Tuesday, July 31, 2018

SORBAUJAN PART 11 NISAETUS BARTELSI

Oleh Halim Ambiya
Maryam memandangku aneh. Menyentuh pundakku dengan jarinya yang lentik. Lalu, melepasnya kembali dengan ragu. Demi sopan santun, aku hanya diam menunggu. Selang beberapa saat, Maryam melanjutkan ceritanya. Aku kaget dibuatnya. Menurut penuturannya, kini Kahar menjadi pengikut gerakan NII (Negara Islam Indonesia): kelompok bawah tanah yang bercita-cita mendirikan negara Islam di Indonesia. Aku tak asing dengan gerakan ini, sejak di desaku atau saat kuliah di Ciputat, aku sering berdiskusi soal itu. Bahkan sering berhadapan langsung dengan kelompok ini untuk berdebat panjang soal konsep negara.
“Bagaimana mungkin orang seperti Ustaz Kahar bisa tergoda NII?!” tanyaku.
“Tak tahulah. Ceritanya panjang. Ini boleh jadi karena tekanan ekonomi. Dulu sempat bangkrut usaha. Mungkin karena perceraian dulu. Aku kan istri keduanya. Terus, sekarang kita belum punya anak padahal sudah menikah 8 tahun. Pasti membuat dia terpuruk.”
Hmmm. Aku mendengarkannya serius. Wanita di depanku memang mau curhat. Aku tak bisa menolaknya. Lebih baik menjadi pendengar setia. Aku mengenal Kahar belasan tahun lalu, pasti ada banyak perubahan.
“Aku sudah berusaha membujuk, tapi dia keras kepala. Sering memaksakan kehendak,” kata Maryam sambil mulai menangis.
“Hahaha. Sudahlah, namanya juga Kahar. Kahar kan artinya “pemaksa,” pasti selalu memaksa,” kataku membuat suasana cair. Namun, usahaku gagal. Maryam semakin keras menangis. “Dia sering memukul. Dia jahat. Tampak alim kalau di depan jamaah doang,” katanya lagi.
“Hmmm.”
“Dia sering memaksa aku ikut aktif di jamaahnya. Dia dengan mudah menuduh orang lain bid’ah dan kafir. Kita dianggap masih di era jahiliyah yang harus memperjuangkan negara Islam sendiri. Aku bingung harus bagaimana. Tersiksa sekali, Matin,” tuturnya.
Konon Kahar melanjutkan kuliah di Kuala Lumpur atas biaya dari kelompok itu. Aku sering mendengar kelompok garis keras ini mempunyai pendanaan besar dan bisa dengan mudah memberi beasiswa. Mungkin, Kahar termasuk orang yang dianggap perlu untuk dikader.
“Setahuku, jarang sekali anak dari pondok terjebak pada aliran garis keras. Karena mereka sudah terbiasa berdiskusi dengan perbedaan khilafiyah berbagai mazhab fiqih. Apa dia tidak memahami kitabnya Ibnu Rusyd, Bidayatul-Mujtahid? Dimana ajaran nasionalisme pondok dulu? Kahar bahkan marah besar saat santri tak menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum acara pondok? Dengan siapa dia bergabung dengan NII?” tanyaku.
“Aku tak tahu. Setahuku awalnya dia hanya terjebak. Dia sering dipanggil mengisi ceramah di kelompok itu. Lalu banyak kenal dengan petinggi-petinggi NII. Aku tak tahu ini kubu NII apa atau dengan kelompok mana Kahar bergabung? Tapi, yang jelas, kini dia dapat uang bulanan rutin, dianggap terpandang di antara jamaah mereka,” tutur Maryam dengan isak tangis.
“Hmmm.”
“Aku ingin mempertemukan kamu dan dia. Aku pikir, hanya kamu alumni pondok yang sanggup mengimbangi argumentasi saat berdebat. Apalagi beberapa kali dia pergi ke Haurgeulis. Itu kan daerah dekat kampungmu. Aku takut dia terlalu jauh,” katanya lagi.
“Apakah kamu yakin, itu kelompok NII?”
“Aku belum pasti. Tapi, feeling-ku mengatakan itu NII. Jamaah mereka dari rumah ke rumah. Majelisnya tak pernah diadakan di masjid. Aku sering mendengar sebutan “Bupati atau camat” kepada salah satu jamaah yang sering hadir. Tapi kulihat, dia hanya pengusaha biasa, bukan pegawai negeri atau anggota dewan. Terus biasanya, setiap ada majelis mereka mengumpulkan uang setoran, semacam pajak bulanan.”
“Hmmm.”
“Dia pikir membawaku ikut kemari juga karena dia mau memisahkan aku dengan keluargaku yang lain. Aku binging. Aku minta tolong, selamatkan Kang Kahar, Matin,” pinta Maryam dengan mengiba. Aku lihat permintaannya serius. Sangat serius hingga membuatku pesan kopi dua kali untuk mendengarkan cerita sedihnya.
“Insya Allah, aku bantu. Aku hanya heran, mengapa orang seperti Kahar bisa tergoda. Biasanya orang yang terjerumus ke kelompok garis keras dan sejenisnya itu dari kalangan umum. Bukan anak pondok seperti kita. Makanya, maraknya Islam garis keras justru di kampus umum, bukan dari kalangan IAIN, UIN atau kampus Islam yang mahasiswanya punya basis pesantren,” tuturku.
Aku ikut prihatin mendengar cerita harunya. Tak menduga bisa seperti itu. Kafe Bukit Bintang ini hanya menjadi saksi bisu pertemuan kami. Sebuah pertemuan anak manusia yang dilahirkan oleh keadaan, dengan bisikan hati tersembunyi, saling menjaga rasa dan jarak. Lalu menitipkan pesan kasih lewat mata atau tarikan nafas. Meski dalam diamku dan diamnya kita adalah kuda liar yang berharap lebih.
Aku mulai menangkap getaran-getaran aneh dari balik tubuh Maryam. Di antara kursiku dan kursinya seolah ada sesuatu yang menghubungkan, seperti bayangan halus yang menggoda kesadaranku. Lalu sekejap hilang, sekejap hadir. Apalagi, saat Maryam menghapus airmatanya dengan sapu tangan yang mirip dengan sapu tangan milik Hanum. Aku mulai gelisah dan ingin segera meninggalkan tempat itu.
Suasana kafe itu semakin terasa romantis. Hatiku makin kacau tak menentu saat alunan lagu Endless Love, Luther Vandross feat Maria Carey menggema di ruangan itu. Aku jadi salah tingkah. Lagu ini seperti sengaja diputar untuk pertemuan ini.
My love
There’s only you in my life
The only thing that’s right
Cintaku.
Hanya ada kamu dalam hidupku.
Satu-satunya yang nyata.
My first love
You’re every breath I take
You’re every step I make
Duhai cinta pertamaku
Kaulah setiap nafas yang kuhirup
Kaulah setiap langkah yang kuambil
And I
I want to share
All my love with you
No one else will do
And your eyes (your eyes, your eyes)
They tell me how much you care
Oh yes
You’ll always be
My endless love
Dan aku,
Aku ingin berbagi
Semua rasa cintaku bersamamu
Tak ada seorang pun yang akan melakukannya
Dan matamu (matamu, matamu)
mengungkap begitu besar kau peduli padaku.
Oh ya
Kau akan selalu
Menjadi cintaku yang tak pernah berakhir
“Ini bahaya. Ini ketidaksengajaan yang tidak perlu terjadi disini,” bisikku dalam hati. “Jujur kuakui, sebenarnya ingin rasanya aku memeluknya. Menghapus airmata dukanya. Aku ingin melindunginya. Seolah Maryam berwajah Hanum, duduk di depanku. Disini di tempat ini. Ini berbahaya. Aku seolah ditarik kuat untuk mendekatinya. Astaghfirullah,” bisikku lagi.
Ya Allah, aku menangkap sosok Hanum di dekatnya. Karena itu, segera saja kuucapkan basa-basi perpisahan. Aku harus meninggalkan Maryam sekarang juga sebelum semuanya terlambat. Aku ingin segera bertemu Yasmin dan Sean. “Tak baik aku berlama-lama disini. Aku pun punya masalah yang lebih besar. Yasmin tak boleh sendirian. Masalah Razi harus segera diselsaikan. Bang Faizal tidak boleh bertindak gegabah,” bisikku lagi.
“Maaf, aku tak bisa mengantarmu,” kataku.
“Tak apa. Aku naik taksi,” jawab Maryam sambil melambai, lalu menghilang di balik trotoar Bukit Bintang.
***
Sepasang bola mata indah menggoda darah kelaki-lakianku. Wajahnya tak asing bagi jiwaku. Senyum yang pernah merontokkan lahir batinku kala itu. Menarik dalam buai rindu tak disangka. Dalam lelap bersama lampu temaram di kamarku. Aku terbang dalam mimpi indah ke puncak Bukit Damansara, di sekitar Baujan kesukaanku, aku melihat Hanum. Ya aku melihatnya dengan jelas. Berkelebat dengan gaun serba putih di antara rimbun pepohonan. Lalu suara kicau burung mencuit-cuit kehadirannya. Aku melihatnya melepas kerudung, rambutnya hitam pajang terurai, wajahnya pucat tapi berseri, tersenyum manis sekali. Aku heran mengapa dia melepas kerudungnya di situ di bawah pohon trembesiku?
Aku belum pernah melihat rambutnya sebelum ini. Aku mencintainya bukan karena dorongan syahwat atau bentuk fisiknya. Sejak semula ketertarikanku kepadanya karena merdu suaranya, manisnya tutur kata, kepandaian, keramahannya, dan karena besarnya perhatiannya kepadaku. Indah cita dan harapannya justru membuatku semakin jatuh cinta kepada Hanum. Harapan untuk merenda hidup bersama, menyosong fajar rumah tangga dengan semangat kepondokan yang kami sanjung. Hubungan cinta kami adalah hubungan cita. Hakikat cinta kami adalah ruh cinta Ilahi yang tertanam dalam kesederhanaan kemanusiaan kita. Inilah mengapa kami harus menjalani hubungan cinta terlarang di pondok dulu.
“Kli-kli-kli-kli-kli.”
“Klii-iiw. klii-iiw. klii-iiw.”
Keherananku semakin menjadi-jadi saat kulihat seekor burung hingga di tangkai di dekat Hanum berdiri. Lalu mendekati dan menunduk sambil menggoyang-goyangkan sayapnya. Perhatianku justru berpusat pada burung aneh itu. Aku melihatnya terbang berkelibat memutar tubuh Hanum dan hingga di tangkai pohon yang lebih dekat dengan hanum. Kepala burung itu berwarna coklat kemerahan dengan jambul yang cukup tinggi dan menonjol. Jambul hitam dengan ujung berwarna putih. Ada semacam mahkota dan kumis berwarna hitam. Aku terus mengamati burung itu. Punggungnya dan sayapnya berwarna coklat agak gelap. Sedangkan tengkuknya berwarna coklat kekuningan. “Burung apa ini? Tampak gagah dan gesit,” tanyaku?
“Ahhh. Ini sejenis elang. Ya ini Elang Jawa (Nisaetus Bartelsi),” bisikku lagi. Burung langka kebanggaan masyarakat kita. Ini sudah bisa dipastikan Elang Jawa. Aku semakin mendekat ke arah Hanum dan burung itu. Tapi, aku seperti mengambang mendekatinya, tak menyentuh tanah. Aku lihat Hanum seperti berbicara dengan buruh itu, dia berbisik dengan bahasa yang tidak kumengerti. Kulihat kerongkong berwarna keputih-putihan bergaris hitam membujur ke arah tengah.
Seperti pola garis berbuku, ke arah bawah, ke arah dada, bercak-cekak warna hitam menyebar di atas warna kuning kecoklatan. Pola garis itu menyebar melintang merah sawomatang di atas bulu-bulu perut dan kaki burung itu. Kulihat ekornya memiliki paduan unik yang membuat kesan burung ini lincah, tapi juga perkasa. Ekornya berwarna coklat dengan empat garis melintang ke sisi bawah dengan ujung ekor bergaris putih namun agak tipis.
Tiba-tiba, burung itu menoleh ke arahku dan menggerak-gerakkan sayapnya, seakan menunjukkan keperkasaannya di hadapanku. Hanum tersenyum seperti mengarahkan burung itu untuk menunjukkan kebolehan, lalu mengangguk kepada si burung. Aku kaget, ketika burung itu tiba-tiba terbang dengan sekali kepakan persis di depanku, lalu hinggap di pundakku.
“Hmmm. Hanum dan Elang Jawa di Damansara?” bisikku dalam hati penuh heran. Persis pada saat aku menoleh ke arah Hanum dan mau bertanya kepada Hanum, “Apa kabar, sayang?” Aku terbangun. Huhhh. Ini hanya mimpi. “Ya Allah, aku belum sempat bicara? Belum mengetahui kabarnya. Belum menyentuh rambutnya.” Aku berusaha memejamkan mata lagi, berharap dapat menyembung mimpiku lagi. Aku membaca shalawat dan doa-doa yang pernah diajarkan oleh Kyai Bahruddin agar bisa bermimpi indah di dalam tidur. Cukup lama tubuhku diam dan tak bergerak, lalu hening seperti mau tidur, aku tak berhasil mendapatkan sambungan mimpiku lagi.
Aku segera pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Aku pernah dengar dari kawanku, jika ingin menyambung mimpi yang pernah terputus, maka kita bisa mencobanya dengan berwudhu, lalu bershalawat dan doa agar minta disambungkan dengan mimpi sebelumnya. Namun setelah lama aku terbaring, aku tak mendapatkan mimpiku lagi.
Aku bermunajat, “Ya Allah, ini adalah mimpi pertama kali aku melihat Hanum setelah 12 tahun. Ya Allah, tolong kembalikan lagi mimpiku. Mengapa hanya sebentar? Aku belum sempat bertanya apa pun. Aku bahkan terhalangi oleh keindahan Elang Jawa di sisi Hanum. Ada apa ini? Mengapa Kau uji aku lagi dengan keindahan pesona Hanum? Ya Allah, kembalikan mimpiku,” bisikku lagi sambil tetap terbujur kaku di samping Yasmin dan Sean yang pulas.
Kulihat jam masih menunjukkan pukul 12.30 malam waktu KL saat tiba-tiba kudengar handphone-ku berdering kencang. Segera kuhampiri sumber suara, di meja sisi kanan kamarku. “Siapa malam-malam begini menelpon,” tanyaku dalam hati. Kulihat nomernya tak terdaftar, dengan rangkaian nomer berderet panjang. Biasanya nomer seperti ini panggilan dari luar negeri yang namanya tak terdapat pada nomer kontak HP-ku.
“Assalamualaikum, Bro. Apa kabar?”
“Wa’alaikum salam. Alhamdulillah baik. Maaf, siapa ini?”
“Aku Kholid…Alhamdulillah, akhirnya tersambung juga.”
“Ya Salam, apa kabar Gus?”
“Maaf mengganggu. Bapakku kangen sama Njenengan. Padahal dia lagi sakit, tapi ngotot mau telpon.”
“Mana Bapak? Mana Pak Kyai, aku kangen juga.”
“Sebentar.”
Aku menunggu. Ternyata beliau merindukan aku. Ini pucuk di cinta ulam pun tiba. Meski sebenarnya aku malu, mengapa dia dulu yang menelpon aku. Mestinya aku yang menelpon Guru, bukan sebaliknya.
“Assalamua’alaikum. Piye kabare, Lek? (Apa kabarmu, Nak?)” Terdengar suara Kyai Bahruddin parau. Diselingi batuk-batuk khas yang sering kudengar dulu.
“Alhamdulillah, baik Pak Kyai. Bapak sakit apa?”
“Alah, sakit apa. Ini biasa. Wong urip ya biasa. Sing penting koe ngerti Gusti Allah mboten sare (Orang hidup ya biasa. Yang penting kamu tahu Gusti Allah tak tidur).”
“Wonten wangsit nope Pak Kyai? Wonten berita nopo, tiba-tiba telpon kulo (Ada wangsit apa, Pak Kyai? Ada berita apa, kenapa tiba-tiba telpon aku? Maaf aku jarang telpon.”
“Wingi aku ngimpi koe Lek (Kemaren aku bermimpi kamu)” ucapnya pelan sambil diiringi batuk.
“Mimpi apa Pak Kyai. Koq bisa?!” tanyaku penasaran. Seorang kyai yang kuhormati tiba-tiba telpon menyatakan rindu dan bermimpi bertemu dengan aku? Hmmm. Anugerah apa lagi yang akan aku terima.
“Ya mungkin ini hanya bunga tidur. Tapi yo koe kudu ngerti. Aku ngimpi awakmu (Tapi kamu tetap harus tahu. Aku mimpi kamu). Mungkin karena kangen lama nggak ketemu. Aku dipeseni Rasulullah, koe kudu ketemu manuk elang jowo sing daerah kulon gunung. Manuke apik lan gagah. Wis ngimpine mung kayakue tok! (Aku diberi pesan oleh Rasulullah, kamu harus bertemu dengan Elang Jawa yang berada di daerah barat gunung. Burungnya bagus dan tampak gagah. Sudah cuma begitu mimpinya.”
“Subhanallah, apa maknanya itu Pak Kyai?” tanyaku kepada Pak Kyai Bahruddin. Aku kaget. Mengapa sambungan mimpiku ada di cerita mimpi Pak Kyai? Mengapa Kyai Bahruddin mimpi seperti itu, tepat setelah aku bermimpi tentang Hanum dan Elang Jawa di Bukit Damansara. “Sungguh hebat, Pak Kyai ini weruh sak sedurung winara (Pak Kyai ini tahu sebelum suatu terjadi).”
“Aku baru saja tadi mimpi..” jawabku cepat. Tapi, tiba-tiba Pak Kyai seolah menghentikan ceritaku. “Sssttt. Koe sing tenang. Sing ikhlas. Ojo grasah-grusuh. Koe pasti ketemu manuk kui. Ikhlas karo dzikirmu (Ssstt. Kamu yang tenang, yang ikhlas. Jangan sembarangan. Kamu pasti ketemu burung itu. Ikhlas dengan dzikirmu)” kata Kyai Bahruddin.
Aku seperti sedang berada di hadapan Pak Kyai Bahruddin 12 tahun lalu. Saat-saat khusus aku mendapat ajaran hikmah langsung darinya di masjid Jatijajar.
“Tapi, aku wau ngimpi manuk kui, Pak Kyai. Elang Jowo (Tapi tadi aku bermimpi burung itu, Pak Kyai. Elang Jawa,” kataku menegaskan. Aku tetap ingin menceritakan mimpiku.
“Koe aja grasah-grusuh. Tafsir mimpie dudu kui (Kamu jangan sembarang. Tafsir mimpinya bukan itu,” katanya lagi.
“Maaf, Pak Kyai. Jadi, apa kira-kira tafsirnya menurut Pak Kyai?”
“Kamu harus renungkan sendiri. Sing jelas, manuk kue simbol tok (Yang jelas burung itu hanya simbol). Sebenarnya ini mimpi yang kedua. Sebelumnya, aku pernah mimpi persis seperti itu. Waktu koe masih mondok nang umahku (Waktu kamu masih mondok di rumahku). Sengaja aku nggak cerita. Tapi, hanya pesan sama kamu waktu itu untuk belajar di Jakarta. Sebab, firasatku, koe kudu kuliah ning bang kulon (kamu harus kuliah di daerah sebelah barat).”
Aku berusaha memahami nasehat Kyai Bahruddin. Tak mau berdebat. Lebih baik aku berusaha mencerna sendiri. Sungguh tinggi ilmu orang ini. Sejak dulu aku mengenalnya sebagai orang yang pintar yang sering mendapat ilham melalui mimpi. Dari cerita sesama santri, aku banyak mendengar karamah-karamahnya. Ternyata, sejak dulu dia mengiringi aku. Dialah orang yang menganjurkan aku melanjutkan kuliah di Jakarta. Dan, hebatnya itu berdasarkan mimpinya tentang aku. Hmmmm.
Dia memintaku untuk membantu Pak Kyai Makmun di Kroya, pondok yang pernah mendidikku selama 4 tahun. Padahal, komunikasi dan silaturahmi di zaman ini sangat gampai, bisa pakai telpon, sms, facebook atau email. “Aku memang lalai dan santri yang bengal,” bisikku dalam hati.
“Aku dengar kamu tak pernah sowan ke Kyai Makmun. Kamu sudah lupa pondokmu sendiri. Mestinya, kamu jangan putus silaturahmi. Bantu semampumu. Tak mesti membantu dengan hartamu, tapi sumbangsih pikiranmu itu jauh lebih penting. Orangtua itu pasti senang ditelpon anaknya. Dia ingin dengar kabarmu secara langsung. Kamu juga bisa berbagi ilmu sesama santri. Beri motivasi belajar buat santri yang lain. Baiklah, waktu sudah malam. Doakan aku saat tahajudmu nanti,” tuturnya mengakhiri pembicaraan malam itu.
“Nggih Pak Kyai. Sampaikan salam dan maafku buat Kyai Makmun di Kroya,” kataku. Telpon sudah terputus. Namun malam itu menjadi malam panjang buatku. Berbatang-batang rokok kuhisap malam itu. Entahlah. Aku bingung. Mengapa secepat ini Pak Kyai telpon dan justru menyambungkan mimpiku.
Elang Jawa, apa arti semua ini? Elang yang elok dan perkasa? Pertanda apa ini? Bagaimana mungkin mantan mahasiswa filsafat sepertiku mudah tergoda dengan hal-hal mistis. Apalagi kalau mereka tahu saat ini aku mendalami tasawuf dan mengikuti thariqah. Kalau cerita semacam ini didengar kawan-kawanku di Ciputat, pasti aku dicap sebagai orang kolot dan anti nalar. Sebagian lain akan mencemooh aku tak lulus mata kuliah Rasionalisme Descartes atau dianggap gagal memahami Emperisme Herbert Spencer, Hume dan Francis Bacon.
---BERSAMBUNG PART 12---
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1670267759689818
https://www.facebook.com/halim.ambiya 

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...