Oleh Halim Ambiya
Sapu tangan merah jambu ini laksana tabir Barzakh buatku. Setiap kali
kucium aromanya, anganku melayang-layang. Menembus ruang dan waktu.
Melesat ke dimensi lain. Menuju alam halus yang tak kumengerti. Tubuhku
melesat terbang. Mengambang di awan. Lalu, meluncur cepat ke lubang
gelap bak pusaran angin puting beliung. Seperti masuk dalam kumparan
vortex. Jantungku serasa copot. Aku seperti dalam roller coster yang
melaju cepat.
Kemudian, di titik keheningan yang paling dalam,
saat kedamaian hati terasa di sekujur tubuh, aku bertemu dengan Putri
Hanum di atas awan. Dia melambai-lambaikan tangannya. Tersenyum manis.
Mengajakku terbang bersamanya. Dia tampak begitu anggun dan memikat
dengan gaun serba putih. Mengambang di atas awan bak kapas. Pesona
terasa meremukkan tulang belulangku. Tubuhku terasa dingin menyaksikan
bidadariku di pelupuk mata.
“Hanum…Hanum,” teriakku. Aku
memanggil sekuat-kuatnya. Tapi, senyumnya mengisyaratkan agar aku tetap
tenang. Sorot matanya seolah memerintahkan aku untuk diam. Lidahku kelu.
Tak mampu berkata apa-apa. Kemampuan bahasaku hilang begitu saja.
“Dimana aku?! Alam apa ini? Mengapa bisa begini,” bisikku di lubuk hati
yang paling dalam.
Entahlah, bagaimana aku harus menjelaskan. Dia
terasa begitu nyata. Sangat dekat, tapi tak teraba. Dia mendekapku,
tapi tak tersentuh. Dia terasa bersamaku, tapi tak terjangkau. Dekatnya
tak bisa terindera. Kebersamaannya tak seperti kebersamaan antara tubuh
dan pakaianku.
“Ah…Mungkin ini hanya mimpi,” gumamku.
Perlahan kubuka mataku. Lalu kucubit lenganku sendiri. “Aku
merasakannya. Ini bukan mimpi lagi. Aku sadar. Aku sadar,” bisikku.
“Dimana aku ini? Ini bukan kamar Pak Kyai. Tak ada ruang seperti ini di
pondokku.
Aku mulai mengingat-ingat kapan terakhir kali aku
sadar. “Hmmm. Aku sedang duduk di ruang tengah dalam rumah Pak Kyai,
lalu aku tak tahu apa yang terjadi,” bisikku dalam hati.
“Alhamdulillah. Kamu sudah sadar,” kata Gus Kholid sambil menghampiriku.
“Aku dimana ini, Gus?”
“Di rumahku.”
“Koq bisa?!” tanyaku penasaran.
“Ceritanya panjang. Nanti saja. Kamu istirahat saja dulu.”
Aku memang pernah menginap di rumah Gus Kholid, tapi bukan di kamar
ini. Sepertinya, ini kamar tamu keluarga Kyai Bahruddin. Beliau juga
guru yang sangat aku kagumi. Namanya cukup disegani di daerah sekitar
Goa Jatijajar, Kebumen. Aku banyak menimba ilmu dari beliau. Dan, hal
yang paling kusukai adalah masjidnya, karena persis berada di lingkungan
pariwisata Goa Jatijajar.
Tiba-tiba aku mendengar suara Pak Kyai Makmun sedang berbincang dengan seseorang.
“Itu suara Pak Kyai?”
“Benar. Lagi ngobrol dengan Bapakku.”
“Pak Kyai Makmun yang bawa aku kesini?”
“Iya.”
“Separah apa rupanya aku ini, Gus?”
“Hahaha. Kayak anak-anak,” jawab Gus Kholid sambil tertawa. Aku hanya
menjawabnya dengan senyum sambil mulai menghimpun kesadaran satu per
satu.
Sahabatku ini memang memiliki aura yang menenangkan.
Wajahnya tampan dan bercahaya. Kulitnya bersih sawo matang. Kulihat dia
yang paling ganteng di antara anak-anaknya Kyai Bahruddin. Aku cukup
bersyukur dapat belajar bersama-sama dengan Gus Kholid di Pondok
Pesantren Gading, Kroya. Pada saat yang sama, aku pun bisa ikut belajar
ilmu hikmah dari Kyai Bahruddin, ayah Gus Kholid.
***
“Kamu tak perlu pulang dulu ke Indramayu. Tenangkan saja pikiranmu
disini. Belajar langsung dengan Kyai Bahruddin. Bantu Pak Kyai mengurus
masjid,” kata Pak Kyai Makmun.
“Iya. Disini dulu. Menggantikan Gus Kholid. Kamu anakku juga,” kata Kyai Bahruddin.
Aku menunduk setuju. Bagaimana mungkin aku sanggup membantah dua orang
yang aku segani? Pak Kyai Makmun telah mendidikku selama 4 tahun di
Pondok Gading. Sedangkan Kyai Bahruddin adalah ayah dari sahabatku Gus
Kholid, beliau telah menjadi guru pembimbingku selama ini, mengajarkan
aku banyak tentang dzikir dan hikmah kehidupan. Kalau aku tinggal
disini, bisa belajar langsung dengan Kyai Bahruddin. Ini kesempatan
emas.
“Kuatkan jiwamu! Sekarang kamu dalam bimbingan langsung
Kyai Bahruddin. Setelah kuat, silahkan turun gunung. Bahkan, aku
berharap kamu bisa melanjutkan kuliah. Aku punya harapan besar
kepadamu,” kata Kyai Makmun. “Jadikan peristiwa ini sebagai pelajaran
hidup. Jangan terpedaya oleh nafsumu. Kuasai, kendalikan baik-baik,”
lanjutnya lagi.
Harus dengan apa aku berterima kasih kepada
guru-guruku ini. Pak Kyai Makmun mengantar langsung ke sini. Lalu, Kyai
Bahruddin menganggapku seperti anaknya sendiri. Mereka mengajarkan aku
makna ikhlas dan tingginya kasih sayang. Meski aku bukan anak biologis
dari mereka, namun aku begitu membapakkannya. Ada ikatan batin yang
sukar dijelaskan akalku. Pasti ada tujuan lain Kyai Makmun mengantarkan
langsung ke rumah Kyai Bahruddin. Ini berarti, aku memang telah diusir
dari Pondok Gading, tapi Pak Kyai justru memindahkanku ke pondok Kyai
Bahruddin untuk memperdalam ilmu yang lain. Rasanya, ini bukan lagi
pengusiran. Bukan pula hukuman. Aku menganggapnya sebagai hadiah
kenaikan kelas bagi pendidikan ruhaniku yang sedang galau.
Kesadaranku belum utuh. Aku masih belum bisa mengingat rincian kejadian
mengapa aku berada di rumah Pak Kyai Bahruddin. Masih rumit untuk
disambung-sambungkan. Apakah aku dianggap sudah gila? Mengapa Pak Kyai
Makmun berubah pikiran hingga mengirimku kemari? Apa yang terjadi saat
aku mendengar berita kematian Putri Hanum? Apakah aku membuat repot
semua orang di pondok? Apakah Pak Kyai Makmun sudah memberi kabar
orangtuaku? Aku tak tahu.
Gus Kholid belum menceritakan
peristiwa kemaren. Sayangnya dia harus pulang ke Pondok Gading menemani
Pak Kyai Makmun pulang ke pondok. Sementara aku ditinggal sendiri di
kamar ini.
***
Aku sadar bahwa kematian bukanlah tragedi.
Kematian adalah sebuah kepastian yang tak bisa dihindari oleh siapa pun.
Kita hanyalah makhluk yang fana. Mengingkari datangnya kematian adalah
pengkhianatan terhadap diri sendiri. Melalaikannya adalah sebuah
kemunafikan.
Aku tak mampu mengendalikan diriku sendiri saat
mendengar berita kematian Hanum bukan karena aku menolak takdir-Nya. Aku
justru ingin berdamai dengan kematian. Aku bahkan ingin menukar nyawaku
dengan kematiannya. Atau mati bersamanya. Begitu juga saat anganku
melayang, saat memegang dan mencium sapu tangan merah jambu milik Hanum,
aku tiba-tiba saja melayang-layang. Aku tak bisa menjelaskan secara
ilmiah. Jiwaku langsung tersedot pada kekuatan di balik sapu tangan itu.
Kurasakan ini berulang-ulang. Setiap kali kucium sapu tangan ini, saat
itu pula aku bertemu Hanum. Sungguh, sesuatu yang sukar dijelaskan oleh
akal sehat.
Malam ini, aku beranikan diri untuk membuka surat Allahu yarham Putri Hanum yang dititipkan melalui Ustazah Maryam kemaren.
“Subhanallah. Ini bukan suratnya, tapi surat yang pernah kutulis
untuknya,” bisik hatiku. “Surat ini hanyalah kutipan syair dari Bahisah
Al-Badiyah (w 1337 H) dari pesisir Iskandariyah, Mesir. Aku kirimkan
untuknya, karena dia layak menerimanya. Dialah gadis pantai pesisir laut
selatan yang paling layak menerimanya,” aku mulai menerawang wajahnya.
“Ya Allah, ampunilah dosa dan kesalahannya. Terimalah amal ibadahnya.
Dekaplah ia dalam pelukan kasih-sayang-Mu.”
Aku membolak-balikkan
kertas itu berkali-kali. Ini adalah surat pertama yang kukirimkan
untuknya. Syair ini sama-sama kita pelajari di kelas. Sebagian santri
akhir menghafal bait-baitnya. Dengan kesadaran penuh, aku menulis itu
sebagai hadiah. Aku hanya menulis sesuai syair, tak menambah atau
menggubah sedikit pun. Namun, dari situ aku berhasil menangkap sinyal
jawaban darinya. Untuk pertama kalinya, aku tahu bahwa dia pun punya
getar cinta yang sama denganku. Meskipun syair itu adalah ungkapan orang
lain, karya sastra orang lain, namun Hanum berhasil menangkap pesan di
balik surat yang kukirimkan.
'Azizatii ya sayyidata Balsam...
Uhayyiki…walau lâ burûdatul bahri la-l-tahabtu ilaiki syauran
Walaula tashaburi lathirtu ilaiki hubban
Wa inni lam yunsini shafâu-s-samâ' shafâu wuddiki wala riqqah nasim
riqqah hadistiki, innamâ syajanii wa dzkaranî wa lam akun nâsian
Duhai kekasihku, Tuan Putri Balsam.
Kukatakan kepadamu, kalaulah bukan karena dinginnya air laut, maka aku telah datang kepadamu dengan penuh kerinduan.
Kalau bukan karena kesabaranku, aku telah terbang menggapaimu dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang.
Jernihnya langit tak sejernih cintamu, indahnya hembusan angin tak seindah ucapanmu
Sungguh, semua itu membangkitkan selalu kerinduanku kepadamu. Tak akan pernah terlupakan.
Habibatî,
Laitaki kunti ma'i taraina thabî'ata bijamâliha
Taraina-l-bahr yazkharu ka-rra'di,
Wa al-amâwaj tatalâdhamu zarafât wa wihdanâ.
Shafâun fi-ddahri wa shafâ' fi-ssamâ'i kaannahumâ qalbana
Wa tasma'ina taghrida-th-thuyur wa hafiifa-l-asyjâri.
Innaha-la'amartuki-manâdhiru tulhi-l-mar'a.
Walakin hayhâta limistli antalhawa, wa hiya ta'alimu mâ yukinnuhu-d-dahru wama yukhbiuhu-l-lailu wa nnaharu
Taqabbalî minnî ahhar qubulatî wa awfaru asywaqî
Duhai Kekasihku…
Andai kau bersamaku, engkau dapat melihat indahnya pemandangan
Engkau dapat melihat lautan menggelegar layaknya petir
Dan, gulungan ombak saling berhantaman
Jernihnya lautan sejernih langit, begitu juga hati kita
Kau dapat mendengarkan indahnya kicau burung dan lambaian pepohonan.
Sungguh, itu adalah pemandangan yang membuat tiap manusia terlena.
Tapi, aku tidak mungkin terlena, karena aku mengetahui apa yang
tersembunyi di dalam waktu, dan apa yang tersembunyi di saat siang dan
malam.
Terimalah salam hangat dan rindu beratku.
-----BERSAMBUNG PART 5-----
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1659662020750392
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment