Oleh Halim Ambiya
Asy-syarru bi as-syarri (Kejahatan dibalas
kejahatan). Keburukan dibalas keburukan. Kekerasan dibalas kekerasan.
Demikian seterusnya, selalu terjadi. Tak akan ada akhirnya jika nafsu
mengendalikan jiwa pemiliknya. Ini hukum Allah yang berlaku di bumi.
Menghentikan kekerasan bukan dengan kekerasan, tapi dengan kelembutan.
Hanya itu yang mampu melenyapkan kekerasan di antara kita.
Sepandai-pandainya tupai melompat pasti jatuh jua. Main api hangus, main
air basah. Bang Faizal dikeroyok 5 orang anggota geng suruhan Datuk
Rustam, ayah Razi. Untung saja polisi datang cepat. Nyawanya masih bisa
diselamatkan, meskipun lukanya sangat parah. Kelima orang pengeroyok
masih buron, tak ada satu pun yang berhasil ditangkap. Tapi, meski motif
pengeroyokkan itu didalangi oleh Razi atau Datuk Rustam, polisi sama
sekali belum melakukan investigasi kepada keduanya.
Bang Faizal
terbaring di rumah sakit. Aksi ini tak akan bisa diselesaikan hanya
dengan masalah hukum. Hukum bisa dibeli. Alasan bisa dicari. Semua bisa
diatur. Sebab dendam memilik wajahnya sendiri, tak akan tersentuh hukum.
Penyakit badan bersemayam sehari, tapi sakit hati bersemayam abadi.
Konflik antara dua keluarga besar terjadi dengan begitu cepat.
Masing-masing unjuk gigi. Jalur hukum jalan, jalur preman tak henti.
Masalah ini semakin membuat aku dan Yasmin bertambah sedih. Bagaimana
mungkin bisa hidup nyaman. Masalah status Sean bertambah runyam.
Kegelisahan Yasmin kian bertambah.
Aku dan Yasmin menjenguk Bang
Faizal di rumah sakit menjelang senja. Lukanya menceritakan segalanya.
Wajahnya memar-bengkak. Pelipisnya robek. Mata kirinya masih mengucurkan
darah. Dua giginya tanggal. Tangan kirinya patah. Yasmin tak kuasa
menahan tangis. Bang Faizal masih tak sadarkan diri.
Kulihat Abah
Samad yang duduk di dekat pembaringan Bang Faizal pun mengucurkan
airmata. Aku harus menunjukkan diriku sebagai lelaki kuat. Aku tak boleh
terbawa emosi. Kudekati Abah dan kupeluk erat. “Sabar, Bah. Sabar,”
kataku sambil mengusap-usap punggungnya. Tak sepatutnya, kita
menghadiahkan episode ini di depan seorang lelaki terhormat berumur 85
tahun. Bagiku, ini adalah kecerobohan anak yang disaksikan orangtuanya.
Kesalahan anak adalah duka bagi orangtua. “Mestinya orangtua tak
menyaksikan ini,” bisikku dalam hati.
“Akak sabar ya. Insya
Allah, Abang akan cepat sembuh,” bisikku di telinga Kak Saidah, istri
Bang Faizal. Dia memelukku kencang. “Erik, awak tak boleh diam. Abang
sayang awak, sayang Yasmin. Dia rela berkorban,” katanya lagi. Aku masih
menangkap dendam khusumat di getar suaranya yang serak. Istri mana yang
tega melihat suaminya tercinta babak belur, meradang nyawa.
“Insya Allah. Akak sabar ya. Aku akan selesaikan masalah ini. Pasti ada
jalan. Insya Allah,” kataku meyakinkan. Aku mengusap airmatanya dengan
tanganku, lalu mencium kening kakak iparku tersayang. Sekali lagi aku
memeluknya, sebagai tanda sayang dan tanda dukaku. “Akak sabar ya,”
kataku lagi.
“Tadi pagi Abang bangun sekejap. Dia panggil nama
awak. Erik…Erik,” katanya. “Dia tak panggil Akak, istrinya, tapi Abang
panggil nama awak. Erik…Erik macam tu,” tuturnya lagi.
“Subhanallah,” ucapku. Tapi, aku tak sanggup berkata apa pun. Aku hanya
bisa menatap tubuh Bang Faizal dari ujung kepala hingga telapak kaki.
Aku kagum dengan rasa sayang Bang Faizal kepadaku. Dia lalukan semua
untuku, untuk Yasmin. Aku tahu, saat dia melabrak dan mengebuk Razi
sudah siap dengan segala resiko. Kini dia menanggung pembalasan pihak
Razi. Aku merasa bangga punya abang seperti Bang Faizal. Meskipun yang
dia lakukan salah, tapi dia tetap Abangku. Dia marah dan menghajar Razi
karena sudah tak tahan melihat aku dan Yasmin dihina dan disakiti.
Selang beberapa lama, aku meminta Yasmin dan Abah untuk segera
meninggalkan rumah sakit. Dan, membiarkan Bang Faizal ditunggu Kak
Saidah. Karena bagiku, tak baik berlama-lama di ruang itu. Kita tak
perlu merekam adegan sedih berulang-ulang, karena hanya akan mengotori
hati dan merusak badan.
“Biarlah kita serahkan kepada team
dokter untuk bekerja. Kita doakan saja semoga lekas pulih. Kalau pun
nanti ada pemeriksaan lanjutan dari polisi, bisa diselesaikan di kantor
nanti,” kataku kepada Yasmin dan Abah. Aku berhasil membujuk Abah untuk
tinggal bersama kami untuk sementara. Tak lupa kumintakan izin kepada
Kak Saidah. Aku tak ingin melihat Abah tertekan gara-gara masalah ini.
Beliau harus langsung kuhibur. Sebab, Abah menyaksikan kejadian
pengroyokan itu secara langsung. Abahlah yang berusaha menghubungi pihak
polisi kala itu. Bahkan, Abah sempat terjungkal ke dekat selokan ketika
berusaha menghentikan perkelahian.
Lima orang pengeroyok itu
dengan beraninya mendobrak rumah Bang Faizal di pagi hari. Menyeret dan
membantai tubuh Bang Faizal persis di depan rumah. Tepat pada waktu
komplek perumahan USJ sedang lengang. Tampak jelas, mereka adalah
anggota geng yang terbiasa melakukan aksi kekerasan. Mereka sama sekali
tak takut satpam komplek. Sungguh malang, Abah menyaksikan dengan mata
kepala sendiri anaknya dianiaya. Sungguh memilukan.
***
Abah
mulai bermain dengan Sean di rumah. Suasana rumah menjadi semakin seru
untuk beberapa saat. Tapi, kesedihan Abah tak bisa disembunyikan. Aku
berkali-kali memohon maaf atas kesalahan aku, Yasmin dan Bang Faizal.
Bagiku ini tetap merupakan kesalahan anak-anak. Aku tahu, yang
dipikirkan Abah bukan hanya luka di tubuh Bang Faizal, tapi juga
kesedihan Yasmin, status Sean, nasibku dan kedamaian rumah tangga kami.
Aku tak bisa bayangkan jika aku di posisinya. Orang di usia Abah
mestinya tenang beribadah, mengisi hari-hari bersama cucu, dan tak perlu
menyaksikan tragedi hidup seperti ini.
“Razi pun guna bomoh
(dukun). Anak bapak sama saja,” kata Abah agak pelan, saat kusodorkan
teh melati khas Slawi, merek Sadel yang kudapat dari ibuku. Aku tahu
Abah lebih suka teh tubruk ini daripada teh tarik. Aku ingin membuatnya
santai, membuang kepahitan duka hari ini. Tapi, ternyata justru
membuatnya menerawang jauh. “Dia orang nih masih percaya bomoh,” katanya
agak sedikit keras.
“Ooh begitu,” kataku singkat. Aku tak begitu
tertarik dengan cerita perdukunan. Apalagi aku pernah mendengar cerita
itu dari Yasmin. Kubiarkan Abah menikmati tehnya. Saat itu, aku lebih
memilih untuk segera menelpon Datuk Rustam. Aku harus ketemu dia. Namun
berkali-kali kutelpon, dia tak pernah mengangkat.
Akhirnya, aku menulisnya pesan melalui Whatsapp:
“Assalamualaikum, Datuk Rustam. Saya Thariq Abdul Matin, suami daripada
Yasmin. Saya sangat prihatin dengan masalah yang terjadi antara Saudara
Razi dan Bang Faizal. Saya ingin berjumpa Datuk agar dapat mengelakkan
sembarang kejadian serupa terulang kembali. Saya mohon Datuk memberi
kebenaran kepada saya untuk berjumpa dengan Datuk. Terima kasih.”
Aku lihat dia membaca pesanku. Tapi Datuk Rustam tak berusaha
membalasnya. Orang seperti dia pasti punya pertimbangan lain. Boleh jadi
dia menyerahkan pesanku itu kepada pengacaranya. Mungkin juga dia
mengira aku sedang memancing dirinya. Aku siap dengan resiko apa pun.
Aku sudah pertimbangkan. Kalau pun dia tak menjawab pesanku, aku tetap
akan mendatangi rumah atau kantornya.
Aku melirik ke arah Abah,
yang sedang kesusahan membuka bungkusan kecil di saku bajunya. “Aku
masih simpan ini” katanya sambil mengulurkan bungkusan kain yang kusam.
“Kau kan anak pondok, pasti lebih tahu. Coba buka apa isinya? Abah takut
nak buka. Abah temukan benda ini dalam pot bunga di depan rumah,”
katanya lagi.
Kuraih bungkusan aneh itu. Semacam jimat yang biasa
digunakan untuk guna-guna. “Apakah mungkin ini jimat kiriman Razi?”
bisikku dalam hati. Tapi, aku tak mau membuat Abah bertambah tertekan.
“Boleh jadi, ini kiriman Razi, sebab rumah yang digunakan Bang Faizal
sekarang adalah rumah Abah. Disitu pula dulu Yasmin dan Razi tinggal. Di
tahun pertama pernikahan kami, aku dan Yasmin pun tinggal disana
bersama Abah. Mungkin juga Razi mau mengusik rumah tangga kami,” bisikku
sambil membolak-balikkan benda itu.
Menurut penuturan Abah,
tiba-tiba bonsai cemaranya terserang hama. Saat dia berusaha memindahkan
ke dalam pot baru, tiba-tiba melihat bungkusan aneh itu. Lalu, dia
menyimpannya hingga sekarang.
“Datuk Rustam dan keluarganya
biasa gunakan bomoh. Aku sudah agak dah. Dia pernah cerita kehebatan
keluarganya. Konon keturunan raja,” tutur Abah lagi.
Bungkusan
kain berwarna merah itu tampak kotor dengan tanah. Aku sukar merobeknya
hingga kucarikan gunting untuk membukanya. Yasmin ketakutan dengan
bungkusan itu. “Abang, apa nih?” tanyanya lagi. “Ini sihir ke, Bang?”
tanya Yasmin serius.
“Abang belum tahu. Ini baru nak tengok.
Kalau pun ini bukhul sihir yang dibuat Razi, haqqul-yaqin itu tak akan
berarti bagi keluarga kita,” jawabku. Sengaja kukatakan ini. Aku tak
boleh salah menjelaskan. Sebab, selama ini aku tak pernah mau
menjelaskan pertanyaan-pertanyaan Yasmin seputar bomoh dan dunia mistik
atau klenik.
Aku berusaha membuka perlahan isi bungkusan itu
disaksikan Yasmin dan Abah. Keduanya kulihat cukup tegang. Kain merah
itu dijahit rapi pada semua ujungnya. Gulungan cukup padat. Bau minyak
wangi pun terasa menyengat saat kubuka gulungan-gulungan kain itu.
“Astaghfirullahal-azhim” kataku pelan saat kulihat ada fotoku dan foto
Yasmin di tengah-tengah gulungan. Sedang di gulungan terakhir, kulihat
ada tulisan bertinta emas beraksara asing seperti rajah.
“Jahat!!! Itu foto kita Bang. Dia memang sudah rancang nak bunuh kita. Nak jahannamkan kita, Bang,” kata Yasmin.
“Astaghfirullahal-azhim. Astaghfirullahal-azhim,” ucap Abah.
“Dengarkan aku!” kataku serius sambil menuding jari telunjuk dan
menatap wajah Yasmin. “Jika kau percaya benda ini, kau akan kena!” aku
terus tatap wajah Yasmin. “Sebab imanmu teralihkan oleh benda tak
berarti itu. Apalah arti benda ini bagi kita? Sama sekali tidak ada
artinya!” kataku. Inilah saatnya bagiku untuk menjelaskan tentang
masalah sihir dan klenik kepada Yasmin yang selama ini tak pernah mau
kuceritakan.
Abah menatap wajahku. Menarik nafas pelan sambil membetulkan posisi duduknya. Dia menunggu penjelasanku.
“Surat An-Nas dan Al-Falaq yang kau baca sebelum tidur jauh lebih
dahsyat dari benda ini. Sihir apa pun tak mampu menembusnya. Kita tiap
hari membacanya sebelum tidur. Membaca Qulhu pula. Mengapa harus takut
dengan benda macam ini?” jelasku.
“Ini hanya ulah orang yang tak
memahami tauhid secara benar. Sehingga meminta bantuan bomoh untuk
mencelakakan orang lain dengan cara gaib. Padahal ini hanyalah permainan
anak kecil yang konyol. Sama-sekali bukan lawan kita,” kataku. Sengaja
kukatakan ini untuk membesarkan jiwa Yasmin dan Abah.
“Abang, tapi dia letak gambar kita kat situ?” tanya Yasmin. “Tak ada apa-apa kah tuh?”
“Tak ada apa-apa,” kataku.
“Tengok itu ada rambut!” kata Yasmin sambil menuding ke arah bungkusan yang kupegang.
“Tak ada apa-apa. Meski dia letakan tulangku disini,” kataku lagi.
“Itu rambut aku kah? Panjang?” tanya Yasmin.
“Mungkin,” jawabku singkat. Aku ingin menunjukkan kepada Yasmin, rambut dia atau bukan itu tak penting lagi.
Aku berusaha menjelaskan semampuku kepada Yasmin dan Abah dengan
berapi-api agar membuat keduanya yakin dengan penjelasanku. Aku juga
menjelaskan bagaimana konsep energi bekerja. Menjelaskan bagaimana
kekuatan doa dan munajat. Sampai kepada kekuatan huruf, tanda dan simbol
yang biasa digunakan oleh orang yang membuat rajah. Kujelaskan sedikit
kitab Mujarabat yang pernah kupelajari agar mereka bertambah yakin
tentang pengetahuan masalah ini.
Kulihat mereka sudah mulai
memahami secara perlahan. Aku tak menafikan bahwa benda semacam itu bisa
menjadi media kekuatan magik yang jahat dan bisa mencelakakan orang
yang menjadi targetnya. Tapi, aku juga menjelaskan kedahsyatan energi
doa yang diajarkan Rasulullah, sahabat, tabi’in, tabi’tabi’in, ulama,
kyai dan ustaz dari zaman ke zaman. Agar mereka bisa mereka perbedaanya
secara jelas.
Aku seperti sedang menjelaskan psikologi motivasi
kepada keduanya. Mengulas masalah kuantum, silva mind control, telepati,
hipnotis, dan sejenisnya. Alhamdulillah, antusiasme Yasmin dan ayahnya
luar biasa. Mereka menjadi murid-muridku yang baik malam itu. Kuanggap
ini sebagai dzikir kami untuk sekadar menghilangkan kekhawatiran yang
tak perlu karena jimat ini.
“Boleh tak, Abah nak tengok apa kandungan azimat itu?” tanya Abah sambil menunjuk ke arah kain yang masih kupegang.
“Nanti aku buka,” jawabku tenang. Orangtua ini tak boleh langsung
dibawa ke pembahasan lebih serius tentang kandungan rajah yang ada di
dalamnya. Apalagi aku belum melihatnya secara utuh. “Abah ingat tak film
P Ramlee, lakon Ali Baba?” tanyaku.
“Yang mana satu?” tanyanya sambil tersenyum.
“Waktu P Ramlee mengucapkan mantra untuk membuka pintu goa yang berisi harta karun?”
“Ohhh. Abah ingat: Niat ingsun matek aji semar ngising,” katanya.
Aku tertawa terbahak-bahak melihat gaya Abah menirukan gerakan P Ramlee
dan Aziz Sattar ketika mengucap kalimat itu. Berdiri sambil
mengacungkan tangan, lalu ketika menyebut kata “ngising” pantatnya
diturunkan sambil bergoyang.
“Habis kenapa awak tertawa? Itu baru nak buka. Waktu mahu menutup dia cakap: Rampung ngising semar kilem.”
Abah benar-benar hafal dialog film Ali Baba karya P Ramlee itu.
“Itu kelakar saja. Bagi orang Jawa itu bukan mantera,” kataku sambil terus tertawa.
“Habis apa hal?” tanyanya penasaran.
“Abah tahu tak maknanya ke?”
“Abah tak tahu, bukan orang Jawa.”
“Niat ingsun matek aji semar ngising artinya aku berniat menggunakan ajian semar buang air.” Aku jawab sambil tertawa-tawa.
“Hahah. Iya ke?” tanyanya penasaran.
“Habis itu, apa makna Rampung ngising semar kilem?”
“Habis buang air Semar tidur.”
Kini ayah dan anak benar-benar tertawa lepas. Yasmin bahkan
berkali-kali mencubit perutku. Aku puas, keduanya bisa melupakan
kejadian hari ini dengan mengingat lelucon film P Ramlee.
“Sekejap.
Abah masih ingat. Kasim Baba lupa mantera itu, lalu dia cakap: Iso
ngising, Semar ngising, iso ngising. Apa maknanya? Kenapa waktu itu
pintu gua tak terbuka?” tanya Abah lagi.
“Hahaha. Dia salah
mantera la tuh. Iso ngising artinya bisa buang air. Semar ngising
artinya Semar buang air, iso ngising, bisa buang air. Mana boleh buka
pintu sambil buang air?” jawabku sambil diiringi dengan tawa canda.
“Kita tertipu orang Jawa” kata Abah tertawa geli.
“Abang, boleh tak buka bungkusan itu. Aku nak tahu saja apa isinya?”
Tiba-tiba Yasmin ingin melihat isi jimat yang ada di dalamnya. Aku
menengok ke arah Abah dan dia pun mengangguk tanda setuju. Perlahan
kubuka bungkusan bertuliskan rajah pada jimat kain berwarna merah itu.
“Incema-incema amataumo karona
Satotuuna amataumo Opuna
Opu yitu atopena kakasuna
Ikalibina batua moaarifu.
Musyahadah atontomaaka Opuna
Amambuumo katauna ikarona
Afana’ mo sabara mosyympona
Soo Allahu wujudu modaangia
Abarubamo iandala mogaebu
Abangumo siytu tee Opuna
Pokamatamo inciya tee Opuna.”
Tulisan ini menggunakan aksara yang asing. Bukan tulisan latin. Aku
yakin, siapa pun orangnya yang tidak mengenal bahasa ini, pasti
menganggapnya sebagai kalimat guna-guna yang bisa mencelakakan orang.
Apalagi bentuknya yang sangat asing. Mirip tulisan Jawi, tapi bukan.
Dan, biasanya bagi orang awam, sesuatu yang asing, aneh dan klasik
dianggap lebih sakti, lebih ampuh dan lebih punya kekuatan magis.
“Itu tulisan Arab ke?” tanya Abah.
“Nampak macam tulisan Jawi?” kata Yasmin.
“Bukan” jawabku singkat. Sambil terus membaca.
“Lalu, bahasa apa, Bang?”
“Sulawesi.”
“Patutlah. Datuk itu keturunan Bugis.”
“Bukan. Ini bukan bahasa Bugis.”
“Habis, bahasa apa?”
“Ini bahasa Walio. Bahasa orang Sulawesi Tenggara. Orang Bau-bau.”
“Orang bau? Bau apa?”
“Hahaha. Bukan, maksudnya Bau-bau itu nama daerah. Dulu disini ada kerajaan Islam. Namnya Kesultanan Buton.”
“Oooh I see.”
Aku terus memerhatikan tulisan di kain tersebut. Bahasa Walio Buton
yang khas dengan nilai tasawuf yang tinggi. Aksaranya memang mirip
aksara Arab/Jawi atau juga lazim disebut Pegon di Indonesia.
Perbedaannya, bahasa Buri Walio bunyi vokal ikut diberi tanda sehingga
aksara ini tergolong dalam kelompok alfabet. Aksara ini memiliki jumlah
sebanyak 22 huruf, 17 huruf diambil dari aksara Arab dan 5 huruf dari
aksara Jawi.
Aku bersyukur pernah mempelajari sedikit bahasa
Buton saat penelitian tentang peran dan posisi penting tasawuf di
Kesultanan Buton. Aku masih hafal beberapa kitab tasawuf dan aliran
thariqah yang berkembang di sana. Dahulu, di kesultanan ini, seperti
juga kesultanan di Aceh, Cirebon, Solo, dan kesultanan lain di Nusantara
mereka mempelajari ilmu tasawuf di istana.
Pemikiran dan ajaran
tasawuf Imam Al-Ghazali, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Syekh Ibnu
Arabi, Abu Yazid Al-Bustomi, Syekh Al-Burhanpuri, dan lainnya dikenal
luas di seluruh kesultanan di Nusantara, seiring dengan perkembangan
thariqah di masing-masing kerajaan berkenaan. Kesultanan Buton adalah
salah satu bukti penyebaran Islam melalui tasawuf yang tak terbantahkan.
“Awak tahu maknanya ke?” tanya Abah penasaran.
“Aku tahu sedikit. Aku pernah kesana. Pernah mempelajari bahasa itu. Dulu waktu masih belajar di Jakarta.”
“Aku punya ide,” kataku tiba-tiba. Aku ingin jadikan bahasa ini sebagai
pintu masuk menundukkan Datuk Rustam. Aku tak boleh menyerah. Aku
yakin, dia bisa didekati dengan cara yang lebih cerdas.
“Awak punya ide apa?” tanya Abah.
“Cakaplah, Bang,” desak Yasmin.
“Ini bisa jadi jalan untuk mendekati Datuk Rustam.”
“Maksud awak?”
“Bah, Datuk itu mengaku berasal dari Sulawesi?”
“Betul. Tapi, dia cakap Bugis.”
“Bukan. Aku pikir dia keturunan Buton. Itu Sulawesi Tenggara,” jawabku.
Saat itu juga aku segera mengetik pesan whatsapp kepada Datuk Rustam.
Aku berharap dengan pesan ini dia menjawab. Yasmin dan Abah
memerhatikanku. Mereka ingin tahu apa yang sedang aku buat. Aku tak
memedulikan keduanya. Aku ingin menguji, apakah Datuk Rustam atau Razi
yang mengirim guna-guna itu. Aku juga harus tahu apakah mereka paham
atau tidak. Atau boleh jadi, ini sebenarnya jimat milik Datuk Rustam,
tapi dicuri Razi dan diberi fotoku dan foto Yasmin.
Aku tahu,
hampir semua kerajaan di Malaysia mempunyai hubungan darah dan
kekerabatan dengan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Misalnya,
Pagaruyung berhubungan darah dengan Kerajaan Seremban, Selangor
berhubungan darah dengan kerajaan Bugis dan Banjar. Melaka berhubungan
dengan Aceh dan Palembang. Johor Bahru berhubungan darah dengan Kerajaan
Riau. Dulu belum ada nama Indonesia ataupun Malaysia.
Kita
adalah penduduk nusantara yang begitu luas dengan ratusan bahasa. Lalu,
kita disatukan dengan bahasa Melayu sebagai lingua franca, bahasa
pengantar, bahasa perdagangan semua suku di nusantara. Penjajahlah yang
memecah-mecah antara kerajaan di nusantara ini. Kemudian menjadikan
negara jajahan yang tunduk pada pembagian wilayah menurutnya. Aku ingin
mendekati Datuk itu dengan cara yang lebih primordial.
Kukirim pesan ini untuk Datuk Rustam:
“Amadaki-amadakimo arata solama boli okaro
Amadaki-amadakimo karo solama boli olipu
Amadaki-madakimo lipu solama boli osara.”
Aku berharap dia paham maksudku. Sengaja tak kutulis maknanya. Aku
ingin melihat reaksinya. Kalau memang dia berketurunan dari Kesultanan
Buton, mestinya dia paham kalimat itu. Ini adalah moto utama kerajaan
itu. Semacam peraturan adat yang harus dipatuhi oleh keluarga kerajaan
dan rakyat Buton. Kalaupun dia tak paham, aku akan berusaha
memahamkannya bahwa apa yang dikirim ke rumah kami adalah sebuah lelucon
kampungan. Sebab jauh panggang dari api. Apa yang tertulis di jimat itu
bukanlah sihir atau santet untuk membunuh. Pengirimnya sama sekali tak
tahu bahasa Buton.
Datuk Rustam belum juga membalas. Kulihat dia
membacanya. Yasmin dan Abah masih menunggu. Mereka ingin sekali
mengetahui apa yang kukirimkan ke Datuk Rustam. Akhirnya, aku jelaskan
makna yang dimaksud.
“Amadaki-amadakimo arata solama boli okaro
(Rusak-rusaklah harta asalkan jangan rusak diri)
Amadaki-amadakimo karo solama boli olipu
(Rusak-rusaklah diri asalkan jangan rusak negeri)
Amadaki-madakimo lipu solama boli osara
(Rusak-rusaklah negeri asalkan jangan rusak syara)
Malam semakin larut. Aku menjelaskan bahwa yang terdapat pada jimat itu
sebenarnya Syair Pakayena Arifu yang dibuat oleh Kenepulu Lanto.
Seorang penghulu kesultanan Buton di abad ke-19. Itu adalah syair yang
menjelaskan tentang musyahadah dan penjelasan tentang makna fana dan
baqa. Syair ini sebenarnya uraian tentang “man ‘arafa nafsahu faqad
‘arafa rabbahu” (Barangsiapa mengenal dirinya maka mengenal Tuhannya).
“Bagaimana mungkin dengan memasan foto kita di bungkus syair itu lalu
kita menjadi terkena sihir,” kataku.
Lalu, kujelaskan rincian makna setiap baris syair tersebut:
“Incema-incema amataumo karona
(Siapa mengetahui dirinya)
Satotuuna amataumo Opuna
(Maka dia telah mengetahui Tuhannya)
Opu yitu atopena kakasuna
(Tuhan itu sangatlah dekat)
Ikalibina batua moaarifu.
(Dalam kalbu hamba yang arif)
Musyahadah atontomaaka Opuna
(Musyahadah menyaksikan Tuhan)
Amambuumo katauna ikarona
(Hilanglah pengetahuan pada dirinya)
Afana’ mo sabara mosyympona
(Fanalah semua hal yang baru (alam))
Soo Allahu wujudu modaangia
(Hanya Tuhan wujud yang ada)
Abarubamo iandala mogaebu
(Sudah lebur dalam lautan gaib)
Abangumo siytu tee Opuna
(Dia bangkit bersama Tuhannya)
Pokamatamo inciya tee Opuna.”
(Melihat dia dengan Tuhannya)
“Awak berhutang penjelasan” kata Abah sambil berdiri dari kursi. "Aku sudah mengantuk. Kita lanjutkan besok.”
“Berarti kita tak akan tersihir karena syair itu, Bang,” kata Yasmin sambil tersenyum manis mengajakku ke pembaringan.
“Tidak sayang. Kita bahkan didoakan oleh si pengirim guna-guna itu,” jawabku.
--BERSAMBUNG PART 14--
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1672576812792246
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment