Oleh Halim Ambiya
“Abang, Datuk Rustam meminta cucunya,”
tutur Yasmin pelan dalam pelukanku. Aku sendiri dalam diam, melihat
Yasmin dalam kesendirian yang buta, di antara isak tangis dan tubuh yang
gelisah. Aku mendekap, lalu lebih dekat di hati seiring dengan detak
jantung. Kudapati bayang dirinya menghilang saat lampu padam mengabarkan
tentang luka yang bertambah kelam.
"Berusahalah untuk
menerimanya, sayang. Ini adalah jalan yang terbaik. Inilah jalan yang
telah dipilihkan Tuhan untuk kita, untuk Sean," bisikku.
"Mengapa
penderitaan ini tak pernah berakhir Abang? Aku semakin tersiksa. Lagi
dan lagi. Kapan ini berakhir?” tutur Yasmin lagi.
Aku tahu, dia
tak sanggup hidup tanpa Sean di sisinya. Yasmin tak mau hidup tanpa
mentari di hatinya. Semua hari akan terasa malam, semakin kelam dan
gelap. Kadang, Yasmin dan aku hanya berharap pada purnama. Padahal
purnama hanyalah khayalan saat kita berada di siang hari. Mentari adalah
khayalan saat kita berada di malam hari. Purnama itu tak nyata, hanya
pengganti, hanya pantulan cahaya. Sebetulnya ia adalah kegelapan yang
sesungguhnya. Lalu, kita hanya terus berharap tiada henti.
Aku
memeluknya dalam dekap kasih. Mengelus-elus jiwa yang sedang merana dan
meronta. Naik-turun. Kadang kuat karena totalitas kepasrahan, kadang
rapuh dalam bimbang kegaulauan tanpa harapan.
"Apalagi yang harus
kujelaskan kepadanya?" bisikku. Aku tak menemukan kata untuk kukatakan
kepada Yasmin. Peluk sayangku sudah mengisyaratkan banyak hal. Dan,
diamku sudah menjawab semua pertanyaannya yang sudah ataupun yang belum
terucap.
"Bagaimana kau mengharapkan mentari di malam yang gelap.
Itu mustahil. Takdir selalu menuntut logika, selalu menghajatkan
nalar. Kadang tersentuh akal dan terindera, kadang terlalu asing bagi
keduanya. Lalu, rahasia-Nya bersembunyi di balik waktu. Maka, jangan
pernah menentang-Nya. Ikuti saja iramanya, lalu bergoyanglah," bisikku
dalam hati.
“Kau tak harus putuskan sekarang. Insya Allah, Datuk Rustam bisa mengerti,” kataku.
“Iya, Abang. Aku hanya sedih dan bingung. Aku sudah tak ingin lagi ada
hubungan dengan Razi dan seluruh keluarga Datuk Rustam. Aku ingin
mengubur semua duka ini. Aku ingin hidup bersamamu di Jakarta,” tuturnya
manja.
“Insya Allah, nanti kita jalan-jalan yah. Kita bisa berlibur di Puncak.”
“Aku mau, Bang. Kita bisa tinggal disana sebulan atau dua bulan. Aku ingin menghirup udara baru.”
“Tapi, selesaikan dulu masalah hatimu disini agar kita pergi tak
membawa beban. Kuatkan dulu hatimu sayang. Meskipun kita bisa berlibur
di Bali atau Raja Ampat, jika hati kita masih menyimpan rasa sedih,
putus asa, amarah, dan dendam, sama saja.”
Rupanya sudah ada
pembicaraan tentang Sean antara Yasmin, Abah Samad dan Datuk Rustam
mengenai nasib Sean. Tapi, Yasmin belum mau menceritakan semuanya. Aku
tak mau memaksanya untuk bercerita. “Biarkan aku menunggu waktu. Semoga
Allah membimbing dan menguatkan hati Yasminku, melatiku,” bisikku dalam
hati.
Pada saat aku terbaring di rumah sakit, sebenarnya banyak
kejanggalan yang kusaksikan, tapi belum semua dapat kutahu jawabannya.
Aku masih bingung, mengapa Maryam dan Zenita saling mengenal? Mengapa
tiba-tiba, Zenita menghubungi Maryam, bukan menghubungi Yasmin? Mengapa
harus Datuk Rustam yang menghubungi Yasmin, bukan Zenita? "Biarlah,
semua ada waktunya. Aku tak mau membuat Yasmin gelisah dengan
pertanyaanku," bisik hatiku.
Pada saat aku sedang berpelukan
bersama Yasmin di ruang perawatan itu, tiba-tiba ada seseorang mengetuk
pintu dan mengucap salam.
“Assalamu’alaikum,” ucap Zenita membuka
pintu. Lalu, dia merasa kaget melihat Yasmin berada di ruangan itu.
“Aneh, mengapa dia sekaget itu melihat Yasmin disini” bisikku dalam
hati. Dia tampak bingung, seolah ingin keluar kembali dari ruangan.
“Oooh. Maaf, aku mengganggu,” kata Zenita.
Yasmin melepas pelukaku. Dia berdiri dengan angkuh. Menatap Zenita
dengan sombongnya. Aku melihat sorot mata Yasmin yang membara dan buas.
Wajahnya menyimpan amarah, merona membakar wajahnya. Memerah mewarnai
deru nafas yang kencang. Ucapannya bergetar menahan geram. "Mengapa kau
kemari? Apa maumu?” kata Yasmin, menuding ke arah Zenita.
Zenita
menunduk. Dia menahan tangis. “Aku tak mengerti mengapa Yasmin bertindak
tak sopan kepada Zenita. Bukankah dia selama ini sudah sangat
membantuku. Zenitalah yang menahan pengeroyokan terhadapku. Dia pula
yang membawaku ke rumah sakit dan mengurus semuanya,” bisikku dalam
hati.
“Apa yang kaurencanakan? Apa yang sedang kau buat?" bentak Yasmin lagi.
"Maafkan aku, Yasmin. Aku bingung harus menceritakan darimana," jawab Zenita tertunduk lesu.
Aku tak paham apa sedang terjadi. Mengapa Yasmin semarah ini? Zenita
masih diam membisu. Keduanya seperti sudah saling mengenal lama.
"Apa lagi yang akan kau ceritakan? Mengapa kau sejahat ini? Kita pernah
satu sekolah. You are my roomate. Kau sahabatku yang paling aku
percaya. Tega-teganya kau buat seperti ini padaku? Apa sekarang kau juga
akan merebut suamiku lagi?”
“Tidak, Yasmin. Maafkan aku,” jawab Zenita tertenduk lesu. Dia tak berani menatap wajah Yasmin sama sekali.
“Apakah kau otak di balik semua kekejaman ini? Apa sebenarnya engkaulah yang menyuruh orang membunuh Abah dan Bang Thariq?"
“Tidak, Yasmin. Mustahil aku melakukannya,” jawabnya lagi, lalu menunduk lagi.
"Yasmin..Yasmin. Ada apa ini?" tanyaku penesaran. Aku ingin segera
meredakan apa yang sedang terjadi. Baru kali ini, aku melihat tutur kata
Yasmin tak sopan terhadap orang lain. Yasmin menangis. Jujur kuakui,
wanita cantik ini tetap terlihat cantik meski dengan isak-isakan tangis
kesedihan. Wajah dalam balutan kerudung berwarna biru itu semakin
membiru.
"Abang tak tahu. Inilah Zahra, Abang. Ini dia yang merusak segalanya.”
"Zenita?!" Hmmm. Aku terdiam. Menarik nafas. Belajar memahami makna ini semua.
"Zenita itu Zahra, Abang. Zenita Zahra binti Sulaiman. Sean adalah
darah dagingnya. Anak perselingkuhan antara Razi dan dia. Ini Zahra,
Bang!"
“Aku bingung, Yasmin. Aku khilaf. Hingga Razi mengusulkan
untuk menyerahkan anakku kepadamu, Yasmin. Ini rancangan Razi. Aku
bingung harus berbuat apa. Bahkan, awalnya aku berencana untuk
menggugurkan bayi dalam kandunganku,” tutur Zahra.
“Kau telah berbuat kebohongan untuk menutupi kebohongan. Harapkan pagar, pagar makan padi,” kata Yasmin.
“Aku akui, aku memang salah Yasmin. Aku bukanlah istri Razi, aku istri
kedua Datuk Othman. Bagaimana kalau mereka tahu jika anak yang ada dalam
kandunganku adalah anak Razi,” tutur Zahra.
Aku seperti sedang
menonton telenovela. Perselingkuhan dibalas dengan perselingkuhan. Dosa
ditutupi dengan dosa. Kebohongan ditutup dengan kebohongan. Semua
menjadi lingkaran setan yang mengerikan. Dimanakah letak kebahagiaan
yang mereka cari? Bagaimana mereka memahami nafas-nafas cinta dalam
bahtera rumah tangga. Pergaulan bebas telah mengotori nama cinta dengan
syahwat. Cinta tercemar karena nafsu dan ambisi. Nilai-nilai kesejatian
cinta mulai sukar dicari dalam kamus manusia zaman sekarang. Kemapanan
ekonomi bukanlah simbol bagi kebahagiaan hidup. Bahkan, kadang kekayaan
justru mengusir nilai kebahagian dari jiwa pemiliknya. Kecantikan bisa
dibeli. Kenikmatan sesaat bisa dicari. Semua bisa dilakukan dengan
telunjuk pemilik harta. Mereka pikir, kepuasan seks adalah puncak
kebahagian tertinggi.
Bagiku, kadang-kadang sikap diam adalah
kemarahan yang paling memuncak. Kadang teriakan tak bisa mewakili rasa
marah yang tinggi. Bahkan, untuk sebuah penzaliman, kadang kita tak
memerlukan pembelaan makhluk. Sebab, saat orang terzalimi, meski
mulutnya terkunci, tapi jiwa dan raganya telah mendapat jaminan
pembalasan-Nya. Tuhan adalah pemberi garansi yang tak pernah ingkar
janji.
Aku, seperti juga Yasmin pasti menyimpan luka yang dalam.
Tapi, sanggupkah aku memperlakukan Zahra seperti Yasmin
memperlakukannya? Tidak. Aku hanyalah orang asing, seperti juga dia
bagiku. Kejahatan apa pun yang dilakukan orang asing, tidak akan lebih
kejam daripada kejahatan orang terdekat kita. Pengkhianatan dapat
melukai berlapis-lapis lebih dalam. Yasmin pasti sangat merasakan sakit
hati luar biasa karena kejahatan Razi dan Zahra terhadap dirinya.
Aku masih membiarkan Yasmin meluapkan emosinya saat kulihat Zahra terus
menangis. Dia terus tertunduk. Kemarahan Yasmin terhenti sesaat, saat
seorang dokter dan perawat memasuki ruangan. Zahra bergegas mengusap
airmatanya, lalu berdiri di sudut ruangan. Sedangkan Yasmin, tampak
kesusahan membendung tangis. Dia tak mampu menyembunyikan tangisannya
setelah melepas semua kekesalannya pada Zahra.
"Puan tak usah risau. Suami Puan sudah sembuh. Hari ini sudah boleh balik," kata dokter sambil memeriksaku.
"Terima kasih, dokter," jawab Yasmin kaku. Dokter itu tak tahu jika
tangis Yasmin kali ini bukan untuk luka di tubuhku, tapi karena luka di
hatinya yang kembali menganga saat berjumpa pelakunya. Dokter itu
seperti menangkap pemandangan aneh. Sebab, beberapa kali dia melirik ke
arah Zahra yang juga ikut menangis.
Setelah dokter dan perawat
itu keluar dari ruangan, wajah kegarangan Yasmin mulai tampak kembali.
"Pergi kau dari sini! Pergi! Untuk apa kau disini, kau hanya membuatku
tambah sakit," bentak Yasmin.
"Maafkan aku, Yasmin. Maafkan," jawab Zahra.
"Pergi!"
Yasmin mengusir Zahra dari ruangan. Aku heran, mengapa Datuk Rustam tak
membicarakan masalah Zenita kepadaku? Lalu, apa yang disepakati antara
Yasmin, Abah Samad dan Datuk Rustam kemaren? Aku pikir masalah ini sudah
selesai. Hmmmm. Aku memang baru mengetahui bahwa Zenita atau Zahra
adalah anak dari Sean. Tapi, apakah juga Datuk Rustam mengetahuinya?
Siapa yang bisa menjelaskan ini?!
Zahra pun mulai berkemas,
meletakan kue dan bebuahan untukku di atas meja, lalu berjalan melangkah
mendekati pintu. Dia tak sanggup berkata apa pun lagi kepada Yasmin.
Dia hanya mampu mengatakan, "Maafkan aku...Maafkan aku." Sepertinya,
Zahra sama sekali tak punya nyali untuk menghadapi Yasmin.
"Tunggu!" teriakku.
"Untuk apa, Bang?" tanya Yasmin.
"Jangan pergi dulu," kataku sambil berusaha duduk dari pembaringanku.
Yasmin berusaha menolong. "Kemarilah, Zahra," pintaku pelan.
“Kemarilah!” kataku sambil memandang wajahnya. Tapi, Zahra masih berdiri
saja di depan pintu.
"Kenapa Abang tahan dia? Apa untungnya dia disini?"
"Zahra, kemarilah. Aku ingin bicara," pintaku meyakinkan Zahra. Aku tak
memedulikan ucapan Yasmin. Aku hanya mengelus pundak Yasmin pelan.
“Tenang sayang. Sabar, Abang nak cakap sekejap,” bisikku pada Yasmin.
Awalnya Zahra ragu, tapi berkali-kali aku berusaha meyakinkannya agar
tak pergi dulu. Kuminta dia menarik kursi dan duduk dekat pembaringanku.
"Aku ingin masalah ini selesai di sini, di ruangan ini sekarang juga.
Atau minimal kita mulai berterus-terang. Saling membuka diri," kataku
kepada Yasmin dan Zahra.
"Aku tak ingin menyisakan rasa marah dan
kebencian, yang kelak bisa membesar di luar sana. Aku ingin orang yang
aku sayangi hari ini, saat ini, mau bersamaku mendengarkan penjelasan
Zahra," bisikku kepada Yasmin.
"Tidak Abang! Tidak! Aku belum mampu memaafkan Zahra," jawab Zahra melepaskan tanganku.
"Aku tak memintamu memberi maaf saat ini juga sayang. Aku hanya
memintamu untuk mendengarkan Zahra untuk sekali ini saja," kataku pelan.
“Please, biarkan Zahra bicara,” pintaku kepada Yasmin. “Please, I beg
you, wait a while…Let her talk about Sean, her son, her blood, (Aku
mohon kepadamu, tunggu sebentar. Biarkan dia bicara tentang Sean,
anaknya, darah dagingnya)” pintaku kepada Yasmin.
Yasmin
menangis. Kini dia menunduk lalu berusaha memelukku lagi. "Sayang, aku
mohon dengarkan dulu penjelasannya dengan hatimu. Hatimu sebagai
seorang wanita. Hati sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu,
sebagai seorang sahabat perempuan Zahra," bisikku lagi.
Kini
Yasmin dan Zahra sama-sama menangis. “Aku yakin. Haqqul yaqin, di lubuk
hati yang paling dalam. Kalian masih saling menyangi,” kataku tegas
hingga membuat tangis keduanya menjadi lebih menggema. Lalu, ketegangan
demi ketegangan mulai larut dalam diam.
"Kita memang harus
mendengarkan penjelasan Zahra. Selama ini kau hanya dengar penjelasan
dari Razi. Bagiku ini salah besar. Zahra adalah ibu dari Sean. Dia yang
paling berhak atas Sean daripada kita, daripada Razi sekalipun," kataku
lagi. Kulihat, Zahra semakin mendekat ke arah Yasmin.
“Buang
jauh-jauh ego kalian berdua. Selama ini ego kalian yang membuat ini
semua terjadi. Kalian sahabat dekat, tapi tak mampu berkomunikasi dengan
baik. Kalian saling menutupi. Padahal kalian berdua sebenarnya adalah
sama-sama korban dari suatu keadaan. Kalian korban dari hubungan dengan
Razi. Apakah kau sanggup memutuskan persahabatan kalian di dunia yang
hanya sesaat, lalu kalian melupakan persahabatan abadi di akhirat?
Apakah kalian kelak di akhirat akan saling menghujat, saling memasukkan
sahabat sendiri ke neraka? Sanggupkah kalian lakukan itu?”
Aku tak ingat lagi kapan Yasmin dan Zahra saling berpelukan dan menangis sejadi-jadinya.
“Masalah ini sudah terjadi. Kalian sedang tenggelam di tengah lautan.
Jangan kau tanya basah atau tidak! Jangan pula kalian saling
menyalahkan! Mestinya kalian saling bertanya, ‘bagaimana cara berenang
ke tepian?’” lanjutku lagi.
“Lautan cinta Ilahi begitu luas.
Jangan pernah kau bandingkan kesucian cinta sesamu dengan samudera cinta
Ilahi, karena sebenarnya kalian hanya merasakan cipratannya saja. Maka,
apa yang kau banggakan dengan keteguhan cintamu itu di hadapan Allah.
Kita ini kotor. Pendosa yang bengal. Tiap hari kita melakukan dosa, dan
berkali-kali kita memohon ampun. Lalu, mengapa saat dirimu salah,
saudaramu salah, kau berusaha menjadi “tuhan” yang sombong dan angkuh?
Tak mau saling memaafkan. Seolah-olah kau lebih hebat daripada Tuhan
yang setiap saat memaafkan hamba-Nya,” kataku kepada Yasmin dan Zahra.
Keduanya masih terus berpelukkan dalam diam perenungan.
---BERSAMBUNG PART18—
https://www.facebook.com/tasawufunderground/posts/1681083141941613
https://www.facebook.com/halim.ambiya
Setelah mengunjungi Blog ini semoga menjadi sehat lahir batin, terbuka akal budi dan hatinya, murah rejeki, gampang jodoh dan Berjalan kepada Alloh dengan bimbingan ridho dan karunia Nya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mimpi 23 Romadhon 1442 H
Sore kisaran jam 10 malam aku berangkat tidur biasanya tengah malam ini karena, mbarep lagi kongkow-kongkow jadi area kekuasaanku di ambil ...
-
Beliau terlahir dari orang tua yang senag dan gemar beribadah, ayahandanya adalah seorang kyai dari para kyai, namun tak tenar dikalangan ...
-
Oleh Halim Ambiya Bunga melati di balkon itu tampak berubah warna daun-daunnya. Tak lagi hijau tua seperti biasanya. Bunga-bunganya mulai...
-
Tentang Penulis ANDI BOMBANG, sulung dari tiga bersaudara. Lahir di Magelang, 24 September 1970. Ayahnya Bugis, ibu...
No comments:
Post a Comment