Oleh Halim Ambiya
Maryam memandangku aneh. Menyentuh pundakku
dengan jarinya yang lentik. Lalu, melepasnya kembali dengan ragu. Demi
sopan santun, aku hanya diam menunggu. Selang beberapa saat, Maryam
melanjutkan ceritanya. Aku kaget dibuatnya. Menurut penuturannya, kini
Kahar menjadi pengikut gerakan NII (Negara Islam Indonesia): kelompok
bawah tanah yang bercita-cita mendirikan negara Islam di Indonesia. Aku
tak asing dengan gerakan ini, sejak di desaku atau saat kuliah di
Ciputat, aku sering berdiskusi soal itu. Bahkan sering berhadapan
langsung dengan kelompok ini untuk berdebat panjang soal konsep negara.
“Bagaimana mungkin orang seperti Ustaz Kahar bisa tergoda NII?!” tanyaku.
“Tak tahulah. Ceritanya panjang. Ini boleh jadi karena tekanan ekonomi.
Dulu sempat bangkrut usaha. Mungkin karena perceraian dulu. Aku kan
istri keduanya. Terus, sekarang kita belum punya anak padahal sudah
menikah 8 tahun. Pasti membuat dia terpuruk.”
Hmmm. Aku
mendengarkannya serius. Wanita di depanku memang mau curhat. Aku tak
bisa menolaknya. Lebih baik menjadi pendengar setia. Aku mengenal Kahar
belasan tahun lalu, pasti ada banyak perubahan.
“Aku sudah berusaha membujuk, tapi dia keras kepala. Sering memaksakan kehendak,” kata Maryam sambil mulai menangis.
“Hahaha. Sudahlah, namanya juga Kahar. Kahar kan artinya “pemaksa,”
pasti selalu memaksa,” kataku membuat suasana cair. Namun, usahaku
gagal. Maryam semakin keras menangis. “Dia sering memukul. Dia jahat.
Tampak alim kalau di depan jamaah doang,” katanya lagi.
“Hmmm.”
“Dia sering memaksa aku ikut aktif di jamaahnya. Dia dengan mudah
menuduh orang lain bid’ah dan kafir. Kita dianggap masih di era
jahiliyah yang harus memperjuangkan negara Islam sendiri. Aku bingung
harus bagaimana. Tersiksa sekali, Matin,” tuturnya.
Konon Kahar
melanjutkan kuliah di Kuala Lumpur atas biaya dari kelompok itu. Aku
sering mendengar kelompok garis keras ini mempunyai pendanaan besar dan
bisa dengan mudah memberi beasiswa. Mungkin, Kahar termasuk orang yang
dianggap perlu untuk dikader.
“Setahuku, jarang sekali anak dari
pondok terjebak pada aliran garis keras. Karena mereka sudah terbiasa
berdiskusi dengan perbedaan khilafiyah berbagai mazhab fiqih. Apa dia
tidak memahami kitabnya Ibnu Rusyd, Bidayatul-Mujtahid? Dimana ajaran
nasionalisme pondok dulu? Kahar bahkan marah besar saat santri tak
menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum acara pondok? Dengan siapa dia
bergabung dengan NII?” tanyaku.
“Aku tak tahu. Setahuku awalnya
dia hanya terjebak. Dia sering dipanggil mengisi ceramah di kelompok
itu. Lalu banyak kenal dengan petinggi-petinggi NII. Aku tak tahu ini
kubu NII apa atau dengan kelompok mana Kahar bergabung? Tapi, yang
jelas, kini dia dapat uang bulanan rutin, dianggap terpandang di antara
jamaah mereka,” tutur Maryam dengan isak tangis.
“Hmmm.”
“Aku
ingin mempertemukan kamu dan dia. Aku pikir, hanya kamu alumni pondok
yang sanggup mengimbangi argumentasi saat berdebat. Apalagi beberapa
kali dia pergi ke Haurgeulis. Itu kan daerah dekat kampungmu. Aku takut
dia terlalu jauh,” katanya lagi.
“Apakah kamu yakin, itu kelompok NII?”
“Aku belum pasti. Tapi, feeling-ku mengatakan itu NII. Jamaah mereka
dari rumah ke rumah. Majelisnya tak pernah diadakan di masjid. Aku
sering mendengar sebutan “Bupati atau camat” kepada salah satu jamaah
yang sering hadir. Tapi kulihat, dia hanya pengusaha biasa, bukan
pegawai negeri atau anggota dewan. Terus biasanya, setiap ada majelis
mereka mengumpulkan uang setoran, semacam pajak bulanan.”
“Hmmm.”
“Dia pikir membawaku ikut kemari juga karena dia mau memisahkan aku
dengan keluargaku yang lain. Aku binging. Aku minta tolong, selamatkan
Kang Kahar, Matin,” pinta Maryam dengan mengiba. Aku lihat permintaannya
serius. Sangat serius hingga membuatku pesan kopi dua kali untuk
mendengarkan cerita sedihnya.
“Insya Allah, aku bantu. Aku hanya
heran, mengapa orang seperti Kahar bisa tergoda. Biasanya orang yang
terjerumus ke kelompok garis keras dan sejenisnya itu dari kalangan
umum. Bukan anak pondok seperti kita. Makanya, maraknya Islam garis
keras justru di kampus umum, bukan dari kalangan IAIN, UIN atau kampus
Islam yang mahasiswanya punya basis pesantren,” tuturku.
Aku ikut
prihatin mendengar cerita harunya. Tak menduga bisa seperti itu. Kafe
Bukit Bintang ini hanya menjadi saksi bisu pertemuan kami. Sebuah
pertemuan anak manusia yang dilahirkan oleh keadaan, dengan bisikan hati
tersembunyi, saling menjaga rasa dan jarak. Lalu menitipkan pesan kasih
lewat mata atau tarikan nafas. Meski dalam diamku dan diamnya kita
adalah kuda liar yang berharap lebih.
Aku mulai menangkap
getaran-getaran aneh dari balik tubuh Maryam. Di antara kursiku dan
kursinya seolah ada sesuatu yang menghubungkan, seperti bayangan halus
yang menggoda kesadaranku. Lalu sekejap hilang, sekejap hadir. Apalagi,
saat Maryam menghapus airmatanya dengan sapu tangan yang mirip dengan
sapu tangan milik Hanum. Aku mulai gelisah dan ingin segera meninggalkan
tempat itu.
Suasana kafe itu semakin terasa romantis. Hatiku
makin kacau tak menentu saat alunan lagu Endless Love, Luther Vandross
feat Maria Carey menggema di ruangan itu. Aku jadi salah tingkah. Lagu
ini seperti sengaja diputar untuk pertemuan ini.
My love
There’s only you in my life
The only thing that’s right
Cintaku.
Hanya ada kamu dalam hidupku.
Satu-satunya yang nyata.
My first love
You’re every breath I take
You’re every step I make
Duhai cinta pertamaku
Kaulah setiap nafas yang kuhirup
Kaulah setiap langkah yang kuambil
And I
I want to share
All my love with you
No one else will do
And your eyes (your eyes, your eyes)
They tell me how much you care
Oh yes
You’ll always be
My endless love
Dan aku,
Aku ingin berbagi
Semua rasa cintaku bersamamu
Tak ada seorang pun yang akan melakukannya
Dan matamu (matamu, matamu)
mengungkap begitu besar kau peduli padaku.
Oh ya
Kau akan selalu
Menjadi cintaku yang tak pernah berakhir
“Ini bahaya. Ini ketidaksengajaan yang tidak perlu terjadi disini,”
bisikku dalam hati. “Jujur kuakui, sebenarnya ingin rasanya aku
memeluknya. Menghapus airmata dukanya. Aku ingin melindunginya. Seolah
Maryam berwajah Hanum, duduk di depanku. Disini di tempat ini. Ini
berbahaya. Aku seolah ditarik kuat untuk mendekatinya. Astaghfirullah,”
bisikku lagi.
Ya Allah, aku menangkap sosok Hanum di dekatnya.
Karena itu, segera saja kuucapkan basa-basi perpisahan. Aku harus
meninggalkan Maryam sekarang juga sebelum semuanya terlambat. Aku ingin
segera bertemu Yasmin dan Sean. “Tak baik aku berlama-lama disini. Aku
pun punya masalah yang lebih besar. Yasmin tak boleh sendirian. Masalah
Razi harus segera diselsaikan. Bang Faizal tidak boleh bertindak
gegabah,” bisikku lagi.
“Maaf, aku tak bisa mengantarmu,” kataku.
“Tak apa. Aku naik taksi,” jawab Maryam sambil melambai, lalu menghilang di balik trotoar Bukit Bintang.
***
Sepasang bola mata indah menggoda darah kelaki-lakianku. Wajahnya tak
asing bagi jiwaku. Senyum yang pernah merontokkan lahir batinku kala
itu. Menarik dalam buai rindu tak disangka. Dalam lelap bersama lampu
temaram di kamarku. Aku terbang dalam mimpi indah ke puncak Bukit
Damansara, di sekitar Baujan kesukaanku, aku melihat Hanum. Ya aku
melihatnya dengan jelas. Berkelebat dengan gaun serba putih di antara
rimbun pepohonan. Lalu suara kicau burung mencuit-cuit kehadirannya. Aku
melihatnya melepas kerudung, rambutnya hitam pajang terurai, wajahnya
pucat tapi berseri, tersenyum manis sekali. Aku heran mengapa dia
melepas kerudungnya di situ di bawah pohon trembesiku?
Aku belum
pernah melihat rambutnya sebelum ini. Aku mencintainya bukan karena
dorongan syahwat atau bentuk fisiknya. Sejak semula ketertarikanku
kepadanya karena merdu suaranya, manisnya tutur kata, kepandaian,
keramahannya, dan karena besarnya perhatiannya kepadaku. Indah cita dan
harapannya justru membuatku semakin jatuh cinta kepada Hanum. Harapan
untuk merenda hidup bersama, menyosong fajar rumah tangga dengan
semangat kepondokan yang kami sanjung. Hubungan cinta kami adalah
hubungan cita. Hakikat cinta kami adalah ruh cinta Ilahi yang tertanam
dalam kesederhanaan kemanusiaan kita. Inilah mengapa kami harus
menjalani hubungan cinta terlarang di pondok dulu.
“Kli-kli-kli-kli-kli.”
“Klii-iiw. klii-iiw. klii-iiw.”
Keherananku semakin menjadi-jadi saat kulihat seekor burung hingga di
tangkai di dekat Hanum berdiri. Lalu mendekati dan menunduk sambil
menggoyang-goyangkan sayapnya. Perhatianku justru berpusat pada burung
aneh itu. Aku melihatnya terbang berkelibat memutar tubuh Hanum dan
hingga di tangkai pohon yang lebih dekat dengan hanum. Kepala burung itu
berwarna coklat kemerahan dengan jambul yang cukup tinggi dan menonjol.
Jambul hitam dengan ujung berwarna putih. Ada semacam mahkota dan kumis
berwarna hitam. Aku terus mengamati burung itu. Punggungnya dan
sayapnya berwarna coklat agak gelap. Sedangkan tengkuknya berwarna
coklat kekuningan. “Burung apa ini? Tampak gagah dan gesit,” tanyaku?
“Ahhh. Ini sejenis elang. Ya ini Elang Jawa (Nisaetus Bartelsi),”
bisikku lagi. Burung langka kebanggaan masyarakat kita. Ini sudah bisa
dipastikan Elang Jawa. Aku semakin mendekat ke arah Hanum dan burung
itu. Tapi, aku seperti mengambang mendekatinya, tak menyentuh tanah. Aku
lihat Hanum seperti berbicara dengan buruh itu, dia berbisik dengan
bahasa yang tidak kumengerti. Kulihat kerongkong berwarna
keputih-putihan bergaris hitam membujur ke arah tengah.
Seperti
pola garis berbuku, ke arah bawah, ke arah dada, bercak-cekak warna
hitam menyebar di atas warna kuning kecoklatan. Pola garis itu menyebar
melintang merah sawomatang di atas bulu-bulu perut dan kaki burung itu.
Kulihat ekornya memiliki paduan unik yang membuat kesan burung ini
lincah, tapi juga perkasa. Ekornya berwarna coklat dengan empat garis
melintang ke sisi bawah dengan ujung ekor bergaris putih namun agak
tipis.
Tiba-tiba, burung itu menoleh ke arahku dan
menggerak-gerakkan sayapnya, seakan menunjukkan keperkasaannya di
hadapanku. Hanum tersenyum seperti mengarahkan burung itu untuk
menunjukkan kebolehan, lalu mengangguk kepada si burung. Aku kaget,
ketika burung itu tiba-tiba terbang dengan sekali kepakan persis di
depanku, lalu hinggap di pundakku.
“Hmmm. Hanum dan Elang Jawa
di Damansara?” bisikku dalam hati penuh heran. Persis pada saat aku
menoleh ke arah Hanum dan mau bertanya kepada Hanum, “Apa kabar,
sayang?” Aku terbangun. Huhhh. Ini hanya mimpi. “Ya Allah, aku belum
sempat bicara? Belum mengetahui kabarnya. Belum menyentuh rambutnya.”
Aku berusaha memejamkan mata lagi, berharap dapat menyembung mimpiku
lagi. Aku membaca shalawat dan doa-doa yang pernah diajarkan oleh Kyai
Bahruddin agar bisa bermimpi indah di dalam tidur. Cukup lama tubuhku
diam dan tak bergerak, lalu hening seperti mau tidur, aku tak berhasil
mendapatkan sambungan mimpiku lagi.
Aku segera pergi ke kamar
mandi untuk mengambil wudhu. Aku pernah dengar dari kawanku, jika ingin
menyambung mimpi yang pernah terputus, maka kita bisa mencobanya dengan
berwudhu, lalu bershalawat dan doa agar minta disambungkan dengan mimpi
sebelumnya. Namun setelah lama aku terbaring, aku tak mendapatkan
mimpiku lagi.
Aku bermunajat, “Ya Allah, ini adalah mimpi
pertama kali aku melihat Hanum setelah 12 tahun. Ya Allah, tolong
kembalikan lagi mimpiku. Mengapa hanya sebentar? Aku belum sempat
bertanya apa pun. Aku bahkan terhalangi oleh keindahan Elang Jawa di
sisi Hanum. Ada apa ini? Mengapa Kau uji aku lagi dengan keindahan
pesona Hanum? Ya Allah, kembalikan mimpiku,” bisikku lagi sambil tetap
terbujur kaku di samping Yasmin dan Sean yang pulas.
Kulihat jam
masih menunjukkan pukul 12.30 malam waktu KL saat tiba-tiba kudengar
handphone-ku berdering kencang. Segera kuhampiri sumber suara, di meja
sisi kanan kamarku. “Siapa malam-malam begini menelpon,” tanyaku dalam
hati. Kulihat nomernya tak terdaftar, dengan rangkaian nomer berderet
panjang. Biasanya nomer seperti ini panggilan dari luar negeri yang
namanya tak terdapat pada nomer kontak HP-ku.
“Assalamualaikum, Bro. Apa kabar?”
“Wa’alaikum salam. Alhamdulillah baik. Maaf, siapa ini?”
“Aku Kholid…Alhamdulillah, akhirnya tersambung juga.”
“Ya Salam, apa kabar Gus?”
“Maaf mengganggu. Bapakku kangen sama Njenengan. Padahal dia lagi sakit, tapi ngotot mau telpon.”
“Mana Bapak? Mana Pak Kyai, aku kangen juga.”
“Sebentar.”
Aku menunggu. Ternyata beliau merindukan aku. Ini pucuk di cinta ulam
pun tiba. Meski sebenarnya aku malu, mengapa dia dulu yang menelpon aku.
Mestinya aku yang menelpon Guru, bukan sebaliknya.
“Assalamua’alaikum. Piye kabare, Lek? (Apa kabarmu, Nak?)” Terdengar
suara Kyai Bahruddin parau. Diselingi batuk-batuk khas yang sering
kudengar dulu.
“Alhamdulillah, baik Pak Kyai. Bapak sakit apa?”
“Alah, sakit apa. Ini biasa. Wong urip ya biasa. Sing penting koe
ngerti Gusti Allah mboten sare (Orang hidup ya biasa. Yang penting kamu
tahu Gusti Allah tak tidur).”
“Wonten wangsit nope Pak Kyai?
Wonten berita nopo, tiba-tiba telpon kulo (Ada wangsit apa, Pak Kyai?
Ada berita apa, kenapa tiba-tiba telpon aku? Maaf aku jarang telpon.”
“Wingi aku ngimpi koe Lek (Kemaren aku bermimpi kamu)” ucapnya pelan sambil diiringi batuk.
“Mimpi apa Pak Kyai. Koq bisa?!” tanyaku penasaran. Seorang kyai yang
kuhormati tiba-tiba telpon menyatakan rindu dan bermimpi bertemu dengan
aku? Hmmm. Anugerah apa lagi yang akan aku terima.
“Ya mungkin
ini hanya bunga tidur. Tapi yo koe kudu ngerti. Aku ngimpi awakmu (Tapi
kamu tetap harus tahu. Aku mimpi kamu). Mungkin karena kangen lama nggak
ketemu. Aku dipeseni Rasulullah, koe kudu ketemu manuk elang jowo sing
daerah kulon gunung. Manuke apik lan gagah. Wis ngimpine mung kayakue
tok! (Aku diberi pesan oleh Rasulullah, kamu harus bertemu dengan Elang
Jawa yang berada di daerah barat gunung. Burungnya bagus dan tampak
gagah. Sudah cuma begitu mimpinya.”
“Subhanallah, apa maknanya
itu Pak Kyai?” tanyaku kepada Pak Kyai Bahruddin. Aku kaget. Mengapa
sambungan mimpiku ada di cerita mimpi Pak Kyai? Mengapa Kyai Bahruddin
mimpi seperti itu, tepat setelah aku bermimpi tentang Hanum dan Elang
Jawa di Bukit Damansara. “Sungguh hebat, Pak Kyai ini weruh sak sedurung
winara (Pak Kyai ini tahu sebelum suatu terjadi).”
“Aku baru
saja tadi mimpi..” jawabku cepat. Tapi, tiba-tiba Pak Kyai seolah
menghentikan ceritaku. “Sssttt. Koe sing tenang. Sing ikhlas. Ojo
grasah-grusuh. Koe pasti ketemu manuk kui. Ikhlas karo dzikirmu (Ssstt.
Kamu yang tenang, yang ikhlas. Jangan sembarangan. Kamu pasti ketemu
burung itu. Ikhlas dengan dzikirmu)” kata Kyai Bahruddin.
Aku
seperti sedang berada di hadapan Pak Kyai Bahruddin 12 tahun lalu.
Saat-saat khusus aku mendapat ajaran hikmah langsung darinya di masjid
Jatijajar.
“Tapi, aku wau ngimpi manuk kui, Pak Kyai. Elang Jowo
(Tapi tadi aku bermimpi burung itu, Pak Kyai. Elang Jawa,” kataku
menegaskan. Aku tetap ingin menceritakan mimpiku.
“Koe aja grasah-grusuh. Tafsir mimpie dudu kui (Kamu jangan sembarang. Tafsir mimpinya bukan itu,” katanya lagi.
“Maaf, Pak Kyai. Jadi, apa kira-kira tafsirnya menurut Pak Kyai?”
“Kamu harus renungkan sendiri. Sing jelas, manuk kue simbol tok (Yang
jelas burung itu hanya simbol). Sebenarnya ini mimpi yang kedua.
Sebelumnya, aku pernah mimpi persis seperti itu. Waktu koe masih mondok
nang umahku (Waktu kamu masih mondok di rumahku). Sengaja aku nggak
cerita. Tapi, hanya pesan sama kamu waktu itu untuk belajar di Jakarta.
Sebab, firasatku, koe kudu kuliah ning bang kulon (kamu harus kuliah di
daerah sebelah barat).”
Aku berusaha memahami nasehat Kyai
Bahruddin. Tak mau berdebat. Lebih baik aku berusaha mencerna sendiri.
Sungguh tinggi ilmu orang ini. Sejak dulu aku mengenalnya sebagai orang
yang pintar yang sering mendapat ilham melalui mimpi. Dari cerita sesama
santri, aku banyak mendengar karamah-karamahnya. Ternyata, sejak dulu
dia mengiringi aku. Dialah orang yang menganjurkan aku melanjutkan
kuliah di Jakarta. Dan, hebatnya itu berdasarkan mimpinya tentang aku.
Hmmmm.
Dia memintaku untuk membantu Pak Kyai Makmun di Kroya,
pondok yang pernah mendidikku selama 4 tahun. Padahal, komunikasi dan
silaturahmi di zaman ini sangat gampai, bisa pakai telpon, sms, facebook
atau email. “Aku memang lalai dan santri yang bengal,” bisikku dalam
hati.
“Aku dengar kamu tak pernah sowan ke Kyai Makmun. Kamu
sudah lupa pondokmu sendiri. Mestinya, kamu jangan putus silaturahmi.
Bantu semampumu. Tak mesti membantu dengan hartamu, tapi sumbangsih
pikiranmu itu jauh lebih penting. Orangtua itu pasti senang ditelpon
anaknya. Dia ingin dengar kabarmu secara langsung. Kamu juga bisa
berbagi ilmu sesama santri. Beri motivasi belajar buat santri yang lain.
Baiklah, waktu sudah malam. Doakan aku saat tahajudmu nanti,” tuturnya
mengakhiri pembicaraan malam itu.
“Nggih Pak Kyai. Sampaikan
salam dan maafku buat Kyai Makmun di Kroya,” kataku. Telpon sudah
terputus. Namun malam itu menjadi malam panjang buatku. Berbatang-batang
rokok kuhisap malam itu. Entahlah. Aku bingung. Mengapa secepat ini Pak
Kyai telpon dan justru menyambungkan mimpiku.
Elang Jawa, apa
arti semua ini? Elang yang elok dan perkasa? Pertanda apa ini? Bagaimana
mungkin mantan mahasiswa filsafat sepertiku mudah tergoda dengan
hal-hal mistis. Apalagi kalau mereka tahu saat ini aku mendalami tasawuf
dan mengikuti thariqah. Kalau cerita semacam ini didengar kawan-kawanku
di Ciputat, pasti aku dicap sebagai orang kolot dan anti nalar.
Sebagian lain akan mencemooh aku tak lulus mata kuliah Rasionalisme
Descartes atau dianggap gagal memahami Emperisme Herbert Spencer, Hume
dan Francis Bacon.
---BERSAMBUNG PART 12---
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1670267759689818
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment