Oleh: Halim Ambiya
Gus Kholid mengejarku menuju asrama. Sementara mata-mata lain terus
mengintai. Pasti ada yang sedih dan gembira. Ada yang menangis dan
tertawa. Ada duka dan cemooh dalam waktu yang sama. Apalah artinya untuk
diriku ini. Nasi telah menjadi bubur. Berita telah menyebar: “Thariq
Diusir! Thariq Diusir!”
Beberapa santri berhambur keluar kamar
sejurus kehadiranku di asrama itu. Mungkin mereka memberi kesempatan aku
berkemas. “Selamat tinggal pondokku,” bisik batinku menyapu semua sudut
ruangan. Masa 4 tahun di pondok adalah segalanya. Disinilah aku mengeja
alif-ba-ta, merenda hari-hariku dengan menghafal ayat-ayat Ilahi,
berlomba mengejar antrian makan, menunggu datangnya wesel dan pos, dan
disinilah aku mengigaukan mimpi-mimpi indah masa remaja.
Sungguh
terasa berat. Tanpa sadar aku bersenandung bait puisi Abu Nuwas: Ilâhî
lastu lil-firdausi ahla, wa lâ aqwa ‘alâ an-nâr al-jahîm (Ya Allah, aku
bukanlah ahli surga, namun aku tak mampu menanggung siksa api neraka).
Syair ini tiba-tiba merasuk ingatanku meski belum saatnya terlontar.
Sebuah syair puji-pujian bagi santri di Masjid Darurraskhin sebelum
shalat sebagai tradisi pondok kami.
“Ilâhî lastu lil-firdausi ahla, wa lâ aqwa ‘alâ an-nâr al-jahîm.”
“Jangan lupa mampir kantor. Pamitan ke ustaz-ustaz,” tegur Gus Kholid
menghentikan senandungku. Kujawab dengan anggukan pelan sambil
memasukkan pakaian ke tas. Kulihat dia pun tak berharap banyak jawaban.
Sahabat suka dan duka ini tampak gelisah. Dia masih tetap berdiri resah.
Lalu, monda-mandir, tak tahu apa.
Rizki dan Marwan pun menemuiku
tergesa-gesa. Keduanya kakak kelasku. Merekalah yang dulu merawatku
saat sakit selama dua bulan di pondok. Tak banyak kata terucap. Hanya
pelukan dan isak tangis mewarnai ruangan. Kami berjanji untuk tetap
saling berkirimsurat.
“Aku pamit dulu. Mau belanja ke pasar.
Nanti kabar-kabari ya,” kata Rizki. Sekali lagi dia tatap mataku.
Memastikan bahwa aku kuat. Lalu berlalu pergi. Aku maklum. Rizkilah yang
ditunjuk oleh Pak Kyai menjadi pembantu umum di dapur. Dia adalah
santri senior yang bertugas untuk belanja mingguan, mengurus ternak
milik pondok, dan segudang tugas bersih-bersih di dapur umum.
Persahabatan dengannya tak bisa diceritakan satu atau dua semester.
Sesama santri, senasib-sepenanggungan, segelas-sepiring, dan
sebantal-setikar. Selama empat tahun kita minum dari sumber air yang
sama. Menghirup udara pondok yang sama.
Dalam batin aku
menjerit, “Aku tak bisa jadi teladan. Kesalahanku wajib dijauhkan dari
santri-santri lain. Aku pendosa. Pelanggar aturan pondok,” hatiku
bergetar. Kakiku lemas. Seolah-olah salam dan pelukan mereka adalah
caci-maki buat diriku.
Aku adalah pagar yang makan tanaman.
Akulah orang yang dikutuk dalam Al-Qur’an: Kabura maqtan ‘indallâhi
antaqûlû mâ lâ ta’malûn (Sungguh besar kebencian di sisi Allah bahwa
kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan). Di pondok ini,
sebagai santri tahun akhir, aku telah diberi amanah untuk memimpin
organisasi santri, ditugaskan untuk membantu Pak Kyai dan para ustaz
untuk mengurus santri-santri junior, namun aku sendiri menjadi pelanggar
utama rambu-rambu pondok. Aku diusir dari pondok ini karena ketangkap
tangan berpacaran dengan sesama santri. Surat-surat cintaku disita Pak
Kyai. Aku telah mempermalukan Pak Kyai. Memalukan para ustaz. Aku adalah
noda hitam pondok ini. Aku adalah contoh paling tepat untuk sebuah
kegagalan pendidikan pondok ini.
Tak termaafkan. Aku berhubungan
terlarang dengan sesama santri. Aku masih menangkap tanda kemarahan para
ustaz di kantor itu. Sorot mata mereka adalah hukuman luar biasa.
Kebisuan mereka adalah pukulan telak yang menjatuhkanku. Aku adalah
seonggok daging tak berharga, yang berjalan tanpa nyawa di hadapan para
ustaz di kantor itu.
“Ambil surat-suratmu ini! Simpan saja buat
kamu,” kata Ustaz Kahar sambil menyodorkan surat-surat cintaku yang
pernah kutujukan untuk Putri Hanum. Aku cukup tegang dibuatnya.
Pelan-pelan kuraih dengan tanganku.
“Kalau mau simpan, simpan
saja! Kalau mau bakar, bakar saja. Aku tak mau mengotori tanganku,”
katanya lagi sambil menyerahkan kepadaku. Kulihat matanya memerah.
Tangannya agak bergetar. Tampak betul, ustaz ini tak sebanding dengan
kelembutan hati Pak Kyai.
Ustaz Fatih dan Ustaz Basit pun
mencibirku. Mereka mengeroyok ketidakberdayaanku. Setelah hubungan
pacaranku dengan Putri Hanum terbongkar mereka memang yang paling keras
terhadapku. Kini mereka persis di hadapanku. Mereka duduk berjajar di
ruang kantor. Kata-kata Ustaz Kahar terus teringiang-ngiang di kepalaku.
Aku tersinggung. Tapi tak berdaya. Padahal, meski surat-surat
itu dibakar, mereka tak akan bisa menghilangkan keindahan makna cinta
yang kupersembahkan kepada Hanum. Kedalaman cintaku tak pernah menjadi
abu. Tumpukan surat cinta hanya jadi bara apinya saja, tapi ruh cintaku
adalah rasa panas itu. Semakin terbakar, semakin terasa.
Saat
aku berjalan menghampiri Ustaz Nur, persis pada saat aku mengulurkan
tanganku untuk berjabat tangan, aku menyenggol tumpukkan kitab di atas
meja. Kulihat kitab Bidayatul-Hidayah dan Al-Adzkar An-Nawawi terjatuh
karena tanganku. Segera kubereskan dengan sisa-sisa kobaran cintaku.
Mereka boleh saja membakar hatiku, namun aku menikmati kobarannya. Entah
mengapa, pemberontakan kecil dalam hatiku ini mucul di depan mereka.
Tak terjadi saat aku di depan Pak Kyai.
Aku keluar dari kantor
itu layaknya narapidana. Seperti dihukum seumur hidup. Tapi, di langit
cinta tak berbatas, aku sanggup mempertanggungjawabkan kesucian cintaku
kepada Sang Maha Cinta. Ini jalan cintaku. Perseten mereka mencibirku.
Aku punya hak memilih. Dosaku itu terletak pada badan wadagku yang tak
mampu mengendalikan gelora nafsuku. Tapi, rasa cintaku adalah hakikat
keabadian yang tak dapat dibeli atau dijerat hukum buatan manusia.
Cintaku adalah unsur keabadian dalam hatiku. Anugerah langsung dari Sang
Cinta. Maka, jangan pernah paksa aku membuang rasa cinta kepada Putri
Hanum.
Sampai kapan mereka akan mengingatku sebagai pelanggar
peraturan? Satu tahun, dua tahun, atau sepuluh tahun? Sampai kapan
memori mereka menyimpannya? Tapi, jangan tanya berapa lama cinta ini
akan bersemayam di hatiku. Secara syariat, aku memang bersalah. Aku
harus menanggung hukuman. Lalu, apakah mereka mampu melenyapkan hakikat
cintaku? Tidak! Sekali lagi tidak!
Aku memang tidak berzina
besar, tapi aku sudah mendekatinya terlalu jauh. Kusadari itu
sepenuhnya. Kejahatan terbesarku adalah aku berpacaran. Di pondok ini,
santri tak boleh berpacaran. Tak perlu ada pembelaan. Dalih apa pun tak
bisa dibenarkan untuk membelaku. Aku adalah pendosa yang harus
disingkirkan. Jika tidak, akan merusak tata nilai dan mengotori kesucian
pondok. Tapi, sanggupkah mereka melarang benih-benih cinta dalam hati?
Apakah mereka tahu kapan tunas itu tumbuh? Mungkinkah pesona cinta dalam
hati kepada lawan jenis dapat dibendung saat bergetar? Huh! Mereka
hanya tahu permukaan. Merasa mampu melihat kedalamannya, padahal tidak
sama sekali.
***
Aku tak ikut shalat Zuhur berjamaah di masjid. Aku ingin rukuk dan sujud terakhirku disini, di kamar ini.
“Hanum sudah dipulangkan,” bisik Gus Kholid setelah kuselesaikan shalatku.
“Kapan? Kenapa aku nggak diberitahu?” tanyaku kaget.
“Dari sejak subuh.”
“Siapa bilang?”
“Ustazah Maryam.”
“Siapa yang antar?”
“Ustazah Uswah.”
“Hmmm. Kejam sekali,” bisikku. Aku tak boleh bertemu sama sekali. Tak
boleh mengucap salam perpisahan. Tak boleh ada hubungan di luar pondok.
Tak boleh lagi ada cinta. Berarti hubungan kami terlarang meski di luar
pondok. Ada apa ini? Mengapa bisa begitu?
“Gus, aku titip sebagian buku-buku ya,” kataku.
“Iya. Nanti aku simpan,” jawab Gus Kholid dengan isak tangis.
Pelukan Gus Kholid cukup keras. Lebih terasa dekapan perpisahan.
Apalagi saat dia membisikan salam perpisahan. Terasa berbeda daripada
yang lain.
“Pak Kyai pasti kehilangan tukang pijat
kesayangannya,” bisiknya lagi. Saat itu, aku menganggapnya sebagai
hiburan. Sekadar tombo ati. Layaknya bunga-bunga tidur. Karena aku tahu
persis banyak orang membenciku. Terutama mereka yang tak ingin aku dekat
dengan Pak Kyai. Tentu mereka menertawakan aku sekarang. Pasti gosip di
dapur, sumur, dan kamar kian kencang membicarakan aku. Bahkan, boleh
jadi mereka sudah berharap aku terusir sejak dulu. Pondok ini hanya
sejengkal bagi sebuah gosip. Meski luasnya 4 hektar lebih. Isu mudah
menyebar ke 300-an santri. Bahkan kuncing mencuri ikan pun ketahuan
seisi pondok.
“Mengapa Pak Kyai melarangku bertemu Hanum barang sebentar saja?” aku terus bertanya-tanya.
“Sudahlah. Jangan dipikirkan.”
“Mereka sengaja memisahkan. Hanum diantar pulang sejak subuh. Aku pun
akan diantar Ustaz Jamal. Kita dilarang bertemu di jalan.”
“Mungkin maksudnya baik. Kamu kan bisa datangi rumahnya nanti,” katanya
pelan. Sambil merogoh saku celananya. “Ustazah Maria menitipkan ini,”
katanya. Gus Kholid menyerahkan sapu tangan kepadaku. Aku cukup kaget
dibuatnya. Itu adalah sapu tangan milik Hanum.
“Alhamdulillah.
Terima kasih, Gus. Sampaikan juga terima kasih untuk Ustazah Maryam.”
Aku gembira. Sapu tangan ini sudah lebih dari cukup. Setidaknya untuk
meredam kegalauanku saat ini. Aku mencium sapu tangan warna merah jambu.
Keharumannya melebihi kasturi. Wangi dari surga keabdian. Rasa ini
hanya milikku. Rasa yang menusuk jiwaku. Menenangkan. Mendamaikan.
Ternyata, Hanum menitipkan secarik kertas kecil di sapu tangan ini.
Ustazah Maryam sungguh pengertian. Padahal, dia pun bisa dipersalahkan
jika ketahuan mengirim “barang terlarang” ini kepadaku. Karena,
penerima, pengirim dan pengantar surat cinta di pondok mendapat
hukumannya masing-masing. Dia berani berkorban demi aku.
Beberapa saat kemudian, Ustaz Jamal menghampiri kami.
“Ayo. Kita berangkat sekarang. Kita makan di stasiun saja,” katanya.
“Aku sudah siap, Ustaz.”
“Ok. Yuk, jalan.”
Saat aku berjalan keluar gerbang pondok, puluhan santri junior
berbodong-bondong menemuiku. Mereka berebut salaman. Disinilah tangisku
tak terbendung lagi. Aku, yang hina ini, mendapat ucapan “Selamat
tinggal” dari adik-adik kelasku. Puluhan santri dari arah masjid pun
melambai-lambaikan tangan. “Ma’a salamah! Ila-liqa ya akhi” (Sampai
jumpa. Sampai bertemu lagi saudaraku)
Langkah demi langkah aku
dan Ustaz Jamal menjauhi pondokku. Sayup-sayup suara gaduh santri antri
di dapur umum untuk makan siang pun mulai menghilang dari telingaku.
Untuk menuju jalan raya, kami harus berjalan kaki sekitar 200 meter.
Lalu, menerobos rel kereta api untuk menuju Stasiun Kroya.
Tak
henti-hentinya aku beristighfar dalam hati. Untuk menguatkan langkah
kaki ini. Dengan begitu aku punya kekuatan menghadapinya. Sapu tangan di
sakuku menjadi bahan bakarnya.
Tiba-tiba, kudengar suara khas
mobil Pak Kyai. Suara mobil Land Rover Defender 2.5 Manual 1977 SUV.
Kendaraan pribadi milik Pak Kyai yang mudah dikenali oleh warga pondok
dan warga sekitar Kroya.
Aku dan Ustaz Jamal menepi ke sisi
jalan. Menunduk dan memberi hormat kepada orang yang kami hormati
berlalu. Kulihat dari jauh Pak Kyai ditemani Rizki. Tiba-tiba, mendadak
mobil itu berhenti. Aku dan Ustaz Jamal pun menghampiri pintu depan
mobil. Pikirku, aku bisa bersalaman lagi kepada beliau.
“Ustaz, jangan pulang sekarang. Balik ke pondok lagi,” kata Pak Kyai kepada Ustaz Jamal.
“Oooh.” Ustaz Jamal terbengong.
Aku pun bertanya-tanya. Tapi, aku tetap menunduk. Ustaz Jamal pun bingung.
“Sudah pulang lagi!” kata Pak Kyai.
“Baik…Baik, Pak,” jawab Ustaz Jamal.
“Mungkinkah aku diampuni? Ada apa ini? Mengapa secepat itu?” bisikku
dalam hati. Husnuzhan untuk menenangkan batinku saat itu. Setidaknya
harapan itu masih ada. Tapi, mengapa wajah Pak Kyai tampak tegang?
Mengapa kelihatan terburu-buru?
Aku masih menunggu. Pak Kyai pun keluar dari mobil. Diikuti pula oleh Rizki. Mendekat ke arahku. Aku bingung.
“Ada apa, Pak?”
Pak Kyai bungkam sesaat. Ustaz Jamal melongo. Lalu, kami saling pandang. Saling menunggu. Menerka jawaban.
“Hanum kecelakaan. Sebaiknya pulang ke pondok dulu,” katanya pelan.
Wajahnya mengisyaratkan berita yang tak akan sanggup kudengar. Hanya
kata-kata itu yang kuingat.
Sejak itu, aku tak ada. Lenyap begitu saja. Hilang.
-BERSAMBUNG PART 3-
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1658246320891962
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment