Oleh Halim Ambiya
“Catch me Daddy…Catch me!” teriak Sean sambil mengayuh sepeda roda tiganya.
Aku pun berusaha mengejar dengan gerakan ala badut. Canda tawanya
menghiasi keindahan taman pagi itu. Kadang dia pura-pura jatuh dan
berguling-guling di atas rumput. Lalu berlari dengan celana kedodoran.
Aku mengejar layaknya ayah yang konyol. Kita bermain petak umpet dan
berkejar-kejaran di antara bunga-bunga rimbun di halaman parkir
apartemen. Rasanya sempurna menjadi seorang ayah. Sean anak lelaki
harapanku, satu-satunya.
Aku bisa menumpahkan rasa sayang yang
dulu tak sempat dilakukan orangtuaku sendiri. Aku bahagia atas titipan
rahmat Tuhan melalui Sean. Meskipun bukan darah dagingku, tapi aku telah
berbagi separuh cinta untuknya bersama Yasmin. Sean juga lebih menyukai
cerita-cerita sebelum tidur dari mulutku daripada cerita dari Yasmin.
Aku berhasil meyakinkan Sean bahwa aku adalah ayah yang layak dicintai.
Sean kami adopsi saat berumur 2 tahun. Kami mendapatkannya dari salah
seorang bernama Zahra, kawan dekat Yasmin yang datang meminta tolong.
Konon, Sean adalah anak dari hasil hubungan gelap seorang datuk yang
tidak bertanggung jawab dengan seorang TKW asal Indonesia. Tepat di hari
ketujuh pernikahan kami, Sean menjadi bagian dari kehidupan kami.
Yasmin menyaksikan kami dari bangku taman di ujung jalan. Tak biasanya
pagi itu dia tak ikut bermain bersama. Sudah hampir 5 pekan setelah hari
jadi pernikahan kami, Yasmin seperti menghindari bermain bersama kami.
Apalagi setelah pertemuannya dengan Razi dua hari lalu.Tapi, aku tak
ingin tahu penyebabnya. Kuanggap itu hanya “angin-anginan” gaya wanita
saja. Dan, bagiku, Yasmin adalah istriku yang sempurna. Gaya
angin-anginan hanya pelengkap pernak-pernik dari keindahan hubungan
cinta kita. Itu bukan masalah berarti.
Minggu bahagia bersama
Sean. Aku senang, dia pun sama. Sementara Yasmin menyiapkan menu makan
siang untuk Sean, dia justru telah tertidur di sofa. Sean terkapar
kelelahan sambil memeluk mobil-mobilan hadiah dariku.
Di saat Yasmin
membereskan mainan milik Sean yang berserakan di lantai, kulihat
Handphone-nya terus berdering berkali-kali. Aku yang berada dekat dari
meja merasa perlu untuk meraih HP itu untuk diserahkan ke istriku
tercinta. Sayangnya, saat kulirik ke arah HP Yasmin, kulihat nama Razi
tertera begitu jelas. Beberapa pesan dan notifikasi whatsapp-nya pun
berhasil kulihat. “Aku harus maklum,” bisikku dalam hati. Lalu
kuserahkan HP itu ke Yasmin dengan kedipan mata sayang.
“Dia telpon lagi. Angkat saja,” kataku sambil berlalu pergi.
“Ooo. OK,” jawabnya gugup.
***
Notifikasi FB-ku kembali berbunyi:
“Aku tahu, kamu di KL.”
“Bisakah kita bertemu?”
Pesan dari Maryam kembali mengganggu. Aku baru dengar dia ada di sini.
Aku bingung, apakah aku menjawab atau tidak. Jika kujawab, berarti aku
harus mengatakan “Ya”. Lalu, setelah itu akan ada pertemuan. Dan, pasti
di pertemuan itu kita akan membahas Hanum. Itu yang membuatku bingung.
Tapi, jika tak kujawab, apa kata dia nanti. Aku akan dianggap sombong
dan tak peduli dengan kawan. Di lubuk hatiku yang paling dalam,
sejujurnya, aku pun ingin bertemu dengan Maryam, sekadar
berkangen-kangenan sesama kawan satu pesantren. Tentu sangat
menyenangkan. Apalagi kita sama-sama berada di perantauan.
Setelah beberapa menit, akhirnya aku pun menyerah. Demi sopan santun,
kujawab pesannya: “Betul, Ustazah. Saya di KL. Tahu dari mana? Maaf saya
baru balas.”
“Nggak apa-apa. Aku paham. Nggak perlu panggil aku
Ustazah ya. Aku kan belum pernah menjadi ustazah buat kamu. Hehehe. Kita
hanya beda setahun koq. Waktu aku lulus, kamu sudah kelas 6. Aku kan
cuma ngajar anak-anak kelas bawah, ” Maryam terus nyerocos di chat FB.
“OK. Apa kabar, Mbak? Tinggal di KL juga? Sudah punya anak berapa?”
“Alhamdulillah, baik. Bagaimana dengan kamu, Matin?”
Maryam meminta nomer telponku. Akhirnya kita saling berkomunikasi lewat
telpon. Maryam sudah 7 bulan ini tinggal di KL, ikut dengan suaminya
yang sedang melanjutkan kuliah di UiTM. Gus Kholid yang mengabarkan
keberadaanku di KL. Era media sosial memang memudahkan kita untuk
bertemu kembali kawan-kawan lama. Kita tidak bisa lagi menyembunyikan
diri kita lagi di zaman ini. KL-Jakarta itu sangat dekat, hanya di ujung
jari. Tak seperti dulu. Bahkan, rasanya Malaysia bukan luar negeri
lagi. Kuala Lumpur bahkan terasa lebih dekat daripada Makasar.
Kita banyak bercerita tentang kawan-kawan pondok dahulu. Bercerita
tentang hal-hal lucu. Aku baru tahu, ternyata waktu aku ketahuan mencuri
telor ayam milik Pak Kyai, namaku sangat terkenal di kalangan santri
putri. Aku konon diberi gelar The King of Thieves di asrama putri.
Mereka tak bisa melupakan kenakalanku dulu, di tahun kedua aku di
pondok. Aku beberapa kali mencuri telor ayam milik Bu Nyai yang berada
di kandang. Biasanya, aku mengendap-endap melalui pintu belakang,
berjalan pura-pura ke dapur, lalu menyelinap mengambil telor. Untuk
menghilangkan kecurigaan, biasanya aku berpakaian biasa seperti layaknya
mau ke masjid. Pakai sarung dan baju koko. Telor curian itu aku
masukkan ke celana dalam. Lalu, aku putar balik ke asrama dan menyimpan
telor.
Suatu ketika, di hari yang kulupa namanya, aku mencuri
telor dan seperti biasa kusembunyikan di celana dalamku. Tiba-tiba saat
akan menuju asrama, aku dipanggil Pak Kyai Makmun. “Thariq, tolong bantu
Ibu ambilkan nampan di kolong,” kata Pak Kyai sambil menunjuk ke arah
kolong meja dapur dan lemari.
Waktu itu aku adalah cowok
satu-satunya yang kebetulan lewat di dapur. Selebihnya adalah 3 orang
santri putri yang membantu Bu Nyai piket masak hari itu. Mengambil
nampan yang terselip di kolong, lebih cocok untuk santri cowok yang
berbadan kecil seperti diriku. Dan, bagi santri pantang untuk menolak
permintaan Pak Kyai. Perintahnya adalah kebanggaan buat kami. Apalagi
perintah khusus yang tak sembarang santri dapatkan.
Perintah Pak
Kyai adalah segalanya. Tanpa pikir panjang, aku pun bersiap-siap.
Kugulung sarungku agar memudahkan aku meraih nampan itu. Lalu, aku
berjalan merangkak ke kolong, berputar ke pinggir lemari yang sangat
sempit dan menaiki ujung lemari. Aku lupa dengan telor yang
kusembunyikan di celana dalamku. Saat aku kejepit lemari dan meja dapur
tiba-tiba telor di celana dalamku merojol terjatuh dan pecah.
“Aww...Pecah,” teriakku tak sadar.
Pak Kyai pun kaget, “Apa itu?”
tanyanya sambil melongok ke kolong. Tapi, begitu dia lihat telor jatuh
dari arah sarungku, akhirnya saat itu dia tahu sayalah pencuri telor
yang paling dicari oleh Bu Nyai. “Hayyuh koe konangan” (Ayo kamu
ketahuan)
Dapur menjadi heboh. Santri-santri putri di sekitar
situ menjadi kaget. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi. “Kenapa?
Pecah apanya?” kata beberapa santri putri yang langsung melihat ke
arahku. Mereka kaget melihat telor pecah di kolong meja.
Aku tak
bisa menyembunyikan rasa maluku. Pak Kyai langsung “menyetater,”
mencubit perutku hingga memar. Aku meringis kesakitan. “Konangan koe.
Nyolong endog. Bu..Bu..Iki malinge wis ketemu” (Kamu ketahuan. Mencuri
telor. Bu..Bu, ini malingnya sudah ketemu).
Sejak peristiwa itu
aku terkenal di asrama putri. Anak kecil si pencuri telor. Dan, setelah
kejadian itu pula sebenarnya menjadi awal kedekatanku bersama Pak Kyai.
Aku sering diajak membersihkan kolam ikan di belakang. Memberi makan
ayam dan ikan. Aku bahkan sering diminta untuk memijat beliau saat
kecapaian di malam hari. Pak Kyai tidak menganggap pencurian yang
kulakukan itu sebagai kejahatan berat. Justru sejak itu pula aku
berhenti mencuri telor. Beliau sangat memahami bahwa pencurianku saat
itu hanyalah pencurian seorang anak kecil yang sedang berusaha
mempertahankan hidupnya agar betah di pondok. Bagi Kyai, pencurianku
saat itu adalah aib bagi dirinya. Bila sebelumnya ada yaumu-dajajah
(hari ayam) Senin dan Rabu bagi santri, kini diberlakukan kebijakan
baru. Bu Nyai menambah menu khusus setiap hari Sabtu dengan memasak
rendang telor untuk semua santri.
Aku masih ingat saat Pak Kyai sedang kupijat di ruang tengah, tiba-tiba bertanya soal telor.
“Kenapa kamu berani mencuri telor?” tanyanya.
“Karena aku tahu Pak Kyai nggak akan marah,” jawabku polos.
“Kata siapa nggak marah?” tanya Pak Kyai.
“Ya nggak mungkin marah,” kataku sambil ketawa-ketawa kecil. “Ilmunya
saja diberikan, apalagi telornya. Ilmu itu kan jauh lebih berharga dari
telor. Apalah arti telor bagi Pak Kyai,” jawabku sekenanya.
Pak Kyai tertawa terpingkal-pingkal karena jawaban nakalku itu.
“Kamu itu raja pencuri yang beruntung. The King of Thieves. You are the real hero,” kata Maryam di ujung telpon.
Kami terus mengobrol via telpon, tapi sama sekali tak menyinggung
sedikit pun tentang Hanum. Akhirnya, Maryam mendesak untuk bisa bertemu
denganku dan aku tak bisa menolaknya lagi. Maryam berhasil meyakinkanku
tentang pentingnya pertemuan kami.
---BERSAMBUNG PART 8---
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1664165396966721
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment