Oleh Halim Ambiya
Aku melihat ketulusan di wajah Datuk
Rustam. Kejujuran hatinya tampak jelas di mata dan sikapnya beberapa
hari ini. Bersahaja dan tak dibuat-buat. Kini dia layaknya seorang
gentleman, seperti yang pernah kukenal dari buku induk kebijaksanaan.
Aku seolah memiliki dua orang ayah di Malaysia, Abah Samad dan Datuk
Rustam. Setiap jam besuk, Datuk Rustam selalu menyempatkan diri
menjengukku. Dia mencium tanganku dan kucium kembali tangannya.
Perhatiannya terhadapku semakin besar, begitu juga rasa hormat dan
keramahan sikapnya. Aku merasa damai mendapat anugerah cinta dari cara
yang tak pernah kuduga sebelumnya.
“Thariq, anakku,” panggil Datuk Rustam.
“Saya, Datuk.”
“Sekali lagi saya minta maaf zahir dan batin,” ucapnya lagi dengan airmata yang telah mengering.
Wajahnya tertunduk layu. Aku benar-benar melihat penyesalan di wajahnya.
“Sama-sama, Datuk. Saya pun mohon maaf,” jawabku sambil menjabat tangannya erat.
Kami berbepelukkan. Suasana menjadi hening. Aku merasakan getar kasih
sayang dari seseorang yang ingin menjalin persahabatan. Ungkapan tulus
dari salah seorang tokoh Melayu yang dihormati. Dia memang seorang
gentleman, mengakui kesalahan dan mengulurkan persahabatan. “Being a
gentleman is all about how to carry yourself with respect and attitude”
(Menjadi seorang gentleman adalah tentang bagaimana membawa dirimu
sendiri dengan rasa hormat dan sikap yang baik). Datuk Rustam
menanggalkan semua atributnya sebagai “datuk” di hadapanku. Dia melepas
baju gelarnya dan berhadapan dengan aku layaknya seorang sahabat.
Datuk Rustam memang pribadi yang mengasyikkan. Tutur katanya lembut dan
ramah. Meski wajahnya tampak menyeramkan, tapi budi bahasanya luar
biasa. Ini tak seperti cerita Yasmin dan Abah Samad tentang beliau. Aku
tak mau berspekulasi, yang penting, apa yang kurasakan saat ini, Datuk
Rustam begitu bijak dan benar-benar mengasyikkan untuk diajak diskusi di
masa-masa istirahatku di rumah sakit. Aku bahkan selalu terpancing
untuk berdiskusi panjang lebar dengan beliau.
“Bagaimana keadaanmu?”
“Datuk, tak perlu khawatir. Aku sudah sembuh. Besok atau lusa aku sudah boleh pulang.”
“Alhamdulillah. Awak sudah sembuh. Tanganmu masih sakit kah?”
“Sudah tak sakit lagi, Datuk. Aku sudah sembuh.”
“Alhamdulillah. Saya sudah tak sabar nak bercerita dan berdiskusi tentang banyak hal dengan awak.”
“Saya pun sama, Datuk.”
“Saya mempunyai seorang guru yang berasal dari Sulawesi. Namanya Cikgu
Abdurrahman. Beliau guru agama saya. Kalau bukan karena beliau, mungkin
saya tak ada disini. Beliaulah yang menyadarkan saya. Saya pun sudah
bercerita mengenai awak dan tulisan bahasa Sulawesi itu.”
“Bercerita tentang saya? Maksudnya, apa beliau mengenal saya, Datuk.”
“Tak mengenal secara fisik. Awak pun belum pernah jumpa. ”
Ternyata selama ini, Cikgu Abdurrahmanlah yang mengajarkan Datuk Rustam
dan Razi tentang pelajaran Islam. Dia berperan sebagai guru spiritual
bagi keluarga mereka. Menurut penuturan Datuk, Cikgu Abdurrahman banyak
mengajarkan tentang ilmu batin, mengajarkan tentang makna dzikir, shalat
khusuk dan kadang mengajarkan tentang suluk.
“Beliau bukan bomoh
(dukun). Hanya guru agama. Tapi, beliau itu pandai menjelaskan
makna-makna batin. Saya sangat menghormati beliau. Di usia saya yang
sudah tua ini, saya banyak belajar dari Cikgu Abdurrahman. Saya pun ajak
Razi untuk belajar mengaji dengan beliau.”
“Beliau kah yang ajarkan Datuk jimat dalam bahasa Walio?”
“Hahaha. Tidak…Tidak. Sebenarnya bukan dari beliau. Itu jimat daripada Atuk saya.”
“Oooh.”
“Saya tak pandai bahasa Walio. Hanya pernah dengar saja. Jimat yang
dikirim Razi ke rumah Abah Samad itu punya saya, Razi curi. Dia tak
tahu, itu bukan sihir, bukan santet. Saya hanya menyimpan saja sebagai
kenang-kenangan dari leluhur saya. Saya tak paham sama sekali.”
“Ooooh I see.”
“Waktu awak hantar pesan ke whatsapp saya tentang nasihat agama dalam
bahasa Walio, saya langsung meminta bantuan Cikgu Abdurrahman untuk
menerjemahkan. Dia pula yang terjemahkan isi jimat itu. Saya malu
setelah tahu maknanya. Betul-betul malu terhadap sikap Razi.”
Datuk Rustam menyodorkan secarik kertas yang pernah kukirim melalui
resepsionis yang kutahu kini bernama Zenita, sebelum aku meninggalkan
ruang lobi kantornya.
“Ini tulisan awak bukan?” katanya sambil membuka kertas tersebut:
“Datuk Rustam yang saya hormati. Saya datang ingin bersahabat. Ingin
menyelesaikan konflik antara keluarga kita. Bahkan, saya juga bisa
menjelaskan tentang makna Syuhudu al-kasrah fi al-wahdah. Syuhudu
al-wahdah fi al-kasrah. Tujuannya agar Datuk tidak salah jalan dalam
memahami ajaran Islam. Belajar hakikat harus melalui guru. Jimat yang
dikirimkan ke rumah kami itu, bukanlah sihir. Itu ajaran hakikat diri.
Salam.”
“Saya ingin berguru kepada awak. Saya malu. Sudah tua, tapi belum mengenal Tuhan. Belum mengenal diri sendiri,” ucapnya.
Datuk Rustam terus bercerita dengan penuh keakraban. Tulisanku ini yang
membuatnya sadar bahwa konon, menurut Cikgu Abdurrahman, aku ini
bukanlah orang sembarangan. “Karena itu, aku cari awak di surau. Tapi,
waktu awak shalat sunnah, aku mendapat telpon dari Cikgu Abdurrahman.
Jadi, aku keluar surau,” tuturnya. “Saya bertanya kepada Cikgu
Abdurrahman tentang makna Syuhudu al-kasrah fi al-wahdah. Syuhudu
al-wahdah fi al-kasrah. Beliau menguraikan sedikit, tapi beliau meminta
aku untuk belajar langsung dari awak,” tuturnya lagi.
“Oooh itu. Maaf, aku hanya memancing Datuk saja.”
“Saya tahu, awak lebih pandai. Saya ingin belajar langsung dari awak.”
“Syuhudu al-kasrah fi al-wahdah (Menyaksikan yang banyak pada yang
esa). Maksudnya, kita sebagai makhluk yang berbilang ini menyaksikan
bahwa wujud makhluk itu hakikatnya tak ada, yang ada hanya wujud Allah.
Atau bisa juga dipahami bahwa wujud makhluk itu hakikatnya berada pada
wujud Allah, tidak pada wujudnya sendiri,” kataku. Aku lihat Datuk
Rustam serius mendengarkan penjelasanku. Seperti seorang murid yang
khusyuk mendengarkan nasehat gurunya. “Syuhudu al-wahdah fi al-kasrah
(Menyaksikan yang esa pada yang banyak). Maksudnya, kita menyaksikan
yang esa dengan rasa kita sebagai hamba—sebagai makhluk yang berbilang
jumlahnya— bahwa Allah adalah wujud pada segala yang wujud,” jelasku
lagi.
“Betul. Cikgu Abdurrahman pun cakap macam itu. Tapi,
beliau suruh saya untuk belajar langsung dari awak. Sebab, katanya ilmu
hakikat macam ini tak boleh belajar seorang tanpa guru.”
“Betul,
Datuk. Ilmu hakikat itu harus dipelajari dengan guru. Sebagai ilmu
pengetahuan, memang boleh-boleh saja belajar dari buku, ceramah,
internet, tapi untuk pemahaman lebih mendalam diperlukan guru
pembimbing.”
“Ajarkan aku, Thariq. Aku sudah tua. Aku perlu bekal agama.”
“Insya Allah, Datuk. Kita sama-sama belajar. Saya pun hanya tahu
sedikit saja. Saya pun bisa belajar banyak hal dari Datuk. Tujuan saya
mengirim pesan itu agar Datuk tidak salah dalam memahami ajaran tasawuf.
Tasawuf itu bukan klenik. Bukan mistis. Bukan khurafat. Tapi, ilmu
untuk mendekatkan diri kepada Allah, untuk memahami makna batin dalam
pelakasanaan syariat. Tasawuf itu tidak bisa lepas dari syariat. Tasawuf
itu bukan ilmu bomoh, bukan perdukunan,” paparku.
“Terima kasih…
Terima kasih,” katanya. Lalu, tiba-tiba telponnya berdering. Zenita
menelpon Datuk, dia mengabarkan sudah sampai di rumah sakit. “Saya ingin
mengenalkan Cikgu Abdurrahman kepada awak. Beliau sudah tiba di rumah
sakit bersama Zenita. Beliau sendiri yang meminta untuk bertemu dengan
awak,” katanya lagi.
“Ooooh.”
Beberapa saat kemudian
Zenita dan seseorang berpakaian Melayu memasuki ruanganku. Lelaki tua
berjenggot itu dituntun. Dia memakai kaca mata hitam. “Assalamu’alaikum,
Abang Thariq,” ucapnya sambil berjalan ke arahku dengan dituntun oleh
Zenita. “Wa’alaikum salam,” jawabku cepat.
“Ini Cikgu Abdurrahman, Thariq,” seru Datuk Rustam.
“Ohh. Silahkan, Cikgu.”
Aku melihatnya agak aneh. Dia tersenyum tak ke arahku. Wajahnya justru
memandang ke arah samping kiriku. Apalagi saat dia mengulurkan
tangannya, tangannya justru tak mengarah ke arah tubuhku. “Cikgu ini
sepertinya tak melihatku,” bisikku.
Zenita menuntun tangan Cikgu Abdurrahman mendekat ke arah tangan kananku.
“Maaf, Thariq. Maaf, saya ini buta sejak lahir,” katanya. Ini cukup
mengagetkanku. Jadi, selama ini orang yang mengajarkan Datuk Rustam dan
keluarga adalah orang buta.
“Buta mata, tapi tak buta hati,”
jawabku cepat dan meraih tangannya. Aku menarik dan mencium tangannya.
Lalu, tiba-tiba, dia pun menarik tanganku dan mencium tanganku. “Hmmm.
Aku tahu sekarang, mengapa Datuk Rustam mencium tanganku. Ternyata
gurunya yang mengajarkan itu semua,” bisikku dalam hati.
“Alhamdulillah. Alhamdulillah. Aku bisa bertemu kamu, Thariq.
Alhamdulillah,” ucapnya semangat. Lelaki ini bertubuh tinggi dan kurus.
Wajahnya bercahaya. Aku merasakan energi besar yang menarik kuat saat
dia menjabat tanganku. Ini seperti tarikan tangan Kyai Bahruddin. Atau
seperti tarikatan tangan Ustaz Nur yang pernah mengajarkan aku tenaga
dalam.
“Benar. Ini orangnya. Benar…”
“Hahaha. Benar apa, Cikgu?” tanyaku penasaran. Datuk Rustam pun mendekat, sedangkan Zenita mundur teratur.
“Suaramu, Thariq.”
“Suaraku? Ada apa dengan suaraku?”
“Itu, suaramu,” jawab Cikgu Abdurrahman. Lalu, dia kembali memegang
tanganku, meraba dan bahkan menciumnya lagi. “Alhamdulillah. Ini memang
benar-benar kamu, Thariq,” katanya lagi.
“Maksud Cikgu?” tanyaku penasaran.
“Aku pernah bertemu denganmu dalam mimpi,” jawabnya lagi.
Aku baru ingat siapa orang di hadapanku ini. Dengan cara seperti itu
Cikgu mengenaliku. Jika penyandang tunanetra bermimpi, maka mimpinya
akan berupa suara, penciuman atau sentuhan. Seorang yang buta sejak
lahir tak akan punya memori tentang warna dalam otak dan bawah sadarnya.
“Subhanallah. Dia mengenaliku dengan cara yang luar biasa,” bisikku
dalam hati.
“Subhanallah…Benar,” katanya lagi. Cikgu itu meraba
wajahku. Lalu mencium keningku. Aku merinding dibuatnya. Aku juga
merasakan sesuatu keanehan luar biasa dari orang ini. Tiba-tiba,
jantungku berdetak agak cepat, lalu membawaku pada kesadaran dzikir.
Sejak dia menyentuh tanganku, hatiku tak bisa lepas dari ucapan “Allahu
Allah” dalam hati. Kehadirannya di tempat ini seolah memaksaku untuk
mengingat Allah. Aneh. Seperti ada kekuatan yang menarikku.
“Subhanallah…Hebat sekali orang ini. Dia memiliki daya pikat luar biasa.
Diamnya saja mengingatkan aku kepada Allah,” bisikku dalam hati.
“Alhamdulillah. Sekarang tugasku sudah selesai. Datuk Rustam…Datuk,”
kata Cikgu Abdurrahman kepada Datuk Rustam. “Ini dia orangnya. Kamu
harus belajar dari dia langsung,” katanya lagi.
“Baik, Cikgu,” jawab Datuk Rustam.
“Belajar, apa Cikgu? Saya tak pandai,” kataku.
“Kamu tak perlu merendahkan diri. Aku tahu siapa kamu. Kamu pernah
belajar di pondok. Mengaji filsafat, tasawuf pula. Awak sudah lengkap.
Aku pun nak belajar dari awak. Banyak yang mau kutanyakan kepada awak,”
kata Cikgu Abdurrahman.
Aku tertawa mendengar ucapan Cikgu Abdurrahman.
“Cikgu berasal dari Sulawesi?”
“Betul, dari sebelah ibu Sulawesi. Ibuku berasal dari Buton. Tapi,
ayahku orang Banjar. Keturunan puak (suku) Buton dan Banjar. Ibuku
dibunuh tentara Jepun (Jepang), tapi ayahku jaguh (pahlawan) Malaysia
tahu,” tuturnya.
Ibu Cikgu Abdurrahman berketurunan Buton, dulu
sering berbicara dalam bahasa Walio. Tapi, ayahnya bersuku Banjar.
Keturunan diaspora suku Banjar di Malaysia memang mewarnai Melayu
Malaysia. Tersebar di negeri Perak, Johor Bahru, Selangor, Kedah, Negeri
Sembilan, Sabah dan Serawak. Cikgu Abdurrahman adalah generasi ketiga
dari kedatangan suku Banjar di tanah Semenanjung. Keberanian “urang”
Banjar terkenal dalam sejarah Malaysia. Mereka berkontribusi besar pada
kerajaan. Ketika 1945-an Jepang menyerah kalah dari tentara Sekutu,
Malaysia menghadapi ancaman komunis Cina. Etnis Melayu bergolak
menghadapi ekspansi komunis yang bertentangan dengan paham, agama dan
ideologi masyarakat Melayu. Masyarakat Melayu banyak yang menjadi korban
kebengisan komunis di negeri itu.
Namun, satu hal yang tidak
diperhitungkan oleh kaum Komunis Cina ketika itu, yakni keturunan Bajar
di Tanah Semenanjung. Masyarakat Banjar mengusung jihad melawan komunis.
Di wilayah Sungai Manik dan Batu Pahat, Johor, masyarakat Banjar
melakukan perlawanan dahsyat membumihanguskan kaum komunis hingga ke
akar-akarnya. Masyarakat Banjar menjadi simbol perlawanan dan simbol
eksistensi bangsa Melayu Malaysia. Hingga kini, mereka mendominasi dalam
hal politik dan pemerintahan, perdagangan, pertanian, militer, agama,
dan pendidikan. Banyak tokoh-tokoh Malaysia berketurunan Banjar di
negeri ini. Seperti juga keturunan Mandailing, Minang, Jawa, Aceh,
Bawean (Madura), dan Bugis, mereka merupakan bagian dari suku-suku yang
menopang pembangunan di Malaysia.
Kebanyakan suku Banjar di
Semananjung Malaya berasal dari keturunan Banjar Pahuluan. Lebih dari
satu juta penduduk di Malaysia bersuku Banjar ini. Mereka menyebar di
Batu Pahat, Kluang, Air Itam, Felda Chini, Felda Keratong, Bukit
Pelandok, Tanjong Karang, Sungai Besar, Sabak Bernam Bagan Datuk, Kulim
Bandar Bahru, Tenom hingga Tawau.
“Sekarang kita sudah saling
mengenal. Kita ini bersaudara. Selesaikan masalah baik-baik.
Alhamdulillah, kita dapat ambil hikmahnya sekarang. Aku dan Datuk Rustam
bisa menjadi muridmu. Aku sudah melihat semua tentang dirimu dalam
mimpi. Kamu adalah orang yang bisa mengajarkan kami tentang agama. Aku
ini buta, tapi aku tak tuli. Aku bisa merasakan siapa engkau. Kamu dapat
mengajarkan kami tentang agama Islam, tentang tasawuf yang sekarang ini
ditinggalkan orang. Padahal, datuk-datuk kita dulu belajar tasawuf.
Sejak zaman dahulu lagi, mereka sudah belajar tasawuf Imam Al-Ghazali.
Tapi, budak-budak zaman sekarang ini tak mengenal beliau. Mereka tak
kenal Hamzah Fansuri, tak kenal Abdussamad Al-Palimbangi, tak kenal
Dawud Alpathani. Mereka tak mengenal Syekh Khatib Syambas. Tak tahu
Syekh Yusuf Makasari. Ini tugas awak,” tuturnya. “Aku sudah tua. Buta
lagi. Tak tahu harus mengajarkan apa. Awak lebih pandai,” ucapnya lagi.
Kulihat Zenita tak ada di ruangan. Dia pergi tanpa pamit. Saat Yasmin
datang menjenguk kami, dia sudah tak ada. Kulihat Yasmin sudah mengenal
Cikgu Abdurrahman. Mereka tampak begitu akrab. Wajah Yasmin kelihatan
gembira bertemu dengan Cikgu itu.
“Alhamdulillah, Yasmin. Aku
sudah bertemu dengan suamimu. Alhamdulillah. Kamu bertuah. Kamu bertuah
mempunyai suami Thariq,” ucap Cikgu Abdurrahman.
Aku hanya
tersenyum menyaksikan mereka. Orangtua ini benar-benar memancarkan
cahaya yang sukar kujelaskan. Hatiku terus berdzikir tanpa henti saat
kutatap wajahnya. Ini tarikan ruhani yang tak biasa.
---BERSAMBUNG PART 17---
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1680096348706959
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment