Oleh Halim Ambiya
Selamat malam Kuala Lumpur. Aku menarik
nafas dalam-dalam. Selamat tinggal Sean, anakku. Selamat tinggal dua
koper pakaian dan setumpuk mainan. Selamat tinggal masa lalu, selamat
jalan pengalaman indah orangtua dan anak. Anggaplah ini sebagai akhir
bagi status hukum, tapi bukan perpisahan batin kami atas hak orangtua
ruhani bagi dirimu, Sean, anakku. Maafkan atas kesalahan kami, Nak.
Maafkan ketidakberdayaan kami sebagai orangtuamu selama beberapa tahun
ini. Malam ini aku dan Yasmin menyerahkanmu pada asuhan orangtua lain.
Orangtua yang lebih berhak secara nasab ataupun hukum.
Aku
serahkan dirimu kepada Datuk Rustam bukan untuk membuangmu. Bukan untuk
memutus tali kasih kami: aku, kamu dan Yasmin. Ini hanyalah episode
cerita tentang masa depanmu yang sedang diputar dari awal kau menginjak 5
tahun. Demi hak-hakmu kelak. Demi darah yang mengalir dalam tubuhmu,
aku serahkan dirimu kepada orang yang lebih berhak. Anggaplah
kehadiranku dan Bunda Yasmin sebagai mimpi-mimpi indahmu. Lupakan saja
wajahku. Berusaha dan berusahalah membuang wajah Bunda Yasmin di
malam-malammu.
Yasmin menggendong Sean keluar dari sisi pintu
mobil. Sedangkan aku mengangkat dan menarik koper besar, mengikuti
Yasmin dari belakang. Langkah-langkah ini hanya sekitar 30 meter dari
halaman parkir ke rumah banglo Datuk Rustam, tapi kenangannya tak akan
mudah dihapus dalam 30 tahun mendatang. Yasmin telah mengumpulkan
keberanian hebat yang pernah kuajarkan. Antara Bangsar dan Kelana Jaya
yang mengharukan jiwa.
Tak terasa, sejak dua minggu ini, kami
sudah mengajarkan kepada Sean tentang makna peralihan pengasuhan dengan
cara yang mudah dan biasa-biasa saja mengikuti alur memori anak-anak
yang bisa kami mengerti. Kami telah menanamkan di benak Sean selama dua
minggu bahwa kami bukan siapa-siapa, hanya pangasuh sementara. Lalu,
kumasukkan memori Datuk Rustam, ayah Razi dan Mama Zahra dengan cara
sebisa kami. Ini adalah perjuangan menghilangkan ingatan, mencuci memori
Sean tentang “kehadiran” kami di otaknya.
Di dua minggu ini,
aku dan Yasmin menjaga jarak dari Sean dengan memasang figur baru
pengasuh di rumah kami: Safitri. Seorang pembantu rumah asal Tasikmalaya
yang sudah 5 tahun bekerja untuk keluarga Datuk Rustam. Safitri sengaja
dikirim oleh Datuk Rustam untuk memomong Sean di rumah kami,
menggantikan Makcik Izzah. Safitri berhasil menjalani misi pendekatan
khusus dengan Sean. Hari ini adalah waktu yang tepat untuk menyerahkan
Sean kepada mereka.
“Hello…Ketemu lagi?” ucap Safitri kepada Sean, menyambut kedatangan kami.
Lalu mengajak Sean bermain petak umpet di sudut kamar. Sementara, aku
dan Yasmin duduk tanpa kata di ruang tamu. Aku dan Yasmin hanya
berbasa-basi sebentar dengan penyambutan Datuk Rustam. Demi sopan santun
kami menyampaikan serah terima Sean kepada keluarga Datuk Rustam. Kami
tak ingin berlama-lama di rumah ini. Biarkan Sean beradaptasi dengan
rumah ini. Untuk ketiga kalinya dia berkunjung ke rumah ini. Selasa,
Kamis dan hari ini, Minggu perpisahan kami. Sebelumnya, Safitri sudah
dua kali mengajak ke rumah ini tanpa kami.
Aku dan Yasmin ingin
membuktikan bahwa penyerahan Sean kepada keluarga Datuk Rustam bukan
karena tekanan hukum. Bukan pula karena takut menghadapi begundal dan
preman bayarannya, yang telah berani menghajar Bang Faizal hingga
babak-belur. Bukan, bukan itu! Bukan pula karena aku seorang “Indon”
lemah di hadapan kesombongan orang Malaysia. Tidak! Sama sekali tidak!
Penyerahan Sean bukan pula karena Indon pasti kalah berhadapan dengan
Melayu Malaysia, karena sama sekali hal itu tak ada kena-mengenanya
dengan kesukuan dan kebangsaan. Bukan pula karena kami minder dan tak
percaya diri untuk memberi penghidupan yang layak bagi Sean. Sama sekali
tidak! Bisnisku lebih besar daripada bisnis yang dimiliki Razi ayah
kandung Sean, meskipun hartaku tak sebanding Datuk Rustam. Mobilku lebih
mewah daripada mobil Razi yang pernah dibeli dari koceknya, meski tak
sebanding dengan mobil milik Datuk Rustam. Bahkan, pendidikan aku dan
Yasmin lebih dari cukup untuk membekali Sean hingga dewasa. Gelar
pendidikanku lebih tinggi daripada Razi dan bahkan Datuk Rustam sendiri.
Kalau aku tak memiliki itu semua, maka tak mungkin seorang
Indon dapat menikahi perempuan Melayu dari keluarga terhormat. Aku
dipandang sejajar dengan mereka. Tak bisa mereka menyamakan aku dengan
mayoritas TKW yang menjadi pembantu di rumah-rumah mereka. Mereka boleh
membanggakan diri dengan kehebatan bertutur dalam bahasa Inggris di
depan pembantu rumah, tapi tidak di hadapanku. Mereka boleh saja
menganggap bahwa kemampuan bahasa Inggris sarjana-sarjana Indonesia
tidak lebih hebat dari TKW asal Filipina, tapi tidak di hadapanku. Kalau
aku dianggap biasa, mengapa aku yang ditunjuk sebagai asisten dosen di
UM, bukan kawan Melayu itu?
Kalau aku dianggap biasa, mengapa
aku harus mengajar private bahasa Arab dan tafsir di beberapa kelas dan
masjid di sekitar Petaling Jaya? Ahh…Sudahlah, Yasmin tahu itu semua.
Aku memang anak pondok, background pendidikanku adalah kajian Islam,
tapi bukan berarti aku buta ekonomi makro, politik, sosiologi,
antropologi dan ilmu umum yang lain. Semua itu dipelajari di bangku
kuliah. Pendidikan agama di pondok adalah dasar bagi semua ilmu yang
wajib dipelajari oleh Muslim Melayu, seperti juga yang telah diwariskan
semua kerajaan Melayu di Nusantara. Aku tak pernah mau menganggap ilmu
agama sebagai keterbelakangan dan menghambat sains dan teknologi. Ilmu
agama harus menjadi ruh bagi semua ilmu yang kita pelajari.
Pernikahanku dengan Yasmin adalah bukti bahwa aku memang layak bersaing
dengan kumbang-kumbang Melayu lain yang berharap cinta Yasmin. Aku
pernah memukul mundur, seorang mahasiswa Melayu sombong yang berusaha
menghina hubunganku dengan Yasmin. Di sebuah kedai kopi, di dekat
Bulatan Universiti, di Seksyen 16, Petaling Jaya, aku pernah disiram
kopi panas tanda kemarahan mereka karena kekalahan argumentasinya.
“Kalau perempuan Indon jadi gundik orang Malaysia banyak lah. Tapi,
kalau lelaki Indon menikahi perempuan Malaysia rasanya jarang terjadi.
Dan, kamu tak akan mampu!” kata Nik Zaidi kala itu. Aku langsung
menyambar ucapannya, “Awak tak pernah baca surat kabar, kah? Awak tak
tak tahu kah Perdana Menteri Malaysia pun punya menantu orang Jawa?
Atau, awak ini pura-pura tak tahu dan menutupi kekalahan lelaki-lelaki
Melayu yang lain?” Jawabanku saat itu dibayar dengan siraman kopi panas
ke wajahku. Untung saja, seorang pemilik kedai, Pakcik Rahman, keturunan
Mandailing membelaku dan mengusir Nik Zaidi dan kawan-kawannya dari
kedai itu.
Kuceritakan ini hanya untuk menunjukkan bahwa kita
itu memiliki kesamaan derajat. Persoalan seperti ini memang hanya
obrolan murahan di kedai kopi, tapi siapa pun orang Indonesia yang
merantau di tempat ini pasti dapat menjumpai ulah segelintir orang
Melayu yang menghina saudara bangsanya sendiri. Ini hanya masalah
akhlak, sama sekali tidak ada kaitan dengan keagungan dan keluhuran
bangsa Melayu. Buktinya, aku dihormati oleh banyak keluarga Melayu di
sini. Aku menyerahkan Sean kepada Datuk Rustam bukan karena
kelemahanku, tapi karena bentuk sayang dan cintaku kepada Sean. Karena
rasa hormat dan takzim kami kepada Datuk Rustam sebagai mantan ayah
mertua bagi Yasmin dan sebagai kakek bagi Sean. Kami serahkan Sean tanpa
tekanan apa pun. Aku lega. Yasmin pun plong. Penyerahan ini bukan
karena kalah-menang.
“Terima kasih, Yasmin. Terima kasih,
anakku,” ucap Datuk Rustam kepada Yasmin. Lalu, Datuk itu menjabat
tanganku dan memeluk tubuhku. “Terima kasih, jaguhku, pahlawanku,”
bisiknya di telingaku.
“Jangan pernah putuskan silaturahmi.”
“Insya Allah. Doakan kami agar segera mempunyai anak, Datuk.”
“Aamiin. Saya berdoa untuk awak dan Yasmin. Moga Allah memberi
keberkahan dan keselamatan untuk kalian. Jaga baik-baik Yasmin seperti
kau menjaga seorang Puteri Melayu Terakhir. Sejak Razi menceraikan
Yasmin, sebenarnya saya adalah orang yang paling kecewa dan merasa patah
hati, sebab dia adalah perempuan sempurna yang pernah aku kenal. Aku
bangga mempunyai anak menantu seorang Yasmin.”
“Baik Datuk. Aku akan selalu mengingat nasehat Datuk.”
Razi dan Zahra sengaja tak dihadirkan di pertemuan ini. Mungkin Datuk
Rustam menginginkan serah terima ini hanya antara aku, Yasmin dan dia
saja. Bagiku, itu pun sudah tak penting. Lagi pula, kami sudah ikhlas
menyerahkan Sean kepada Datuk Rustam, orang yang paling kami percaya
saat ini. Urusan bagaimana Razi dan Zahra mengenalkan diri dan mendekati
Sean adalah urusan mereka. Biarkan mereka mempelajari garis keturunan
yang baru kembali dari tempat asingnya. Aku hanya bisa berdoa agar
konflik Zahra dan Datuk Othman segera berakhir agar tidak berimbas
kepada Sean.
Berlama-lama di rumah ini hanya akan membawa kami
pada tangis. Meski sudah begitu ikhlas melepas, tapi boleh jadi sinyal
sedih tertangkap melalui gerak tangis Sean yang ingin bermain bersama
kami. Untuk sebuah bukti keseriusan dan komitmen kami atas janji yang
telah disepakati bersama Datuk Rustam, kehadiran kami malam ini sudah
lebih dari cukup. Semoga Allah melindungi dan meridhai niat baik kami
yang ikhlas ini.
“Terima kasih, Yasmin. Terima kasih,” ucap Datuk
Rustam lagi. Kami berpamitan meninggalkan rumah itu tanpa mengucapkan
salam kepada Sean.
***
Yasmin mengajakku berjalan-jalan ke
Damansara Heights, mengunjungi Baujan yang selalu membuatku kagum. Aku
tahu maksudnya. Dia ingin sekadar mencari ketenangan, menghirup udara
pagi Kuala Lumpur yang masih asri dan jauh dari polusi. Kami mengambil
jalan memutar, melewati tebing dan perbukitan nan menawan. Berjalan kaki
menghirup kesegaran pagi, Yasmin sebagai bunga menjadi kembang hutan
yang sangat mencolok di antara anggrek-anggrek liar itu.
Sesampai
di Sor-Baujan, Yasmin duduk mengela nafas, duduk di atas akarnya yang
besar. Yasmin tersenyum ceria. Sementara aku memungut buah-buah baujan,
berkeliling menyapu ke sekitar pohon besar itu. Untuk pertama kalinya,
aku melihat mimpiku secara nyata. Yasmin yang kulihat ini seperti Hanum
dalam mimpiku. Subhanallah. Lagi dan lagi, Allah menunjukkan kuasanya,
melalui getar jiwa yang menghanyutkan.
“Abang, nikmat sekali duduk di sini. Kemarilah, Bang. Mendekatlah!”
“Ada apa sayang?”
Aku mendekatinya sambil membawa segenggam buah baujan. Wajah Yasmin
begitu berseri-seri. Sungguh cantik istriku ini. Aku adalah lelaki
paling bertuah yang ada Tanah Semenanjung.
“Aku tahu sekarang, mengapa Abang suka pokok (pohon) ini.”
“Apa yang kaurasakan, Yasmin?”
“Terasa damai dan teduh. Seakan-akan kita berada di dunia yang berbeda.”
“Syukurlah. Kamu menyukai apa yang kusuka.”
“Tapi, apa filosofi pokok ini bagimu, Bang?”
“Aku ingin mendengar jawabanya dari seorang filosof sekaligus anak
pondok,” katanya sambil senyum yang menggoda. Yasmin mulai merayuku. Dia
membersihkan akar yang melintang di depannya untuk mempersilahkan aku
duduk. Senyumannya seperti sedang menantangku. “Apa filosofi dari pohon
yang kaubanggakan ini, Bang?” desaknya lagi.
“Ini yang sebenarnya kita dapatkan,” jawabku sambil menunjukkan buah baujan. Aku meletakkannya di depan Yasmin.
“Apa maksudnya dengan buah ini?”
“Buah seperti inilah sebenarnya yang baru saja kita panen dan kita nikmati semalam.”
“Aku tak paham. Apa maksud, Abang?”
“Semalam kita telah memanen buah hakikat dari perjalanan hidup kita,
setelah kita bersusah payah menanam, merawat dan memeliharanya.”
“Hmmm.” Yasmin masih bingung dengan penjelasanku.
“Sebenarnya, saat kita menyerahkan Sean kepada Datuk Rustam, hakikatnya
kita sedang memetik buah hakikat.” Aku berusaha menjelaskan secara
serius. “Lihat pohon ini, akarnya sangat kuat. Menjalar puluhan meter,
besar dan kokoh hingga membuat puluhan tahun pohon ini berdiri dan tak
mudah tumbang. Kalau kita ibaratkan pohon ini adalah diri kita, maka
akar yang sedang kita duduki adalah keyakinan tauhid yang tertanam dalam
kalbu kita.”
Yasmin mulai serius mendengarkan. Dengan keseriusan wanita cantik yang tak biasa.
“Syariat yang kita jalani ini ibarat pohon yang kuat, seperti baujan
ini. Pengamalan syariat kita jalani bergantung kekuatan akar, daya sedot
akar menyerap sari makanan dan air dari tanah ini. Pokok pohon ini tak
akan sekuat ini jika tak memiliki akar sehebat ini. Angin, hujan, terik
mentari, ulat, serangga, dan semua musuh tumbuhan ini tak mampu merusak
pohon besar ini.”
“Lihat cabang-cabang dari pohon ini! Itu adalah
jalan hidup yang sedang kita lalui dengan penuh liku dan
bercabang-cabang. Inilah thariqah atau jalan hidup yang bersumber dari
kekuatan tauhid dan keserasian pengamalan syariat. Kita berjaya bertahan
menghadapi ujian-ujian hidup ini karena kekuatan akar dan pokok pohon
ini. Kita melaluinya dengan cabang-cabang kehidupan ruhani, seperti
dengan cara tobat atas dosa, sabar dengan ujian-Nya, ikhlas dengan
keputusan-Nya, ridha dengan kehendak-Nya, takut dengan kemarahan-Nya,
berharap dengan janji-janji-Nya, rindu dan cinta dengan keagungan-Nya.
Ini jalan yang sedang kita tempuh, sayang.”
Yasmin meneteskan airmata. Kulihat bukan karena sedih, sebab tampak jelas senyumannya semakin menunjukkan kebahagiaannya.
“Lalu, tak ada cabang yang tak berujung kepada daun. Semuanya menuju
kepada daun. Lihatlah daun-daun itu. Bukankah ia adalah sumber
pengolahan zat makanan pada pohon ini. Melalui proses fotosintesis,
yakni proses pembentukan karbohidrat dari karbon dioksida (CO2) dan air
(H2O) dengan bantuan sinar matahari. Terdapat sel-sel yang mengandung
klorofil (zat hijau daun) untuk membuat semua itu berlangsung. Dalam
proses fotosintesis ini, energi cahaya matahari diserap oleh klorofil
dan diubah menjadi energi kimiawi yang disimpan dalam bentuk karbohidrat
atau senyawa organik lainnya. Lalu, diserap dan diubah menjadi protein,
lemak, vitamin dan senyawa lain yang sangat berguna bagi kehidupan
pohon ini. Aku membayangkan daun ini seperti ilmu makrifatullah.
Mengenal Allah. Ini adalah penyatuan dan penyerapan serta rasa sejatinya
rasa mengenal Sang Maha Hidup. Ilmu daun adalah ilmu makrifat. Dan,
proses fotosintesis sebagai proses dialog batin antara hamba dengan
Tuhannya.”
“Subhanallah. Anak pondok ini fasih betul menjelaskan ilmu biologi,” kata Yasmin dengan senyumnya yang khas.
“Tak hanya itu, daun juga berfungsi sebagai organ pernafasan bagi
tumbuhan. Maka, orang yang tak bermakrifat akan cepat mati kalbunya.
Sebab kalbu menghajatkan nutrisi ruhani berupa makrifatullah. Ingat
dalam pelajaran biologi di sekolahmu, daun juga merupakan tempat proses
transpirasi. Ketika suatu tumbuhan kekurangan atau kelebihan air, maka
zat lalin atau juga kutikula yang terdapat di permukaan melakukan proses
penguapan dari jaringan tumbuhan melalui apa yang disebut sebagai
stomata. Bukankah selalu ada dialog antara kita dan Tuhan melalui
komunikasi ruhani. Ada semacam proses menyadari, memahami, menirima, dan
menyerap ilmu Tuhan pada saat kita menjalani hidup dan kehidupan. Kita
berusaha merasakan getaran-getaran kehadiran-Nya melalui shalat dan
dzikir. Semua berlangsung dengan menggunakan ilmu daun. Inilah cara
bagaimana seorang hamba memahami kehendak Allah. Sebagaimana daun
berfotosintesis, bernafas, dan menjadi tempat transpirasi, memberi
manfaat bagi diri sendiri, bagi sekitarnya.”
Yasmin hanya membalas penjelasanku dengan ucapan pelan, “Subhanallah.”
“Ilmu makrifat itu layaknya seperti peran dan fungsi daun bagi pohon.
Daunlah yang pertama kali mengenal “rasa” panas dan indahnya cahaya
matahari. Lalu, dari ujung lapis daun paling luar dan paling tinggi
menjalar ke seluruh pohon hingga akar yang paling rendah dan jauh dari
daun itu. Semuanya ikut merasakan manfaat dari proses komunikasi antara
daun dan matahari. Sebagai suatu benda, matahari memang begitu jauh tak
terhingga, tapi sinarnya dan manfaatnya dapat dirasakan oleh pohon
hingga ke dasar paling dalam akar-akarnya.”
“Usia daun
berpengaruh bagi proses fotosintesis. Seperti juga kematangan jiwa
seseorang dalam memahami pesan Ilahi. Tingkat konsentrasi daun, daya
serap cahayanya, ketersediaan airnya, serta suhu yang dimiliki daun,
sangat berpengaruh bagi proses fotosintesis. Begitu juga dialog batinmu
dengan Allah, pasti memerlukan kekuatan pribadi, kecerdasan akal,
pengalaman pendidikan, dukungan keluarga, pengaruh lingkungan, bimbingan
guru dan sebagainya. Seperti pengenalan diri sendiri dan pengenalan
pada sumber dari segala sumber kehidupan. Sebagaimana daun yang selalu
bergantung pada sinar matahari.”
“Allahu akbar!”
“Semakin
banyak jumlah klorofil yang berada pada daun, maka semakin cepat proses
fotosintesis berlangsung. Semakin banyak energi baikmu, sabarmu,
syukurmu, ridhamu, ikhlasmu maka semakin cepat dirimu mengenal-Nya.
Inilah apa yang disebut dengan jalan thariqah menuju makrifat.”
“Usia daun pun berpengaruh pada proses fotosintesis. Semakin tua daun,
semakin berkurang kemampuannya untuk berfotosintesis. Begitu juga kalbu
kita, jika kalbu ini telah “dituakan” oleh keadaan, oleh waktu, derita,
sedih, dan cobaan-cobaan hidup, maka jangan pernah berhenti
“meremajakan” jiwa kita dengan dzikir dan “menghidupkan” kalbu kita
dengan dzikir kepada Allah agar jiwa dan raga kita bisa tetap hidup
menjalani kehidupan.”
“Lalu bagaimana dengan buah, Abang?” tanya
Yasmin. Semakin penasaran dengan penjelasanku yang berapi-api. Kadang
aku duduk atau berdiri dengan ekspresi wajah dan tangan agar mudah
dicerna Yasmin.
“Buah dari sebuah pohon itu layaknya seperti
hakikat dari wujud pohon itu sendiri. Ia memberi rasa; manis, pahit,
getir, masam, dan lainnya. Merasakan buah adalah merasakan keseluruhan
wujud pohon dan sumber kehidupan dari pohon itu. Memahami buah, seperti
memahami hakikat diri untuk mengenal Tuhan; Sumber dari segala sumber
kehidupan.”
“Luar biasa penjelasan, Cikgu Thariq Abdul Matin.”
Yasmin tertawa-tawa senang. “Lalu, apa kaitan antara buah dengan
peristiwa semalam. Katanya, semalam kita memanen buah?” tanya Yasmin.
Dari pertanyaanya, dia memang memerhatikan penjelasanku.
“Penyerahan Sean kepada keluarga Datuk Rustam itu sebenarnya semacam
kita sedang mengunduh atau memanen tanaman yang kita tanam sendiri. Sean
adalah anak yang kita rawat dan jaga sejak kecil, lalu kita didik dan
sayangi selama lima tahun. Apa pun hasilnya dia adalah buah dari semua
jerih payah kita menjaga dan merawatnya. Sebagaimana buah, ia merupakan
hasil akhir dari sebuah pohon. Buah adalah karya persembahan terbesar
dari sebuah pohon selama melakukan perjalanan panjang dari mulai tunas,
akar, batang dan daun. Buah adalah puncak pencapaian hidup dari sebuah
pohon. Memahami buah itu seperti memahami ilmu hakikat. Ilmu hakikat
adalah ilmu pencapaian tertinggi sebuah tujuan hingga mencapai titik
akhir sebuah makna yang dipahami oleh seorang hamba, tentang hidup,
tentang Sang Maha Hidup.”
“Pohon memahami dirinya sebagai pohon
manakala ia berbuah. Ia menjadi nama dirinya dan menjadi hakikat
dirinya. Begitu juga hidup ini, buah dari perjalanan jiwa seseorang
adalah pengenalan kepada hakikat diri. Dengan mengenali hakikat diri,
kita bisa mengenali Tuhan.”
Yasmin masih meraba tentang maksud
penyerahan Sean kepada Datuk Rustam sebagai panen. Dari sorot matanya,
dia masih menyisakan tanda tanya besar. “Apa hubungan dengan peristiwa
semalam?” tanyanya lagi.
“Begini sayang..” Aku menarik nafas
sebentar. “Aku berbangga padamu, Yasmin. Semalam, aku melihat kau telah
memetik buah kematangan hakikat dirimu. Cobaan dan ujian hidup,
penderitaan dan kesedihan, hinaan dan penzaliman terhadap dirimu
berhasil dihadapi dengan kematangan jiwamu. Kamu rela melepas Sean
sebagaimana pohon itu membiarkan buahnya sendiri jatuh atau dipetik
orang. Meskipun kau telah merawat, menjaga dan menyayanginya, tapi kau
tak merasa berhak menikmati buahnya. Sebagaimana pohon tak pernah
merasakan manisnya buah dirinya sendiri. Kau telah mengenal hakikat
dirimu sebagai hamba, yang sama sekali tidak punya hak atas Sean, bahkan
atas takdirmu sendiri. Kamu menghargainya sebagai proses yang memang
harus terjadi. Sebagaimana pohon tak pernah mempersoalkan selama puluhan
tahun menyerap air dan nutrisi, mensuplai makanan hingga ke akar atau
sebaliknya, semua dilakukan karena menjalankan perannya sebagai (hamba)
pohon yang tak pernah mempersoalkan kemana buah itu, kepada siapa
diserahkan dan dimanfaatkan.”
“Kalaulah kita tak memiliki tauhid
yang kuat, mungkin kita telah menghujat Tuhan atas semua yang terjadi
selama ini. Kalau bukan karena pelaksanaan syariat kita, kita pasti akan
memberontak dan melawan dengan cara-cara yang bertentangan dengan
syariat. Kalau kita tidak mengenal cara atau jalan (thariqah) menuju
Tuhan untuk menyelesaikan tugas kehambaan, mungkin kita tak akan mampu
menjalani hidup dan derita ini. Kalau bukan karena kesadaran mengenal
diri dan Tuhan, mungkin kita telah tumbang karena penghianatan,
caci-maki, hinaan, penganiayaan, dan penzaliman terhadap diri kita.
Kalau bukan karena pengenalan akan makna hakikat diri dan Tuhan, serta
pengenalan atas hakikat hidup dan ujian-ujian-Nya, mungkin kita tak akan
menyerahkan Sean kepada keluarga Datuk Rustam.”
“Subhanallah.
Abang telah menjelaskan makna tauhid dalam bingkai syariat, thariqat,
makrifat dan hakikat. Terima kasih, Abang. Ternyata namamu memang
benar-benar Thariq Abdul Matin seperti yang kukenal.”
Kuliah
Sor-Baujan pun berhenti dengan peluk cium mesra dari istriku tercinta.
“Kita hanya menjalankan peran sebagai hamba, sayang,” bisikku. “Inilah
puncak tertinggi maqam bagi jiwa seorang makhluk,” kataku lagi.
---BERSAMBUNG PART 20--
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1684254424957818
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment