Oleh Halim Ambiya
Malam Jum’at yang syahdu. Mendengar suara
indah bacaan Al-Qur’an Yasmin nan merdu. Alunannya menusuk kalbuku yang
merambah malam. Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban (Maka nikmat
Tuhan manakah yang kau dustakan?) Berulang-ulang ayat ini menyelinap
masuk ke dinding telinga, menyelusuri saraf hingga ke dasar jiwa. Yasmin
benar-benar membaca dengan penghayatan yang dahsyat. Dia seolah sedang
berdialog, mengadu kehadirat Ilahi, dengan kalam-Nya.
Siapa pun
yang kalbunya hidup akan tersentuh bila membaca dan mendengar ayat ini.
Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban. Ada tarikan ruhani yang
meluluh-lantahkan perasaan sedih dan galau. Yasmin membacanya dengan
tartil (perlahan), namun dengan irama Melayu yang bersahaja, cengkok
khas Pulau Penang. Meskipun dia tak pernah belajar tentang nagham
qur’an, tak mengenal sama sekali 8 nagham lagu bacaan Qur’an ala para
qari terkenal, tapi bagiku bacaannya lebih menggetarkan jiwaku saat ini,
disini, di rumah yang sedang diliputi duka dan kesedihan.
Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban. Kurasakan ini lebih alami, lebih
masuk ke jiwa, sebab iramanya mengikuti tradisi turun-temurun yang
pernah diajarkan orangtua dan guru ngaji di surau khas Pulau Penang.
Lebih menyentuh kesadaran jiwa sebagai orang Melayu.
Ternyata
memang benar, Al-Qur’an bukan hanya milik para penutur bahasa Arab,
meskipun ia berbahasa Arab dan diturunkan di Arab. Karena, Al-Qur’an
adalah bahasa jiwa, bahasa ruh para pemilik kalbu yang beriman. Siapa
pun yang beriman kepada Al-Qur’an akan mendapatkan pacaran cahaya
penerang jiwa dari-Nya. Pelita dari Sang Pemilik kalam, Sang Penggenggam
jiwa hamba-hamba-Nya.
Beberapa kali lantunan suara “Fabiayyi
alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban” terdengar diiringi dengan getar tangis
Yasmin, terbata-bata, dan sesenggukan menahan tangis. Aku juga seperti
sedang menyaksikan rekaman komunikasi batiniah Yasmin melalui bacaan
Qur’an itu.
Aku pun merasakan getarannya saat mendengar bacaan
Al-Qur’an Yasmin. Merasakan seolah ayat-ayat itu ditujukkan buatku,
diturunkan khusus untukku. Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban. Aku
adalah Muhammad yang sedang berdialog dengan-Nya. Dan, aku tak mampu
menjawab pertanyan-Nya sama sekali. Tak berdaya di hadapan-Nya, mengakui
segala salah dan dosa di depan-Nya, menyadari keangkuhan dan kelalaian
atas karunia yang telah diberikan-Nya kepadaku. 30 kali ayat ini
diulang-ulang, seakan-akan menarik kesadaran untuk merenung
berkali-kali. Fabiayyi alâ’i Rabbi kumâ tukadzdziban. Berkali-kali Allah
mempertanyakan, “Nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan?”
Aku
sangat bersyukur mendapat karunia istri yang shalihah seperti Yasmin,
permata jiwa yang membahagiakan. Tuhan telah menghadiahkanku malaikat
cantik ini khusus buatku. Tak terasa air mata ini menetes hingga akhir
Yasmin menyelesaikan bacaannya. Ayat-ayat penerang jiwa yang memberi
keindahan malamku bersamanya.
Puji syukur kepada Allah, karena
aku pernah berkesempatan belajar di pondok selama 4 tahun sehingga mampu
memahami makna bacaan Al-Qur’an. Aku beruntung ajaran Kyai Makmun
terasa bermanfaat mengiringi kehidupanku. Jujur kuakui, meskipun aku
memahami bahasa Arab, tapi kadang ketersentuhan hati saat membaca atau
mendengar alunan Al-Qur’an tak setiap saat bisa dirasakan. Rasaning rasa
tak bisa dibuat-buat atau direncanakan oleh manusia. Rasa itu hadir
sebagai anugerah-Nya yang gaib. Sebab tarikan ruhani seperti ini muncul
sesuai kehendak-Nya. Dan, malam ini, Yasmin seperti mengajakku
bertamasya secara ruhani melalui alunan bacaan Surah Ar-Rahman nan
indah. Yasmin berhasil menggantikan posisi Hanum di hatiku dengan cara
yang begitu memesona.
Aku mendekati Yasmin dengan perasaan
bahagia. Aku memeluknya erat. Kami menangis dalam peluk kasih yang sukar
dijelaskan. Kami bahagia, lega dan merasa damai. Rasa syukur telah
meluruhkan semua rasa sedih di hati kami. Syukur menjadi terapi jiwa
kami malam ini.
“Terima kasih, sayang. Terima kasih melatiku, puspaku,” bisikku di telinganya.
“Sama-sama sayang,” jawabnya sambil melepas pelukannya. Lalu tiba-tiba
aku melihat senyumnya yang agak aneh. Aku pun membalas senyumnya. Yasmin
berdiri dan mundur beberapa langkah menghindariku.
“Mengapa Abang tersenyum macam itu? Tadi Abang menangis, sekarang senyum pula,” godanya.
Aku berdiri mendekatinya. “Tak ada apa-apa, sayang,” kataku pelan.
“Kenapa, Bang?”
“Tak ada apa-apa,” jawabku sambil mendekat.
“Ada apa, Bang?”
“Tak ada apa-apa. Abang hanya mau bagi tahu, ini malam Jum’at, sayang,”
jawabku. Lalu, kuangkat tubuhnya ke bilik peraduan kami. Dan, aku tak
perlu lagi menceritakan apa yang terjadi.
***
Aku berharap
ini adalah Jum’at berkah. Di tengah konflik keluarga berkepanjangan dan
drama kekerasan antara Razi dan Bang Faizal, aku tetap ingin berpikir
waras dan berpikir dingin. Meskipun Kak Saidah meminta bantuan Datuk
Harun untuk membela kasus penganiayaan terhadap Bang Faizal, namun aku
tak mau terpancing. Aku tak bisa mencegah Kak Saidah dan keluarga yang
lain untuk tidak memperkeruh keadaan. Aku hanya menantu asal Indonesia,
yang tidak memiliki banyak akses di dunia pengacara atau premanisme.
Yang kutahu jalan terbaik adalah berdamai. Tak perlu menggunakan jalur
hukum untuk menyelesaikan masalah ini.
Mereka justru melupakan
persoalan besar dalam kasus ini, yaitu masalah Sean yang melibatkan
Razi, Yasmin dan aku. Namun, kini masalahnya menjadi lebar. Kasus
pertama masih belum dapat tersentuh, justru mendapat masalah baru,
masalah kekerasan dan penganiayaan antara kedua belah keluarga.
Sayangnya hingga hari ini Datuk Rustam belum juga mengjawab pesanku.
Sejak pagi aku sudah mengirim pesan serupa, minta untuk bertemu dengan
beliau, tapi lagi-lagi tak ada jawaban. Akhirnya kuputuskan untuk
mendatangi kantor Datuk Rustam di Putra World Trade Center (PWTC).
Yasmin sudah memberitahuku dimana lokasi persis kantornya.
“Sebesar kesadaranmu sebesar itu pula keuntunganmu,” bisikku dalam hati,
sambil mengingat nasehat Kyai Makmun dahulu. Nasehat ini yang membuatku
berani menghadapi masalah ini. Sebelum memasuki lift, aku kembali
mengirim pesan kepada Datuk Rustam tentang kehadiranku di kantornya
pukul 10.00. Meskipun dia tak menjawab, aku tetap akan mendatanginya.
Di sudut lobi kantornya yang mewah, aku disuruh menunggu oleh
resepsionis. Aku telah jelaskan ingin bertemu dengan Datuk Rustam.
Awalnya, petugas itu berusaha menolak kehadiranku karena bulan ada janji
sebelumnya dengan Datuk, tapi aku berusaha meyakinkannya. Aku tunjukkan
beberapa pesanku di whatsapp kepada petugas penerima tamu hingga dia
tak mampu menolak kehadiranku saat itu.
Beberapa kali petugas itu
masuk ke ruangan dalam, lalu kembali lagi ke ruang resepsionis. Namun,
dia tak memberitahuku apakah aku disuruh menunggu atau disuruh keluar.
Aku berusaha memahami. Mungkin Datuk Rustam sibuk. Ketika kutanyakan
keberadaan Datuk Rustam, petugas itu menjawab memang beliau ada di
ruangan. Tapi, beliau sedang sibuk dengan tamunya.
Setiap 15
menit aku bertanya kepada petugas itu, saat itu pula petugas menjawab:
“Datuk masih sibuk. Belum bisa diganggu,” kata petugas itu. Hingga pukul
11.30, setelah menunggu 1,5 jam, petugas itu masih menjawab dengan
jawaban yang sama. Akhirnya aku berpamitan karena harus segera berangkat
ke masjid untuk shalat Jum’at. Kepada petugas itu, aku menulis pesan
pendek yang kutulis pada secarik kertas.
“Aku mohon kepada Puan
agar menyerahkan pesan ini kepada Datuk,” kataku sambil menyerahkan
secarik kertas kepadanya. Dengan sopan, petugas yang tak kulihat nama di
bajunya itu menyatakan bersedia untuk menyampakan pesanku kepada datuk.
Aku pun meninggalkan ruangan dengan perasaan sedikit kecewa. “Mereka
belum tahu kekuatanku menunggu. Aku bisa kuat untuk menunggu 8 jam di
kantor itu jika diperlukan,” bisikku dalam hati.
Aku segera
menuju Surau Ar-Rahman yang berada di Aras 3 PWTC. Surau ini sangat
besar dan nyaman. Meskipun namanya surau, tapi telah berfungsi sebagai
masjid. Jamaahnya tentu tak sedikit, sebab gedung ini merupakan pusat
bisnis dan perkantoran, serta menjadi tempat favorit untuk seminar dan
perhelatan akbar yang sangat terkenal di jantung Kuala Lumpur. PWTC ini
identik sebagai gedung UMNO, partai terbesar Malaysia, namun belakangan
menjadi tempat publik yang disukai oleh masyarakat swasta atau
pemerintahan. Aku memilih shalat jum’at di sini dengan harapan agar
nanti, setelah shalat dan makan siang, aku bisa kembali ke kantor Datuk
Rustam.
Aku memilih shaf yang terdepan untuk berdzikir dan
membaca Al-Quran sambil menunggu shalat Jum’at dimulai. Aku berdoa agar
hari ini mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Datuk Rustam. Misiku
ini penting untuk dilakukan agar bisa meredakan situasi.
Khutbah
dalam bahasa Melayu siang itu terasa menyejukkan hati. Khatib mengulas
tentang perang terbesar manusia, yakni perang melawan hawa nafsu.
Melawan hawa nafsu adalah jihad yang paling tinggi di antara jihad-jihad
yang lain. Apalagi di zaman caci-maki dan hujat-menghujat menjadi
status, di era semua pendiam menjadi tukang gosip, di masa media sosial
menentukan nasib partai. Jihad melawan hawa nafsu memang sangat relevan
disebut sebagai jihad terbesar. Namun, karena pemahaman yang keliru
tentang makna jihad membuat umat terjebak kepada aksi kekerasan dan
terorisme. Aksi bom bunuh diri bukanlah jihad, tapi merupakan kejahatan
kemanusiaan yang luar biasa. Konsep hidup berbangsa dan bernegara telah
dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW di Madinah. Di kota inilah,
masyarakat Muslim dan non-Muslim hidup berdampingan. Ahlu-dhimmah
(non-Muslim) mendapat jaminan keamanan penuh dari Rasulullah melalui
perjanjian yang disebut Piagam Madinah. Demikian kurang lebih uraian
hikmah Jumat di surau itu.
Setelah shalat Jum’at selesai
ditunaikan, saat aku berusaha bersalaman dengan orang di samping kanan
dan kiriku, mataku tertuju pada seseorang berbaju koko warna biru yang
duduk persis di belakangku. “Subhanallah, aku melihat Datuk Rustam,”
bisikku dalam hati. Dan, saat itu pula segera kuulurkan tangan untuk
bersalaman. Aku tundukkan kepalaku sambil kusebut namanya pelan,
“Datuk.” Dia mengangguk karena panggilanku. Mungkin dia tak mengenalku,
tapi aku mengenal dirinya melalui foto-foto yang ditunjukkan Yasmin
kepadaku. Umurnya jauh lebih muda dari Abah Samad. Wajahnya tampak
berwibawa. Berkumis tebal dan berjenggot. Tubuhnya tinggi tegap. Kata
Yasmin, wajahnya mirip WD Mukhtar, pemain film dulu. Aku berharap dia
bisa kuajak bicara di masjid ini setelah shalat sunah kukerjakan.
Sayangnya, aku kurang beruntung. Saat aku selesai shalat sunnah, tak
kulihat lagi Datuk Rustam di belakangku. Aku kehilangan jejaknya. Aku
mencari ke seluruh arah, namun tak kujumpai Datuk berbaju warna biru
itu. Akhirnya kuputuskan untuk pergi mencari makan siang. “Biarlah nanti
kutemui dia di kantornya,” bisikku.
Setelah menyelesaikan makan
siang, aku segera pergi menuju kantor Datuk Rustam. Melewati tempat
parkir dan berjalan menggunakan tangga darurat. Berharap agar lekas
sampai. Namun, saat aku berjalan ke arah lift, tiba-tiba ada 2 orang
berjalan mendekatiku dari arah kantor Datuk Hasyim. Satu di antaranya
adalah seorang berwajah India, menggunakan pakaian rapi dengan dengan
jas hitam. Kelihatannya dia seperti pengacara, sebab di Malaysia ini
profesi pengacara lebih banyak didominasi kaum keturunan India.
Sedangkan seorang lainnya adalah orang berwajah Melayu. Wajahnya
mengisyaratkan kebengisan, dengan beberapa tato di lengan dan leher.
“Awak nak pergi mana?” bentak seorang Melayu.
“Pejabat (kantor) Datuk Hasyim,” jawabku tenang.
Lelaki India itu seolah memberi isyarat tentu kepada preman bertampang Melayu di sebelahnya.
“Lebih baik awak pergi!” bentaknya lagi.
Aku sudah menduga, mereka adalah orang suruhan Datuk Rustam. Di gedung
seluas ini, tak mungkin orang bisa langsung mengenaliku. Pasti mereka
sudah melihat tampangku tadi sewaktu di lobi kantor mereka. Tapi, mereka
sengaja mengancamku di luar kantornya. “Mengapa mereka harus
menyambutkan semacam ini? Bukankah aku datang dengan baik-baik,” bisikku
dalam hati
“Maaf, aku berharap dapat berjumpa Datuk Rustam sekarang juga. Ini sangat penting,” kataku memohon.
“Tak payahlah! Awak siapa?” tanyanya kasar.
Aku jelaskan bahwa aku adalah suami Yasmin, mantan istri Razi. Aku
datang baik-baik ingin menyelesaikan masalah konflik antara keluarga.
“Oooh. Awak Indon ya?!” kata lelaki Melayu itu keras.
Lalu, dengan cepat, tangannya memukul wajahku, tepat mengenai bagian
kiri atas mulutku. Buggg! Aku rasakan tak begitu sakit, tapi sepertinya
aku merasakan asin darah di mulutku. Aku berusaha menahan diri. Aku
jelaskan bahwa kehadiranku hanya ingin berdamai. Ingin meminta bantuan
Datuk Rustam untuk menghentikan perseteruan ini dan memohon maaf atas
nama keluarga karena telah mencelakakan Razi.
Lelaki itu
mencibirku penuh kebencian. Aku sangat paham itu. Sebab bukan rahasia
umum, sebagian besar masyarakat Melayu yang tak terdidik dan tak punya
sopan santun pasti akan berbuat semacam ini jika berada di posisinya.
Kata “Indon” atau “Muka Indon” sering menjadi bahan cemooh mereka
terhadap orang Indonesia. Mereka menganggap lebih superior. Orang
Indonesia dianggap sebagai orang yang lebih rendah daripada bangsa
mereka. Pembantu rumah, kuli bangunan dan pekerja-pekerja pabrik asal
Indonesia di Malaysia merupakan bukti nyata yang memperkuat anggapan
mereka.
Ini kali pertama aku mendapat perlakukan semacam ini. Aku
memang berhadapan dengan seorang preman yang sengaja dipasang untuk
mencari keributan. Sejak kuliah di sini, aku tak pernah mendapat
kekerasan atau ancaman dari mahasiswa Malaysia sama sekali. Kampus bukan
tempat premanisme. Begitu juga dalam pergaulan bisnisku. Aku tak pernah
mendapat perlakukan kasar dari orang Malaysia, baik itu keturunan
Melayu, India ataupun China. Mereka profesional dan sudah terbiasa
dengan perbedaan suku, bangsa, agama dan warna kulit. Apalagi dalam
keluarga besar Abah Samad, aku justru sangat dihormati, sebab aku
satu-satunya anak menantu asal Indonesia dan dikenal sebagai anak
pondok. Aku bahkan sering menjadi rujukan semua pertanyaan mereka
seputar agama.
Sorot mata keangkuhan lelaki itu berusaha
menundukkan nyaliku di depannya. Tapi, aku bersikap biasa-biasa saja.
Aku tak meminta ampun atau memelas di depannya. Aku berusaha
menganggapnya sederajat dan tak merasa terganggu dengan pukulannya tadi.
“Tolong, Encik. Saya hanya nak jumpa dengan Datuk Rustam. Bukan nak
macam-macam,” kataku baik-baik. Namun, tubuhku didorong ke sisi dinding
dengan tangannya yang kekar. Aku berusaha menghindari dari kekerasan
mereka. Meski caci-makinya tak terhenti, tapi aku tak terpancing. Aku
tak menunjukkan sikap menantang di depannya. Aku yakin ini bisa
diselesaikan. Jika Datuk Rustam mau, apa susahnya untuk membuat
kekerasan serupa terhadapku, seperti yang dilakukannya kepada Bang
Faizal.
Tangan lelaki itu mencengkram kerah bajuku dan berusaha
menekan leherku dengan tangan yang cukup keras. Aku masih berusaha
menahan diri. Padahal, dalam hitunganku, seper-sekian detik, aku bisa
lebih cepat menundukkan lelaki di depanku ini. Aku masih mengusai
beberapa jurus Tapak Suci saat belajar di pondok. Tapi, demi sebuah niat
baik, aku tak mau lakukan. “Please.. You have no right to do this,”
kataku kepada lelaki itu, lalu melirik ke arah sebelahnya, seseorang
lelaki berwajah India. Sejak tadi dia hanya menyaksikan, tak ikut bicara
atau menekanku sama sekali. Aku tatap wajahnya sekali lagi, “Please”
kataku.
Tiba-tiba, lelaki India itu menepuk punggung kawannya.
Dengan sekali isyarat, dia meminta kawannya melepas cengkramannya. Lalu,
sejurus kemudian dia menjauh dariku dan menelpon seseorang. Aku
dibiarkan berhadap-hadapan dengan preman Melayu satu ini. Bau alkohol
dari mulutnya membuatku muak, tapi aku berusaha menahan diri. Kulihat
dia hanya mengandalkan badan yang besar, tetap dari cara dia memukulku
tadi, dia bukan jenis petarung hebat. Dia hanya preman biasa berbadan
besar. Itu saja. Dan, sekarang dia masih “petantang-petenteng” di
depanku saat ini.
Aku pikir, kalau mereka menjumpaiku di tempat
lain, tidak di tempat ini, mungkin ceritanya berbeda. Sebab, PWTC
bukanlah tempat sepi. Banyak mata memandang. Banyak polisi di sudut
gedung. Ini adalah gedung tempat orang-orang kuat Melayu berkumpul. Tak
mungkin mereka berani menganiayaiku di tempat umum seperti ini. Hanya
orang bodoh yang berani melakukannya.
Kemudian, dari arah kantor
Datuk Rustam, seorang resepsionis wanita yang tak kutahu namanya itu
berlarian ke arah seseorang berwajah India. Aku tak mendengar
percakapannya. Aku masih berhadap-hadapan dengan preman yang satu ini.
Dia tak mengizinkan aku bergerak. Aku bergeser ke kiri, dia mengikuti.
Aku ke kanan, dia pun menghalangiku ke kanan. Lelaki ini pandai
memancing emosiku.
Resepsionis pun menghampiriku.
“Encik Thariq ditunggu Datuk Rustam di kantor,” kata perempuan yang tak kuketahui namanya itu.
“Alhamdulillah, terima kasih,” jawabku gembira. Aku dilepas begitu saja
oleh dua orang itu. Kini aku berjalan diiringi dengan resepsionis itu.
“Maaf, sudah menunggu lama,” katanya lagi.
“Tak apa-apa. Pasti beliau sangat sibuk,” jawabku.
Aku dipersilahkan memasuki kantor Datuk Rustam yang cukup besar. Tampak
jelas ini bukan perusahaan sembarangan. Tampak sangat mewah dan
berkelas, lebih mewah daripada yang kulihat di lobi. Dalam hati aku
bersyukur, mungkinkah ini saatnya aku menyelesaikan masalah dengan Datuk
Rustam? Mungkinkah saatnya aku merendah dan memohon kepada seseorang
yang telah mencelakakan Bang Faizal? Apakah aku ingin berdamai dengan
keluarga Razi yang telah membuat Yasmin menderita, dan menjadikan Sean
sebagai barang rebutan? Apakah ini jalan yang terbaik? Apakah semudah
itu Datuk Rustam mengikuti saranku?
Aku dipersilahkan masuk ke
salah satu ruangan yang berada di paling ujung. “Sepertinya ini bukan
ruangan, Datuk Rustam. Ini lebih sempit. Mengapa aku dibawa kemari?”
bisikku dalam hati. Lalu, tiba-tiba seseorang mendorongku keras ke dalam
ruangan. Gubrakkkk. Aku tersungkur. Kepalaku terbentur meja. Belum
sempat aku menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba aku diserang oleh
beberapa orang secara membabi-buta. Sepertinya ada 3 bayangan orang
berkelebat memukul, menendang, dan menginjak-injak seluruh bagian
tubuhku di ruangan sempit itu. Pandanganku gelap. Mulai terasa
kunang-kunang. Bumi berputar-putar tak terkendali. Aku hanya mampu
menyebut, “Allahu..Allahu.”
---BERSAMBUNG PART 15--
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1674064122643515
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment