Oleh Halim Ambiya
Suara sirine mobil polisi terus memecah telinga. Membuat kebisingan di
sepanjang jalan. Terasa seperti teror dan caci maki tak henti-henti.
Bagiku ini seperti iring-iringan mobil jenazah. Aku seperti mayat
terduduk kaku. Gerah, pengap dan menyesakkan dada. Dua orang polisi itu
mengapitku rapat-rapat. Dengan keangkuhan baju seragam dan kuasanya, mereka bisa berbuat apa pun atas nama hukum. Aku seperti buronan paling dicari, layaknya kriminal paling berbahaya.
“Astaghfirullah… Aku bukan teroris. Aku tak bisa membayangkan jika
Yasmin melihatku seperti ini,” bisikku dalam hati. Kuajak pikiranku
melayang mengingat Yasmin dan mencari cara agar aku bisa segera bebas.
Sekadar untuk mengingatkan kepada diriku sendiri bahwa aku belum mati.
Aku masih bernafas, meski sangat pengap dengan tutup kepala hitam
memuakkan ini. Aku bagai penjahat dungu. Ditendang dan dipukul agar
tunduk. Diborgol dan diseret ke mobil dengan kepala tertutup. “Ya Allah…
Apa yang sedang Kau-tunjukkan kepada hamba-Mu ini? Apa yang membuatku
pantas menerimanya?” bisikku lagi.
Aku terbatuk-batuk. Susah
bernafas. Asap rokok polisi di depanku seperti tersedot ke hidungku.
Sarung wajah hitam ini makin menyiksaku. Tanganku terborgol ke belakang
hingga sukar untuk mengusap hidung dan mulutku. Aku terus terbatuk-batuk
dan benar-benar tersiksa.
“Buka saja lah!” perintah polisi di
depanku tiba-tiba. Lalu, sejurus kemudian, polisi di sebelah kananku
membuka penutup kepalaku dengan cepat.
“Alhamdulillah. Terima kasih,” kataku kepada mereka.
Kulihat nama di baju polisi yang merokok itu: Abdurrazaq. Ya…Abdurrazaq
Asap namanya. Rokok ini justru menyelamatkanku dari penutup wajah
memuakkan ini. Sejujurnya kuakui, sebenarnya aku lebih membenci penutup
wajah ini daripada asap rokok polisi itu. Penutup muka ini membuat
diriku tak ada harganya sama sekali. Aku seperti bukan manusia. Aku
hanya seperti seonggok daging tak berguna. Dianggap hina. Tak
bermartabat. Tak bernama. Tak berwajah.
Aku memberi senyum
kepada polisi-polisi itu. Meskipun dibalas dengan senyum kecut penuh
kesombongan. Hatiku cukup lega terbebas dari cadar teroris memuakkan
ini. Untungnya, polisi juga manusia biasa. Mereka masih punya rasa
kemanusiaan. Tak tahan melihatku terbatuk-batuk. Sepanjang perjalanan,
mereka asyik mengobrol sesamanya. Sedangkan aku, hanya seorang tahanan.
Adanya dianggap tiada.
“Tuan-tuan ini salah tangkap. Namaku Thariq Abdul Matin,” kataku membuka obrolan.
“Diam kau Kahar!” bentaknya. “Kau pasti punya banyak nama!” bentaknya lagi.
“Saya bukan Kahar Baharsyah. Bukan suami Maryam yang Tuan cari. Coba
lihat kad (kartu) di wallet (dompet) saya. Istriku juga orang Malaysia,”
kataku pelan.
“Diam!”
“Tuan salah tangkap.”
“Diam atau aku tutup lagi wajahmu!” bentak polisi bernama Abdurrazaq.
Tak ada gunanya berdebat dengan polisi dengan pangkat rendahan. Aku
cukup mengikuti prosedur dan menghormati tugas mereka. Itu saja. Tak
perlu menuntut hak di depan mereka. Lalu, polisi perokok itu menghirup
rokok dengan bergaya. Tepatnya dengan gaya paling songong yang pernah
dilakukan polisi di Asia Tenggara ini. Aku jamin, dia adalah orang
paling sombong dan songong yang pernah kukenal. Dia membuat bulatan
asap, melingkar ke arah mukaku. “Awak cakap saja nanti di pejabat!”
bentaknya lagi.
“Baik,” jawabku sopan. Aku bersopan santun
bukan karena takut. Tapi, kuhargai mereka yang sedang menjalankan tugas
dengan ketidaktahuannya. Kuhadiahkan mereka sopan santun yang paling
luhur. Kesantunan yang pernah dilakukan oleh seorang yang terzalimi.
“Astaghfirullah…Dia melakukannya lagi,” bisikku sambil memalingkan
mukaku dari asap itu. Kuanggap itu sebagai hiburan. Kujawab dengan
senyuman seorang yang paling berbudi, meski tanganku terborgol.
Berulang-ulang, hingga hisapan terakhir rokoknya, polisi itu masih
berusaha menyemprotku dengan asap. Sedangkan, polisi lainnya hanya
tertawa-tawa menyaksikan kejadian itu.
“Ya Allah, ampunilah
hamba-Mu ini. Ampunilah polisi bernama Abdurrazaq ini. Ampuni dia, ya
Allah. Dia tak tahu apa-apa. Dia hanya petugas rendahan yang tak punya
kewenangan apa pun dalam kasusku ini. Mungkin karena itulah Kau-beri dia
nama ‘Abdurrazaq.’ Kini dia sedang memberi rezeki asap dari-Mu,”
bisikku dalam hati.
“Pakai lagi! Kita sudah sampai,” perintah Abdurrazaq kepada polisi di sampingku.
Aku sempat melirik ke arah jalanan dan bangunan gedung yang sedang
dituju sebelum polisi itu kembali menutup mukaku lagi. Aku seperti
binatang yang akan disembelih. “Hmmm. Ternyata, iring-iringan mobil
jenazah ini menuju kesini? Aku mengenal tempat ini: Penjara Sungai
Buloh,” bisikku dalam hati. Penjara ini pernah dihuni oleh Anwar Ibrahim
(mantan wakil Perdana Menteri), Raja Petra Kamaruddin (editor Malaysia
Today) dan juga Dr. Abdul Razak Baginda, dosen UM yang kukenal, terkait
rekayasa kasus pembunuhan Altantuya. Aku harap akan ada proses
penyelidikan lebih mendalam dan adil untukku. Tak mau bernasib sama
seperti mereka. Aku tahu, mereka yang membawaku kemari bukan I.S.A.
Mereka adalah polisi anti teroris. Aku berhak mendapatkan persidangan
kalau salah tangkap ini berbuntut panjang.
Pandanganku gelap,
karena kain penutup brengsek ini. Kalau aku memang penjahat, pasti lebih
nyaman dengan kain penutup model ini. Bisa menyembunyikan wajah dan
identitas asli. Tapi aku? Aku ingin identitasku yang sebenarnya
diketahui orang lain agar mereka bisa menolongku. Aku bukan teroris yang
mereka cari.
Aku digiring keluar dari mobil layaknya
penjahat. Kudengar kerumunan orang di sekitar gedung. Aku harap itu
adalah wartawan televisi yang bisa mengabarkan keberadaanku kepada
Yasmin secepat mungkin. Penangkapan teroris pasti akan menjadi berita
heboh. Tapi, harapanku sia-sia. Aku mendengar larangan seseorang
memotret diriku. “Tidak. Jangan sekarang!” teriaknya. Aku mendengar
perintah agar wartawan-wartawan itu menunggu dan berkumpul di ruangan
khusus. Sedangkan aku digiring ke ruangan berbeda.
Kepalaku
masih terus tertutup rapat. Tanpa lubang. Aku mengais nafas. Semakin
gelap. Aku digiring ke dalam ruangan asing dengan tersengal-sengal.
Terus berjalan tanpa bisa melihat. Terasa lebih dari 300 meter sejak aku
diturunkan dari mobil, aku tak bisa melihat apa pun. Tak kujumpai
suara-suara gaduh. Yang kudengar hanya suara berisik sepatuku dan sepatu
dua polisi yang menggandengku. Lalu, kudengar suara langkah kaki mereka
terhenti. Langkahku pun tertahan. Polisi di sampingku membuka tutup
kepalaku perlahan. Aku diserahkan kepada penjaga yang bertugas di depan
sel. “Astaghfirullah. Aku benar-benar ditahan,” bisikku dalam hati.
“Masuk!” perintahnya sambil mendorong tubuhku ke dalam sel.
Mereka tak mengharapkan jawaban apa pun dariku. Aku seperti kambing
dungu. Penjaga dan dua orang polisi yang menggiringku meninggalkan aku
setelah mengunci sel. Di ruangan ini aku dibiarkan sendiri. Kosong tak
ada teman. Belum ada kunjungan siapa pun. Aku sama sekali belum
diinterogasi polisi. Ruangan ini terisolasi dari penghuni yang lain.
Mungkin aku dianggap paling berbahaya dari yang lain.
***
Huhh… Ruangan ini tak akan bisa memenjarakan diriku. Ini tempat yang
aman untuk berkhalwat. Lebih nyaman daripada kamar di pondokku dulu.
“Alhamdulillah,” kuucap berulang-ulang. Mereka tak menjebloskanku di sel
busuk seperti gambaran penjara di Alcatraz. Ini tak seperti Penjara
Cipinang yang kukunjungi; pengap, pesing, dan kotor. Tapi, lebih mirip
tahanan sementara di Bareskrim, Jakarta. Selnya cukup nyaman. Aku terus
berusaha mencari sisi positif pikiranku. Kulihat ranjangnya bersih,
tentunya untuk ukuran ranjang di penjara. Terdapat kipas angin di pojok
ruangan. Satu sarung, satu handuk, dan satu sajadah terlipat rapi. Ahhh.
Mungkin ini hanya sel sementara, untuk tahanan baru yang masih dalam
proses penyelidikan atau persidangan. Aku tak begitu paham dengan sistem
penjara di Malaysia.
Aku maafkan dua kecoa berjalan
mondar-mandir di selku. Aku tak mau mengusir atau menangkapnya. Biarlah
itu hanya sekadar binatang, penghuni paling berhak di tempat ini. Lalu,
seekor cicak melotot di dinding. Mungkin merasa aneh melihatku. Pada
bagian pojok, terasa agak lembab. Mungkin kamar sebelah adalah WC. Aku
tak mau berteriak-teriak memanggil penjaga untuk sekadar minta izin
berwudhu. Lebih baik segera kuputuskan tayamum untuk shalat ashar.
Sebelum terlambat. Aku bisa minta dispensasi kepada Allah atas kondisiku
saat ini.
Pokoknya, aku harus shalat sekarang. Aku beri nama
shalat sunnah sebelum ashar ini sebagai shalat tahiyitussijn (shalat
untuk menghormati penjara). Meskipun tak pernah dijumpai shalat
tahiyitussijn dalam buku fikih manapun, aku beranikan diri untuk
menamainya secara pribadi. Ini bukan untuk konsumsi umum. Bukan untuk
membuat syariat baru. Aku merasa berhak untuk membuatnya lebih khusus
untuk diriku sendiri. Meskipun kuniatkan sebagai shalat sunah qabliyah,
namun di hati yang paling dalam, aku memang seperti sedang menghormati
tempat khalwat para penghuni sel yang pernah melakukan shalat di sini.
Bukankah telah jelas diriwayatkan kullu ardhin masjidun (setiap
hamparan tanah adalah masjid/tempat sujud) maka sel ini adalah masjidku
saat ini. Masjid adalah tempat sujud. Fakta juga menunjukkan bahwa
penjara adalah tempat bagi para pendosa. Ia juga menjadi tempat khalwat
paling mengagumkan yang pernah ada. Di tempat seperti inilah dzikir, doa
dan munajat seorang narapidana atau tahanan dilakukan dengan khusus.
Banyak ulama besar melalui nasibnya di tempat seperti ini. Penjara
menjadi tempat paling rahasia, paling pribadi, dan paling mengasyikkan
bagi kebebasan ruh mengenal Allah. Dengan getar-getar kerinduan pada
ampunan Allah, kepasrahan jiwa yang total dan tingginya harapan kepada
Allah, aku akan dirikan shalat saat ini. Kujadikan sel ini sebagai
masjidku.
Jeklek..Seorang petugas memasuki lorong yang
menghubungkan dengan selku. Kuhentikan takbirku. “Aku ada kesempatan
untuk meminta izin untuk berwudhu,” bisikku dalam hati. Aku tak jadi
melakukan shalat sunnah qabliyah Ashar yang kuberi nama shalat
tahiyitussijn ini sebelum wudhu.
“Encik, boleh tak saya nak ambi air wudhu,” teriakku kepada petugas.
“Boleh. Sekejap,” jawabnya datar.
Alhamdulillah. Aku diberi kesempatan berwudhu. Ternyata Tuhan tak rela
melihatku shalat tanpa kesucian lahir. Petugas itu membuka selku dan
menunjukkan kamar mandi yang berada di ujung lorong. Aku bersyukur untuk
pesan Tuhan yang satu ini. Akan kuingat baik-baik petugas berbudi ini.
Akan kudoakan secara khusus untuknya.
Ashar, Maghrib dan
Isya-ku menjadi pengalaman luar biasa. Setiap saat selalu menunggu waktu
shalat berikutnya. Tak ubahnya seperti diri kita hidup di dunia ini.
Dunia adalah penjara bagi seorang Mukmin. Lalu, melalui shalat dan
dzikir seorang Mukmin akan merasa bebas, menggapai kedamaian batin yang
begitu luas, tak terbatas. Begitu dalam, melebihi kedalaman tujuh
samudera. Jiwaku merasa begitu bebas justru saat aku sendiri, di tempat
ini, di sudut paling rahasia, antara aku dan Dia.
Rasulullah
SAW pernah bersabda, “Lî ma’llahi waqtun lâ yasau’ fîhi malakun
muqarrabun walâ nabiyyun mursal” (Aku punya waktu khusus bersama Allah;
dimana malaikat terdekat dan nabi yang diutus pun tidak akan memilki
kesempatan ini.” (HR Ibnu Rahawaih). Sekarang adalah waktu khususku
bersama Allah. Waktu rahasia antara aku dan Dia. Sangat personal dan
begitu pribadi. Tak ada anak atau istri. Tak ada polisi dan penjaga. Tak
ada satu orang pun yang menyaksikan rahasia batinku saat ini. Hanya
antara aku dan Dia. Kujadikan penjara ini sebagai washilah perjamuan
suci yang sangat rahasia.
Aku jadikan sel ini sebagai masjidku
saat ini. Kuramba malam dengan gemuruh dzikir. Kadang dzikir jahr
(keras), kadang sirr (rahasia). Suluk yang pernah diajarkan Kyai
Bahruddin kulakukan di tempat ini. Hanya itu yang bisa kulakukan. Kuajak
cicak, nyamuk dan kecoak-kecoak itu bertasbih bersamaku. Kadang, aku
menggunakan ilmu cicak untuk berburu menangkap nyamuk. Malam menjelang
pagi, aku diam, hening tak bergerak, lalu “Happ!” kutangkap getaran
dzikir membuncah di dada. Menangkap tanda yang sukar dijelaskan. Kilauan
cahaya memesona jiwa. Seolah memberi jawaban atas tafakurku pagi itu.
Sungguh, sebenarnya mereka tak memenjarakan aku. Mereka justru
membebaskan jiwaku di sini. Di tempat ini. Sendiri. Aku hanya
bersama-Nya, merasakan kebebasan rasa; Rasaning rasa. Di sudut pagi
menjelang subuh, aku tiba-tiba mengingat Hadis Qudsi yang pernah
kupelajari dari Kyai Bahruddin di pondok dahulu. Hadis ini pernah
diriwayatkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mawâizh fi Al-Ahâdis
Al-Qudsiyyah: “Aku bersaksi kepada diri-Ku sendiri bahwa sesungguhnya
tiada tuhan selain Aku. Tiada sekutu bagi-Ku dan Muhammad adalah hamba
dan rasul-Ku. Siapa yang tak ridha terhadap qadha-Ku, tak sabar atas
ujian-Ku, tak mensyukuri nikmat-Ku, dan tak puas dengan pemberian-Ku,
maka carilah tuhan lain selain Aku.”
Aku bersaksi, ya Allah.
Mustahil ada tuhan lain selain-Mu. Hadis ini benar-benar menamparku.
Mengingatkan aku pada kesadaran batin yang paling dalam. Tak mungkin aku
menyekutukan-Mu. Aku ridha terhadap semua ketetapan-Mu. Aku ikhlas
menjalaninya. Berusaha sabar menghadapi semua ujian-Mu. Bersyukur atas
semua pemberian-pemberian-Mu,” bisikku dalam hati. Pesan subuh ini terus
kutanamkan dalam batin. Hingga saat Ashar berikutnya menjelang, aku
masih terjaga dengan kalimat ini.
Aku sama sekali belum
diperiksa. Tak ada petugas yang datang. Tak ada panggilan sama sekali.
Aku hanya mengikuti rutinitas yang ada di lorong ini, sesuai instruksi
penjaga. Yasmin pasti belum tahu apa yang sedang terjadi. Aku juga tak
tahu nasib Maryam sekarang. Apakah dia juga ditahan di Penjara Sungai
Buloh atau di Penjara Wanita Kajang? Aku hanya menunggu waktu. Menanti
keajaiban anugerah Allah yang lain. Hingga di malam berikutnya, polisi
yang menangkapku sama sekali belum mengenal namaku: Thariq Abdul Matin.
Malam semakin hening
Senyap merambah
Sepi dalam damai
Detak jarum jam terus berputar
Mencipta tanda nasib
Sungguh, mahakarya luar biasa!
Aku tak memilih warna
Hanya berharap indahnya
Sejatinya bukan gambarku
Meski kadang tampak gelap
Namun cahaya-Mu tetap Ada
--BERSAMBUNG--
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment