur pancing saat memancing di sungai. Sebab, kulit Baujan itu bisa mengambang seperti busa kering. Aku secara khusus mengetahui Baujan secara terperinci, sebab dulu pernah terlibat dalam penelitian bersama kawanku asal IPB di Baduy. Makanya, aku sangat gembira saat pemerintah Indonesia pernah mengkampanyekan penghijauan dengan gerakan penanaman sejuta pohon trembesi.
Kedatanganku saat ini sungguh tepat. Sebab, ini adalah bulan Mei, waktunya Baujan berbunga. Baujan memiliki bunga bewarna putih dengan bercak merah muda pada bagian bulu atasnya. Kira-kira panjang bunga sekitar 10 cm dari pangkal bunga hingga ujung bulu bunga. Tabung mahkotanya kira-kira berukurran 3,7 cm dan memiliki kurang lebih 20-30 benang sari yang panjang nya sekitar 3-5 cm. Bunga ini menghasilkan nektar untuk menarik serangga guna berlangsungnya penyerbukan. Sungguh, di bulan Mei, Juni dan Juli kita bisa menyaksikan keindahan pesona Baujan.
Aku berusaha membangkitkan romantisme masa lalu itu dengan memungut buah Baujan. Dulu aku sering menggoreng biji-biji Baujan. Rasanya khas, agak pahit tapi gurih seperti kacang. Buah Baujan itu bentuknya panjang lurus agak melengkung, panjang sekitar 10-20 cm, lebar sekitar 1,5-2 cm dan tebal sekitar 0,6 cm. Warnanya cokelat kehitam-hitaman. Ketika buah itu masak, bijinya tertanam di dalam daging bewarna cokelat kemerahan, terasa sangat lengket dan manis. Setiap satu batang buah, kira-kira berisi 5-25 biji. Aku biasanya menyangrai dengan pasir.
Setidaknya hari ini aku bisa melupakan sebentar tentang masalah pelik yang menimpaku. Kubawa biji-bijian ini ke apartemen. Pada setiap biji yang kumasukkan dalam kantong plastik terdapat dzikir yang kupanjatkan kepada Allah. Aku ingin menggorengnya di rumah agar aku bisa menebarkan semangat kekuatan Baujan di rumahku, memberi makna pada penjagaan “ekosistem” bagi bangunan keluarga, menebarkan semangat hening dan mengayomi, melindungi, menjaga dan memberi keteduhan bagi seluruh jiwa di sekitarnya. Aku tak peduli bila nanti dianggap sebagai suku primitif yang sedang kelaparan atau dianggap sedang mengamalkan ritus kuno. Aku tak peduli. Ini hakku untuk mencari kedamaian jiwa dengan berkah Baujan yang memberi makna pada kelesatarian alam, harmoni dan keindahan. Dan, yang penting aku bisa mengenang masa kecilku dan melupakan masalah orang dewasa yang kini sedang menerpaku.
“Baujan…Baujan. Ini pasti lebih sedap daripada rangginang Nyai Sinom, almarhumah buyutku,” bisikku dalam hati.
---BERSAMBUNG PART 9---

https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1665172430199351
https://www.facebook.com/halim.ambiya 

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...