Oleh Halim Ambiya
Aku tak pernah memilih-milih tamu. Siapa pun
yang berniat baik bertamu pasti kuterima. Tak terkecuali. Semua
kuhormati, jika aku punya waktu senggang dan sesuai. Waktu menunjukkan
pukul 00.30, tentu bukan saat yang tepat untuk bertamu. Namun, Cikgu
Abdurrahman seperti memohon dengan sangat. Dia ingin mengenalkan aku
pada seorang kawan malam itu juga.
“Aku tahu awak biasa tidur malam. Ini sangat penting, Bang Thariq. Kami harus bertemu. Ini masalah hidup dan mati.”
“Silakan Cikgu. Saya ada di rumah.”
“Terima kasih. Terima kasih, Thariq. Terima kasih,” ucapannya di telepon.
“Hmmm. Masalah hidup dan mati?!” bisikku penasaran. “Ada masalah apa
lagi? Apakah ini masalah Datuk Rustam? Zahra? Atau Razi?” aku jadi
semakin penasaran. Sudah hampir satu jam, tamu tak kunjung datang.
Kulihat Yasmin sudah tertidur pulas di kamar. Sementara, aku duduk di
ruang tamu sambil membaca buku dan mendengarkan radio Johor Bahru
kesukaanku: RTM (Radio Televisyen Malaysia). Setiap hari, di jam ini
stasiun RTM Johor biasa memutar lagu-lagu keroncong Melayu dan Jawa.
Sebelum pemutaran biasanya diawali dengan sambutan khusus dari Raja
Johor Bahru, lalu musik keroncong diputar non-stop semalam suntuk.
Sebagai orang berketurunan Jawa yang sedang merantau di Semenanjung
Malaya, tentu saja mendengarkan musik keroncong Jawa adalah sesuatu yang
mengasyikkan. Kehadiran musik semacam ini bisa mengobati rasa rindu
kepada kampung halaman. Penyanyi keroncong seperti Waljinah, Sundari
Soekotjo, Mus Mulyadi hingga Hetty Kusendang memiliki banyak penggemar
di negeri ini. Bukan hanya digemari orang keturunan Indonesia, tapi
generasi tua di Malaysia yang menyukai musik tempo dulu pasti mengenal
nama mereka. Apalagi keluarga diraja Johor Bahru dan warga masyarakatnya
yang masih memiliki ikatan darah dengan Jawa, tentu menjadikan
keroncong sebagai persembahan yang mengagumkan. Aku juga menyukai
penyanyi keroncong Kartina Dahari, penyanyi asal Malaysia yang terkenal
di era 1960-an dengan album keroncong rindu yang memesona.
Bagiku, musik dan nilai-nilai luhur dalam sastra itu bisa dinikmati
secara universal. Keduanya bisa menyadarkan orang dari nasionalisme
sempit dan picik. Karena itu, saat polemik masalah kesenian tradisional,
wayang, musik, dan batik antara Malaysia dan Indonesia, aku tak
menanggapinya terlalu serius. Apalagi jika polemik itu dibawa-bawa
kepada ranah politik luar negeri antar kedua negara. Klaim atas
kebudayaan hanya membuat kita memecah persaudaraan. Selama berabad-abad,
orang Melayu semenanjung Malaysia sudah mempunyai corak batik khas
Melayu, bukankah di masa itu belum ditemukan kata “Indonesia” atau
“Malaysia.” Begitu juga dengan kesenian Reog Malaysia. Orang-orang Jawa
berketurunan Ponorogo dan Madiun di Johor Bahru sudah berabad-abad pula
melestarikan reog. Dan, Jawa adalah bagian dari suku di Malaysia yang
berandil besar bagi kebudayaan Melayu. Persentuhan kebudayaan ini sudah
berlangsung berabad-abad.
Kalau kita mau jujur, kerajaan Malaysia
memang lebih peduli terhadap kesenian khas daerah mereka. Meskipun
kesenian wayang dan reog tak menjadi nafas keseharian masyarakat, namun
mereka berusaha mempertahankannya dengan baik. Pemerintahnya benar-benar
berusaha melestarikan dengan dukungan dana yang besar. Tak seperti
pemerintah di Indonesia yang acap kali lalai dan tak mengabaikan potensi
tradisi leluhur. Sejak dulu, Waljinah, Sundari Soekotjo dan Broery
Marantika telah menjadi penyanyi di istana-istana kerajaan Malaysia.
Mereka memberi apresiasi luar biasa terhadap musik dan kesenian kita.
Sejak dulu pula, wayang Melayu, menjadikan tembang-tembang karawitan
sebagai rujukan. Mereka mengadaptasi dan menggubahnya menjadi tembang
rasa khas wayang Melayu. Ini biasa terjadi sebagai transfer kebudayaan.
Lalu, saat kesenian modern menghajatkannya sebagai potensi pariwisata,
Malaysia lebih maju selangkah dalam hal promosi.
Ketegangan
kedua negara selalu dipicu oleh masalah politik sesaat, tapi tak akan
pernah mengubah kordinat kebudayaan kita yang sama. Jika masalahnya
adalah klaim atas kesenian dan kebudayaan, mengapa kita tak pernah
memprotes Singapura yang sering kali menjadikan wayang, batik, dan
kesenian khas Indonesia sebagai icon pariwisata dan promosi bagi negera
itu. Di Eropa dan Amerika, Singapura selalu “menjual” kesenian kita
untuk menarik turis berkunjung ke negeri singa itu. Semua itu adalah
masalah kegagalan kita dalam mempromosikan kesenian dan kebudayaan
kepada dunia. Kita sering kali kebakaran jenggot, manakala negara
tetangga maju lebih dulu. Tapi, tak pernah menggali dan melestarikan
secara konsekwen dan kontinyu.
Mestinya kita berbangga pada saat
nilai-nilai kesenian dan kebudayaan khas Indonesia mewarnai dunia. Bukan
malah menghujat dan mempersoalkan “klaim” sepihak yang
kekanak-kanakkan. Memprotes boleh-boleh saja, tapi jika hanya sekadar
hujatan dan tetap menjadikan kesenian sebagai anak tiri di negeri
sendiri apa artinya? Bukankah, ketika kita menyukai musik Country khas
Amerika, tak serta merta kita menjadi cowboy? Kita tetap Melayu, tetap
Jawa, tetap Sunda. Atau, saat kita menyukai Michael Jackson, bermusik,
berdandan dan bergaya ala raja pop itu, tak akan pernah ada protes dari
orang Amerika sebagai pembajakan terhadap karya mereka.
***
Pukul 1.15 dini hari, Cikgu Abdurrahman dan 2 orang kawannya datang.
Seseorang berwajah Cina dikenalkan sebagai DS Muhammad, mengaku sebagai
orang Indonesia yang kebetulan sedang berkunjung ke Kuala Lumpur.
Sedangkan satu orang lagi adalah seorang Melayu bernama Zaidi Ishak,
dosen dari Universiti Malaya.
“Encik Zaidi dan Encik DS Muhammad
ini berkawan lama. Aku tak pandai bahasa Arab. Encik Muhammad ini
mendapat pengalaman luar biasa. Tapi, aku tak pandai. Awak boleh
jelaskan,” tutur Cikgu Abdurrahman mengenalkan kawan-kawannya kepadaku.
“Gara-gara pengalamannya itu dia dianggap sesat. Penemuannya dianggap
berbahaya dan merusak akidah,” lanjutnya.
“Pak DS Muhammad punya pengalaman apa?” tanyaku penasaran.
DS Muhammad belum mau bercerita, dia hanya tersenyum aneh memandangku.
Mengangguk-anggukkan kepala. Sesekali memandang ke arah Encik Zaidi.
Meski berulang kali Cikgu Abdurrahman mempersilahkan agar menceritakan
pengalamannya di depanku, tapi dia tak mau bercerita. Aku sangat faham
dengan orang jenis ini, dia tak akan sembarangan menceritakan
pengalamannya kepada orang yang baru dikenal. Aku tak mau memaksakan
diri dan tak mau pula membuat Cikgu Abdurrahman serba-salah.
“Mungkin hanya kau yang boleh jelaskan, Thariq. Aku sengaja bawa Encik
DS Muhammad kemari. Kamu orang pandai. Kamu boleh jelaskan semuanya. Aku
tak pandai bahasa Arab,” kata Cikgu Abdrurrahman memecah kebisuan
malam.
“Ahhh. Cikgu ini bisa saja. Sebenarnya, tanpa aku, Cikgu
pun boleh jelaskan. Cikgu terlalu tawaduk,” jawabku. Aku merasa malu
dipuji di depan orang yang tak kukenal. Apalagi dua orang ini belum mau
angkat bicara. Rasanya sia-sia saja Cikgu Abdurrahman mengajaknya
kemari.
“Masalahmu dengan Datuk Rustam diselesaikan dengan cara
hebat. Aku sangat kagum mendengarnya. Kamu memiliki jiwa yang matang.
Izinkan aku menjadi muridmu, Thariq,” ungkap Cikgu Abdurrahman lagi. Dia
tampak serius, tak sedang berbasa-basi di depan kedua orang itu.
Perlahan, Cikgu menyodorkan tangannya lagi. “Izinkan aku menjadi
muridmu. Aku hanya belajar ilmu mendengar. Aku buta. Banyak kekurangan.
Aku hanya belajar agama dari telingaku,” kata Cikgu Abdurrahman.
Aku segera menyambut uluran tangannya dan mencium tangannya. Seperti
biasa, dia pun segera mencium tanganku. “Qabiltu,” ucapku dan ucapnya
bersamaan.
“Cikgu adalah guruku,” kataku.
“Tak… Awak
guru saya sekarang. Aku tak pernah belajar di pondok, aku buta. Aku tak
pandai bahasa Arab. Awak sarjana Islam,” jawabnya cepat.
Kedua orang itu terheran-heran melihat reaksi kami. Kulihat senyum DS Muhammad berbeda dari sebelumnya.
“Beri aku nasehat Guru,” kataku.
“Kamu memiliki ilmu, sifat dan akhlak yang menakjubkan. Kau telah pun
faham makna adil. Fasih menafsirkan arti hikmah dalam setiap masalah
yang sedang kauhadapi,” ungkap Cikgu Abdurrahman.
Aku terdiam.
Kedua orang itu sama. Suasana hening di ruangan itu menambah kekuatan
pada kata-kata yang dikeluarkan oleh Cikgu Abdurrahman.
“Mana
boleh aku jadi gurumu. Aku tak pandai bahasa Arab. Dua orang ini pun
sama. Mereka datang kepadaku bertanya soalan bahasa Arab yang tak dapat
kumengerti,” katanya lagi. Dalam hati aku berbisik, orang ini mengaku
tak pandai berbahasa Arab, tapi tanpa sadar, sebenarnya dia sedang
berbahasa Arab.
“Cikgu hanya buta mata zahir, tapi tak buta mata
hati. Boleh jadi, Cikgu memiliki pandangan lebih jelas daripada kita,”
kataku sambil senyum-senyum penuh kagum. “Beri aku nasehat, Guru,”
kataku lagi.
“Hakikatnya, nafas bahagia insan itu wujud berkah
Ilahi…” ucapnya sambil menarik nafas. “Sabar dan ikhlaslah menjalani
hidup di dunia ini. Bermusyawarahlah dengan kalbu dan akalmu sendiri.
Tafakur dalam lisan, kalbu dan amal badanmu. Insya Allah, rahmat dan
ridha-Nya kelak jadi nur zahir dan batinmu, Thariq,” tuturnya.
“Subhanallah,” kataku. Aku segera menjabat tangannya dan mencium
tangannya kembali. Aku memeluk Cikgu. “Terima kasih, Cikgu. Terima
kasih,” kataku lagi.
“Boleh kah, aku merekam nasehat Cikgu, tadi?” pintaku.
“Kenapa harus direkam?”
Aku segera menyiapkan HP-ku untuk merekam. “Cikgu, boleh tak diulang
kembali. Hakikatnya…nafas bahagia insan itu…” kataku mengulang kembali.
“Hakikatnya, nafas bahagia insan itu wujud berkah Ilahi. Sabar
dan ikhlaslah menjalani hidup di dunia ini. Bermusyawarahlah dengan
kalbu dan akalmu sendiri. Tafakur dalam lisan, kalbu dan amal badanmu.
Insya Allah, rahmat dan ridha-Nya kelak jadi nur zahir dan batinmu,”
tutur Cikgu Abdurrahman.
“Subhanallah. Terima kasih, Cikgu.
Sebenarnya, dari tadi, Cikgu sedang bercakap bahasa Arab,” kataku sambil
tersenyum gembira. Aku yakin, susunan kata ini mengandung kekuatan
berbeda, apalagi keluar dari mulut Cikgu Abdurrahman. Orang ini memang
bukan orang sembarangan.
“Apa awak nih?! Itu bahasa Melayu. Bukan bahasa Arab?!” kata Cikgu.
“Itu bahasa Arab, Cikgu.”
“Yang mana satu?”
“Semua yang tadi diucapkan Cikgu sebenarnya berasal dari bahasa Arab,” jawabku.
“Semuanya?”
“Betul, Cikgu. Hanya kata awalan, akhiran, tambahan, dan kata ganti
saja yang bukan,” jawabku. Aku memutar kembali rekaman nasehat Cikgu
Abdurrahman hingga ketiga tamuku itu penasaran.
“Hakikatnya,
nafas bahagia insan itu wujud berkah Ilahi. Sabar dan ikhlaslah
menjalani hidup di dunia ini. Bermusyawarahlah dengan kalbu dan akalmu
sendiri. Tafakur dalam lisan, kalbu dan amal badanmu. Insya Allah,
rahmat dan ridha-Nya kelak jadi nur zahir dan batinmu.”
“Hakikat, bahagia, badan.. Bahasa Arab kah itu?” tanya Encik Zaidi penasaran.
“Betul. Kata ‘hakikat, nafas, bahagia, insan, wujud, berkah, ilahi itu
berasal dari bahasa Arab,” jawabku. Aku kembali memutar rekaman itu.
“Kata ‘sabar, ikhlas, hidup, dunia, musyawarah, kalbu, akal, tafakur,
amal, badan, insya Allah, rahmat, ridha, nur, zahir, dan batin’ itu
semua bahasa Arab. Tanpa sadar, Cikgu Abdurrahman memberi nasihat dalam
bahasa Melayu yang diambil dari cerapan bahasa Arab,” tuturku.
“Kata bahagia pun bahasa Arab kah?” tanya DS Muhammad membuka mulutnya.
“Betul. Kata ‘bahagia’ itu sebenarnya diambil dari kata ‘bahjah,’ itu
hanya karena lahjah Arab khas Hadrumaut dan suku Arab lain, yang sering
mengubah huruf ‘ja’ menjadi menjadi terdengar seperti huruf ‘g.’ Seperti
nama Gamal Abdul Nasir, sebenarnya Jamal Abdul Nasir,” ungkapku.
“Apakah makna bahjah itu sama dengan kata bahagia?” tanya DS Muhammad
lagi. Aku melihat Encik Zaidi dan Cikgu Abdurrahman pun mendengarkan
dengan seksama.
“Sama. Itu bermakna bahagia,” jawabku.
“Lebih dari 3000 kata dalam bahasa Melayu-Indonesia adalah cerapan dari
bahasa Arab. Sejak tadi, Cikgu Abdurrahman menggunakan bahasa Arab. Kata
‘mungkin, ilmu, takjub, adil, fasih, tafsir, makna,’ yang diucapkan
Cikgu tadi pun bahasa Arab,” kataku lagi.
“Awak benar-benar mahir bahasa Arab,” kata Cikgu.
“Mahir pun bahasa Arab,” jawabku.
“Heran… Aku khawatir, niat Encik Muhammad silaturahmi pergi ke Melaka
tak jadi gara-gara bertemu awak, Thariq,” kata Cikgu Abdurrahman.
“Kata ‘heran, khawatir, niat dan silaturahmi’ pun bahasa Arab, Cikgu,”
jawabku yang diiringi dengan tertawa gembira dari tamu-tamuku malam itu.
Kini semua tamuku tertuju kepadaku. Mereka menuntut penjelasan panjang
lebar. Lalu, Yasmin pun terbangun dan menawarkan kopi panas kepada
tamu-tamuku.
Aku menjelaskan tentang pola-pola kata serapan dari
Bahasa Arab secara panjang lebar, baik pola serapan penuh ataupun
serapan sebagian. Atau juga pola penyesuaian penyerapan lafal dalam kata
Arab dan Melayu. Begitu juga dengan penyimpangan makna yang terjadi
karena perbedaan struktur bahasa keduanya. Sebab, antara bahasa Arab dan
Melayu-Indonesia memiliki perbedaan sistem aksara, struktur fonologis
dan morfologis sehingga penyerapan kata bahasa Arab mengalami proses
pengintegrasian, baik dalam percakapan keseharian, pengajaran ataupun
tulisan.
“Kita berhutang kepada ulama dahulu,” kata Cikgu Abdurrahman.
“Betul, Cikgu. Bahasa Melayu sangat dipengaruhi ulama kita dahulu.
Mereka mengajarkan Islam di Nusantara dengan cara yang luar biasa.
Penyebaran Islam di Tanah Melayu ini tidak menggunakan kekerasan, tapi
dengan membangun kekuatan peradaban Melayu yang agung, melalui
perdagangan, transfer ilmu dan kebudayaan, serta dengan pendirian
kesultanan. Sebagian besar kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara dibangun
oleh wali-wali berketurunan Azmatkhan dan para sayyid (haba’ib) dari
Hadramaut. Tak heran jika kita menyaksikan bahasa Melayu menjadi lingua
franca; menjadi bahasa persatuan, perdagangan, bahasa resmi kerajaan,
serta bahasa diplomasi antara kerajaan-kerajaan di Nusantara,” jelasku.
“Lalu, apa pengaruh bahasa Cina di Nusantara? Bukankah mereka juga
sudah berabad-abad berada di negeri kita,” tanya Encik Zaidi.
“Bahasa Cina, baik Mandarin ataupun Kantonis, tidak berpengaruh besar
bagi peradaban dan bahasa Melayu di Nusantara. Sebab bahasa itu
menunjukan alam pikiran Melayu, kepercayaan, agama dan keyakinan,”
jawabku.
“Oooh…Betul. Karena itu bahasa Cina yang mungkin diserap
oleh orang Melayu hanya kata seperti ‘capcai’ dan ‘kangkung,’” kata DS
Muhammad. Dia sudah mulai ikut nimbrung obrolan kami.
Cikgu
Abdurrahman akhirnya meminta izin kepada DS Muhammad untuk menceritakan
maksud kedatangannya menemuiku. Menurut penuturannya, orang berketurunan
ini adalah seorang muallaf. DS Muhammad adalah nama Islamnya. Baru 10
tahun memeluk Islam. Dia masuk Islam gara-gara mendengar alunan bacaan
Al-Quran dari sebuah masjid di Surabaya. Sejak itu dia datang ke ulama
dan menyatan diri masuk Islam. Pada saat gairah ketertarikannya yang
sangat tinggi dengan Al-Qur’an memuncak, tiba-tiba dia mendapat fenomena
aneh. Namun, saat dia menceritakan pengalamannya tersebut, banyak orang
menganggapnya sebagai orang gila, aneh, dan berpotensi terjebak pada
kesesatan.
“Aku sering kali meminta kepada Allah untuk
menunjukkan sisi kemujizatan Al-Qur’an. Jika aku telah merasakan suara
bacaan Al-Qur’an sebagai mukjizat, berarti setiap huruf dalam Al-Qur’an
adalah mukjizat,” tutur DS Muhammad. Orang ini mulai menceritakan
pengalamannya sendiri. Dia tak malu-malu seperti sebelumnya. Dia telah
pergi ke beberapa ulama dan pondok pesantren untuk belajar tentang
tafsir Al-Qur’an. Mendengarkan banyak ceramah agama, baik melalui
televisi, radio ataupun internet. Ada semacam dorongan bawah sadar yang
menuntunnya untuk meminta pembuktian tentang kemukjizatan Al-Qur’an.
Sarjana ekonomi ini belajar secara otodidak bahasa Arab untuk memudahkan
pelajarannya tentang tafsir Al-Qur’an. Namun, belajar bahasa Arab di
usia dewasa dan tanpa guru seperti di pesantren tentu memiliki kesukaran
yang besar.
“Suatu malam, saat aku sedang berdzikir dan
memegang Al-Qur’an, setelah usai shalat tahajjud, tiba-tiba di ruangan
agak gelap itu aku melihat huruf-huruf hijaiyah muncul dari balik
Al-Qur’an. Seperti hidup. Muncul seperti di film kartun. Saat aku
membaca Al-Fatihah, tiba-tiba huruf-huruf pada surat itu keluar lalu
membentuk kalimat. Persis seperti bacaan ayat-ayat dalam Al-Fatihah,”
tutur DS Muhammad.
“Subhanallah. Luar biasa!” kataku. Menurut
penuturannya, sejak saat itu, dia mulai meneliti tentang huruf-huruf
Arab. Dia ingin tahu lebih mendalam apa makna huruf-huruf dalam
Al-Qur’an secara semiotik. Dia belajar tentang ilmu tanda dalam suatu
bahasa. Sayangnya, lagi-lagi karena dia orang baru, baru mengenal
khazanah Islam, dan baru belajar bahasa Arab secara otodidak sehingga
sering kali menemui jalan buntu. Namun, Tuhan ternyata menunjukkan
dengan cara yang luar biasa. DS Muhammad mampu menjelaskan makna-makna
huruf dalam Al-Qur’an seperti yang pernah diajarkan Syekh Ibnu ‘Arabi.
“Sejak kapan mengenal karya-karya Ibnu Arabi?” tanyaku.
“Baru seminggu ini aku membaca.”
“Baru seminggu?”
“Betul. Tapi, bukan itu yang mau kuceritakan, Pak Thariq. Aku telah
meneliti huruf-huruf ini jauh sebelum aku mengenal pemikiran Ibnu
Arabi,” tuturnya.
Ternyata DS Muhammad sengaja datang ke Kuala
Lumpur untuk melanjutkan riset pribadinya agar bisa menjawab pengalaman
batinnya tentang Al-Qur’an. Orang ini memang benar-benar seorang pencari
Tuhan yang tak kenal waktu. Aku cukup kagum mendengar sepenggal
ceritanya. Kemudian, dia membuka tas ranselnya dan mengeluarkan satu
bundel buku catatan. Buku itu cukup tebal, terdapat banyak
catatan-catatan di pinggirnya. Tampak seperti diktat atau seperti foto
copy skripsi dengan binding spiral.
“Ini yang kutulis sejak 10
tahun lalu. Aku menulis makna setiap huruf hijaiyah yang terdapat dalam
deret ayat Al-Qur’an lalu menjelaskan maknanya,” kata DS Muhammad sambil
menyodorkan buku tanpa judul itu.
Aku membukanya dari lembar
awal. Sementara yang lain melihat ke arahku. Tertera jelas nama
penulisnya adalah DS Muhammad, orang di depanku. Dia menjelaskan makna
huruf alif, ba, ta hingga ya. Setiap huruf dibuat penjelasan maknanya
dengan bantuan peta konsep yang dibuatnya. Aku kagum dengan model
susunannya. Meski dia tidak mahir dalam bahasa Arab, namun penjelasan
hurufnya secara semiotis, sungguh dahsyat. Aku berbisik dalam hati,
“Sungguh benar apa kata Imam Al-Ghazali, ‘Setiap huruf dari Kalam Allah
SWT, hakikatnya terjaga di Lauh Mahfuzh adalah lebih besar dari Bukit
Qaf. Dan, apabila malaikat berkumpul untuk mengangkat satu huruf saja
(dari Al-Quran), niscaya mereka tidak akan sanggup, kecuali malaikat
Israfil a.s., yang menjaga Lauh Mahfuzh dan pernah ikut mengangkatnya.
Tapi, terangkatnya pun tak lain karena izin dan rahmat Allah SWT, bukan
karena kekuatan dan kesanggupan mereka.’"
Aku ingin menguji orang
di depanku. Kututup buku catatan ini. Aku ingin mendengar langsung
penjelasannya. “Mas DS Muhammad, apa arti huruf Sin (س)?” tanyaku.
“Huruf Sin (س) itu bermakna getaran, pancaran, radiasi, pendar,
spektrum, spout, suara, atau bermakna sebuah pelaksanaan. Contohnya kata
وَسْوَاسِ , لِسَانَ . Coba perhatikan kata ‘was-was’ dan ‘lisan,’
bukankah tepat jika kata ‘was-was’ itu bermakna getaran jiwa, lalu kata
‘lisan’ adalah getaran suara. ‘Lam’ itu berarti menunjukkan, ‘Sin’
berarti getaran, ‘Nun’ itu berarti data atau informasi. Jadi, kata lisan
itu bermakna ‘suatu getaran yang menunjukan data atau informasi.’”
Aku tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasannya. Orang ini memberi
penjelasan dengan hebat. Ini original penemuannya. Aku belum pernah
mendapatkan penjelasan semacam ini dalam buku apa pun. Kalau pun Syekh
Ibnu Arabi menjelaskan makna huruf, namun itu penjelasan makna mistis
dan filosofis di balik huruf. Tapi, penjelasan Mas DS ini berbeda. Lebih
fresh dan tidak berkaitan dengan mistis. Ini lebih sainstifik.
“Nanti, Kang Mas Thariq bisa uji ulang isi buku ini. Silahkan dipelajari
peta konsep yang telah saya susun dari huruf ‘Alif’ sampai ‘Ya.’”
“Bagaimana jika huruf ‘Sin’ pada kata yang lain,” tanyaku penasaran.
“Huruf س (Sin) yang bermakna implementasi atau pelaksanaan, misalnya
pada kata اَلْحَسَنُ (al-hasan) secara bahasa berarti “baik.” Kata ini
terdiri dari huruf ال (alif dan lam) yang berarti “yang,” ح (ha) yang
berarti “mendekatkan, mengarahkan, membawa, mendistribusikan. Lalu huruf
س (Sin) sendiri berarti pelaksanaan. Jadi, dari sudut ilmu huruf ini,
kata al-hasan berarti sesuatu yang baik atau al-hasan adalah yang
mengarahkan suatu pelaksanaan kepada ketentuan-Nya (taat, tidak salah
arah).”
“Subhanallah. Ini adalah penemuan dahsyat!” kataku. “Bagaimana kalau huruf ‘Syin’ ada titiknya tiga di atas?”
“Kalau ada titik tiga di atas berarti energinya lebih besar. Contoh
kata ‘asy-syams’ yang berarti matahari. Jadi, asy-syams adalah sesuatu
yang memancar dan pancarannya sangat terang. Sesuatu radiasi, radioaktif
yang berasal dari fusi dan fisi nuklir. Bukankah penjelasan tentang
huruf س (Sin) di atas tetap konsisten sesuai dengan peta konsep yang
saya buat? Bukankah sains tidak bertentangan dengan Al-Qur’an? Bahkan,
sangat dimungkinkan jika kode-kode ilmu pengetahuan yang terdapat di
dalam Al-Qur’an mampu dibedah dari huruf ke huruf, pasti akan lebih
banyak lagi orang mempelajari Al-Qur’an. Juga akan menambah
penemuan-penemuan baru yang berguna bagi ilmu pengetahuan.”
“Subhanallah. Apakah Mas DS mendapatkan semua makna huruf ini pada setiap dzikir?” tanyaku penasaran.
“Betul. Tapi, bukan dalam satu waktu. Melalui proses panjang. Kadang,
dzikir di malam hari, kadang di siang bolong. Kadang, saat berjalan atau
sedang duduk termenung.”
“Subhanallah. Aku masih penasaran, Mas.”
“Silakan tanya… Tanya lagi,” kata Encik Zaidi. “Iya, tanya lagi,” sambut Cikgu Abdurrahman.
“Mas DS tadi bilang, huruf ‘Ha’ berarti mendekatkan, mengarahkan,
membawa, mendistribusikan. Boleh dicoba, huruf ‘ha’ pada kata yang
lain?” tanyaku. Aku tidak sedang menguji, apakah orang ini menguasai
banyak kosa kata Arab atau tidak. Tujuanku hanya untuk meyakinkan apakah
risetnya telah dijalankan secara teliti atau tidak.
“Contohnya, kata اَلْحِمَارُ (al-himâr) atau keledai. Berarti binatang yang bisa mengangkut dan membawa,” jawab Mas DS.
“Katanya, tidak banyak tahu bahasa Arab?” tanyaku penasaran.
“Tidak sebanyak Mas Thariq. Aku tahu kata al-himâr itu berarti keledai,
karena kata itu terdapat dalam Al-Qur’an. Aku kan sudah bilang, yang
menjadi objek penelitianku adalah huruf dan kata yang terdapat dalam
Al-Qur’an, di luar itu aku tidak tahu. Karena, Al-Qur’an sudah ada
terjemahnya, aku jadi fokus meneliti rangkaian hurufnya saja.”
“Oooh begitu. Berarti Mas DS nggak tahu, huruf ‘ha’ pada kata yang lain
selain himar, atau jika kata itu tak terdapat dalam Al-Quran?”
“Betul. Karena kosa kata Arabku sangat terbatas. Aku tak banyak hafal. Aku fokus pada hurufnya saja.”
“Hmmm. Tapi, itu membuat penelitianmu bertambah meyakinkan. Aku
menemukan huruf ‘h’ pada binatang lain yang lebih kencang membawa
barang.”
“Apa itu?”
“Tadi, Mas DS bilang, huruf ‘h’
berarti membawa, mengangkut, mendistribusikan. Mas DS mencontohkan kata
al-himâr (keledai). Keledai memang binatang yang bisa mengangkut barang
dan menjadi tunggangan. Tapi, itu hewan pemalas. Tidak seperti hishon,
kuda.”
“Oooh. Kuda itu bahasa Arabnya hishon?”
“Betul, Mas.”
“Terima kasih. Aku baru tahu.”
“Ada juga nama binatang yang biasa buat mengirim dan mengantarkan, tapi melalui udara.”
“Melalui udara, apa itu? Bukankah burung bahasa Arabnya tha’ir?”
“Hamamah, artinya merpati.”
“Subhanallah. Merpati membawa surat.”
“Huruf-huruf memang ghaib. Setiap huruf yang kita keluarkan dari mulut
kita hakikatnya bukan kita yang menciptakan. Semuanya adalah ucapan
Allah. Dialah yang menciptakan bahasa setiap makhluknya. Allah berkuasa
pada setiap hurufnya. Setiap saat, semua hal, semua makhluk, semua dalam
penciptaan Allah,” kata Cikgu Abdurrahman.
“Termasuk pengaruh
bahasa Arab dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Semuanya telah didesain
oleh Allah untuk kita. Tak boleh ada kesombongan makhluk bagi para
penggunanya. Kita hanya menggunakan secara turun-temurun, lalu kita
menyepakati secara bersama tentang penggunaannya. Alangkah kerdilnya
diri kita jika tak menyadari hakikat huruf yang keluar dari mulut kita,”
tuturnya lagi.
Cikgu Abdurrahman menjelaskan kepada kita
bagaimana huruf itu bersifat mistis. Seperti doa dan munajat yang dibuat
orang untuk memohon kekuatan kepada Tuhan. Rangkaian huruf yang
diucapkan oleh lisan kita menjadi persembahan mistis kepada Yang Maha
Ghaib. Tak ada satu huruf pun yang luput dari kehendak Allah. Karenanya,
Al-Qur’an sebagai kalam-Nya, pasti memiliki kekuatan mistis paling luar
biasa jika dijadikan sebagai doa dan munajat.
“Mas DS, Anda
menyebut huruf “ro” dalam buku catatan ini berarti bulatan. Ro juga
berarti lingkaran, bulatan, pengulangan, bolak-balik, dan menunjukkan
sesuatu yang bundar, meski huruf ini tidak begitu melingkar. Anda
menyebut kata ‘mustadir’ (bulat), thariq (jalan). Rabb (Tuhan yang
selalu berulang-ulang memelihara), lalu menyebut kata ‘tarbiyah’ berarti
pendidikan yang selalu diajarkan berulang-ulang. Huruf ‘ro’
diasosiasikan dengan dengan simbol Dewa Matahari dalam kebudayaan
Yunani, yang juga disebut ‘RO’ dengan tanda lingkaran ‘O.’ Lalu, dalam
rumpun bahasa Germanic, Inggris atau Latin, huruf ini ditandai dengan
huruf ‘R’ atau ‘r’. Apakah itu berlaku pada huruf dalam bahasa yang
lain, selain Arab?” tanyaku.
“Kadang, Allah menitipkan pesan dan kode serupa. Kadang membiarkannya tanpa diketahui makhluk-Nya,” jawab Mas DS.
“Aku jadi heran. Setiap huruf yang mengandung huruf ‘R’ pasti
mengandung unsur makna serupa. Contohnya, ring, roll, round, rotation,
dalam bahasa Inggris. Ini seperti juga kata lingkar, bundar, sumur,
ember, roda. Semunya memuat huruf R,” kataku lagi.
“Hahaha. Betul…Mengapa boleh macam itu? Rotation, remedial, radius, roundabout, routinized?” tanya Encik Zaidi.
Mas DS Muhammad masih tersenyum-senyum mendengar pertanyaan nakalku dan
Encik Zaidi. Aku semakin tertarik dengan orang yang baru kukenal ini.
“Mengapa unsur huruf ‘R’ selalu bermakna serupa itu. Meski itu bukan
bahasa Arab. Misalnya, mengapa ada kata sejenis: ruwet, runyam, ricuh,
ripuh, rengek, rintih, rawan, lalu bandingkan dalam kata bahasa Inggris:
riot, risk, radical, race, reactive, dan seluruh kata yang berawal “re”
dalam bahasa Inggris yang berarti pengulangan,” kataku.
“Risywah berarti ruwet, runyam, rugi, rubes. Risywah menjadi kejahatan yang berlarut-larut, merepotkan, merusakkan.”
“Lalu, terjadi dimana-mana, karena lumrah, rakus, rampok, rusak, rapuh, repot, dan ruarbiasa!”
“Ternyata menjadi lingkaran setan gara-gara huruf R,” kataku lagi.
Mas DS, Cikgu Abdurrahman, dan Encik Zaidi hanya tertawa-tawa mendengar
ucapanku. Obrolan terhenti saat adzan subuh mulai berkumandang. Kita
seolah sedang berdzikir merenung makna huruf hingga pagi. Aku mendaulat
Mas DS Muhammad sebagai imam subuh kami.
--BERSAMBUNG PART 21—
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/sorbaujan-part-20-huruf-ghaib/1694866340563293/
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
1 comment:
andai saja dapat bukunya ds muhammad tentang makna huruf.
Post a Comment