Oleh Halim Ambiya
Pagi itu terasa berbeda. Benar-benar berbeda
dari biasanya. Yasmin mengambil cuti. Sean dibiarkan bermain di rumah
bersama Makcik Izzah. Aku tahu, semalam dia telah bertemu kembali dengan
Razi, mantan suaminya. Meskipun dia berusaha menyembunyikan sesuatu,
tapi aku sudah menangkap isyarat tak baik.
“Abang, I need to
talk,” kata Yasmin sambil bercucuran airmata. “Aku tidak mengkhianatimu.
Ini bukan salahku. Sebenarnya dari minggu lalu aku ingin bagi tahu
Abang, tapi aku tak bisa. Aku juga kaget. Zahra berbohong. Dia mengarang
cerita tentang Sean. Ini bukan salahku. Aku tak tahu sebelumnya.”
katanya lagi dengan wajah memohon uluran maaf dariku.
Aku diam
menunggu ungkapan jujur yang akan ditumpahkan di pangkuanku. Sambil
menghimpun arti kesabaran yang pernah kupelajari dari guru-guruku dulu.
Aku ingin mendengar pengakuan istriku dengan kesabaran yang diajarkan
bumi bagi penghuninya. Seperti nilai-nilai kesabaran dalam kitab suci
dan buku-buku kuno yang kupelajari sejak di pondok hingga di bangku
kuliah, atau yang pernah kupungut dari majelis dzikir Kyai Bahruddin.
Yasmin berhenti berkata. Tubuhnya berlutut di hadapanku. Wajahnya
disandarkan di pangkuanku. “Ada apa sayang, katakan saja,” desakku. “Aku
sudah siap mendengar pengakuan jujurmu. Aku siap mendengarkan. Apa pun
itu,” kataku lagi.
“Jika memang kamu mau jujur, katakan saja. Jangan kau tahan,” kataku.
“Sean is Razi’s son (Sean adalah anak Razi)” ungkap Yasmin.
Dorr!!! Kabar ini seperti timah panas yang menembus jantungku. Aku
terkapar. Tergeletak. Rasanya ilmu sabar yang kupelajari dari kitab Ihya
Ulumuddin mulai memudar. Dzikirku mulai rada-rada goyang. Naik-turun
imanku kian cepat. Seiring dengan kecepatan nafsu menguasai diri. Sabar
memang dibutuhkan pada pukulan-pukulan pertama mendengar musibah. Ia
sangat dibutuhkan untuk mengendalikan hentakkan di awal cobaan
menghantam.
“Ya Allah, izinkan aku mewarisi kesabaran Ayub,
nabi-Mu yang penyabar. Berilah aku kekuatan kekasih-Mu, Muhammad, saat
menghadapi haditsul-ifki di hari-hari yang memilukan. Berilah aku rasa
kesejukan ampunan-Mu dan manisnya rahmat-Mu,” bisikku dalam hati.
“Setahuku, Razi tak punya anak. Mengapa tiba-tiba justru sekarang punya
anak, dan anak itu adalah Sean, anak angkatku? Permainan apa lagi ini?
Astaghfirullah,” bisikku dalam hati. Aku terus mengiringi tarikan dan
hembusan nafasku dengan lafaz “Allahu..Allah.” Aku terus menjaga
hawa-hawa jahat dalam pikiranku yang mulai menawarkan diri untuk
mengambil alih, menawarkan kekerasan, menawarkan kemarahan, menawarkan
keputusan cepat untuk mengakhiri sebuah penghianatan.
Aku terus
berusaha mengendalikan tali kekang kuda liar yang ada dalam jiwaku.
Kusiapkan tenaga besar untuk mengendalikan hentakan-hentakan keras nafsu
kemarahanku. “Allahu..Allah” lafaz itu terus berusaha menguasai kuda
liar yang menarik-narik ego kebuasan nafsuku.
“Jangan-jangan Sean
sebenarnya anak dari hubungan Yasmin dan Razi?” bisik suara-suara nakal
di pikiranku. “Lalu, mengapa Sean dipilih aku dan Yasmin sebagai anak
angkat kami? Mengapa harus anak Razi? Mengapa tidak anak yang lain?
Dimana Datuk yang konon ayah kandungnya? Berarti TKW yang dimaksud
sebagai ibu Sean adalah bohong belaka?!” segudang pertanyaan mulai
berhamburan mengisi ruang batinku dengan tiba-tiba.
“Siapa yang memberitahumu?” tanyaku penasaran.
“Razi. Dia ceritakan semua.
“Mungkin saja Razi bohong,” kataku,
“Dia sudah bersumpah. Bahkan siap untuk test DNA.”
“Astaghfirullah. Ampunilah dosa-dosaku, ya Rabb. Ampuni aku,” bisikku
dalam hati, untuk memberi aba-aba agar aku bisa mempertahankan kendali
tali kekang kuda liar yang jahat dalam diriku. Aku berusaha keras.
Sungguh aku benar-benar meredam kemarahanku dengan berlaksa-laksa doa
dan munajat.
“Lalu, mengapa dia buat skenario ini? Mengapa
mengirim Sean dalam kehidupan rumah tangga kita?” tanyaku sambil
menangis pelan. Aku berusaha mengendalikan caraku bertanya. Aku tetap
mencintai Yasmin. Aku tak boleh sembarangan menuduh. Aku harus mendengar
terlebih dahulu semua ceritanya. Aku tak boleh angkuh dan keburu nafsu
mengambil keputusan dengan naik pitam.
“Razi balas dendam, sayang,” ungkapnya. “Dia ingin membuatku hancur,” katanya dengan suara keras diiringi dengan tangis.
Anehnya, tanganku tetap bergerak reflek mengelus-elus sayang kepala
Yasmin. Aku tak bisa menyalahkannya. Aku geram dan marah besar terhadap
ulah Razi. Tapi, aku tak bisa melibatkan Yasmin dalam perkara ini. Tak
tahu, kekuatan cintaku kepada Yasmin begitu besar, hingga kasih sayang
itu memberi pengendalian cukup hebat untuk menundukkan kuda liar dalam
diriku ini. “Ternyata, Razi telah menanam ranjau dalam rumah tanggaku,”
bisikku dalam hati.
“Aku tak bisa melepas wajah Sean dari
selimut kasih sayangku. Ini bukan salah Sean. Tak ada kaitan dengan anak
itu. Aku merasa punya hak untuk terus menyayanginya, apa pun yang
terjadi. Tapi, apa mungkin, setelah peristiwa ini aku bisa
mempertahankan rasa itu?!” bisikku lagi.
“Ternyata. Sean adalah
buah dari perselingkuhan Razi. Biadab!!!” kata Yasmin dengan suara agak
lantang. Aku terus mengelus-elus kepalanya. Aku tak bisa mendefinisikan
lagi, itu elusan sayang, atau hanya reflek tanganku kepada wanita yang
telah menjadi istriku selama 3 tahun.
“Dia ingin tunjukkan
kepadaku bahwa dia tak terkalahkan. Bajingan itu itu ingin agar aku
sendiri yang menelan pil pahit perceraian,” kata Yasmin.
“Dia gila cerai! Kaki cerai!” teriaknya lagi.
“Razi tega melakukannya karena dendam,” lanjutnya lagi.
“Sabar sayang. Jika memang benar semua ceritamu. Kita berada di pihak
yang sama. Beri waktu aku untuk memahami gejolak hatiku saat ini,
sayang. Percayalah sama Abang,” kataku menenangkannya. Di lubuk hati
yang paling dalam, aku menangkap kejujuran di diri Yasmin. Aku bisa
merasakannya. Aku berusaha menjadi orang bijak sebijaknya.
“Lalu, siapa sebenarnya ibu Sean?” tanyaku.
“Zahra, Abang… Zahra!” teriak Yasmin.
“Ternyata Zahralah istri simpanan Razi. Inilah yang membuat semakin
menyakitkan. Zahra itu adalah kawanku, Abang. Kawanku sejak Sekolah
Rendah,” katanya lagi.
“Sudah, tak perlu kau lanjutkan!” desakku.
“Serahkan semuanya kepada Allah. Serahkan semuanya!” kataku sambil
memeluknya. Aku tak ingin mendengar pukulan-pukulan ini menghantamku
bertubi-tubi. Biarkan menunggu kesiapan jiwaku untuk mendengarkan semua
cerita ini secara utuh.
Aku mengajak istriku shalat bersamaku
malam itu. Shalat yang menjadi dialog rahasia kami kepada Allah Yang
Maha membolak-balikkan hati. Shalat yang diharapkan menjadi penyaluran
energi sabar dari segi tiga cinta Ilahi; aku, istriku dan Dia. Hanya itu
yang bisa kami lakukan. Dan, jika ada kebohongan dari diri istriku
tentang hal ini, aku tak akan sanggup menyelamatkan tubuhnya terbakar.
Atau akan kubiarkan sendiri diriku menjadi abu.
***
Aku
bergegas menuju Damansara Heights. Aku ingin melupakan barang sejenak
berita buruk yang menimpaku saat ini. Tak sabar ingin berteduh di bawah
pohon trembesi disana. Rasanya ketenangan batinku di bawah pohon itu.
Suasana tenang di bawah trembesi itu menjadi tarikan ruhani tersendiri.
Angin sepoi-sepoi menerpa tubuh. Bau tanah liat basah dan
tangkai-tangkai lapuk. Diiringi dengan suara-suara kicau burung-burung
yang meloncat dari satu dahan ke dahan lainnya. Sungguh suasana yang
dapat menyentuh ke dasar hati, suasana batin yang jernih, batin yang
bebas dari penderitaan dan kepedihan.
Aku ingin merasakan
saat-saat indah di waktu kecil dahulu, ketika berada di sekitar Buyut
Mangung, pohon trembesi raksasa berdiameter lebih dari 5 meter
kebanggaan desaku. Di tempat yang dianggap angker itu berdiri kokoh
pohon trembesi raksasa berusia ratusan tahun. Lingkungannya sangat sejuk
dan lembab. Pohon raksasa yang dulu menjadi arena bermain dan
persinggahan para petani dari sawah dan ladang. Aku masih ingat,di
kawasan itu pula terdapat 4 pohon trembesi lainnya, tapi lebih kecil,
kira-kira berdiameter sekitar 3 meter mengelilingi trembesi raksasa. Aku
sering bermain petak umpet di sela-sela akar trembesi yang melintang
kokoh.
Aku benar-benar merindukan suasana itu. Rasanya damai dan
tenang berada di bawah pohon itu. Aku ingin merasakan keindahan
masa-masa indah 30 tahun lalu. Di atas tanah leluhur kami itu, aku
menyimpan impian-impian aneh. Rasanya sama seperti waktu aku mendamaikan
hati setelah kematian Hanum di Jatijajar, di bawah pohon trembesi
bersama Kyai Bahruddin.
Kuala Lumpur, seperti juga Singapura dan
Bangkok, merupakan objek menarik buat mereka yang suka dunia fotografi.
Begitu juga aku, berjalan-jalan ke Damansara Heights, mendekat ke
trembesi kesukaanku sambil membawa kamera, sekadar untuk memanjakan hobi
foto-foto dan menghilangkan kesedihan di hati. Di sini aku menemukan
sejumlah tanaman hidup berdampingan dengan realitas kehidupan
metropolis yang keras. Kupikir, Kuala Lumpur dan Lembah Klang adalah
tempat terbaik untuk melihat keindahan flora dan gedung pencakar langit
tumbuh beriringan. Di setiap sudut kota, kita akan menjumpai taman-taman
indah nan menawan. Ini mirip dengan model kota-kota di Inggris. Biar
kuputuskan saja bulan depan tak perlu balik ke Jakarta untuk mengurus
bisnisku. Aku ingin menyelesaikan dulu masalah ini disini, di dekat
pohon trembesi di Damansara Heights.
Tempat ini masih asri. Aku
masih sering melihat kawanan monyot-monyet bergelantungan di beberapa
kawasan elit yang rimbun dengan pepohonan. Tak jarang burung-burung
kutilang, kepodang, tekukur, jalak, cucak rowo dan burung-burung
berkicau indah lain hinggap dari ranting-ranting pepohonan, bahkan
sering terbang rendah memasuki kawasan perumahan dengan aman.
Pemandangan seperti ini jarang dijumpai di Jakarta. Sebab, penduduk
Jakarta adalah musuh bagi burung-burung liar yang berkicau di alam.
Jakarta hanya menjadi pasar bagi burung dalam jeratan sangkar. Aku tak
ubahnya burung dalam sangkar jika aku balik ke Jakarta di saat-saat
seperti ini.
Sengaja aku membawa kamera dan berpakaian seperti
pecinta alam ketika memasuki Damansara Heights di pagi hari. Agar aku
lebih aman dan tidak mencolok mata bagi warga di sekitar hunian elit
disana. Aku ingin bermanja-manja dengan alam, mendekati pohon trembesi
yang menyadarkan aku tentang makna hidup dan kehidupan.
Meski
,banyak orang menyebut pohon ini dengan nama Trembesi, Ki Hujan, Pohon
Hujan, atau orang Barat menyebutnya dengan nama Rain Tree, namun aku
lebih suka menyebutnya dengan nama Baujan. Aku merasakannya lebih dekat
di hati, sebab itu adalah bahasa ibuku. Dan, ungkapan kata “Sor-Baujan”
seolah lebih populer di hatiku daripada istilah lain. Dalam bahasa Jawa
Indramayu dan Cerbonan, kata “Sor” berarti bawah, “Baujan” berarti
trembesi. Nama Baujan begitu melekat di hatiku sebagai anak kelahiran
desa kecil di perbatasan Kabupaten Indramayu dan Subang. Nama Baujan pun
sering disebut dalam tembang-tembang tarling, sandiwara, sintren,
wayang kulit, wayang golek, dan kesenian khas di daerahku. Sering pula
menjadi kata menarik untuk wangsalan (berpantun) dalam bahasa khas Jawa
Indramayu.
“Pasar Bangkir Sor Baujan, keaniaya nasibe badan” (Pasar Bangkir di bawah pohon trembesi, teraniaya nasib diri ini)
Wangsalan seperti ini sangat populer di daerah Indramayu, Cirebon dan
sekitarnya. Sinden “Dermayon” seperti Carinih, Dariyah, Jayana dan Itih S
sering mempopulerkan lirik-lilir “Sor Baujan” dalam lagu daerah kami.
Hingga hari ini, Pasar tradisional di desa Bangkir masih bertahan,
bahkan memang posisinya tetap berada ning sor wit baujan (di bawah pohon
trembesi). Pantun “Pasar Bangkir Sor Baujan” itu menggambarkan
bagaimana seseorang yang nelongso, sedih, dan meratapi nasib badan
karena cobaan dan ujian hidup yang bertubi-tubi. Persis seperti
kesedihan yang kurasakan hari ini.
Aku terus berjalan melalui
rimbunan pohon-pohon tropis yang besar dan tinggi di sekitar Damansara.
Sungguh suasananya terasa seperti wajah desaku 30 tahun lalu, desa yang
dulu dikenal sebagai Desa Seribu Baujan. Pohon-pohon trembesi di desa
kami layaknya seperti tugu-tugu monumen kesuburan desa. Desa kami
dikelilingi 5 anak sungai, dari sumber air sungai Cipunagara nan
berlimpah. Dari desa kamilah, air waduk kali Salamdarma mengairi puluhan
ribu hektar sawah di daerah Subang dan Indramayu bagian barat.
Sayangnya, wajah desaku sudah jauh berubah. Buyut Mangun sudah
ditebang. Kami tak lagi mempunyai baujan kebanggaan. Padahal, biasanya
Baujan dijumpai di halaman balai desa, kantor kecamatan, masjid, hingga
perkuburan di daerah kami. Pohon ini memiliki keistimewaan karena
bentuknya yang menarik dan mudah dikenali karakteristik dahannya yang
berbentuk payung. Baujan memang cocok menjadi pohon penyejuk di
perkebunan atau taman. Dan, yang luar biasa lagi adalah bahwa Baujan itu
mampu menyerap CO2 puluhan kali lebih besar daripada pohon lainnya.
Bagaimana mungkin aku bisa melupakan pohon jenis ini?! Pohon yang
menyumbang banyak oksigen untuk alam di sekitarnya, sangat bermanfaat
bagi eksosistem. Konon, jika Baujan itu memiliki diameter tajuk hingga
15 meter. Ia mampu menyerap 28,5 ton karbondioksida setiap tahunnya.
Baujan jelas pohon yang sangat besar manfaatnya bagi ekosistem kita,
sebab jika dibandingkan dengan pohon biasa yang rata-rata mampu menyerap
1 ton CO2 dan dalam 20 tahun masa hidupnya.
Baujan yang tua
pasti selalu rindang. Pohon ini bisa mencapai ketinggian rata–rata 30–40
meter, lingkar pohon sekitar 4,5 m dan mahkota pohon mencapai 40–60 m.
Bentuk batang Baujan itu tidak beraturan, kadang tampak bengkok, seperti
gelembung besar. Daunnya pun majemuk, mempunyai panjang tangkai sekitar
7-15 cm. Tapi biasanya, Baujan yang sudah tua berwarna kecoklatan dan
permukaan kulit sangat kasar dan mudah terkelupas. Dulu, aku sering
menggunakan kulit Baujan sebagai “kambang kampul” atau penanda pada
kenur pancing saat memancing di sungai. Sebab, kulit Baujan itu bisa
mengambang seperti busa kering. Aku secara khusus mengetahui Baujan
secara terperinci, sebab dulu pernah terlibat dalam penelitian bersama
kawanku asal IPB di Baduy. Makanya, aku sangat gembira saat pemerintah
Indonesia pernah mengkampanyekan penghijauan dengan gerakan penanaman
sejuta pohon trembesi.
Kedatanganku saat ini sungguh tepat.
Sebab, ini adalah bulan Mei, waktunya Baujan berbunga. Baujan memiliki
bunga bewarna putih dengan bercak merah muda pada bagian bulu atasnya.
Kira-kira panjang bunga sekitar 10 cm dari pangkal bunga hingga ujung
bulu bunga. Tabung mahkotanya kira-kira berukurran 3,7 cm dan memiliki
kurang lebih 20-30 benang sari yang panjang nya sekitar 3-5 cm. Bunga
ini menghasilkan nektar untuk menarik serangga guna berlangsungnya
penyerbukan. Sungguh, di bulan Mei, Juni dan Juli kita bisa menyaksikan
keindahan pesona Baujan.
Aku berusaha membangkitkan romantisme
masa lalu itu dengan memungut buah Baujan. Dulu aku sering menggoreng
biji-biji Baujan. Rasanya khas, agak pahit tapi gurih seperti kacang.
Buah Baujan itu bentuknya panjang lurus agak melengkung, panjang sekitar
10-20 cm, lebar sekitar 1,5-2 cm dan tebal sekitar 0,6 cm. Warnanya
cokelat kehitam-hitaman. Ketika buah itu masak, bijinya tertanam di
dalam daging bewarna cokelat kemerahan, terasa sangat lengket dan manis.
Setiap satu batang buah, kira-kira berisi 5-25 biji. Aku biasanya
menyangrai dengan pasir.
Setidaknya hari ini aku bisa melupakan
sebentar tentang masalah pelik yang menimpaku. Kubawa biji-bijian ini ke
apartemen. Pada setiap biji yang kumasukkan dalam kantong plastik
terdapat dzikir yang kupanjatkan kepada Allah. Aku ingin menggorengnya
di rumah agar aku bisa menebarkan semangat kekuatan Baujan di rumahku,
memberi makna pada penjagaan “ekosistem” bagi bangunan keluarga,
menebarkan semangat hening dan mengayomi, melindungi, menjaga dan
memberi keteduhan bagi seluruh jiwa di sekitarnya. Aku tak peduli bila
nanti dianggap sebagai suku primitif yang sedang kelaparan atau dianggap
sedang mengamalkan ritus kuno. Aku tak peduli. Ini hakku untuk mencari
kedamaian jiwa dengan berkah Baujan yang memberi makna pada kelesatarian
alam, harmoni dan keindahan. Dan, yang penting aku bisa mengenang masa
kecilku dan melupakan masalah orang dewasa yang kini sedang menerpaku.
“Baujan…Baujan. Ini pasti lebih sedap daripada rangginang Nyai Sinom, almarhumah buyutku,” bisikku dalam hati.
---BERSAMBUNG PART 9---
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1665172430199351
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment