Tuesday, July 31, 2018

SORBAUJAN PART 19 MAKRIFAT DAUN

Oleh Halim Ambiya

Selamat malam Kuala Lumpur. Aku menarik nafas dalam-dalam. Selamat tinggal Sean, anakku. Selamat tinggal dua koper pakaian dan setumpuk mainan. Selamat tinggal masa lalu, selamat jalan pengalaman indah orangtua dan anak. Anggaplah ini sebagai akhir bagi status hukum, tapi bukan perpisahan batin kami atas hak orangtua ruhani bagi dirimu, Sean, anakku. Maafkan atas kesalahan kami, Nak. Maafkan ketidakberdayaan kami sebagai orangtuamu selama beberapa tahun ini. Malam ini aku dan Yasmin menyerahkanmu pada asuhan orangtua lain. Orangtua yang lebih berhak secara nasab ataupun hukum.
Aku serahkan dirimu kepada Datuk Rustam bukan untuk membuangmu. Bukan untuk memutus tali kasih kami: aku, kamu dan Yasmin. Ini hanyalah episode cerita tentang masa depanmu yang sedang diputar dari awal kau menginjak 5 tahun. Demi hak-hakmu kelak. Demi darah yang mengalir dalam tubuhmu, aku serahkan dirimu kepada orang yang lebih berhak. Anggaplah kehadiranku dan Bunda Yasmin sebagai mimpi-mimpi indahmu. Lupakan saja wajahku. Berusaha dan berusahalah membuang wajah Bunda Yasmin di malam-malammu.
Yasmin menggendong Sean keluar dari sisi pintu mobil. Sedangkan aku mengangkat dan menarik koper besar, mengikuti Yasmin dari belakang. Langkah-langkah ini hanya sekitar 30 meter dari halaman parkir ke rumah banglo Datuk Rustam, tapi kenangannya tak akan mudah dihapus dalam 30 tahun mendatang. Yasmin telah mengumpulkan keberanian hebat yang pernah kuajarkan. Antara Bangsar dan Kelana Jaya yang mengharukan jiwa.
Tak terasa, sejak dua minggu ini, kami sudah mengajarkan kepada Sean tentang makna peralihan pengasuhan dengan cara yang mudah dan biasa-biasa saja mengikuti alur memori anak-anak yang bisa kami mengerti. Kami telah menanamkan di benak Sean selama dua minggu bahwa kami bukan siapa-siapa, hanya pangasuh sementara. Lalu, kumasukkan memori Datuk Rustam, ayah Razi dan Mama Zahra dengan cara sebisa kami. Ini adalah perjuangan menghilangkan ingatan, mencuci memori Sean tentang “kehadiran” kami di otaknya.
Di dua minggu ini, aku dan Yasmin menjaga jarak dari Sean dengan memasang figur baru pengasuh di rumah kami: Safitri. Seorang pembantu rumah asal Tasikmalaya yang sudah 5 tahun bekerja untuk keluarga Datuk Rustam. Safitri sengaja dikirim oleh Datuk Rustam untuk memomong Sean di rumah kami, menggantikan Makcik Izzah. Safitri berhasil menjalani misi pendekatan khusus dengan Sean. Hari ini adalah waktu yang tepat untuk menyerahkan Sean kepada mereka.
“Hello…Ketemu lagi?” ucap Safitri kepada Sean, menyambut kedatangan kami.
Lalu mengajak Sean bermain petak umpet di sudut kamar. Sementara, aku dan Yasmin duduk tanpa kata di ruang tamu. Aku dan Yasmin hanya berbasa-basi sebentar dengan penyambutan Datuk Rustam. Demi sopan santun kami menyampaikan serah terima Sean kepada keluarga Datuk Rustam. Kami tak ingin berlama-lama di rumah ini. Biarkan Sean beradaptasi dengan rumah ini. Untuk ketiga kalinya dia berkunjung ke rumah ini. Selasa, Kamis dan hari ini, Minggu perpisahan kami. Sebelumnya, Safitri sudah dua kali mengajak ke rumah ini tanpa kami.
Aku dan Yasmin ingin membuktikan bahwa penyerahan Sean kepada keluarga Datuk Rustam bukan karena tekanan hukum. Bukan pula karena takut menghadapi begundal dan preman bayarannya, yang telah berani menghajar Bang Faizal hingga babak-belur. Bukan, bukan itu! Bukan pula karena aku seorang “Indon” lemah di hadapan kesombongan orang Malaysia. Tidak! Sama sekali tidak! Penyerahan Sean bukan pula karena Indon pasti kalah berhadapan dengan Melayu Malaysia, karena sama sekali hal itu tak ada kena-mengenanya dengan kesukuan dan kebangsaan. Bukan pula karena kami minder dan tak percaya diri untuk memberi penghidupan yang layak bagi Sean. Sama sekali tidak! Bisnisku lebih besar daripada bisnis yang dimiliki Razi ayah kandung Sean, meskipun hartaku tak sebanding Datuk Rustam. Mobilku lebih mewah daripada mobil Razi yang pernah dibeli dari koceknya, meski tak sebanding dengan mobil milik Datuk Rustam. Bahkan, pendidikan aku dan Yasmin lebih dari cukup untuk membekali Sean hingga dewasa. Gelar pendidikanku lebih tinggi daripada Razi dan bahkan Datuk Rustam sendiri.
Kalau aku tak memiliki itu semua, maka tak mungkin seorang Indon dapat menikahi perempuan Melayu dari keluarga terhormat. Aku dipandang sejajar dengan mereka. Tak bisa mereka menyamakan aku dengan mayoritas TKW yang menjadi pembantu di rumah-rumah mereka. Mereka boleh membanggakan diri dengan kehebatan bertutur dalam bahasa Inggris di depan pembantu rumah, tapi tidak di hadapanku. Mereka boleh saja menganggap bahwa kemampuan bahasa Inggris sarjana-sarjana Indonesia tidak lebih hebat dari TKW asal Filipina, tapi tidak di hadapanku. Kalau aku dianggap biasa, mengapa aku yang ditunjuk sebagai asisten dosen di UM, bukan kawan Melayu itu?
Kalau aku dianggap biasa, mengapa aku harus mengajar private bahasa Arab dan tafsir di beberapa kelas dan masjid di sekitar Petaling Jaya? Ahh…Sudahlah, Yasmin tahu itu semua. Aku memang anak pondok, background pendidikanku adalah kajian Islam, tapi bukan berarti aku buta ekonomi makro, politik, sosiologi, antropologi dan ilmu umum yang lain. Semua itu dipelajari di bangku kuliah. Pendidikan agama di pondok adalah dasar bagi semua ilmu yang wajib dipelajari oleh Muslim Melayu, seperti juga yang telah diwariskan semua kerajaan Melayu di Nusantara. Aku tak pernah mau menganggap ilmu agama sebagai keterbelakangan dan menghambat sains dan teknologi. Ilmu agama harus menjadi ruh bagi semua ilmu yang kita pelajari.
Pernikahanku dengan Yasmin adalah bukti bahwa aku memang layak bersaing dengan kumbang-kumbang Melayu lain yang berharap cinta Yasmin. Aku pernah memukul mundur, seorang mahasiswa Melayu sombong yang berusaha menghina hubunganku dengan Yasmin. Di sebuah kedai kopi, di dekat Bulatan Universiti, di Seksyen 16, Petaling Jaya, aku pernah disiram kopi panas tanda kemarahan mereka karena kekalahan argumentasinya. “Kalau perempuan Indon jadi gundik orang Malaysia banyak lah. Tapi, kalau lelaki Indon menikahi perempuan Malaysia rasanya jarang terjadi. Dan, kamu tak akan mampu!” kata Nik Zaidi kala itu. Aku langsung menyambar ucapannya, “Awak tak pernah baca surat kabar, kah? Awak tak tak tahu kah Perdana Menteri Malaysia pun punya menantu orang Jawa? Atau, awak ini pura-pura tak tahu dan menutupi kekalahan lelaki-lelaki Melayu yang lain?” Jawabanku saat itu dibayar dengan siraman kopi panas ke wajahku. Untung saja, seorang pemilik kedai, Pakcik Rahman, keturunan Mandailing membelaku dan mengusir Nik Zaidi dan kawan-kawannya dari kedai itu.
Kuceritakan ini hanya untuk menunjukkan bahwa kita itu memiliki kesamaan derajat. Persoalan seperti ini memang hanya obrolan murahan di kedai kopi, tapi siapa pun orang Indonesia yang merantau di tempat ini pasti dapat menjumpai ulah segelintir orang Melayu yang menghina saudara bangsanya sendiri. Ini hanya masalah akhlak, sama sekali tidak ada kaitan dengan keagungan dan keluhuran bangsa Melayu. Buktinya, aku dihormati oleh banyak keluarga Melayu di sini. Aku menyerahkan Sean kepada Datuk Rustam bukan karena kelemahanku, tapi karena bentuk sayang dan cintaku kepada Sean. Karena rasa hormat dan takzim kami kepada Datuk Rustam sebagai mantan ayah mertua bagi Yasmin dan sebagai kakek bagi Sean. Kami serahkan Sean tanpa tekanan apa pun. Aku lega. Yasmin pun plong. Penyerahan ini bukan karena kalah-menang.
“Terima kasih, Yasmin. Terima kasih, anakku,” ucap Datuk Rustam kepada Yasmin. Lalu, Datuk itu menjabat tanganku dan memeluk tubuhku. “Terima kasih, jaguhku, pahlawanku,” bisiknya di telingaku.
“Jangan pernah putuskan silaturahmi.”
“Insya Allah. Doakan kami agar segera mempunyai anak, Datuk.”
“Aamiin. Saya berdoa untuk awak dan Yasmin. Moga Allah memberi keberkahan dan keselamatan untuk kalian. Jaga baik-baik Yasmin seperti kau menjaga seorang Puteri Melayu Terakhir. Sejak Razi menceraikan Yasmin, sebenarnya saya adalah orang yang paling kecewa dan merasa patah hati, sebab dia adalah perempuan sempurna yang pernah aku kenal. Aku bangga mempunyai anak menantu seorang Yasmin.”
“Baik Datuk. Aku akan selalu mengingat nasehat Datuk.”
Razi dan Zahra sengaja tak dihadirkan di pertemuan ini. Mungkin Datuk Rustam menginginkan serah terima ini hanya antara aku, Yasmin dan dia saja. Bagiku, itu pun sudah tak penting. Lagi pula, kami sudah ikhlas menyerahkan Sean kepada Datuk Rustam, orang yang paling kami percaya saat ini. Urusan bagaimana Razi dan Zahra mengenalkan diri dan mendekati Sean adalah urusan mereka. Biarkan mereka mempelajari garis keturunan yang baru kembali dari tempat asingnya. Aku hanya bisa berdoa agar konflik Zahra dan Datuk Othman segera berakhir agar tidak berimbas kepada Sean.
Berlama-lama di rumah ini hanya akan membawa kami pada tangis. Meski sudah begitu ikhlas melepas, tapi boleh jadi sinyal sedih tertangkap melalui gerak tangis Sean yang ingin bermain bersama kami. Untuk sebuah bukti keseriusan dan komitmen kami atas janji yang telah disepakati bersama Datuk Rustam, kehadiran kami malam ini sudah lebih dari cukup. Semoga Allah melindungi dan meridhai niat baik kami yang ikhlas ini.
“Terima kasih, Yasmin. Terima kasih,” ucap Datuk Rustam lagi. Kami berpamitan meninggalkan rumah itu tanpa mengucapkan salam kepada Sean.
***
Yasmin mengajakku berjalan-jalan ke Damansara Heights, mengunjungi Baujan yang selalu membuatku kagum. Aku tahu maksudnya. Dia ingin sekadar mencari ketenangan, menghirup udara pagi Kuala Lumpur yang masih asri dan jauh dari polusi. Kami mengambil jalan memutar, melewati tebing dan perbukitan nan menawan. Berjalan kaki menghirup kesegaran pagi, Yasmin sebagai bunga menjadi kembang hutan yang sangat mencolok di antara anggrek-anggrek liar itu.
Sesampai di Sor-Baujan, Yasmin duduk mengela nafas, duduk di atas akarnya yang besar. Yasmin tersenyum ceria. Sementara aku memungut buah-buah baujan, berkeliling menyapu ke sekitar pohon besar itu. Untuk pertama kalinya, aku melihat mimpiku secara nyata. Yasmin yang kulihat ini seperti Hanum dalam mimpiku. Subhanallah. Lagi dan lagi, Allah menunjukkan kuasanya, melalui getar jiwa yang menghanyutkan.
“Abang, nikmat sekali duduk di sini. Kemarilah, Bang. Mendekatlah!”
“Ada apa sayang?”
Aku mendekatinya sambil membawa segenggam buah baujan. Wajah Yasmin begitu berseri-seri. Sungguh cantik istriku ini. Aku adalah lelaki paling bertuah yang ada Tanah Semenanjung.
“Aku tahu sekarang, mengapa Abang suka pokok (pohon) ini.”
“Apa yang kaurasakan, Yasmin?”
“Terasa damai dan teduh. Seakan-akan kita berada di dunia yang berbeda.”
“Syukurlah. Kamu menyukai apa yang kusuka.”
“Tapi, apa filosofi pokok ini bagimu, Bang?”
“Aku ingin mendengar jawabanya dari seorang filosof sekaligus anak pondok,” katanya sambil senyum yang menggoda. Yasmin mulai merayuku. Dia membersihkan akar yang melintang di depannya untuk mempersilahkan aku duduk. Senyumannya seperti sedang menantangku. “Apa filosofi dari pohon yang kaubanggakan ini, Bang?” desaknya lagi.
“Ini yang sebenarnya kita dapatkan,” jawabku sambil menunjukkan buah baujan. Aku meletakkannya di depan Yasmin.
“Apa maksudnya dengan buah ini?”
“Buah seperti inilah sebenarnya yang baru saja kita panen dan kita nikmati semalam.”
“Aku tak paham. Apa maksud, Abang?”
Semalam kita telah memanen buah hakikat dari perjalanan hidup kita, setelah kita bersusah payah menanam, merawat dan memeliharanya.
“Hmmm.” Yasmin masih bingung dengan penjelasanku.
“Sebenarnya, saat kita menyerahkan Sean kepada Datuk Rustam, hakikatnya kita sedang memetik buah hakikat.” Aku berusaha menjelaskan secara serius. “Lihat pohon ini, akarnya sangat kuat. Menjalar puluhan meter, besar dan kokoh hingga membuat puluhan tahun pohon ini berdiri dan tak mudah tumbang. Kalau kita ibaratkan pohon ini adalah diri kita, maka akar yang sedang kita duduki adalah keyakinan tauhid yang tertanam dalam kalbu kita.”
Yasmin mulai serius mendengarkan. Dengan keseriusan wanita cantik yang tak biasa.
Syariat yang kita jalani ini ibarat pohon yang kuat, seperti baujan ini. Pengamalan syariat kita jalani bergantung kekuatan akar, daya sedot akar menyerap sari makanan dan air dari tanah ini. Pokok pohon ini tak akan sekuat ini jika tak memiliki akar sehebat ini. Angin, hujan, terik mentari, ulat, serangga, dan semua musuh tumbuhan ini tak mampu merusak pohon besar ini.”
Lihat cabang-cabang dari pohon ini! Itu adalah jalan hidup yang sedang kita lalui dengan penuh liku dan bercabang-cabang. Inilah thariqah atau jalan hidup yang bersumber dari kekuatan tauhid dan keserasian pengamalan syariat. Kita berjaya bertahan menghadapi ujian-ujian hidup ini karena kekuatan akar dan pokok pohon ini. Kita melaluinya dengan cabang-cabang kehidupan ruhani, seperti dengan cara tobat atas dosa, sabar dengan ujian-Nya, ikhlas dengan keputusan-Nya, ridha dengan kehendak-Nya, takut dengan kemarahan-Nya, berharap dengan janji-janji-Nya, rindu dan cinta dengan keagungan-Nya. Ini jalan yang sedang kita tempuh, sayang.”
Yasmin meneteskan airmata. Kulihat bukan karena sedih, sebab tampak jelas senyumannya semakin menunjukkan kebahagiaannya.
“Lalu, tak ada cabang yang tak berujung kepada daun. Semuanya menuju kepada daun. Lihatlah daun-daun itu. Bukankah ia adalah sumber pengolahan zat makanan pada pohon ini. Melalui proses fotosintesis, yakni proses pembentukan karbohidrat dari karbon dioksida (CO2) dan air (H2O) dengan bantuan sinar matahari. Terdapat sel-sel yang mengandung klorofil (zat hijau daun) untuk membuat semua itu berlangsung. Dalam proses fotosintesis ini, energi cahaya matahari diserap oleh klorofil dan diubah menjadi energi kimiawi yang disimpan dalam bentuk karbohidrat atau senyawa organik lainnya. Lalu, diserap dan diubah menjadi protein, lemak, vitamin dan senyawa lain yang sangat berguna bagi kehidupan pohon ini. Aku membayangkan daun ini seperti ilmu makrifatullah. Mengenal Allah. Ini adalah penyatuan dan penyerapan serta rasa sejatinya rasa mengenal Sang Maha Hidup. Ilmu daun adalah ilmu makrifat. Dan, proses fotosintesis sebagai proses dialog batin antara hamba dengan Tuhannya.”
“Subhanallah. Anak pondok ini fasih betul menjelaskan ilmu biologi,” kata Yasmin dengan senyumnya yang khas.
“Tak hanya itu, daun juga berfungsi sebagai organ pernafasan bagi tumbuhan. Maka, orang yang tak bermakrifat akan cepat mati kalbunya. Sebab kalbu menghajatkan nutrisi ruhani berupa makrifatullah. Ingat dalam pelajaran biologi di sekolahmu, daun juga merupakan tempat proses transpirasi. Ketika suatu tumbuhan kekurangan atau kelebihan air, maka zat lalin atau juga kutikula yang terdapat di permukaan melakukan proses penguapan dari jaringan tumbuhan melalui apa yang disebut sebagai stomata. Bukankah selalu ada dialog antara kita dan Tuhan melalui komunikasi ruhani. Ada semacam proses menyadari, memahami, menirima, dan menyerap ilmu Tuhan pada saat kita menjalani hidup dan kehidupan. Kita berusaha merasakan getaran-getaran kehadiran-Nya melalui shalat dan dzikir. Semua berlangsung dengan menggunakan ilmu daun. Inilah cara bagaimana seorang hamba memahami kehendak Allah. Sebagaimana daun berfotosintesis, bernafas, dan menjadi tempat transpirasi, memberi manfaat bagi diri sendiri, bagi sekitarnya.
Yasmin hanya membalas penjelasanku dengan ucapan pelan, “Subhanallah.”
“Ilmu makrifat itu layaknya seperti peran dan fungsi daun bagi pohon. Daunlah yang pertama kali mengenal “rasa” panas dan indahnya cahaya matahari. Lalu, dari ujung lapis daun paling luar dan paling tinggi menjalar ke seluruh pohon hingga akar yang paling rendah dan jauh dari daun itu. Semuanya ikut merasakan manfaat dari proses komunikasi antara daun dan matahari. Sebagai suatu benda, matahari memang begitu jauh tak terhingga, tapi sinarnya dan manfaatnya dapat dirasakan oleh pohon hingga ke dasar paling dalam akar-akarnya.”
“Usia daun berpengaruh bagi proses fotosintesis. Seperti juga kematangan jiwa seseorang dalam memahami pesan Ilahi. Tingkat konsentrasi daun, daya serap cahayanya, ketersediaan airnya, serta suhu yang dimiliki daun, sangat berpengaruh bagi proses fotosintesis. Begitu juga dialog batinmu dengan Allah, pasti memerlukan kekuatan pribadi, kecerdasan akal, pengalaman pendidikan, dukungan keluarga, pengaruh lingkungan, bimbingan guru dan sebagainya. Seperti pengenalan diri sendiri dan pengenalan pada sumber dari segala sumber kehidupan. Sebagaimana daun yang selalu bergantung pada sinar matahari.
“Allahu akbar!”
Semakin banyak jumlah klorofil yang berada pada daun, maka semakin cepat proses fotosintesis berlangsung. Semakin banyak energi baikmu, sabarmu, syukurmu, ridhamu, ikhlasmu maka semakin cepat dirimu mengenal-Nya. Inilah apa yang disebut dengan jalan thariqah menuju makrifat.”
“Usia daun pun berpengaruh pada proses fotosintesis. Semakin tua daun, semakin berkurang kemampuannya untuk berfotosintesis. Begitu juga kalbu kita, jika kalbu ini telah “dituakan” oleh keadaan, oleh waktu, derita, sedih, dan cobaan-cobaan hidup, maka jangan pernah berhenti “meremajakan” jiwa kita dengan dzikir dan “menghidupkan” kalbu kita dengan dzikir kepada Allah agar jiwa dan raga kita bisa tetap hidup menjalani kehidupan.
“Lalu bagaimana dengan buah, Abang?” tanya Yasmin. Semakin penasaran dengan penjelasanku yang berapi-api. Kadang aku duduk atau berdiri dengan ekspresi wajah dan tangan agar mudah dicerna Yasmin.
Buah dari sebuah pohon itu layaknya seperti hakikat dari wujud pohon itu sendiri. Ia memberi rasa; manis, pahit, getir, masam, dan lainnya. Merasakan buah adalah merasakan keseluruhan wujud pohon dan sumber kehidupan dari pohon itu. Memahami buah, seperti memahami hakikat diri untuk mengenal Tuhan; Sumber dari segala sumber kehidupan.
“Luar biasa penjelasan, Cikgu Thariq Abdul Matin.” Yasmin tertawa-tawa senang. “Lalu, apa kaitan antara buah dengan peristiwa semalam. Katanya, semalam kita memanen buah?” tanya Yasmin. Dari pertanyaanya, dia memang memerhatikan penjelasanku.
“Penyerahan Sean kepada keluarga Datuk Rustam itu sebenarnya semacam kita sedang mengunduh atau memanen tanaman yang kita tanam sendiri. Sean adalah anak yang kita rawat dan jaga sejak kecil, lalu kita didik dan sayangi selama lima tahun. Apa pun hasilnya dia adalah buah dari semua jerih payah kita menjaga dan merawatnya. Sebagaimana buah, ia merupakan hasil akhir dari sebuah pohon. Buah adalah karya persembahan terbesar dari sebuah pohon selama melakukan perjalanan panjang dari mulai tunas, akar, batang dan daun. Buah adalah puncak pencapaian hidup dari sebuah pohon. Memahami buah itu seperti memahami ilmu hakikat. Ilmu hakikat adalah ilmu pencapaian tertinggi sebuah tujuan hingga mencapai titik akhir sebuah makna yang dipahami oleh seorang hamba, tentang hidup, tentang Sang Maha Hidup.”
“Pohon memahami dirinya sebagai pohon manakala ia berbuah. Ia menjadi nama dirinya dan menjadi hakikat dirinya. Begitu juga hidup ini, buah dari perjalanan jiwa seseorang adalah pengenalan kepada hakikat diri. Dengan mengenali hakikat diri, kita bisa mengenali Tuhan.”
Yasmin masih meraba tentang maksud penyerahan Sean kepada Datuk Rustam sebagai panen. Dari sorot matanya, dia masih menyisakan tanda tanya besar. “Apa hubungan dengan peristiwa semalam?” tanyanya lagi.
“Begini sayang..” Aku menarik nafas sebentar. “Aku berbangga padamu, Yasmin. Semalam, aku melihat kau telah memetik buah kematangan hakikat dirimu. Cobaan dan ujian hidup, penderitaan dan kesedihan, hinaan dan penzaliman terhadap dirimu berhasil dihadapi dengan kematangan jiwamu. Kamu rela melepas Sean sebagaimana pohon itu membiarkan buahnya sendiri jatuh atau dipetik orang. Meskipun kau telah merawat, menjaga dan menyayanginya, tapi kau tak merasa berhak menikmati buahnya. Sebagaimana pohon tak pernah merasakan manisnya buah dirinya sendiri. Kau telah mengenal hakikat dirimu sebagai hamba, yang sama sekali tidak punya hak atas Sean, bahkan atas takdirmu sendiri. Kamu menghargainya sebagai proses yang memang harus terjadi. Sebagaimana pohon tak pernah mempersoalkan selama puluhan tahun menyerap air dan nutrisi, mensuplai makanan hingga ke akar atau sebaliknya, semua dilakukan karena menjalankan perannya sebagai (hamba) pohon yang tak pernah mempersoalkan kemana buah itu, kepada siapa diserahkan dan dimanfaatkan.”
“Kalaulah kita tak memiliki tauhid yang kuat, mungkin kita telah menghujat Tuhan atas semua yang terjadi selama ini. Kalau bukan karena pelaksanaan syariat kita, kita pasti akan memberontak dan melawan dengan cara-cara yang bertentangan dengan syariat. Kalau kita tidak mengenal cara atau jalan (thariqah) menuju Tuhan untuk menyelesaikan tugas kehambaan, mungkin kita tak akan mampu menjalani hidup dan derita ini. Kalau bukan karena kesadaran mengenal diri dan Tuhan, mungkin kita telah tumbang karena penghianatan, caci-maki, hinaan, penganiayaan, dan penzaliman terhadap diri kita. Kalau bukan karena pengenalan akan makna hakikat diri dan Tuhan, serta pengenalan atas hakikat hidup dan ujian-ujian-Nya, mungkin kita tak akan menyerahkan Sean kepada keluarga Datuk Rustam.”
“Subhanallah. Abang telah menjelaskan makna tauhid dalam bingkai syariat, thariqat, makrifat dan hakikat. Terima kasih, Abang. Ternyata namamu memang benar-benar Thariq Abdul Matin seperti yang kukenal.”
Kuliah Sor-Baujan pun berhenti dengan peluk cium mesra dari istriku tercinta. “Kita hanya menjalankan peran sebagai hamba, sayang,” bisikku. “Inilah puncak tertinggi maqam bagi jiwa seorang makhluk,” kataku lagi.

---BERSAMBUNG PART 20--
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1684254424957818
https://www.facebook.com/halim.ambiya 

No comments:

Mimpi 23 Romadhon 1442 H

 Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...