Oleh Halim Ambiya
“Yasminku…Melatiku…” bisiku di telinganya.
“Kamu memang cantik. Bahkan, kamu sudah cantik sebelum kata cantik ditemukan.”
Aku membelainya mesra. Mengajaknya merenung tentang makna kebahagiaan
agar dapat membuang rasa sedih dan derita. Dengan rasa syukur kita dapat
merasakan indahnya jalan kebahagiaan, yang kadang harus ditempuh dengan
berliku-liku. Karena, kebahagiaan akan terasa singkat jika dilalui
tanpa perjuangan meraihnya. Maka, tak perlu menganggap perjuangan
sebagai derita, kalau kita memahami perjuangan sebagai wadah bagi
kebahagiaan itu sendiri. Dengan memahami semua itu jiwa kita akan selalu
merasa bahagia. Sebagaimana kebahagiaan menjadi unsur yang dijanjikan
keabadiannya oleh Sang Maha Abadi.
Yasmin seperti juga Hanum
adalah dua sisi sayap kupu-kupu bagi perjalanan hidupku. Keduanya
mewakili keindahan dan keserasian semestaku. Kecantikan Hanum mewarnai
getar-getar jiwaku hingga kini. Begitu juga Yasmin, meskipun tak ada
kata “cantik” yang melekat pada namanya, namun semerbab harum wanginya
adalah bukti kecantikan itu sendiri. Bagiku, Yasmin adalah simbol
kecantikan dan keharuman perjalanan hidupku. Ia sudah pun cantik, jauh
sebelum kata “cantik” ditemukan Bangsa Melayu. Sungguh, aku sangat
bersyukur atas anugerah ini. Yasmin dan Hanum adalah ruh keabadianku.
Aku katakan ini, sebab tak ada kematian bagi ruh. Usia ruhku, ruh
Hanum, dan ruh Yasmin sebenarnya sama. Kita diciptakan di waktu yang
bersamaan. Lalu terlahir sebagai manusia di waktu berbeda dan kembali
kepada-Nya di waktu berbeda pula. Tuhan menciptakan barzakh sebagai
batas ruang antara dimensi alam hidupku sekarang dan dimensi tempat
Hanum bersemayam. Dan, di waktu bersamaan, aku masih bisa berhubungan
dengannya dengan getar-getar jiwa yang merindu kepadanya. Ruhku, ruh
Yasmin dan ruh Hanum bisa bersatu dalam satu waktu.
“Hidup kita
ini hanya sekejap saja, sayang…Kita ini bagaikan hari-hari yang kita
lalui. Tatkala satu hari hilang, maka hilang pula sebagian dari diri
kita,” bisikku lagi. Aku menceritakan nasehat-nasehat indah Kyai
Bahruddin di Jatijajar, saat aku merasakan keputus-asaan ditinggal mati
Hanum. Kala itu, aku diajak Kyai Bahruddin menaiki lereng bukit di
sekitar Goa Jatijajar. “Cobalah kau bertasbih membaca ‘Subhanallah’
sampai ke pohon itu,” perintah Kyai Bahruddin sambil menunjuk pohon
beringin yang berdiri kokoh 50 meter dari tempatku berdiri. Lalu, aku
pun berjalana sambil berdzikir seperti perintahnya, mengucap
“Subhanallah” hingga sampai di pohon beringin. Setelah sampai, Kyai
Bahruddin pun berkata lagi, “Sekarang, bertakbirlah hingga ke pohon
mahoni itu!” Aku pun mengikuti perintahnya. Dan, sampai di pohon mahoni,
beliau pun memerintahku lagi, “Sekarang, coba kamu beristigfar sambil
berjalan mendaki hingga ke pohon trembesi itu!” Aku pun melakukannya,
membaca “Astaghfirullah” dengan lisan dan hati sampai ke pohon trembesi.
Sesampai di sana, kami duduk dan bercerita banyak hal sambil menikmati
pemandangan perbukitan yang indah.
Sungguh kenangan yang sangat
hebat dan membekas di hati. Aku baru menyadari ternyata cara Kyai
Bahruddin ini pernah dilakukan Rasul dan para sahabat secara turun
temurun. Beginilah cara mengajarkan bagaimana memahami waktu hidup di
dunia yang hanya sekejap. “Beringin, Mahoni dan Trembesi adalah
tempat-tempat persinggahan kita. Hidup kita di dunia seperti
persinggahanmu tadi di bawah pohon mahoni. Hanya sekejap saja,” ungkap
Kyai Bahruddin.
“Isilah ruang kosong dalam kalbumu dengan
kesadaranmu mengenal-Nya, memuji kesucian-Nya, mengagungkan
kebesaran-Nya, mendekati-Nya agar perjalananmu menjadi bermakna. Itu
adalah hakikat waktumu sebagai hamba. Tanpa itu kau tak akan pernah
memahami makna kehambaanmu kepada-Nya. Kadang kakimu terbentur batu atau
tertusuk duri. Tanganmu lecet tergesek ranting-ranting tajam. Kulitmu
gatal karena dedaunan. Itulah warna kehidupan yang sedang kau lalui.
Tapi, sekali lagi kukatakan, hidupmu itu hanya sekejap saja,” tutur Kyai
Bahruddin kala itu. “Jika kau kembali ke pondok, kau pasti masih
mengingat tempat-tempat singgahmu tadi. Kau masih bisa membayangkan dan
mengingat beringin, mahoni, dan trembesi ini,” tuturnya lagi.
“Anggaplah ini seperti tusukan duri di kakimu, sayang. Kau tinggal
mencabut, lalu nikmati saja kerindangan dan keteduhan pohonnya di
persinggahan kita kali ini. Nikmati saja, ambil indahnya,” bisikku
sambil membelai rambutnya.
“Abang, bolehkah aku berjumpa dengan Kyai Bahruddin nanti?”
“Boleh sayang.”
“Jauh tak dari Jakarta?”
“Lumayan. Sekitar 400 km.”
“Jauhnya…Berapa lama?”
“Sekitar 7 jam perjalanan. Nanti kita naik kereta api saja dari Jakarta.”
“Dekat tak dengan Pondok, Abang?”
“Dekat. Kita naik kereta api dari Jakarta, turun di stasiun Kroya.
Nanti kita singgah dulu di Pondok Gading. Bermalam sehari atau dua hari.
Lalu, kita pergi ke Goa Jatijajar, tempat Kyai Bahruddin. Ini objek
wisata yang bagus. Kita bisa naik motor dari pondok, melewati daerah
Nusawungu dan Pantai Ayah, di selatan Kebumen.”
Aku terlalu bersemangat bercerita hingga tak menyadari Yasmin tertidur di pangkuanku.
***
Layaknya seorang mediator, aku menjadi orang tengah dalam konflik
keluarga ini. Beberapa kali aku bertemu dengan Datuk Rustam dan Zahra.
Secara pribadi, aku sudah menerima jika saatnya nanti Sean diambil Razi
dan keluarganya. Namun, aku tetap harus menghargai keputusan Yasmin.
Sebelum Yasmin mengatakan setuju, aku tetap membelanya. Aku harus berada
di pihak Yasmin.
Untungnya, Datuk Rustam dan Zahra masih mau
menunggu. Kita juga sama-sama sepakat untuk mencabut segala macam
tuntutan hukum atas Razi ataupun Bang Faizal. Tapi, konflik ini tak akan
bisa selesai tanpa keputusan Yasmin menyerahkan Sean kepada pihak
mereka.
Aku tak mau terlibat terlalu jauh dengan perseteruan
Zahra, Razi dan Datuk Othman. Tak mau ikut campur konflik mereka yang
memalukan. Aku dengar dari Zahra bahwa dirinya masih dalam proses cerai
dengan Datuk Othman. Tapi, persidangan perceraian mereka berlarut-larut.
Ternyata proses persidangan mereka selalu “digantung.” Datuk Othman
sengaja melambat-lambatkan prosesnya di Mahkamah Syariah. Sudah 4 tahun
lebih belum juga usai.
Sungguh menyedihkan, persidangan
perceraian di negara ini menjadi ajang unjuk gigi kaum lelaki kuat.
Mereka bersembunyi di balik hukum hanya untuk menunjukkan keegoan suami.
Tak ada thalak tanpa persetujuan suami. Dengan ini sebenarnya suami
menjadi pemegang palu keputusan untuk menghukum sang istri. Zahra adalah
korban atas “kekakuan” hukum yang menimpa sebagian perempuan di
Malaysia. Datuk Othman sengaja tak mau menceraikan Zahra agar dia bisa
melihat wanita itu menderita.
Awalnya, aku pun menyalahkan
perselingkuhan Zahra dan Razi. Tapi, setelah kutahu dan telusuri,
ternyata keadaan memang membuatnya menjadi mungkin. Bagaimana tidak,
seorang wanita muda dan cantik, dibiarkan “menggantung” tanpa status
yang jelas. Secara hukum dia memang istri Datuk Othman, namun apa
artinya status itu jika hanya digunakan untuk menghukum Zahra dalam
kesendirian yang merana. Dengan ego kelaki-lakian orang berduit dan
berkuasa seperti Datuk Othman, dia bisa menggunakan segala cara untuk
mempertahankan Zahra di balik pasal-pasal karet. Nafkah lahir dan batin
tak diberi selama berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun, lalu apa
makna bagi pernikahan yang dipertahankan seperti itu?
Beberapa
kali, Zahra menggunakan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang membela
kepentingan perempuan di negeri ini, tetapi tetap saja tak mampu
memenangkan dan mempercepat proses persidangan perceraiannya dengan
Datuk Othman. Organisasi Sister in Islam memiliki segudang data
kasus-kasus seperti Zahra di Malaysia ini. Kemapanan ekonomi, pencapaian
pendidikan, dan kesejahteraan hidup tidak serta-merta menjadi ukuran
kebijaksanaan seseorang dalam memahami hukum Islam dalam hal penikahan.
Semuanya tampak kaku dan zumud di tengah keegoan kelaki-lakiannya.
Berusaha mempertahankan “tradisi” hukum yang selalu menjadikan lelaki
lebih dominan dan merasa lebih berhak atas hidup perempuan. Sungguh
ironis. Hukum tidak dijadikan sebagai proses penyelesaian, tapi
sebaliknya dijadikan sebagai penjara sekaligus “punishment” yang
menyiksa bagi orang yang tak berdaya oleh keadaan.
“Aku bukan tak tahu masalah Razi dan Zahra. Tapi, Datuk Othman terlalu kuat,” tutur Datuk Rustam kepadaku di sudut ruang.
“Apakah Datuk sudah coba menggunakan jalur lain, selain hukum?” tanyaku.
“Sudah…Aku sudah beberapa kali berjumpa dengan Datuk Othman agar dia
mau melepas Zahra, tapi dia terlalu sombong. Kau tahu sendiri, dulu
waktu Razi menceraikan Yasmin, prosesnya cepat. Aku melarang Razi
melambat-lambatkan, jika memang sudah keputusan bercerai tak dapat
dihindari,” ungkapnya.
Kini aku paham bagaimana perdukunan marak
di dunia modern. Seperti yang dilakukan Razi mengirim guna-guna kepada
Yasmin dan juga kepada pihak Datuk Othman. Itu terjadi bukan karena dia
tak memiliki akal sehat, tetapi karena butuh pelampiasan atas
keputus-asaannya. Harapan Razi dan orang-orang jenis ini kandas oleh
aturan hukum yang berbelit menjerat ketidakberdayaan.
Bagi Datuk
Othman, bukan perkara besar untuk memberi nafkah uang setiap bulan bagi
Zahra—sebagai tanda bahwa dia masih suaminya—namun apa arti nafkah jika
ia hanya sekadar jeratan? Zahra masih sesekali diberi uang bulanan
Datuk Othman, tapi itu hanya untuk menujukan dirinya di depan hakim
bahwa dia masih suami yang sah dan berdaulat atas Zahra. Tapi, di luar
itu Zahra hanya menjadi burung dalam sangkar. Hanya untuk dimiliki dan
dilihat keindahannya. Sang burung tak pernah ditanya bahagia atau tidak,
ingin keluar atau tidak dari sangkar itu. Ini adalah penzaliman atas
diri wanita yang tak bisa dimaafkan.
Meskipun Zahra tak
mempersoalkan harta suaminya sama sekali, tetapi dalam kamus Datuk
Othman tidak ada gugatan cerai (khulu’) dari seorang istrinya yang bisa
diterima. Dia justru bersembunyi di balik pasal “kelaki-lakian” dengan
mempersoalkan harta sepencarian. Dari sinilah sebenarnya Datuk Othman
membuat proses perceraian mahkamah menjadi berlarut-larut. Dia seperti
bersumpah bahwa tak akan ada shighah taklik thalak (pernyataan menerima
untuk menceraikan istrinya) yang akan keluar dari mulutnya untuk Zahra.
Apalagi kalau dia dan pengacaranya tahu bahwa sebenarnya Zahra
mengandung karena telah berzina dengan Razi, maka pasti akan bertambah
runyam. Aku melihat bukan salah undang-undang perceraian di Malaysia,
tapi salah pribadi-pribadinya yang hanya mementingkan syahwat dan
dominasi kelaki-lakian. Hukum hanya menjadi kamuflase semata.
“Serba salah. Sudah lebih dari 4 tahun Zahra digantung macam ini. Aku juga sangat kasihan,” tutur Datuk Rustam lagi.
Aku jadi berpikir, apakah dosa zina yang dilakukan Razi dan Zahra juga
kelak akan ditanggung Datuk Othman di akhirat nanti? Bukankah dia juga
berkontribusi besar terhadap perbuatan maksiat yang dilakukan istrinya
pada masa perceraian yang memakan waktu bertahun-tahun lamanya? Bukankah
nafkah lahir dan batin adalah persyaratan mutlak bangunan keluarga
mengapa masalah harta pencarian menjadi begitu rumit untuk disepakati
bersama?
Perceraian benar-benar menjadi sesuatu yang halal tapi
sangat dibenci Tuhan. Aku telah menyaksikannya pada kasus Zahra. Aku
menyaksikan kasus-kasus serupa terjadi, seperti bola salju menggelinding
dengan kompleksitas masalah yang beragam. Setiap 10 menit terdapat satu
kasus perceraian di Malaysia. Sungguh ini merupakan hal yang memilukan.
Puluhan ribu angka perceraian per tahun terjadi di negeri ini, menambah
panjang deret derita perempuan-perempuan Melayu dalam kasus perceraian.
“Aku ingin menimang-nimang cucu, bermain bersama di usiaku yang
sudah tua ini. Tapi, ternyata tak mudah. Razi adalah anakku
satu-satunya. Sekarang, saat kuketahui aku mempunyai cucu dari Razi dan
Zahra, aku tak dapat memilikinya,” ucap Datuk Rustam hingga berlinang
airmata.
“Datuk, engkau sudah memilikinya. Ini hanya masalah
waktu saja. Insya Allah, kelak Yasmin pun akan setuju. Tapi, ini perlu
waktu,” kataku meyakinkannya. “Ini masalah waktu saja. Lagi pula,
bagaimana Datuk menyembunyikan nama ibunya? Bukankah ini juga akan
menambah panjang proses mahkamah?” tanyaku.
“Betul. Aku pun
bingung. Namun, pasti kami akan merahasiakan dulu siapa ibu Sean. Sebab,
jika Datuk Othman tahu itu adalah anak Razi dan Zahra, pasti dia akan
buat macam-macam,” ungkapnya.
“Apakah waktu Datuk bertemu dengan Datuk Othman memberi tahu bahwa anak Datuk ingin menikahi Zahra?” tanyaku lagi.
“Itulah masalahnya. Aku sudah bagi tahu bahwa Razi menyukai Zahra dan
berharap agar beliau cepat-cepat menceraikan Zahra. Aku bertemu Datuk
Othman sebagai seorang sahabat, sama-sama Melayu, sama-sama kawan
seperjuangan, tapi tak mudah membujuk beliau ini. Mungkin beliau pun
merasa sakit hati dengan Zahra. Boleh jadi, beliau pun sudah tahu kalau
Zahra itu punya anak. Sudah 1 tahun ini aku tak punya alasan lagi untuk
membujuk Datuk Othman. Serba salah bagai makan buah simalakama,”
tuturnya.
---BERSAMBUNG PART 19---
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1682439731805954
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment