Oleh Halim Ambiya
Ini adalah urut takdir yang harus kujalani.
Aku hanyalah wayang yang tunduk kepada Sang Dalang. Dan, Dia hanya
berpihak kepada cerita yang dibuat sesuai kehendak-Nya, sama sekali tak
dipengaruhi oleh keberadaanku atau siapa pun. Selamanya wayang tak punya
pilihan. Tak ada ketidaksengajaan bagi-Nya. Semua adalah kesengajaan
yang telah dibuat-Nya. Lalu, kita meraba dengan bahasa ketidakberdayaan
sebagai hamba: “Ini tiba-tiba. Tak sengaja. Di luar dugaan.” Dan, beribu
kata “kemungkinan” yang tak mempengaruhi alur cerita yang dimainkan
Sang Dalang.
Aku belum berani membalas pesan Maryam. Menjawabnya
hanya akan membuatku semakin masuk ke alam bawah sadar yang susah
dihentikan. Lalu, kutinggalkan bangku stasiun Bangsar setelah sorot mata
petugas berwajah India tampak memata-matai. Kulangkahkan kaki dengan
perlahan. Dengan sisa-sisa Shalawat Nabi yang kubisikkan di lisanku. Aku
berusaha menghibur diri dengan wajah lucu Sean, anakku saat
kutimang-timang di beranda rumah. Namun tetap saja sesekali bayangan
wajah Yasmin, Hanum dan Maryam muncul bergantian. Wajah mereka hadir
begitu saja di setiap sudut jalan yang kulalui menggantikan
poster-poster iklan.
Aku terus berjalan mengikuti kemana kakiku
melangkah. Aku sukar mengingat arah mata angin bila bayangan sapu tangan
merah jambu itu datang dalam alam bawah sadarku. Yang kurasakan, kadang
aku berjalan, lalu berhenti sejenak, berjalan dan berhenti. Demikian
seterusnya. Aku susah mengingatnya.
“Abang kat mana?”
“Abang!!!”
“Erik, are you OK? Where are you now?”
“Erik…Please…”
Pesan whatsapp datang bertubi-tubi. Yasmin berkali-kali menelpon. Lebih
5 kali panggilan tak terjawab. Aku terus berjalan kaki menuju apartemen
menghindar dari bayangan sapu tangan merah jambu yang kembali mengusik
ingatanku. Bayang wajah Hanum mulai menghilang saat kusadari tiba-tiba
diriku berada di tempat yang pernah kuingat sebelumnya. “Rasanya aku
mengenal tempat ini?” bisikku.
Aku tiba-tiba menyadari bahwa aku
berada di sekitar hutan kota di Damansara Heights. Tapi aku tak tahu
jalan keluar dari tempat itu. Aku juga tak sadar sudah berapa lama
berjalan ke arah sini. Padahal jarak antara stasiun Bangsar dan
apartemenku hanya 500 meter. 15 menit jalan kaki. “Aneh?! Mengapa aku
sampai di hutan ini?” bisikku. “Sekarang sudah jam 10.00 malam. Aku
sudah lebih dari 3 jam jalan dari Stasiun Bangsar,” pikirku heran.
Nafasku tersengal-sengal, naik turun daerah perbukitan dalam kegelapan
aku berjalan. "Aku heran, bagaimana aku bisa berjalan dalam gelap di
hutan ini?" bisikku. Sebenarnya, Damansara Heights itu di jantung KL,
kawasan hunian elit. Lokasinya dekat dengan bekas rumah dinas Perdana
Menteri Malaysia dulu, sebelum dibangun Putrajaya. Tapi, kawasan ini
dikitari hutan kota yang sangat rimbun dengan pohon-pohon besar dan tua.
Tak akan kita jumpai hutan kota seperti ini di sekitar Jabotabek.
Monyet-menyet ramai bergelantungan seolah menyambut kehadiranku.
“Astaghfirullah. Aku ning sor baujan (aku di bawah pohon trembesi),” aku
terheran-heran. “Ya Allah, ada apa ini. Apa yang sedang Kau tunjukkan?”
bisikku lagi.
Di bawah pohon trembesi ini akhirnya aku mulai
bisa menguasai diriku sendiri. Aku bisa mengendalikan sapu tangan merah
jambu. “Hanum bagiku hanya sekadar mantan kekasihku, itu saja. Tak lebih
dari itu. Dan, kini aku adalah suami dari Yasmin,” kataku tegas dengan
penuh kesadaranku. Kata-kata sejenis ini menjadi simpul ingatan ketika
aku mulai sadar dari halusinasi Hanum. Aku berusaha menanamkan dalam
kesadaran bawah sadarku bahwa Hanum bukan siapa-siapa.
Aku
benar-benar tersesat. Sekarang berada persis di bawah pohon trembesi
(samanea saman) di seberang kampus ISTAC (International Institute of
Islamic Thought and Civilization), sebuah kampus yang paling aku kagumi
di Malaysia. Disinilah aku banyak bertemu dengan profesor-profesor hebat
dari penjuru dunia. Dan lagi-lagi, aku selalu diingatkan dengan pohon
trembesi itu. Anehnya harus malam-malam. Tak pernah terjadi sebelumnya.
Ini bukan Indramayu, bukan pula Kebumen. Aku pasti dianggap orang gila
bila tiba-tiba dijumpai orang ada di tempat ini. Atau salah-salah aku
bisa ditangkap Polisi Diraja Malaysia. Ini Kuala Lumpur, bukan Jakarta.
Orang aneh sepertiku bisa dituduh macam-macam. Bisa saja aku dituduh TKI
ilegal yang sedang keluar-masuk mencari tempat persembunyian.
“Ya Allah, apa yang sedang Engkau tunjukkan?! Berilah hamba kekuatan untuk mengetahuinya.”
Aneh memang. Aku tak habis pikir. Pohon trembesi ini seperti mempunyai
kekuatan magis hingga menarikku kesini. Ini adalah tiga pohon trembesi
yang menarik perhatianku seumur hidupku. Pertama pohon trembesi yang
terkenal dengan sebutan Buyut Mangun di desa Bugis, Kabupaten Indramayu,
tempat kelahiranku. Kedua pohon trembesi di daerah Jatijajar, Kebumen,
beberapa meter dari rumah Kyai Bahruddin, tempat aku menimba ilmu
hikmah. Dan, ketiga pohon trembesi di seberang kampus ISTAC di Damansara
Heights, tempat aku melanjutkan kuliah dan menikah. Ketiganya menjadi
saksi perjalanan hidupku. Aku pernah meminum air dekat ketiganya,
mempunyai kedekatan dengan orang-orang sekitarnya, serta menghirup udara
segar di sekitarnya dengan cara yang menggugah kesadaran batinku. Di
bawah tiga pohon trembesi itulah aku banyak mendapatkan pelajaran
berharga dengan caranya.
Hanya dengan melihat lambaian
dedaunannya saja aku sudah merasa senang. Apalagi mencium bau khas
cangkang dan biji trembesi yang berserakan di bawahnya, aku sudah merasa
seperti pulang kampung. Hubungan khususku dengan pohon trembesi menjadi
rahasia tersendiri. Di setiap ranting dan cabang ketiga pohon trembesi
itu seolah merekam setiap detak jantung dan bisikan hatiku saat berada
di bawahnya.
Aku sama sekali tak mendewakan pohon ini. Sama
sekali tidak. Aku bukan penganut pagan. Tapi, trembesi ini menjadi saksi
sejarah bagi seluruh hidupku. Ini seperti pohon bidara di alam sana,
alam tempat takdir digariskan untuk semua makhluk.
“Aku harus
segara pulang. Hari sudah larut malam,” bisikku. Setelah genap
kesadaranku, kuucapkan salam perpisahan kepada trembesiku dan berjanji
akan bertemu kembali besok. Aku percepat jalanku menuju apartemen.
***
“Abang!!” teriak Yasmin.
“Sudahlah. Abang penat,” kataku cuek.
Mata lelah dan muka kusamku cukup menjadi jawaban atas semua pertanyaan
Yasmin malam itu. Kekhawatirannya sudah terobati dengan kehadiranku.
Meski jiwaku tak bersama ragaku saat itu. Pertanyaan apa pun malam itu
tak dianggap relevan. Kehadiranku sudah lebih dari cukup untuknya.
Aku siram sisa-sisa peristiwa aneh malam ini dengan kucuran air. Aku
mandi malam itu agar bisa merontokkan semua kebingunganku. Sekaligus
menjadi kucuran syukur atas petunjuk aneh yang baru saja kulalui. “Besok
aku kesana lagi.”
Setelah shalat kutunaikan malam itu, kembali
kuajukan transaksi kematianku kepada Allah malam ini: “Bismika Allâhumma
ahya wa bismika amût” (Ya Allah atasnamamu aku hidup dan atasnamamu aku
mati).
“Ya Allah, aku serahkan hidup dan matiku kepada-Mu ya
Allah. Engkaulah yang menggenggam setiap jiwa manusia yang masih hidup
saat dalam tidurnya. Aku serahkan jiwa ini kepada-Mu. Ampunilah semua
dosa-dosaku, ampunilah dosa kedua orangtuaku. Peluklah aku dalam
limpahan kelembutan kasih sayang-Mu.”
Kuiringi rasa kantukku
dengan Al-Fatihah, An-Nas, Al-Falaq dan Al-Ikhlash, serta berulang kali
aku beristighfar memohon ampunan-Nya. Dengan doa, dzikir, dan munajat
sebelum tidur seperti ini aku selalu bisa merasakan ketenangan dan
kedamaian hati. Ilmu ini aku pelajari dari Kyai Bahruddin dulu 12 tahun
lalu. Waktu sebelum tidur seperti ijab kabul atau serahterima jiwa kita
kepada Allah. Sebab, saat tidur jiwa-jiwa manusia dalam genggaman-Nya.
“Maka rasakan dirimu dalam genggaman-Nya. Jika kau ditakdirkan mati,
maka selamanya jiwamu bersama Allah. Jika kau ditakdirkan hidup, maka
jiwamu akan dilepaskan kembali dari tangan-Nya,” itu kata Kyai Bahruddin
kepadaku dahulu.
***
“Abang dari mana semalam?” desak Yasmin.
“Dari ISTAC.”
“ISTAC?” tanya Yasmin kaget.
“Ya. Kenapa?”
“Abang jumpa siapa?”
“Tak ada.”
“Habis tu?”
“Tak ada.”
“Abang kenapa nih?”
“Abang tak nak cerita.”
Yasmin masih bertanya-tanya. Agaknya dia masih menyimpan segudang
pertanyaan lagi. Tapi, dari caraku menjawab membuatnya bertambah
bingung. Aku menutupi wajahku dengan The New Straits Time. Aku terus
melanjutkan bacaanku pagi itu. Cukup lama Yasmin menunggu aku buka
mulut.
“Abang menyembunyikan sesuatu. Aku tahu.”
Aku diam.
“Abang, jam berapa di ISTAC?”
Aku diam sejenak, lalu kujawab, “Aku tak ingat. Aku tiba-tiba ada kat ISTAC.”
“Kenapa Abang tak ingat?”
“Tak tahu. Abang tak ingatlah.”
Aku kembali diam. Tak mau diganggu. Aku tatap matanya. Dia salah
tingkah. Aku jadi bingung, sebenarnya dia atau aku yang menyembunyikan
sesuatu? Kini suasana menjadi berubah. Aku menangkap sesuatu yang lain
di mata Yasmin pagi ini. “Mengapa dia begitu ingin tahu tentang ISTAC,”
bisikku dalam hati. Aku biasa pulang larut malam. Apalagi kalau aku
mengikuti Saturday Night Lecture. Aku kenal banyak mahasiswa ataupun
dosen di sana. Bahkan, perputakaan ISTAC adalah tempat paling favorit
buatku. “Semalam memang aku di sekitar ISTAC, tapi hanya di seberang
jalan kampus. Di hutan kota, tidak di dalam kampus,” bisikku dalam hati.
Dia tertunduk saat kutatap agak lama tepat di matanya. Sepertinya
justru dia yang menyembunyikan sesuatu dariku. Pakaian yang dia kenakan
justru tak seperti biasanya. Dandanannya berbeda. Lipstiknya pun agak
tebal. Kini aku menatapnya buas, menelanjangi tubuh dan gerak-geriknya
dengan pandangan seorang lelaki dewasa yang cemburu.
“Abang…” katanya lagi.
Aku tatap matanya sekali lagi. Dia mengalihkan pandangannya.
“Kamu darimana semalam?” tanyaku. Aku beranikan diri bertanya balik dengan kesungguhan rasa ingin tahuku.
“Aku…”
“Hmmm. Tak perlu kau lanjutkan.”
“Abang…Aku. Aku bertemu dengan Razi kemaren. Kita hanya berbincang.”
Aku diam. “Mengapa Tuhan begitu mudah membolak-balikkkan hati
hambanya?” bisikku dalam hati. “Mengapa semudah itu Yasmin mengaku telah
bertemu dengan Razi, mantan suaminya,” tanyaku dalam hati.
“Abang. Maafkan Yasmin,” ucapnya pelan sambil memelukku. “Kita hanya
berbincang. Percayalah, Bang. Sudah berkali-kali dia hubungi aku via
Facebook. Aku bertemu justru untuk menghentikannya. Berkali-kali dia
telpon dan whatsapp tak tak pernah aku jawab.” Yasmin menjelaskan
pertemuannya hanya sebagai bekas suami, tak lebih dari itu. Hanya
pertemuan sesama kawan lama. Razi mengembalikan bekas pemberian Yasmin,
demikian pula sebaliknya.
Aku kembali diam.
“Abang. Aku mohon maaf. Aku baru sekali itu saja jumpa Razi kat ISTAC siang kemaren. Kita orang jumpa kat kantin,” ujarnya.
“Oke, tak apa. Tak masalah,” jawabku. Sambil tetap bingung. Mengapa
pada saat aku sedang galau tingkat dewa memikirkan sapu tangan merah
jambu, pada saat yang sama aku dibalas dengan pertemuan Yasmin dan Razi?
Sebagai suami tentu punya hak untuk tahu. Bertemu dengan mantan pasti
akan membuat siapa pun bertanya-tanya. “Sebenarnya aku bersyukur kini
Yasmin sudah berani bertemu Razi. Itu berarti dia sudah memaafkannya.
Aku justru tertantang, apakah cinta Yasmin kepadaku sekuat cintanya
kepada Razi dahulu,” kataku dalam hati.
“Kalau aku nak curang,
kita tak akan bertemu di ISTAC,” bisiknya lagi sambil terus mendekapku
manja. “Aku janji, lain kali aku akan bilang sebelum bertemu Razi,”
katanya lagi meyakinkanku.
“Siapa yang bagi tahu aku bertemu Razi di ISTAC?” desaknya.
“Tak ada. Tak seorang pun.”
“Abang bagi tahulah, siapa spy aku? Abang cemburu ya?” katanya sambil melepas pelukannya dan mencubit perutku.
“Abang tak tahu sayang. Abang tiba-tiba saja ada dekat ISTAC.”
“Aneh!”
“OK.We discuss later. I love you,” kataku, lalu bergegas menyiapkan berkas untuk pergi ke Port Klang pagi itu.
“I love you too.”
Aku yakin Yasmin masih belum percaya sepenuhnya. Begitu juga aku.
---BERSAMBUNG PART 7
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1662624873787440
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment