Oleh Halim Ambiya
Rasanya tak ada yang lebih menyakitkan
daripada dikhianati oleh orang yang kita cintai. Luka akibat
pengkhianatan bisa menggerogoti bangunan cinta siapa pun. Mati seketika
atau hidup bertahan dengan nafas tersengal. Ia tergantung daya tahan
seseorang menghadapinya. Siapa pun tak akan mudah menerima keadaan
seperti ini.
“Tidurlah sayang…Tidurkan badanmu, tidurkan pikiranmu!” bisikku sambil memeluknya di pembaringan.
Aku mulai iba melihat Yasmin. Setiap malam merasakan kegelisahan luar
biasa. Beberapa kali mencoba membantu menenangkan, namun rasa sakit hati
itu sudah semakin dalam, hingga di ruang bawah sadarnya pun Yasmin
masih merasakan lukanya.
Kuiringi pelukan itu dengan bacaan
shalawat. Aku membimbingnya agar mau bershalawat dan berdzikir denganku.
“Aku juga merasakan kesedihan yang sama, sayang. Tapi, aku tahu, lukamu
lebih dalam,” bisikku di telinganya.
Kulihat Yasmin mulai
bersenandung dengan bacaan Shalawat Nariyah yang kuajarkan kepadanya
setahun lalu. Namun sorot matanya masih mengambang di awang-awang.
Tubuhnya tampak lemah.
“Abang, mengapa Razi tega berbuat macam itu?” bisiknya menghentikan bacaan shalawatnya.
“Tak perlu kau tahu alasannya. Itu hanya membuatmu semakin sakit,
sayang. Berusahalah untuk melupakan masalah ini. Nanti, saat kita bisa
kuat menghadapinya, kita selesaikan bersama,” jawabku.
“Dia berkali-kali mengkhianati dan berkali-kali pula aku maafkan,” katanya lagi.
Aku menghentikan shalawatku. Aku ingin mendengarkan semua keluh kesahnya.
“Ternyata dia berkali-kali selingkuh. Pertama dengan wanita asal
Serawak, dia kembali lagi kepadaku saat wanita itu pulang ke daerahnya.
Yang kedua berselingkuh dengan teman kerjanya, Roslinda, saat bekerja di
Ipoh. Aku benar-benar dipermalukan Razi. Semua orang di kantor itu
mengetahui kebejatan Razi terhadapku. Lalu, dia pun ada main dengan
Zazkia. Aku pikir, hanya itu,” tuturnya sambil isak tangis.
“Sabar sayang. Kuatkan hatimu,” kataku sambil terus kuelus-elus
kepalanya. Aku membiarkannya mengungkapkan isi hatinya selama ini.
“Aku pikir hanya itu,” katanya sambil kembali menangis. “Ternyata, dia
juga berselingkuh dengan Zahra. Bahkan punya anak. Lalu, mereka buat
drama luar biasa. Drama hebat Abang, drama hebat. Mereka pelakon pintar.
Anaknya justru diserahkan kepadaku orang yang memberinya cinta dan
maaf. Manusia macam apa itu? Zahra pun sama dia berkhianat kepada
suaminya dan kepadaku. Zahra bermain dengan Razi saat suaminya di
London. Lalu, anak mereka sama kita Bang. Kita yang merawat dan
membesarkannya. Kita memberinya cinta, meskipun dia dalam buangan
orangtuanya,” tuturnya.
“Apa yang harus aku lakukan, Abang. Aku
putuskan bercerai dengan Razi sebab aku ingin menghentikan penderitaan.
Tapi, ternyata tidak. Razi justru memasang bom berbahaya di rumah
tanggaku. Dia bahkan memegang remote control dari jauh. Kapan pun dan
darimana pun dia bisa meledakkannya. Sean, Bang. Anak yang kita cintai
itu bom waktu, Abang, ” lanjutnya lagi.
“Aku tahu sayang. Tapi,
siapa yang bisa menghentikan ini terjadi. Yasmin atau aku tak sanggup
mengubah itu semua. Apa aku harus marah besar, lalu menantang Razi
berkelahi, atau menyuruh orang untuk membunuhnya? Kalau Razi mati, lalu
apakah masalah ini selesai? Apakah rasa sakit dalam hatimu bisa hilang
begitu saja. Tidak sayang. Sekarang adalah saatnya kita berusaha
melupakan. Lalu, kalau jiwa kita sudah kuat untuk menghadapinya, kita
cari penyelesaian masalahnya. Sekarang, biarkan ini berlalu, biarkan…”
kataku meyakinkan Yasmin.
Yasmin semakin memelukku kencang. Isak
tangisnya masih susah dihentikan. “Rasanya, aku ingin mati saja. Aku
ingin mati, Abang. Aku tak kuat menanggung rasa malu dan penghinaan ini,
Bang. Aku sudah membuatmu sakit hati Abang. Maafkan aku Abang..Maafkan
aku. Aku telah mengecewakanmu,” ucapnya dengan tangisan yang kembali
mengeras.
“Sayang, ini bukan salahmu sayang…Ini bukan salahmu.
Dan, ingat, jangan pernah putus harapan, sayang. Kita punya Allah. Ini
adalah jalan yang sudah Dia dipilih. Kita tinggal melaluinya, lalu
berusaha menikmati pemandangannya. Tak usah kau risaukan lagi. Hentikan
pikiran semacam itu,” bisikku lagi mengeratkan pelukanku.
Yasmin melepas pelukanku. “Tidak, Bang!!!” Yasmin meronta dan meloncat
dari tempat tidur. Dia memandangku penuh arti. Seperti ungkapan
perpisahan. Aku melambaikan tangan, “Kemarilah sayang, duduklah bersama
Abang,” pintaku.
“Tidak Bang!!! Lebih baik aku mati,” teriak Yasmin. Dia tiba-tiba berlari cepat keluar dari kamar menuju balkon.
“Yasmin,” teriakku. Aku berlari mengejar sekuat tenaga, namun Yasmin
lolos dari tanganku. Dia berhasil keluar kamar. Aku mengajarnya ke arah
balkon. Yasmin menabrak kursi di balkon apartemenku dan tersungkur.
Saat dia berusaha berdiri, aku berhasil menangkapnya.
“Yasmin,
jangan pernah kau lakukan ini!” aku membentaknya. Kali ini, aku ingin
membuatnya mendengar. Yasmin harus membedakan antara rasa sedih dan
pemberontakan besar terhadap Allah. Yasmin cukup kaget dengan reaksiku.
Kulihat dia mulai menatap wajahku dan menunggu apa yang akan kukatakan.
Aku hanya ingin dia memerhatikan penjelasanku. “Terdetik dalam hati
ingin bunuh diri pun tidak boleh, apalagi sampai kau katakan! Apalagi
sampai berusaha mencobanya, Ingat Yasmin! Siapa dirimu? Kau tak punya
hak sedikit pun atas dirimu! Kamu bukan milikmu!” kataku sambil menuding
telunjuk ke arah mukanya.
“Istighfar Yasmin, istighfar!!!” kataku agak pelan.
“Ingat…Cintaku kepadamu lebih besar daripada pengkhianatan yang pernah
dilakukan oleh mantan suamimu. Kejahatan dia hanya mampu menggoyangkan
daun-daunnya saja. Sama sekali tak menggoyangkan dahan dan rantingnya
apalagi menggeser batang dan akarnya. Begitu juga rahmat Allah, sama
sekali tak sebanding dengan nasib buruk yang menimpa kita hari ini.
Kejahatan Razi hanya riak kecil di tengah samudera kasih sayang Allah.
Maka, jangan pernah menganggap kematian yang kau minta adalah harga bagi
seluruh kasih sayang yang pernah diberikan Allah kepada kita,” kataku.
Yasmin terdiam. Kulihat kesadarannya mulai memancar dari matanya. Ia
tak lagi tampak bengong. Aku mulai melihat ada Yasmin yang kucintai,
yang sebelumnya mendadak hilang pesona itu di wajahnya. Yasmin menunggu
ucapanku. Nafasnya mulai teratur.
“Aku tak pernah rela, jika kau
menginginkan kematian untuk mengakhiri penderitaan. Meski itu baru
keluar dari mulutmu! Ingat kematian bukanlah akhir! Ia justru gerbang
menuju negeri keabadian. Merindukan kematian karena kerinduan ingin
berjumpa dengan Allah adalah benar, karena hakikatnya adalah merindukan
perjumpaan kepada Allah. Kerinduan semacam itu memang harus dimiliki
oleh setiap hamba. Tapi, mengingat kematian itu untuk memperbaiki hidup,
bukan memutuskan kehidupan. Mengingat kematian berarti menyiapkan
kehidupan sekarang dan untuk kehidupan setelah kematian nanti. Bukan
untuk bunuh diri!” kataku.
Yasmin lunglai dalam pelukanku.
“Mereka yang menginginkan kematian saat mendapat cobaan hidup adalah
mereka yang telah keluar dari jalan Ilahi. Ingkar terhadap Tuhannya.
Tak punya iman. Orang yang tak punya iman tak memiliki harapan kepada
Allah. Padahal, Allah adalah sumber dari segala sumber harapan,”
jelasku.
“Istighfar, sayang. Istighfar,” bisikku. Yasmin pun
mengikuti ucapanku. Kini dia mulai beristigfar secara perlahan.
“Mohonlah ampunan agar jiwamu dibimbing oleh Allah,” kataku lagi.
“Kalbumu itu Baitullah, Rumah Allah!” kataku sambil menunjuk ke arah
dada sebelah kiri, persis dua jari di bawah putingnya. “Hatimu itu
adalah Rumah Allah. Ia adalah pusat pandangan Allah. Dan, tubuhmu adalah
bangunan Ka’bahnya. Merusaknya berarti merusak Rumah Allah. Mengotori
hatimu berarti mengotori Ka’bah dalam dirimu. Dan, jika engkau membunuh
dirimu berarti engkau menghancurkan Rumah Allah!” kataku tegas menghujam
telak ke jiwanya.
“Astaghfirullahal-azhim. Astaghfirullahal-azhim,” bisik Yasmin.
Aku mengangkat tubuhnya dan membawanya kembali ke kamar. Kubaringkan
tubuh indahnya di atas tempat tidur. “Sayang, teruskan istighfarmu.
Rasakan getar jiwa dan ragamu saat ini sebagai media keseriusanmu untuk
memohon kepada Allah. Memohon ampunan, memohon perlindungan dan kekuatan
jiwa untuk menghadapi semua ujian-ujian-Nya, “bisikku lagi.
“Kecuali jika kau anggap bahwa cintaku tak ada artinya. Jika kau anggap
hubungan kita adalah sandiwara serupa. Maka, lakukanlah semaumu!”
kataku.
“Tidak Abang!!! Maafkan aku…Maafkan aku,” kata Yasmin.
“Aku hanya ingin menyadarkanmu bahwa kita bisa menghadapi masalah ini
dengan menguatkan hubungan cinta kita, sayang. Kita bisa melewatinya
bersama-sama,” jelasku.
“Iya, sayang. Terima kasih kau telah menyadarkanku.”
Yasmin terus kubimbing dengan keindahan dzikir dan shalawat Nabi.
***
Malam kesedihan itu tiba-tiba menjadi malam sejuta kebahagiaan. Kami
melaluinya dengan gemuruh liar yang bersumber dari Negeri Kenikmatan,
yang membuncah tiba-tiba, lalu mengambang di awan. Kami terbang dan
mencipta sayap masing-masing. Kadang tersengal-sengal, lalu meluncur
deras mencari dahan dan ranting untuk sekadar singgah sebentar.
Kemudian, saat bebuahan dan madu alami bisa kunikmati sekejap saja, kami
pun kembali terbang ke angkasa untuk meraih kenikmatan lagi dan lagi.
“I love you, Erik. I love you like crazy,” bisiknya.
Yasmin mengecup mesra dan merontokkan semua duka malam itu. Kemesraan
dan keintiman malam ini adalah terapi ruhani sekaligus media penghambaan
kepada Sang Maha Cinta. Kami merasakan-Nya begitu dekat. Dia ada untuk
kita. Dia bersama kita. Persembahan cinta malam ini untuk keabadian
cinta yang kadang terlewatkan oleh deru ujian dari Sang Cinta.
Kami seolah merasa ada dan tiada. Di langit kebahagiaan, terbang
mengawang. Dua tubuh dalam satu getaran yang sama. Dua jiwa dalam satu
bahasa kenikmatan rasa yang sama. Aku, dia dan Dia, terasa menyatu dalam
samudera kenikmatan tak bertepi. Aku sukar membahasakannya.
Ini
adalah segitiga cinta yang dahsyat. Antara aku, Yasmin dan Dia.
Hakikatnya cinta kami adalah cinta-Nya. Tak akan ada cintaku dan cinta
Yasmin tanpa anugerah kesejatian cinta-Nya. Kami hanya hidup karena
wujud cinta-Nya. Istri shalehah adalah ladang amal dan penghambaan.
Melalui hubungan cinta, kami berasyik-masyuk merasakan getar-getar Ilahi
yang begitu dekat dan nyata. Getarannya bisa dirasakan dari dalam jiwa,
dari sekujur tubuh dan tetes keringat. Lahir dan batin terasa nikmat.
Terlepas melangit. “Allahu..Allah.”
Kami mengawalinya dengan doa dan
munajat cinta. Merasakannya dengan cinta. Mengakhirinya dengan cinta.
Ini adalah wujud ibadah cinta kami kepada Sang Maha Cinta; sebuah rasa
syukur atas nikmat cinta.
”Terima kasih, sayang. Terima kasih… I love you,” katanya.
“You are always welcome. I love you too, Sweetheart. Muahhh,” jawabku sambil melepas lelah.
---BERSAMBUNG PART 10---
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1666788330037761
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment