Oleh Halim Ambiya
“Aku tunggu di Bukit Bintang Café.”
“Ok.”
Aku segera keluar dari Central Market menuju Bukit Bintang. Sengaja aku
memperlambat pertemuanku dengan Maryam agar bisa menguatkan hatiku.
Berjalan menyelusuri kota, menembus kerumunan para pejalan kaki.
“Ahh. Aku masih punya waktu 45 menit untuk bertemu dia,” bisikku. Aku
tak mau tampak terlalu bersemangat di depan Maryam. Aku harus terlambat
dan membiarkan dia menunggu. Lagi pula ini bukan kencan. Ini hanya
pertemuan bisa antara sesama sahabat. “Bukan Maryam yang membuat hatiku
berdebar-debar. Tapi, orang yang pernah dekat dengannya membuat ciut
nyaliku. Bagaimana jika saat aku bertemu dengan Maryam, tiba-tiba
bayangan Hanum kembali menghantui? Hmmm,” bisikku lagi.
Aku
berhenti sebentar di Jalan Pudu. Menarik nafas dalam-dalam. “Apakah aku
harus lanjutkan?” tanyaku dalam batin. Aku merasa ragu untuk melajutkan.
Terdetik dalam batin untuk membatalkan pertemuan ini.
“Abang, jadi nak jumpa Maryam?” tanya Yasmin di pesan whatsapp tiba-tiba.
“Hmmm. Jawab nggak ya?” bisikku ragu. Ternyata Yasmin masih mengingat
jadual pertemuanku dengan Maryam hari ini, padahal aku memberitahunya 3
hari lalu saat dia sedang mencuci piring. “Ingatannya cukup kuat,“
bisikku lagi.
“Jadi, sayang.”
“Bila nak jumpa? Jam berapa? Kat mana?”
“Jam 4. Di Bukit Bintang.”
“OK.”
Aku kembali berhenti di depan Hospital Tung Shin. Rehat sejenak untuk
mempertimbangkan. “Apakah waktuku sudah tepat? Apa aku sudah kuat?”
bisikku lagi. Kalau ngobrol via telpon atau pesan whatsapp aku bisa
menyembunyikan ekspresiku yang sebenarnya. Tapi, kalau bertemu langsung,
apa aku sanggup menghindari bayangan Hanum yang bisa saja muncul di
sisi Maryam? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu semakin berseliweran.
Sungguh ini membuatku tersiksa. Sukar melupakan masa lalu yang
menyimpan banyak kenangan. Saat aku kuliah di Jakarta, setiap melihat
mobil dengan kode polisi “R” saja, jantungku berdebar-debar. Padahal
plat mobil “R” boleh jadi orang Banyumas, Purwokerto, Banjarnegara, tak
berarti Cilacap kotanya Hanum. Tapi, anehnya setiap kali melihat plat
mobil itu anganku melayang mengingat Hanum. Langsung membayangkan
kehadiran Hanum keluar dari mobil itu.
Hal yang membuatku malu
justru saat aku bertemu Hendra, klienku di Bintaro, tiba-tiba sekretaris
kawanku datang menyodorkan berkas ekspedisi yang aku butuhkan. Tapi,
kulihat wanita muda itu memakai baju yang mirip dengan pakaian Hanum
dulu. Cara wanita itu tersenyum ramah dan menawarkan minum membuatku
hanyut. Aku malah dianggap naksir wanita itu. Hendra bahkan membuatku
semakin salah tingkah. “Dinda, bisa temani kami disini?” tanya Hendra
kepada wanita itu. Aku berusaha menghindar dengan alasan macam-macam.
Tapi, justru membuat Hendra semakin menganggap aku tertarik dengan
stafnya. Untung saja, toilet di kantornya cukup nyaman, aku pura-pura
sakit perut untuk menghindar dari wanita itu.
Beberapa kali Maryam menelpon, tapi tidak kuangkat.
“Matin, saya sudah sampai di Bukit Bintang,” kata Maryam melalui whatsapp.
“Kamu sudah jalan?”
“Tolong kabari ya?”
Aku belum mau menjawab. Kini aku berjalan mondar-mandir di depan Swiss
Garden Hotel. “Ya Allah, beri aku kekuatan,” bisikku dalam hati.
“Mengapa waktu 12 tahun tak cukup untuk membuatku kuat? Mengapa aku
hanya mampu menghindar, tapi tak mampu menghadapi?”
“Bismillahirrahmanirrahim.” Akhirnya, setelah mengumpulkan kekuatan, aku
pun bergegas menuju Bukit Bintang. Mempercepat jalanku agar tidak
terlalu lama Maryam menunggu. Aku bershalawat sepanjang trotoar di Jalan
Pudu, terus menelusuri Jalan Alor. Aku tak peduli lagi apa yang terjadi
nanti saat bertemu dengan Maryam. Namun, ketika aku melintas dekat
Kuala Lumpur Baptist Church, tiba-tiba aku mendapat telpon dari orang
tak dikenal.
“Hai Indon. Bila awak nak hantar Sean ke rumah?”
tanya sesorang dengan dialek khas Melayu. Aku tak begitu paham apa
maksudnya. Aku masih terdiam, siapa orang ini. “Maaf, siapa ini?”
tanyaku.
“Aku Razilah. Tak tahu konon. Janganlah pura-pura tak tahu!” katanya kasar.
“Ohhh. Awak Razi ke?” tanyaku tegas saat kutahu dia adalah Razi. Aku
muak dengan orang Melayu yang tak tahu budi bahasa. Tak sepatutnya dia
bicara semacam itu. Ini bukan orang Melayu yang punya sopan santun.
“Orang Melayu yang waras tak macam itu,” bisikku dalam hati.
“Bila awak nak jumpa saya? Sekarang? Awak kat mana?”
“Hello..Hello…”
Tak ada jawaban. “Ini teror. Kalau dia berani menggertak aku seperti
itu apalagi dengan Yasmin? Dia pasti mengancam macam-macam,” bisiku.
Segera aku menelpon Yasmin memberitahukan Razi menelponku. Dia cukup
kaget dan penasaran dengan ceritaku. Tapi, menurut Yasmin itu bukan
nomer telpon yang biasa dipakai Razi.
“Hmmm. Geram aku. Berarti dia menyuruh orang ugut (mengancam) Abang,” jelas Jasmin.
“Dia sekarang ada di Bangkok, Bang. Aku pun tengah cari dia. Bang
Faizal bantu kita untuk selesaikan masalah kita,” kata Yasmin lagi.
“Kenapa awak minta bantuan Bang Faizal?”
“Aku sudah tak tahan, Bang.”
“Iya, tapi mengapa awak libatkan Bang Faizal?”
“Bang Faizal itu abangku, dia akan membela kita Abang.”
“Tapi, Bang Faizal itu emosional, tak terkontrol, sayang. Aku takut masalah ini bertambah besar.”
“Aku sudah tak peduli, Bang.”
“Bang Faizal itu tentara sayang. Dia keras orangnya.”
“Sudahlah, Bang. Percaya sama aku. Insya Allah, ini cara yang terbaik.”
Aku pikir Yasmin sudah tidak bisa dibendung. Menurutku, Bang Faizal itu
bisa memperumit keadaan. Dia dan kawan-kawannya bisa main kasar. Dan,
kalau itu terjadi, Razi dan keluarganya pasti tak akan tinggal diam.
Razi itu anak datuk yang disegani.
Aku segera menelpon Bang
Faizal untuk meredam suasana. Tak nomer telponnya tak bisa dihubungi.
“Ini akan menjadi konflik antar keluarga yang bertambah hebat. Hmmm.
Padahal, kalau aku bisa bertemu dulu dengan Razi baik-baik, mungkin bisa
dicarikan solusinya,” keluhku dalam hati.
Setelah menelpon Bang
Faizal berkali-kali tak dijawab, kuputuskan untuk menemui Maryam dulu.
“Syukurlah, gara-gara masalah ini, aku justru merasa ringan untuk
bertemu Maryam. Sekarang bagiku masalah ingatan terhadap Hanum dan
pertemuan dengan Maryam bukan masalah berarti. Agaknya Tuhan sedang
membantu menyelesaikan masalah dengan masalah yang lebih besar,”
bisikku.
***
“Assalamualaikum, apa kabar?”
“Alhamdulillah, baik. Kamu bagaimana?”
“Alhamdulillah.”
“Kamu tambah ganteng, Matin. Kelihatan tambah matang.”
“Matang, emang buah?”
“Benaran. Kamu tambah kelihatan berwibawa.”
“Kamu juga tambah cantik. Maaf menunggu lama ya.”
“Nggak apa-apa. Akhirnya, kita bisa ketemu juga di sini.”
Basa-basi kami berjalan hanya beberapa saat. Bang Faizal menelpon
balik. Aku segera meminta izin kepada Maryam untuk menerima telpon
sambil berjalan menjauh dari meja kami.
“Yasmin cakap, Razi telpon awak?”
“Betul tadi ada telpon, dia mengaku Razi. Aku tak tahu suara Razi macam mana.”
“Bagi saya nomer telponnya.”
“Abang, please. Slowly…” Aku meminta Bang Faizal untuk menahan diri.
“Awak tenang sahaja. Abang tak akan tinggal diam. Nyawa Abang jadi taruhannya.”
“Abang, terima kasih sudah membantu. Tapi, ini masalah aku dan Yasmin. Aku tak mau masalah ini menjadi besar.”
“Siapa yang buat masalah ini jadi besar?! Ini ulah Razi biadab. Dia
orang pikir awak seorang saja kat Malaysia. Ingat, Erik, sepanjang Abang
masih hidup, tak boleh ada orang yang menyentuh awak. Tak boleh ada
orang yang berbuat jahat kepada awak. Awak adikku, awak suami adikku.
Aku tak boleh diam. Mentang-mentang dia anak datuk nak buat seenak
perutnya sahaja. Langkahi dulu mayatku, kalau nak coba-coba buat jahat
kepada keluargaku. Aku nak buat perhitungan dengan Razi.”
Bang
Faizal justru berbalik memarahiku. Dia benar-benar ingin mencari Razi.
“Ini bukan masalah awak seorang. Tapi, masalah Yasmin, masalahku juga.
Masalah keluarga kita,” kata Bang Faizal sudah naik pitam. Aku tidak
bisa membayangkan jika dia bertemu dengan Razi. Pasti bisa terjadi
perkelahian. Bang Faizal ini berumur 55 tahun lebih, dia ambil pensiun
dari tentara setelah 30 tahun mengabdi, tapi jiwanya masih seperti anak
muda, masih sering kumpul bareng gengnya. Wajahnya seram berkumis, kulit
agak gelap dan bertubuh gempal. Siapa pun pasti takut kalau dia marah.
Aku keluar dari kafe itu agar pembicaraanku tak mengganggu Maryam dan tamu-tamu lain di tempat itu.
“Bagi nomer telpon dia!” pintanya.
“Saya sudah telpon dah, tapi dia tak angkat lagi,” jawabku.
“Bagi sajalah nomer telponnya!”
“Kalau nomer telpon palsu pun Abang nak telpon ke?”
“Awak tenang. Saya mahu lacak dia kat mana?”
Akhirnya, aku pun memberi nomer telpon asing yang mengaku sebagai Razi.
Aku benar-benar meminta Bang Faizal untuk tidak bertindak gegabah. Dia
ingin meminta bantuan kawannya di provider telpon untuk mencari tahu
kordinat si penelpon gelap tadi.
Aku segera masuk kembali ke
dalam kafe dan berusaha menutupi masalah ini di depan Maryam. Seolah tak
terjadi apa-apa. Namun, cara dia memandangku, dia seperti ingin tahu.
“Ada masalah apa? Kamu tampak tegang banget?”
“Nggak ada apa-apa. Hanya urusan bisnis biasa.”
“Kamu bohong. Aku bukan anak kecil, Matin. Aku bisa melihat masalahmu yang besar.”
“Sudahlah. Lupakan saja. Tadi, kita ngobrol sampai mana?” tanyaku
sambil senyum-senyum dengan akting seperti aktor Hollywood. Lalu memesan
kopi Aceh dan menghisap rokokku.
Maryam terdiam. Dia menatapkan dalam-dalam. Aku berusaha menghindari sorot matanya dan menghisap rokok.
“Sampai mana tadi?” tanyaku lagi.
“Tidak. Aku lihat kamu punya masalah besar. Kalau memang kamu harus
pergi, nggak apa-apa. Kita bisa lanjutkan nanti,” tutur Maryam.
“Ah masalah biasa. Namanya juga bisnis.” Aku tak mau acara temu kangen
ini berujung dengan curhat tentang masalah rumah tanggaku. Kalau Maryam
curhat silahkan saja, tapi aku tidak.
“Aku tahu gayamu sejak dulu. Kamu menyembunyikan sesuatu. Aku lihat tadi, caramu menelpon kelihatan banget tegang.”
“Ada apa? Boleh aku tahu?”
Setelah berkali-kali bertanya tak dijawab, Maryam pun akhirnya
mengalihkan pembicaraan. Kini dia bercerita tentang perjalanannya hingga
sampai ke Kuala Lumpur. Dan, hal yang sangat mengejutkan, ternyata dia
adalah istri dari Ustaz Kahar, guru yang dulu selalu berperan antagonis
terhadapku di pesantren. Sayangnya, setelah 8 tahun menikah, Maryam
belum mempunyai anak.
----BERSAMBUNG PART 11-----
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1669285986454662
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment